Friday, December 18, 2009

CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)

* Tweet To @jodi_santoso

Disampaikan oleh:
M Jodi Santoso dan TIm Peneliti KHN
dalam Lokakarya Penelitian KUHAP dan Peluncuran Buku Prof Mardjono Reksodiputro
Jakarta, 9 Desember 2009

A. Pengantar
Keberadaan hukum acara pidana dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa. Menurut J. E. Sahetapy (2007), meminjam pendapat Jerome Skolnick, mengatakan bahwa ”criminal procedure is intended to control authorities, not criminals”. Hal senada disampaikan Mardjono Reksodiputro (1995: 25) yang mengatakan, fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap setiap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan. Meski demikian terdapat Fungsi lain dari HUkum Acara Pidana yaitu memberikan kekuasaan pada negara untuk menegakkan hukum material. (Mardjono: 2009).



Hukum acara pidana sebagai instrumen sistem peradilan pidana (SPP) dimungkinkan untuk berubah. Perubahan tersebut terjadi karena SPP bukan merupakan sistem tertutup tetapi sebagai sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (Muladai dalam KHN: 2002). Sebagai upaya sinkronisasi, KUHAP seharusnya diselaraskan dengan amandemen UUD 1945 dan konvensi internasional.
Meskipun KUHAP memberikan perlindungan hak tersangka/terdakwa/ terpidana, tetapi KUHAP juga memberikan kewenangan besar kepada kepolisian dan kejaksaan yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). KUHAP sendiri mengantisipasi potensi penyimpangan tersebut dengan membentuk praperadilan, tetapi, kewenangannya hanya terbatas pengujian formal upaya paksa (dwang middelen) dari penyidik atau penuntut umum serta ganti rugi dan rehabilitasi. Untuk menjawab kelemahan tersebut , dalam R KUHAP, diperkenalkan lembaga baru yaitu Hakim Komisaris untuk mengawasi upaya paksa aparat penegak hukum.
Berdasarkan deskripsi di atas, masalah penting dalam R KUHAP yang dibahas adalah bagaimana peran Hakim (ke depan) dalam mengawasi proses penyidikan dan penuntutan.

B. PERAN HAKIM DALAM PROSES PRAAJUDIKASI
1. Proses Praajudikasi dalam Instrumen Internasional dan Konstitusi

Kemerdekaan merupakan hak setiap orang yang perlu mendapat jaminan dan perlindungan dari negara. Segala bentuk perampasan kemerdekaan seseorang harus dilaksanakan berdasarkan Undang-undang. Instrument hukum internasional menentukan prinsip-prinsip dasar terhadap upaya pembatasan kemerdekaan seseorang dalam proses peradilan pidana. Universal Declaration of Human Rights)/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada. Dalam hal perampasan kemerdekaan seseorang, Artikel 10 Paragraf 1 International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR)/Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik menyebutkan bahwa setiap orang yang dirampas kemerdekaannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan menghormati martabat yang melekat padanya.
Dalam proses praajudikasi, ICCPR mengatur hak-hak tersangka atas upaya paksa penegak hukum dalam Artikel 9 ICCPR, yaitu, sebagai berikut :
1.a. Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi
b. larangan melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang..
c. perampasan kebebasan terhadap seseorang dapat dilakukan berdasarkan alasan yang sah dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum
2.Setiap orang yang ditangkap :
a. pada saat penangkapan, harus diberi tahu alasan-alasan penangkapannya
b. harus segera diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan padanya.
3.a. Dalam perkara pidana, siapa pun yang ditangkap atau ditahan :
(i) harus segera dibawa ke hadapan hakim atau pejabat lain yang diberi kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan peradilan,
(ii) harus diadili dalam jangka waktu yang wajar atau dibebaskan.
b. bukan ketentuan umum bahwa orang yang menunggu pemeriksaan pengadilan harus ditahan.
c. pembebasan dapat dilakukan dengan jaminan untuk hadir :
(i) pada waktu pemeriksaan pengadilan
(ii) pada tahap lain selama proses peradilan
(iii) apabila dibutuhkan, hadir pada pelaksanaan putusan pengadilan.
4.Siapa pun yang dirampas kemerdekaannya dengan penangkapan atau penahanan harus segera menjalani proses pengadilan, agar pengadilan tanpa menunda-nunda
(i) menentukan keabsahan penahanannya,
(ii) memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tersebut tidak sah menurut hukum.
5. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah berhak mendapat ganti rugi yang harus dilaksanakan.

Berkaitan dengan tugas negara dalam upaya melindungi hak tersangka, ketentuan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, mengamanatkan kepada setiap negara untuk mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk penahanan serta perlakuan terhadap orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap wilayah hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya penyiksaan.

Indonesia yang telah meratifikasi ICCPR berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, sudah seharusnya dilakukan upaya penyelarasan hukum acara pidana.

Akan tetapi, hingga saat ini, terdapat keterbatasan perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa baik dalam konstitusi Indonesia maupun dalam KUHAP. UUD 1945 hanya mengatur prinsip umum dalam Pasal 28D yaitu Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tidak ada ketentuan dalam Pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur secara limitatif bagaimana perlindungan hak tersangka dalam proses praajudikasi. Hal ini berbeda UUD 1950 yang mengatur hak tersangka/terdakwa dalam Pasal 11- Pasal 14.
Di Amerika Serikat, Bill of Right dengan tegas memberikan perlindungan hak-hak tersangka, yaitu: Amandemen Keempat berisi perlindungan terhadap pemeriksaan dan penangkapan semena-mena (protection against search and seizure), Amandemen Kelima berisi hak atas peradilan dengan sistem juri (right to grand jury indictment); hak untuk tidak didakwa dua kali dalam perkara yang sama (protection against double joepardy); hak untuk diam dalam pemeriksaan (privilege against self incrimination); hak atas proses peradilan yang adil (due process of law), dan amandemen keenam berisi hak atas peradilan yang cepat dan terbuka untuk umum (right to speedy and public trial); hak untuk diadili oleh juri yang tidak memihak (right to an impartial jury); hak terdakwa untuk berpendapat (right to notice); hak untuk menghadirkan saksi yang meringankannya (right to confront adverse witnessess in his favour; hak atas penasihat hukum (right to councel). (KHN-SENTRA HAM UI, 2003)

2. Peran Hakim dalam Proses Praajudikasi di Negara Lain

2.1Rechter Commissaris (Belanda) dan Judge d’ instruction (Perancis)

Dalam sistem peradilan pidana Perancis, dikenal Judge d’ instruction. Pranata ini mempunyai wewenang untuk memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti lainnya. Judge d’ instruction dapat membuat berita acara pemeriksaan, melakukan penahanan, penyitaan, bahkan menentukan apakah cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan. Akan tetapi, hanya perkara besar dan sulit pembuktiannya yang dilakukan permeriksaan melalui Judge d’ instruction. (Andi Hamzah: 2002, 193).
Di Belanda, dikenal hakim komisaris (Rechter Commissaris). Melalui pranata ini, hakim berfungsi baik sebagai pengawas juga dapat melakukan eksekusi. Hakim tidak hanya menguji atau berperan sebagai examinating judge semata tapi juga berperan sebagai investigating judge di mana hakim berwenang untuk memerikasa saksi dan tersangka. (Loebby Loqman: 1987, 47)
Selain Rechter Commissaris, di Belanda juga dikenal pranata submissie dan compositie. Kedua pranata tersebut berkaitan dengan perkara yang menurut jaksa penuntut umum sulit pembuktiannya dan dapat diselesaikan di luar persidangan dengan diajukan pada hakim melalui proses transaction. Implementasi dari penyelesaian di luar sidang adalah memberikan kemungkinan pada jaksa penuntut umum membuat kebijakan untuk mengakhiri penuntutan dengan membayar sejumlah uang tertentu. Dikecualikan dari hal tersebut ialah tindak pidana yang diancam lebih dari 6 tahun dan tindak pidana pelanggaran. “Penyelesaian di luar sidang” dilakukan jaksa sebelum perkara masuk proses sidang pengadilan.
Submissie diadakan atas permohonan terdakwa yang disepakati oleh penuntut umum yang berisi permasalahan-permasalahan yang sulit pembuktiannya di persidangan. Kesepakatan tersebut diajukan kepada hakim untuk dimintai putusan hakim tanpa melakukan pembuktian di persidangan. Hakim dengan kewenangannya akan memutus mengenai hal atau kasus tersebut. Dalam compositie, jaksa penuntut umum dapat menghentikan proses penuntutan dengan cara terdakwa membayar sejumlah uang tertentu. Pembayaran uang tertentu ini dimaksudkan sebagai penebusan, terutama untuk kejahatan ringan. (Remmelink: 2003, 442).


2.2Peran Hakim dalam Proses Praajudikasi di Amerika Serikat
a. Preliminary Hearing, Arraignment dan Pretrial Conference
Dalam proses peradilan pidana Amerika Serikat, hakim (magistrat) sudah terlibat dalam proses pre-trial sejak dini. Proses pre-trial dalam rangka permohonan Habeas Corpus dilakukan dalam tiga proses yaitu: Arraignment, Preliminary Hearing, Pretrial Conference (Indrianto Seno Adji: 2003, 24-35). Selain ketiga pranata tersebut, dalam sistem peradilan di negara federal dan beberapa negara bagian juga dikenal grand jury. Akan tetapi, tidak semua negara bagian menerapkan grand juri.
Preliminary hearing diadakan atas permintaan polisi yang memerlukan surat perintah untuk menangkap atau menggeledah (arrest warrant or search warrant) (Loebby Loqman: 1987, 51). Menurut James A. Inciardy (1990, 433), tujuan utama dari preliminary hearing adalah untuk memberi perlindungan pada tersangka dari proses peradilan yang tanpa surat perintah (the major purpose of the preliminary hearing is to protect defendants from unwarranted prosecutions). Karena adanya dugaan terjadinya tindak pidana, penyidik menghadap ke pengadilan untuk memperoleh penilaian hakim apakah telah terdapat alasan yang kuat (probable cause) untuk percaya bahwa tersangka merupakan pelaku tindak pidana dan oleh karena itu telah mempunyai cukup alasan untuk dapat ditahan dan diadili. Jika tidak ditemukan probable cause, maka perkara dapat dihentikan. (Loebby Loqman: 1987, 51; Roland del Carmen: 1987, 8).
Proses Arraignment dan pretrial conference dilakukan setelah ditetapkan adanya alasan yang kuat (probable cause) melalui proses preliminary hearing atau grand jury. Arraignment merupakan pemeriksaan di depan hakim atau wakilnya yang terjadi setelah seseorang ditahan di mana tuduhan tersangka dibacakan dan tersangka ditanyakan sikapnya bersalah atau tidak. Dalam tahap ini tersangka dapat memilih satu di antara : i) not guilty (tersangka untuk menolak tuduhan yang dituduhkan kepadanya dan diteruskannya proses peradilan ke tahap persidangan pengadilan), ii) guilty plea (tersangka mengakui tuduhan dan langsung dijatuhi pidana tanpa melalui proses pengadilan), atau iii) nolo contendere (no contest atau I do not wish to contest), Sikap nolo contendere mempunyai dampak yang hampir sama dengan sikap guilty plea. tetapi jika tersangka memilih nolo contendere maka proses dilanjutkan ke pengadilan. Di pengadilan terdakwa tidak menolak tuduhan penuntut umum).
Sebelum di hadapkan ke sidang peradilan di bawah jury, seorang tersangka terlebih dahulu dihadapkan ke pretrial conference. Keberadaan pretrial conference lebih ditujukan untuk merancang sidang pengadilan, terutama mengenai pembuktian dan hak-hak pihak yang berperkara untuk memperoleh pembuktian dari pihak lain (discovery). Tujuan pretrial conference adalah untuk menjamin kelancaran, keadilan dan efektifitas sidang peradilan. (Loebby Loqman: 1987, 51)

b. Grand Jury

Untuk tindak pidana berat (felony), penentuan adanya dugaan kuat (probable cause) telah terjadi tindak pidana berat di negara Federal dan beberapa negara bagian Ameriksa Serikat dibuat Grand Jury. Negara Bagian yang tidak menerapkan grand jury, penentuan probable cause tetap menjadi kewenangan preliminary hearing. Di Negara yang menerapkan grand jury ini, prelemanary hearing membuat putusan apakah perkara diteruskan ke grand jury atau tidak. (Roland del Carmen: 1987, 8)
Grand jury, awalnya muncul di Inggris pada masa King Henry II pada Tahun 1166. Komposisi pranata ini terdiri dari 12 knights atau good and lawful Men. Dalam perkembangnya, grand jury terdiri dari 12 hingga 23 grand jurors dengan menggunakan 12 suara grand jurors untuk menentukan putusan. (Inciardi: 1990, 426).
Di Amerika Serikat, setelah revolusi, melalui Amandemen ke lima, grand jury menjadi salah satu mekanisme penting dalam proses peradilan pidana. Fifth Amandement menyebutkan, “no person shall be hell to answer for a capital or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury.”
Dalam federal system, grand jury hanya digunakan untuk tindak pidana berat (felony). Tidak semua Negara bagian menerapkan sistem grand jury dalam proses peradilan pidana. Negara bagian yang menerapkan grand jury, ada yang digunakan untuk semua perkara ada yang hanya untuk tindak pidana berat atau tertentu.
Keanggotaannya grand jury berasal dari masyarakat yang berjumlah 16 hingga 23 anggota dengan minimal 12 suara dari seluruh anggota untuk membuat sebuah tuduhan tindak pidana (indictment). (Carmen: 1987, 8; Inciardi: 1990, 426; Holten dan Lamar: 1991, 197). Di Los Angeles, misalnya, calon grand jurors berasal dari masyarakat. Tujuan utama merekrut grand juror dari masyarakat adalah untuk merepresentasikan berbagai budaya, etnik, dan kehidupan serta merefleksikan berbagai kepentingan dan keinginan masyarakat Los Angeles. (http://lasuperiorcourt.org)


2. PERAN HAKIM DALAM PROSES PRAAJUDIKASI DI INDONESIA
3. Praperadilan dalam KUHAP
4. Hakim Komisaris dalam R KUHAP

bersambung ......









----------

-------------
Artikel Lain


CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)
CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)
* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------

--------------------

SELAMAT TAHUN BARU












----------

-------------




Artikel Lain


* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi



-------------

--------------------

Sunday, October 25, 2009

Perpu Bukan Hak Tanpa Batas Dari Presiden

oleh M Jodi Santoso

* Tweet To @jodi_santoso


Pada periode pertama pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah mengeluarkan 16 Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPU). Dari keenambelas Perpu tersebut, 2 (dua) berkaitan dengan rekonstruksi Aceh dan Nais pasca bencana tsunami, dua perpu berkaitan dengan penundaan pelaksanaan pengadilan khusus, satu perpu berkaitan dengan jaring pengaman sistem keuangan, dan sisanya yaitu 11 Perpu isinya perubahan undang-undang termasuk yang terakhir yaitu Perpu No 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Tidak semua Perpu yang dikeluarkan ditetapkan DPR menjadi undang-undang. Pada Desember 2008 DPR Perpu Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan ditolak DPR. Perpu ini merupakan salah satu dari 3 Paket yang berkaitan dengan perbankan dan kekuangan. Dua lainnya adalah Perpu Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia ditetapkan DPR menjadi undang-undang berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2009 dan Perpu Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No 7 Tahun 2009.

Hak Subyektif “Terbatas” Presiden

“Keberanian” Presiden SBY mengeluarkan Perpu tidak lepas dari perdebatan tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Penafsiran subyektif Presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan khusus. Tindakan khusus yang diberikan oleh UUD 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyebutkan Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD 1945 dengan tergas mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan bahaya yang saat ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 ini, Presiden hanya dapat menafsirkan secara obyektif. Dalam hukum tata negara tidak tertulis dikenal dengan doktrin noodstaatsrecht.

Menurut Harun Al Rasyid (dalam Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105), dalam noodstaatsrecht, undang-undang keadaan bahaya selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar undang-undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, menurut Prof. Wiryono didasarkan pada doktrin staatnoodrecht. Mahfud MD pembenaran dekrit tidak hanya didasarkan pada staatnoodrecht tetapi juga berdasarkan pada prinsip salus populis supreme lex (keselamatan rakyat adalah dasar hukum tertinggi). Akan tetapi, menurut M. Hatta, Prawoto Mangkusasmito (dalam Mahfud MD: 2001: 136) serta Yusril Ihza Mahendra (2001) yang menyetujui pendapat Prof. Logeman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum di bidang ketatanegaraan.

Sementara itu, Perpu merupakan produk hukum yang sah sesuai ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Secara formal, Perpu adalah peraturan pemerintah, bukan Undang-undang. Tetapi secara substansial, meteri Perpu sama dengan materi muatan Undang-Undang (Pasal 9 UU No. 10 Tahun 2004). Terhadap Perpu, DPR dapat melakukan legislative review untuk menyetujui Perpu sebagai undang-undang atau tidak. Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” merupakan syarat mutlak bagi presiden untuk menggunakan haknya. Secara a contrario presiden tidak dapat menggunakan haknya selama tidak ada hal ikhwal kegentingan memaksa.

Menelisik ke belakang, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks asli UUD 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85), Perpu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner nootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan (i) mendesak dari segi substansi, dan (ii) genting dari segi waktunya. Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004) mengatakan, hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan perppu. Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang. Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan (administratiefrechtelijk).

Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya dalam mengeluarkan perpu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan.

Inkonsistensi Dalam Mengeluarkan PERPU

Substansi Perpu No 4 Tahun 2004 setidaknya memuat 2 hal penting yaitu: (1) penafsiran Presiden terhadap kondisi KPK setelah terjadi kekosongan 3 posisi pimpinan KPK, dan (2) penafsiran Presiden terhadap UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan pengisian kekosongan pimpinan KPK. Dalam konteks penafsiran subyektif terhadap kondisi KPK, sebagai perbandingan perlu melihat proses penerbitan dua perpu yang dikeluarkan Presiden SBY sebelumnya yang berkaitan dengan penangguhan pembentukan pengadilan khusus yaitu Perpu No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Perpu No 2 Tahun 2006 Tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Pengadilan Perikanan.

Terbitnya kedua Perpu tersebut tidak lepas dari adanya Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden Republik yaitu Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden Republik Indonesia Nomor KMA/674/XII/2004 tanggal 10 Desember 2004 perihal Penundaan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dan Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden Republik Indonesia Nomor KMA/295/IX/2006 tanggal 07 September 2006 perihal Penerbitan Perpu tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan.

Kedua surat Ketua Mahkamah Agung tersebut menunjukkan adanya kondisi obyektif dari kekuasaan yudikatif di mana menurut Ketua Mahkamah Agung perlu dilakukan penundaan pembentukan pengadilan perikanan dan penundaan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kedua surat tersebut menjadi pertimbangan Presiden dalam mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2005 dan Perpu No. 2 Tahun 2006.

Bagaimana dengan KPK? Dalam Pasal 3 UU No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Sementara itu dalam Penjelasan Pasal 3 disebutkan bahwa, dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. Ketentuan Pasal 3 dan Penjelasannya tersebut dengan tegas melindungi KPK dari intervensi kekuasaan manapun termasuk dari Presiden, DPR, maupun Mahkamah Agung.

Meski KPK mempunyai fungsi eksekutif dalam hal penyidikan dan penuntutan tetapi, ketentuan Pasal 3 tersebut di atas dengan jelas mengaskan bahwa, dalam menjalankan fungsinya, KPK sebagai lembaga negara yang tidak dapat diintervensi Presiden. Dengan demikian, Presiden mempunyai keterbatasan dalam hal menafsirkan ketentuan UU No 3 Tahun 2002 Tentang KPK berkaitan dengan “hal ikwal kegentingan memaksa” yang terjadi dalam tubuh KPK. Penafsiran Presiden terhadap kondisi darurat harus didasarkan pada kondisi obyektif yang terjadi dalam tubuh internal KPK. Jika komisioner KPK merasa belum ada kegentingan yang memaksa maka dengan sendiri kewenangan subyektif dari Presiden tidak dapat digunakan.

Mestinya Presiden menggunakan dasar yang sama seperti saat mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2005 dan Perpu No. 5 Tahun 2006 yaitu menggunakan hak subyektifnya setelah ada kondisi obyektif dari lembaga yang bersangkutan. Dari konteks demikian maka Presiden SBY tidak cukup konsisten menggunakan haknya dalam mengeluarkan Perpu.
Indikasi inkonsistensi lain adalah pada substansi Perpu itu sendiri, di mana presiden menafsirkan pimpinan KPK efektif jika ada minimal 3 orang pimpinan. Dengan adanya ketentuan demikian maka seharusnya pengisian pimpinan KPK didasarkan pada fakta yang terjadi saat penerbitan perpu. Faktanya adalah satu pimpinan secara hukum diberhentikan karena menjadi terdakwa dalam proses peradilan (Pasal 32 ayat (1) huruf c) dan 2 (dua) pimpinan diberhentikan sementara (non aktif) karena menjadi tersangka dalam proses penyidikan kepolisian. Dari fakta yang ada, Presiden hanya perlu memasukkan satu orang pimpinan KPK yaitu untuk mengganti pimpinan yang jelas berhenti atau diberhentikan karena status hukumnya sebagai terdakwa. Dengan menambah satu pimpinan maka dianggap cukup untuk menjadikan KPK efektif bekerja. Dugaan intervensi muncul dengan penggantian dua pimpinan KPK yang nonaktif karena statusnya sebagai tersangka yang suatu saat penyidikan/penuntutan dihentikan.

Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa ketentuan UUD 1945 tentang hak presiden menafsirankan keadaan darurat dan kegetingan memaksa bukan merupakan hak tanpa batas. Hak mengeluarkan perpu (atau bahkan Dekrit) tanpa batas akan menjadikan bangsa Indonesia berjalan mundur.





----------

-------------
Artikel Lain
* R - KUHAP
* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------

--------------------

Wednesday, August 26, 2009

Memburu Teroris

M Jodi Santoso*

Pasca peledakan bom di JW Marriot II dan Ritz Carlton setidaknya muncul dua fakta baru dalam aksi teror di Indonesia. Pertama, kepolisian menemukan adanya indikasi sasaran peledakan bom berikutnya di kediaman Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Cikeas. Hal demikian mengindikasikan adanya pergeseran sasaran dari yang semula simbul-simbul Amerika Serikat dan sekutunya di Indonesia bergeser ke simbul-simbul lokal. Meski temuan kepolisian (dalam perspektif Herbert L. Packer ,1968, sebagai factual guilt bukan fakta hukum/legal factual, bukan juga legal guilt) harus dibuktikan di pengadilan sebagai legal guilt tapi keberhasilan kepolisian mencegah aksi teror dan dampaknya yang lebih besar perlu mendapat penghormatan.

Kedua, adanya indikasi teroris di Indonesia merekrut usia remaja untuk melakukan bom bunuh diri. Temuan kepolisian ini menambah deret panjang terorisme yang dilakukan oleh anak/pemuda dan memperkuat berbagai kajian tentang rekrutmen anak dalam aksi teror. Tidak hanya anak/remaja,. Federal Research Division of Library of Congress dalam studinya yang berjudul The Sociology And Psychology Of Terrorism: Who Becomes A Terrorist And Why? (1999) menemukan adanya keterlibatan anak-anak dan wanita sebagai pelaku terorisme. Fakta demikian muncul di Indonesia, dalam peledakan bom di JW Marriot II dan Ritz Carlton melibatkan dua remaja laki-laki. Dimungkinankan para teroris terus merekrut kelompok muda dan wanita. Kondisi demikian tidak dapat dibiarkan. Perlu upaya bersama pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan memberantas teroris. Tidak ada kambing hitam atas meledaknya kembali bom di Indonesia. Hal penting yang perlu dicatat bahwa bahwa tindak pidana terorisme merupakan mala per se bukan termasuk mala prohibita karena terorisme merupakan crime against concience, menjadi jahat bukan karena dilarang oleh undang-undang tetapi karena pada dasarnya terorisme merupakan tindakan tercela.

Instrument Hukum Pemberantasan Teroris
Banyak kalangan berpendapat bahwa instrument hukum Indonesia tidak memadahi untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme. Dibanding Internal Security Act (ISA) di Malaysia dan Singapura atau Patriot Act di Amerika Serikat, instrument hukum Indonesia dianggap ketinggalan. Tapi jika dikaji lebih jauh, instrument hukum yang ada saat ini jauh lebih baik karena di tiga negara tersebut tersangka terorisme dapat ditahan dalam waktu yang lama tanpa ada proses peradilan. Instrument hukum di Indonesia telah mengatur mekanisme pencegahan dan pemberantasan terorisme dengan tetap memberi perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa (asas safe guarding rules). Pada tanggal 18 Oktober 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Setahun kemudian, pada tanggal 06 Maret 2003, Perpu Antiteroris ditetapkan DPR sebagai undang-undang dan pada tanggal 4 April 2003 secara resmi diundangkan oleh Pemerintah berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003.
Dalam proses legislasi telah putuskan bahwa lembaga hukum yang berhak melakukan penyidikan, penangkapan, dan penahanan adalah kepolisian. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, kepolisian tidak berjalan sendiri. Pasal 26 ayat (1) dan Penjelasan Umum Perpu No 1 2002 (UU No. 15 Tahun 2003) menentukan kepolisian dapat menggunakan laporan intelijen setelah dilakukan audit hukum (legal audit) oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan dalam sebuah pranata Hearing. Pasal tersebut dengan jelas melegitimasi keberadaan BIN dan badan intelijen lainnya masuk dan berperan dalam proses peradilan tindak pidana terorisme di Indonesia. Peran pengadilan dalam hal ini ketua/wakil ketua pengadilan negeri sebagai kontrol kekuasaan yudikatif terhadap tindakan represif dan kemungkinan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dari kekuasaan eksekutif dalam hal ini kepolisian dan lembaga intelijen terhadap warga negara.
Instrumen hukum lain yang dapat digunakan untuk mencegah dan memberantas teroris di Indonesia adalah Pasal 108 ayat KUHAP. Pada ayat (1) ditentukan Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan. Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui permupakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik. Meski ketentuan KUHAP tidak menjelaskan lembaga (badan) intelijen sebagai bagian dari sistem peradilan pidana tetapi berdasarkan Pasal 108 KUHAP tersebut maka semua lapisan masyarakat termasuk lembaga intelijen dapat berperan aktif dengan memberikan laporan atas temuan-temuannya yang menyangkut peristiwa yang terjadi atau akan terjadi serta pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana.
Kedua undang-undang tersebut di atas, baik Umum UU No. 15 Tahun 2003 (Perpu No 1 2002) maupun UU No 8 Tahun 1981 (KUHAP) memberikan ruang yang cukup luas bagi intelijen di semua lembaga dan departemen untuk ikut dalam mendeteksi, mencegah, menangkal, dan memberantas teroris di Indonesia. Pada tingkat operasional, untuk koordinasi intelijen di semua instansi pemerintahan, Presiden Megawati pada 22 Oktober 2002 mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2002 Kepada Kepala Badan Intelijen Indonesia untuk mengkoordinasikan penyusunan rencana umum dan pelaksanaan operasional kegiatan intelijen seluruh instansi yang ada.
Berdasarkan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan yang ada, politik kriminal dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme melalui sistem peradilan pidana di Indonesia dengan jelas menentukan bahwa kewenangan penangkapan dan penyidikan berada dalam satu pintu yaitu kepolisian kecuali tertangkap tangan. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, kepolisian tidak dapat berjalan sendiri menghadapi terorisme. Politik kriminal demikian bukan berarti menyisihkan peran badan-badan intelijen dan TNI dalam perburuan teroris di Indonesia. BIN, sesuai Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2002 berwenang untuk mengkoordinasikan penyusunan rencana umum dan pelaksanaan operasional kegiatan intelijen seluruh instansi termasuk intelijen kepolisian. Keberadaan TNI dan lembaga-lembaga intelijen lain berperan penting dalam menopang kepolisian melakukan penyidikan dalam kontrol pengadilan melalui legal audit.
Indonesia tidak mungkin mengikuti model Amerika Serikat dan Malaysia yang telah menghancurkan bangunan konsep dan praktik peradilan pidana yang memberikan perlindungan hak tersangka yang dibangun sejak berabad-abad tahun lalu. Di Malaysia, keberadaan ISA kini digugat oleh kelompok pro-demokrasi dan hak asasi manusia. Begitu juga halnya tindakan Amerika Serikat dalam memberangus tersangka terorisme tanpa proses peradilan mencapat kecaman dari berbagai pihak termasuk Amnesti Internasional. Di Indonesia, instrument hukum yang ada saat ini cukup untuk mendeteksi dan memburu terorisme. Dibutuhkan sinergi aparat penegak hukum, intijen, pengadilan dan masyarakat dalam mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme. Strategi untuk menempatkan polisi masyarakat dan intelijen masyarakat sangat strategis dalam menangkal dan memberantas teroris di Indonesia.








----------



-------------
Artikel Lain


* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi


*Peneliti pada Komisi Hukum Nasional

-------------

--------------------

Monday, June 08, 2009

Siaran Pers Komite Pembela Kemerdekaan Berpendapat: Sudah Waktunya Dekriminalisasi Penghinaan !



No : 002/Eks/KPKB/VI/2009
Perihal : Siaran Pers Untuk Segera Disiarkan

Sudah Waktunya Dekriminalisasi Penghinaan !

Komite Pembela Kemerdekaan Berpendapat (KPKB) mengapresiasi upaya Mahkamah Agung RI
untuk mempertimbangkan untuk menghapuskan ketentuan pidana penghinaan. Upaya dari
Mahkamah Agung RI ini jelas jauh lebih progresif dibandingkan sikap dari Mahkamah Konstitusi RI yang terus menerus mempertinggi kedudukan perlindungan reputasi melalui hukum pidanadibandingkan kemerdekaan berpendapat. KPKB berpendapat bahwa sudah saatnya Indonesia yang mengaku sebagai negara hukum modern yang demokratis untuk mencabut semua ketentuan penghinaan dalam hukum pidana Indonesia. Untuk itu KPKB mendukung upaya Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan penghapusan tindak pidana penghinaan di Indonesia.

Delik penghinaan tergolong dalam pasal karet yang memungkinkan untuk digunakan sebagai senjata ampuh bagi penguasa ataupun penyedia jasa pelayanan publik untuk membungkam daya kritis masyarakat untuk melakukan kritik terhadap kebijakan negara ataupun kritik terhadap pelayanan umum yang disediakan oleh para penyedia jasa pelayanan umum.

Untuk itu, KPKB mendesak agar pimpinan Mahkamah Agung RI untuk segera mengambil tindakan untuk menghapuskan semua ketentuan pidana pencemaran nama baik di Indonesia. Untuk sementara KPKB mendesak agar Mahkamah Agung RI segera mengeluarkan Surat Edaran agar para hakim tidak memproses penanganan perkara tindak pidana penghinaan di pengadilan dengan pertimbangan bahwa penerapan tindak pidana penghinaan adalah bertentangan dengan konstitusi dan bertentangan dengan prinsip – prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia

Jakarta, 5 Juni 2009
a/n Komite Pembela Kemerdekaan Berpendapat
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia
Divisi Advokasi HAM



Anggara
Koordinator


-----------------------


Sekretariat
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia
Rukan Mitra Matraman Blok A2 No 18, Jl Matraman Raya No 148 Jakarta
Phone (021) 85918064 Fax (021) 85918065

----------------




----------
-------------
Artikel Lain


* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------


Thursday, April 02, 2009

Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia

KUHP saat ini adalah warisan Kolonial Belanda yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1915, melalui Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732, Belanda memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indië sebagai hukum pidana materiel dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 1918. Dalam perjalanannya beberapa kali mengalami penambahan dan perubahan baik oleh pemerintah Hindia Belanda, Jepang, maupun NICA (Nederlands Indië civil administration).

Setelah Kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Berita RI Tahun II Tanggal 15 Maret 1946 Pasal VI nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) atau disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kemudian, berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958, LN Tahun 1958 No. 127 yang mulai berlaku pada tanggal 29 September 1958, KUHP (WvS) dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Rumusan asli pasal-pasal KUHP masih menggunakan bahasa Belanda. Dalam Praktiknya para akademisi dan praktisi (hakim, jaksa, polisi, advokad) menggunakan terjemahan tidak resmi dari bahasa aslinya.

Untuk mengejar perkembangan masyarakat Indonesia, terus dilakukan penambahan dan perubahan pasal-pasal KUHP. Dalam konteks lebih luas, setidaknya terdapat tiga cara pembaruan hukum materiel di Indonesia, yaitu :

1. membuat undang-undang khusus di luar KUHP
2. penambahan, pencabutan, dan perubahan Pasal-pasal KUHP secara parsial, dan
3. penyusunan RUU KUHP

Pembaruan hukum materiel melalui undang-undang khusus di luar KUHP tidak dapat di hindari sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kejahatan. Pada sisi lain, KUHP yang berlaku saat ini merupakan terjemahan tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht peninggal kolonial Belanda yang mulai diberlakukan secara resmi di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918.

Cara kedua yang dilakukan dalam pembaruan hukum meteriel di Indonesia adalah dengan melakukan perubahan KUHP cara parsial. Kebijakan hukum ini dilakukan dengan melalui berbagai undang-undang yang isinya mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP. Dalam catatan Ahmad Bahiej, mulai tahun 1946 setidaknya telah dikeluarkan 11 undang-undang baik yang mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal KUHP. Jika ditambah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, maka terdapat 13 kali perubahan. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP antara lain sebagai berikut.

1). UU NO. 1 TAHUN 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.
2). UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.
3). UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi.
4). UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana.
5). UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP.
6). UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP.
7). UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945.
8). UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
9). UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian.
10). UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
11). UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
12). Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945
13). Putusan Nomor 6/PUU-V/2007 menyatakan Pasal 154 dan 155 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.

Politik hukum demikian, menurut Utrecht, tidak mengubah KUHP pada dasarnya, dan selama tidak diubah pada dasarnya, maka KUHP akan terus ketinggalan zaman. Untuk itu perlu didahulukan tidak hanya dengan mengubah pasal-pasal KUHP tetapi membentuk dan mengundangkan KUHP baru dengan mengkodifikasi suatu KUHP Nasional. Kebijakan pembaruan melalui perubahan dan penambahan pasal-pasal dalam KUHP menyebabkan kerancauan dalam praktik peradilan karena KUHP yang saat ini berlaku menggunakan dua bahasa yaitu :

1. bahasa Belanda sebagai bahasa asli KUHP (Wetboek van Strafrecht (WvS)/Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie) dan aturan-aturan yang memuat perubahannya pada masa sebelum Pemerintahan RI, serta
2. bahasa Indonesia sebagai bahasa yang digunakan dalam Undang-undang yang mengubah, mencabut, atau menghapus pasal-pasal KUHP.

Karena fakta di atas, perlu dilakukan pembaruan hukum materiel dengan membentuk KUHP Nasional. Menurut. Sudarto, terdapat 3 alasan perlunya bangsa Indonesia memiliki KUHP Nasional sendiri, yaitu :

1. alasan Politik ; adalah suatu kewajaran apabila Negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP nasional yang dihasilkan sendiri dan bisa menjadi kebanggan nasional.
2. alasan Sosiologis, Suatu KUHP adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa,
3. alasan Praktis perlunya pembaruan KUHP adalah, dalam praktek dewasa ini jumlah penegak hukum yang benar-benar paham terhadap WVS jumlahnya sangat sedikit yang selama ini menjadi patokan adalah WVS yang sudah diterjemahkan, sehingga wajar jika satu penerjemah dengan penerjemah yang lain berbeda juga pandangan dan penafsirannya.


Politik Kriminal Bab I RUU KUHP






----------




-------------
Artikel Lain
* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------







Wednesday, March 04, 2009

Pembaruan Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Liberalisasi Pasar



oleh

R. Herlambang Perdana Wiratraman
Dosen Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia
Fakultas Hukum Universitas Airlangga


Bila menyimak mafia peradilan yang terjadi di tubuh peradilan, sesungguhnya sama sekali tidak terlampau mengejutkan bila kita menyimak laporan Diagnostic Survey of Corruption in Indonesia yang telah menempatkan peradilan sebagai ranking ketiga lembaga terkorup di Indonesia. Bahkan, Global Corruption Report 2005 yang dikeluarkan Transparency International (TI) memposisikan Indonesia dalam jajaran negara terkorup, dan korupsi sebesar US$ 15-35 trilyun yang dilakukan oleh Soeharto (1967-1998) disebut sebagai korupsi terbesar di dunia, di atas Ferdinand Marcos (Philipina) dan Mobutu Sese Seko (Zaire). Tidak hanya peradilan, lembaga-lembaga negara lainnya pun terjangkiti penyakit yang serupa, dalam bentuk korupsi, suap, dan transaksi kotor lainnya, baik itu di kelembagaan birokrasi maupun parlemen.

Tiga pilar lembaga kekuasaan utama negara telah saling melengkapi catatan rekor korupsi. Cerita ini sepertinya tidak terlalu banyak bergeser meskipun sudah memasuki rezim “reformasi”, yang sudah mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan politik. Kian menyedihkan ketika melihat bangsa ini sesungguhnya mengalami situasi keterpurukan ekonomi yang mengakibatkan meluasnya pemiskinan struktural dan ketergantungan utang luar negeri yang membengkak.

Dalam realitas demikian, uniknya, banyak pihak lebih sependapat untuk menyalahkan sistem pemerintahan yang buruk (bad governance) sebagai penyebab utama praktek korupsi dan pemiskinan, sehingga tidak heran bila tiba-tiba diskursus good governance tampil dalam situasi tersebut, bisa diterima dengan mudah oleh siapapun sebagai mantra yang sekaligus dipercaya sebagai obat mujarab penyakit kronis bangsa ini, dan melesat menjadi ikon perubahan berbagai sektor, termasuk salah satunya dalam strategi pembaruan hukum.

Salah satu kunci pertanyaan yang bisa digunakan untuk menganalisa strategi pembaruan hukum tersebut adalah apakah good governance yang menjadi model dominan pembaruan merespon upaya pertanggungjawaban negara dalam pemajuan hak-hak asasi manusia?

Pembaruan Hukum dan Persimpangan Neo-Liberal

Good governance dalam upaya pembaruan hukum Indonesia menawarkan tidak saja soal diskursus (apa yang dinyatakan) baik dan buruk suatu standar, namun pula menjelaskan adanya paradigma dominan dalam gagasan perubahannya. Paradigma yang melekat dalam konsepsi tersebut adalah penciptaan iklim liberalisasi pasar dengan melucuti peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik atas dasar efisiensi. Paradigma yang demikian telah lama diinjeksikan melalui sejumlah proyek ketatapemerintahan (dan ketatanegaraan) oleh proponen neoliberal serta keterlibatan peran lembaga-lembaga keuangan internasional, utamanya Bank Dunia dan IMF.

Sungguh tidak wajar, Bank Dunia misalnya, dalam konstitusinya menyebutkan bahwa persoalan semacam korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai urusan ‘internal affair’ yang tidak boleh dicampuri. Sehingga, selama lebih dari dua dasawarsa, meskipun Bank Dunia tahu bahwa korupsi yang hampir mencapai 40 % dari dana yang diutangkan selama ini kepada Pemerintah Indonesia, hanya didiamkan saja. Bank Dunia bekerja dalam skema Program Penyesuaian Struktural tanpa mempedulikan permasalahan serius otoritarianisme rezim yang diutanginya, sehingga perlakuan ini menyebabkan penyakit korupsi dan keterpurukan ekonomi semakin mengganas. Utang luar negeri menggunung, angka pengangguran melonjak, penggusuran tanah-tanah rakyat, penderitaan dan proses pemelaratan, yang semuanya berpuncak pada krisis ekonomi di tahun 1997-1998.

Bagaimana bisa lembaga yang seharusnya bertanggung jawab terhadap krisis ekonomi dan terlibat dalam pelanggengan bad governance, kini bisa kembali mendominasi dengan good governance? Sebuah pertanyaan penting yang seharusnya pengambil kebijakan di negeri ini melihat dan merefleksikannya secara kritis.

Ada tiga komponen yang terkandung dalam agenda turunan good governance, yakni (1) legal framework for development; (2) accountability; (3) transparancy and information. Dalam komponen tersebut, ada aspek yang dibedakan, yakni aspek politik yang terkait legitimasi dan aspek teknis yang menyangkut kapasitas (World Bank 1992). Dalam kaitan pembaruan hukum tentu penting untuk melihat bagaimana disusunnya ‘legal framework for development’ (kerangka hukum untuk pembangunan).

Kerangka hukum tersebut jelas ditujukan untuk mempromosikan liberalisasi pasar, meskipun pula menggunakan mantra-mantra rule of law di dalam proses injeksinya. Kerangka hukum ini ditempatkan sebagai prakondisi bagi pembangunan ekonomi, yang mengharuskan adanya kepastian hukum dan prediksibilitas (Tsuma 1999: 81-82). Selain secara substantif mendesak adanya sejumlah perubahan-perubahan hukum, kerangka hukum tersebut juga menegaskan mekanisme tertentu yang dirasakan lebih fair dan terkontrol secara prosedural, dan dalam paradigma inilah banyak peran negara yang secara bertahap dikurangi dan kemudian dihilangkan, serta tergantikan oleh kendali modal (baca: privatisasi + komodifikasi).

Inilah agenda neoliberal dalam sektor pembaruan hukum, yang mempengaruhi berlangsungnya tekanan perubahan instrumentalistik terhadap institusi-institusi negara, baik dengan cara membentuk lembaga-lembaga negara baru (termasuk peradilan) maupun produk legislasi yang memang dipersyaratkan sebagai kepatuhan negara terhadap sistem ekonomi pasar dunia yang kian terintegrasi. Konteks inilah yang melahirkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang sarat dengan kepentingan pemodal besar sejak awal reformasi hingga sekarang.

Mafia Perundang-undangan dan Pelanggaran HAM yan Terlegalisasi

Kontroversi perundang-undangan kini seringkali terjadi seiring dengan berjalan dan berlangsungnya pesanan-pesanan proponen neoliberalis dalam pemerintahan Indonesia. Dari perubahan konstitusi (UUD 1945) hingga produk hukum lainnya, seperti kelenturan pasar buruh dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, atau privatisasi dan komersialisasi dalam UU No. 7 Tahun 2004 Sumberdaya Air, UU No 25 Tahun 2007 Penanaman Modal, dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya.

Lalu, apa sesungguhnya makna kehadiran good governance dalam kerangka hukum untuk pembangunan? Good governance, seperti alat reproduksi wacana ketatapemerintahan dan ketatanegaraan yang didesakkan untuk menyilaukan (mistifying) kekuasaan berikut tanggung jawabnya. Sadar maupun tak sadar, birokrasi yang menjalankan fungsi praksis implementatif di lapangan maupun ilmuwan (hukum) yang berteoritisi, latah dalam langgam mengucapkannya bak mantra “kebenaran” tak terbantahkan.

Dalam soal pembaruan hukum pun demikian, kecenderungan reproduksi teks norma dan penataan kelembagaan negara tertentu harus dijalankan dalam kerangka hukum untuk pembangunan tersebut (Wiratraman 2006). Sehingga tidak mengherankan substansi teksnya ataupun kelembagaannya akan demikian mudah menyingkirkan hak-hak dasar warga negara karena memang rancangannya telah didisain rapi. Inilah yang disebut dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilegalkan (legalized violations of human rights).

Sebagai contoh, kelahiran paket undang-undang ketenagakerjaan yang mengesahkan outsourcing, perjanjian kerja waktu tertentu, atau hadirnya lembaga peradilan PHI (Pengadilan Hubungan Industrial), kian memudahkan penjelasan bagi kita betapa hak-hak asasi buruh yang jumlahnya jutaan manusia dimarjinalisasi secara sistematik, dikorbankan untuk kepentingan liberalisasi pasar. Inilah situasi yang bisa menjelaskan mengapa pembaruan hukum Indonesia masa reformasi ini memperlihatkan mafia perundang-undangan yang tidak sekedar transaksi lokal sebagaimana persis digosipkan Slank, namun lebih dari itu, berjalan dengan mesin teknologi neoliberalisme yang sangat ramah pasar.








----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------
--------------------

Friday, February 13, 2009

Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?





Oleh:

M. Jodi Santoso





Dengan diberlakukannya KUHAP (UU No 8/1981), terjadi pergeseran model dalam sistem peradilan pidana Indonesia dari model civil law system khususnya model Belanda ke arah sistem campuran (mix system). Salah satu tradisi common law yang diadopsi KUHAP adalah konsep habeas courpus yang menjelma menjadi praperadilan.

Habeas courpus muncul pertama kali di Inggris pada tahun 1302 dan menjadi prinsip dasar dalam sistem hukum negara tersebut. Nama lengkapnya habeas corpus ad subjiciendum (Latin) yang berarti "you may hold the body subject to examination." Habeas corpus (corpus ad subjiciendum) merupakan a writ atau surat perintah dari pengadilan untuk menguji kebenaran dari penggunaan upaya paksa (dwang middelen) baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat. Amerika Serikat mengadopsi konsep ini melalui Habeas Corpus Act of 1679 dan menjadi bagian penting dalam proses peradilan pidana Amerika.

Indonesia tidak mengadosi seluruh habeas courpus. Praperadilan sebagai perwujudannya hanya berperan sebagai hakim pengawas (examinating judge) yang kewenangannya terbatas pada pemeriksaan aspek formalitas yaitu sah-tidaknya syarat-syarat formil dilakukannya upaya paksa oleh polisi atau jaksa. Pemeriksaan terbatas pada sah tidaknya penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat. Praperadilan tidak berperan sebagai hakim investigasi (investigating judge) untuk melakukan pemeriksaan substansi perlu tidaknya upaya paksa dilakukan. Pada praperadilan ini, hakim bersifat pasif tidak dapat memeriksa dan memutus tanpa adanya pemohonan dari tersangka, keluarga atau kuasanya, penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga.

Perlindungan Tersanka dalam Tradisi Common Law dan Civil Law

Keterbatasan Praperadilan, mendorong dihidupkannya konsep hakim komisaris (rechters commisaris) dalam RUU KUHP untuk mengganti Praperadilan. Konsep ini mengadopsi tradisi negara civil law khususnya rechters commisaris di Belanda. Konsep hakim komisaris memberi peran aktif pada hakim baik sebagai hakim pengawas (examinating judge) maupun sebagai hakim investigasi (investigating judge) untuk melakukan pemeriksaan perlu tidaknya upaya paksa. Di Perancis, model demikian hampir sama dengan konsep le juge d’ instruction. Hakim melalui le juge d’ instruction berwenang memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti lainnya serta dapat membuat berita acara pemeriksaan, melakukan penahanan, penyitaan, bahkan menentukan apakah cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan.

Baik tradisi common law maupun civil law mengenal peran hakim dalam proses praajudikasi (sebelum sidang). Tujuan hakim komisaris (rechters commisaris ) dan Praperadilan (Habeas corpus) sama yaitu melindungi hak tersangka, tetapi dalam pijakan yang berbeda. Habeas corpus beranjak dari pemberian hak pada tersangka untuk mengajukan keberatan ke pengadilan atas upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan. Sementara itu, Konsep hakim komisaris didasarkan pada hak yudikatif untuk melakukan kontrol terhadap eksekutif. Proses pemeriksaan hakim komisaris bersifat tertutup.

Dalam konteks transparansi proses peradilan, praperadilan memberikan jaminan dan perlindungan pada tersangka untuk melakukan keberatan terhadap upaya paksa baik dalam proses penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan. Akan tetapi, dalam praktiknya, pemberian hak pada tersangka sering tidak digunakan. KUHAP memberikan hak pada tersangka tapi tidak disertai dengan memberikan kewajiban pada negara agar hak tersebut dapat terpenuhi. Tidak banyak tersangka dan keluarga menggunakan hak untuk melakukan praperadilan. Hanya perkara besar dan orang tertentu yang menggunakan hak melakukan keberatan terhadap upaya paksa melalui pranata praperadilan. Pada kondisi demikian, hakim komisaris mempunyai peran penting untuk melakukan kontrol terhadap tindakan paksa yang dilakukan penyidik dan penuntut umum.

Baik konsep Habeas corpus (praperadilan) maupun hakim komisaris (rechters commisaris mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Politik hukum pidana selanjutnya menentukan pilihan mana yang lebih memungkinkan untuk di terapkan di Indonesia.

Representasi Masyarakat melalui Grand Jury

Dalam tradisi common law, masyarakat dapat terlibat langsung dalam proses peradilan pidana melalui grand jury. Grand jurors (anggota grand jury) berasal dari masyarakat. Meski berasal dari konsep jury system, tetapi grand jury berbeda dengan juri dipersidangan (petit jury). Grand jury tidak menentukan salah atau tidak bersalahnya seseorang. Grand jury hanya bertugas menentukan adanya probable cause (bukti permulaan) terjadinya suatu tindak pidana berat (felony) dengan ancaman pidana satu tahun atau lebih atau hukuman mati serta menentukan adanya seseorang telah melakukan tindak pidana berat tersebut.

Grand jury mempunyai kewenangan memanggil saksi-saksi untuk memastikan telah terjadi sebuah tindak pidana. Ketika grand jury percaya bahwa suatu tindak pidana telah terjadi maka mereka akan mengeluarkan sebuah indictment atau presentments yaitu documents atau rekomendasi tentang adanya cukup bukti bahwa seseorang telah melakukan sebuah tindak pidana. Akan tapi, jika grand jury tidak menemukan cukup bukti maka, grand jury dapat menyatakan "no true bill."

Ditinjau dari aspek sejarah, pada saat Amerika Serikat berdiri, sistem jury diadopsi sebagai bagian dari sistem pemerintah. Hal ini dilakukan karena satu alasan utama yaitu the Founders tidak percaya pada hakim, penuntut, penyidik dan aparat hukum lainnya. Sistem jury termasuk grand jury diadakan untuk memberikan perlindungan dan tegaknya hak asasi dan konstitusi Amerika Serikat. Karena hal tersebut, perlu ada representasi dari masyarakat untuk ikut mengkontrol proses peradilan pidana. Di Los Angeles, misalnya, setiap tahun dilakukan pemilihan dua calon grand jurors yang berasal dari masyarakat. Tujuan utama merekrut grand juror dari masyarakat adalah untuk merepresentasikan berbagai budaya, etnik, dan kehidupan serta untuk merefleksikan berbagai kepentingan dan keinginan masyarakat Los Angeles.

Di Indonesia, mengadopsi konsep grand jury dalam KUHAP bukanlah hal muda. Konsep Grand jury yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Pada sisi lain, kekakuan sebagian pengambil kebijakan terhadap penerapan tradisi civil law system secara mutlak menjadi kendala untuk menyerap konsep-konsep common law dan konsep lain dalam KUHAP. Kendala lain adalah munculnya "perlawanan" dari subsistem lama dalam sistem peradilan pidana. Penerapan konsep grand jury yang merepresentasikan masyarakat dalam dalam proses peradilan dengan sendirinya akan mengurangi kewenangan lembaga lain.

Sebagai penutup, Apapun bentuk perubahan undang-undang, penegakan hukum akan lebih baik dengan polisi, jaksa, hakim, hakim komisaris yang baik meski undang-undang jelek. Meminjam ungkapan Taverne (1876), "Geef me, goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitie en goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken".




----------



-------------
Artikel Lain

* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------

Thursday, January 22, 2009

POKOK-POKOK PIKIRAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

Oleh : Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH.




I. PENDAHULUAN

Pada kesempatan sosialisasi tahap pertama ini ada enam bab yang akan dibicarakan, yaitu Bab I sampai dengan Bab VI. Bab I mengenai Ketentuan Umum yang berisi pengertian istilah. Bab II mengenai Penyidik dan Penuntut Umum. Bab III mengenai Penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat. Bab IV tentang tersangka dan terdakwa. Bab V tentang bantun hukum dan terakhir Bab VI mengenai sumpah atau janji.
Sosialisasi tahap kedua membicarakan Bab VII sampai dengan Bab XIII. Bab VII mengenai wewenang pengadilan untuk mengadili, Bab VIII mengenai Tindak Pidana yang dilakukan oleh seorang sipil bersama anggota TNI dan Bab IX mengenai Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Bab X mengenai Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian, Bab XI mengenai Penyidikan dan, Bab XI mengenai Pengadilan. Bab XII mengenai Penuntutan dan Bab XIII mengenai Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.
Sosialisasi tahap ketiga membicarakan Bab XIV sampai dengan Bab XIX. Bab XIV mengenai Upaya Hukum Biasa, Bab XV mengenai Upaya Hukum Luar Biasa dan Bab XVI mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Bab XVII mengenai Pengawasan dan pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, Bab XVIII mengenai Ketentuan Peralihan dan Bab XIX mengenai Ketentuan Penutup.
Menyangkut pengertian istilah ada beberapa hal yang telah diperbaiki, misalnya tentang pengertian penuntutan, karena penuntutan itu tidak hanya perbuatan melimpahkan perkara ke pengadilan oleh penuntut umum, tetapi menyangkut kebijakan penuntutan, apakah suatu perkara dituntut ataukah tidak. Jika tidak dituntut sedangkan cukup bukti berarti penerapan asas oportunitas, yang bisa dengan suatu syarat ataukah tanpa syarat. Jadi, system acara pidana kita mengenai penyampingan perkara demi kepentingan umum yang dapat dilekatkan suatu syarat. Misalnya, tidak dituntut tetapi harus membayar sejumlah uang sebagai ganti kerugian. Dunia mengenal penerapan asas oportunitas dengan syarat, yang di Indonesia juga dilakukan dengan nama schikking. Ini berarti penuntutan artinya luas, bisa pengadilan bisa juga penyelesaian di luar pengadilan. Istilah yang dipakai ialah “the public prosecutor may decide-conditionally or un conditionally – to make prosecution to court or not”.
Di dalam pengertian istilah ini sudah dimasukkan pula pengertian hakim komisaris menyangkut hal-hal baru mengikuti perkembangan zaman seperti penggantian lembaga praperadilan menjadi hakim komisaris dengan wewenang yang lebih luas dan konkret.
Sebenarnya dalam rancangan KUHAP dulu yang diilhami oleh Prof. Oemar Seno Adji, sudah dicantumkan lembaga hakim komisaris itu. Namun mungkin dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan sektoral yang marak pada zaman Orde Baru, maka lembaga itu diganti dengan praperadilan yang wewenangnya sangat minim. Hakim komisaris ini diartikan “pejabat yang diberi wewenang mengawasi jalannya penyidikan dan penuntutan dan wewenanng lain yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Disamping itu dilakukan perbaikan-perbaikan redaksional yang selaras dengan doktrin ilmu hukum acara pidana dan hukum pidana. Ada beberapa rumusan yang tidak sesuai dengan doktrin hukum pidana dan hukum acara pidana, misalnya saja tentang pengertian putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Begitu pula tentang putusan hakim yang dapat dibanding, dikasasi dan ditinjau kembali. Yang belum masuk ke dalam daftar pengertian istilah, tetapi berada di belakang.
Ada pula yang belum diatur sama sekali, misalnya dalam hal apa tuntutan jaksa tidak dapat diterima. Dalam pengaturan PK muncul jenis putusan “tuntutan penutut umum tidak dapat diterima,” padahal di bagian depan sama sekali tidak diatur kapan tuntutan penuntut umum dapat diterima. Pada saat hakim menerima berkas perkara dari penuntut umum sebenarnya harus diteliti terlebih dahulu apakah cukup alasan untuk menyidangkan perkara tersebut. Jika misalnya suatu delik aduan diajukan oleh penuntut umum tetapi tidak disertai dengan surat pengaduan, maka mestinya langsung hakim mengeluarkan penetapan “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”. Hal yang sama jika perkara itu berlaku neb is in idem, perkara telah verjaard, yang didakwakan penuntut umum bukan tindak pidana, dan seterusnya.
Ada pula perubahan yang sebenarnya sama dengan Rancangan KUHAP dulu namun PANSUS di DPR pada waktu itu kurang mengetahui tentang perkembangan hukum acara pidana, tanpa studi banding sebelumnya, sehingga tercantum dalam rancangan tersebut, yang disusun oleh Prof. Oemar Seno Adji yang kaya akan literatur hukum pidana dan acara pidana, tidak dapat dimengerti atau disalah mengerti sehingga diubah sesuai dengan feeling semata, tanpa dicek secara akademik, misalnya tentang alat-alat bukti tetap mengikuti HIR yang kuno itu.

II. PEMBAHASAN
A. Bab I sampai dengan Bab VI
1. Pengertian penuntutan sudah diubah sehingga meliputi kebijakan penentuan untuk menuntut atau tidak menuntut baik dengan syarat maupun tanpa syarat.
2. Beberapa pengertian istilah dapat dibicarakan dalam kesempatan sosialisasi ini.
3. Rumusan tentang penyidik lebih dirinci sebagaimana tertera dalam usulan saya pada pasal 6 karena pejabat Pegawai Negeri Sipil itu bermacam-macam termasuk KPK yang wewenangnya sangat luas begitu pula Jaksa yang menyidik tindak pidana korupsi, ekonomi dan pelanggaran HAM. Tentang penuntut umum dengan sendirinya harus disesuaikan dengan pengertian istilah dan lagi pula penuntut umum bukan saja melaksanakan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi juga pelaksanaan penetapan hakim.

Menyangkut Bab III khususnya tentang penahanan, yang sejak HIR sampai KUHAP sekarang membagi tentang sahnya penahanan dan perlunya penahanan (rechtvaardigheid dan noodzakelijkheid). Sahnya penahanan bersifat obyektif dan pasti sedangkan perlunya penahanan bersifat subyektif dan tergantung yang berwenang menahan. Kapan ada tanda-tanda orang akan melarikan diri, kapan ada tanda-tanda akan mengulangi perbuatan dan kapan ada tanda-tanda akan mempersulit pemeriksaan (menghilangkan barang bukti) ditentukan oleh yang melakukan penahanan. Sedangkan sahnya penahanan sudah pasti, yaitu delik yang diancam pidana lima tahun lebih (di Nederland empat tahun atau lebih, yang rupanya berpatok pada delik pencurian yang ancaman pidananya empat tahun penjara). Kemudian, ada delik yang diancam pidana di bawah lima tahun tetapi dapat dilakukan penahanan, namun disebut satu persatu di dalam KUHAP. Pasal-pasal itu perlu diubah sesuai dengan pertimbangan khas Indonesia dan dengan sendirinya nomornya harus menunggu KUHP (diselelaraskan dengan Rancangan KUHP).
Di Nederland ditambahkan delik yang dapat ditahan termasuk pelaku delik yang diancam pidana di bawah empat tahun, tetapi orangnya tidak mempunyai tempat kediaman tetap, sehingga sah untuk ditahan. Ini perlu ditiru, karena gelandangan di Indonesia jauh lebih banyak dari pada di Nederland. Tidak mungkin untuk dipanggil menghadap ke pengadilan jika tempat kediaman terdakwa tidak diketahui. Pasal 284 KUHP (permukahan) perlu dimasukkan sebagai delik yang sah untuk ditahan, karena kondisi beberapa daerah yang sangat membahayakan jika tersangka permukahan tidak ditahan, seperti di Aceh, Sulawesi Selatan, Madura dll.
Tentang penyitaan harus dimasukkan sebagai salah satu wewenang Hakim Komisaris, yang sekarang menurut KUHAP tidak masuk wewenang praperadilan. Pengertian surat juga perlu diperluas sehingga meliputi surat eletronik, fax, internet dst.
Tentang Bab VI hak tersangka dan terdakwa perlu dipikirkan untuk menampung tindak pidana terorisme, yang hak-haknya dibatasi, misalnya berlaku asa inquiaitoir bukan accusatoir terhadap para pelaku terorisme.
Belanda tidak mempunyai undang-undang khusus mengenai terorisme, namun sejak dulu bagi delik politik berlaku asas inquisitoir bukan accusatoir.
Tentang bantuan hukum perlu ditinjau kembali ketentuan dalam Undang-undang advokat, yang memberi monopoli kepada advokat untuk memberi nasehat hukum, bahkan dengan ancaman pidana kepada orang yang memberi nasehat hukum tetapi tidak berkedudukan sebagai advokat. Misalnya harus diberi ruang secara insidental untuk seseorang tersangka atau terdakwa untuk menunjuk keluarganya atau sahabatnya untuk memberi bantuan hukum secara Cuma-Cuma. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia untuk menunjuk seseorangt untuk menjadi penasehat hukumnya secara insedental. Misalnya tersangka yang tersangkyut perkara pidana sedangkan dia mempunyai sauadar yang pakar hukum pidana, dapat saja secara insedental menunjuk sauadaranya tersebut, sebagai penasehat hukumnya.
Menyangkut sumpah palsu perlu diperhatikan hukum pidana materiel yang tidak mengenal percobaan bersumpah palsu, artinya jika seseorang telah memberikan keterangan tidak benar, namun pada pemeriksaan berikutnya dia memperbaiki keterangannya, tidak dapat dituntut telah mencoba bersumpah palsu. Rasio atau dasar filosofinya ialah agar orang diberi kesempatan untuk memberikan keterangan yang benar, mengoreksi keterangan sebelumnya, demi mencari kebenaran materiel.

B. Bab VII sampai dengan Bab XIII
Bab VII yang mencantumkan Hakim Komisaris merupakan hasil perubahan Praperadilan. Mengapa kami merubah Praperadilan menjadi Hakim Komisaris, akan kami jawab dalam sosialisasi ini. Praperadilan menurut pendapat kami (penyusun) kurang efektif untuk mengawasi proses pengenaan upaya paksa terutama penahanan, bahkan samasekali tidak menyebut tentang penyitaan.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara Praperadilan dan Hakim Komisaris. Antara lain :
1. Praperadilan masih menempel pada Pengadilan Negeri, yang secara kasus demi kasus Ketua Pengadilan Negeri menunjuk seorang hakim Pengadilan Negeri untuk memutus suatu perkara yang diajukan. Jadi, tidak ada sidang Praperadilan tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan Praperadilan. Hakim yang ditunjuk itu tetap masih “hakim palu”. Sedangkan dalam hal Hakim Komisaris hakimnya akan lepas dari Pengadilan Negeri dan bersifat permanen. Artinya hakim pengadilan negeri yang diangkat menjadi Hakim Komisaris, akan lepaskan palunya selama menjabat Hakim Komisaris dalam jangka waktu dua tahun. Setelah melewati jangka waktu dua tahun, dia akan kembali ke Pengadilan Negeri darimana dia berasal dan menjadi hakim palu kembali. Sebagai variasi dari Hakim Komisaris di Nederland, maka kami mengusulkan juga agar orang yang non hakim tetapi menguasai hukum acara pidana dan hukum pidana, seperti jaksa, pengacara senior dan dosen hukum pidana dan acara pidana dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris. Melalui suatu proses tertentu seperti fit and proper test. dll. Yang aturannya akan dicantumkan dalam suatu Peraturan Pemerintah, bahkan ada yang mengusulkan agar dibuat suatu undang-undang tersendiri mengenai tata cara pengangkatan Hakim Komisaris itu. Hakim Komisaris akan bertindak dengan atau adanya suatu tuntutan. Jadi, akan meneliti semua penahanan yang dilakukan oleh penyidik maupun oleh jaksa baik secara formel maupun secara materiel. Sekarang ini, Hakim Praperadilan hanya memeriksa secara formel saja tidak secara materiel. Artinya, jika seorang ditahan berdasarkan delik penipuan (Pasal 378 KUHP) dan dituntut bahwa penahanan itu tidak sah, maka hakim akan melihat apakah Pasal 378 KUHP itu sah untuk dilakukan penahanan kepada tersangka atau terdakwa berdasarkan Pasal 21 KUHAP. Oleh karena Pasal 378 KUHP memang tercantum didalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP butir b, maka Hakim Praperadilan menyatakan tuntutan ditolak. Sedangkan dalam hal Hakim Komisaris, dia akan memeriksa resume perkara yang dilampirkan oleh pejabat yang melakukan penahanan, dan akan memeriksa apakah benar secara materiel tersangka atau terdakwa melanggar pasal itu. Jika ternyata kurang bukti untuk itu, maka Hakim Komisaris akan meminta agar tersangka atau terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan.
2. Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam Pasal 72 jelas lebih luas dari pada wewenang Hakim Praperadilan. Bukan saja tentang sah tidaknya penangkapan, penahanan, tetapi juga penyitaan, begitu pula tentang penghentian penyidikan dan penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas. Asas oportunitas memang memberi wewenang kepada Jaksa Agung (kami mengusulkan kepada semua jaksa) untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Juga diatur tentang pelampauan batas waktu penyidikan dan penuntutan. Begitu pula pembatasan hak tersangka atau terdakwa yang dapat diperiksa tanpa didampingi oleh penasehat hukum, misalnya dalam kasus terorisme. Saling mempraperadilkan antara polisi dan jaksa di hapus karena tidak logis. Kedua instansi itu merupakan satu kesatuan dalam pemeriksaan pendahuluan.
3. Hakim Komisaris juga memutus tentang ganti kerugian dan rehabilitasi.
4. Dalam pasal 74 diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh Hakim Komisaris sesuai dengan asas peradilan cepat.
5. Ditegaskan pula di dalam Pasal 74 butir e, bahwa putusan hakim komisaris tidak dapat dibanding maupun dikasasi. Berbeda dengan praktek sekarang yang ada putusan Praperadilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah Agung menerima.
6. Hakim Komisaris berbeda dengan Hakim Praperadilan yang berkantor di Pengadilan Negeri, dia berkantor di (atau dekat) RUTAN, agar mudah berkomunikasi dengan tahanan tanpa tahanan itu dapat melarikan diri.
7. Ini berarti bahwa pada setiap ada RUTAN ada Hakim Komisaris yang memutus seorang diri.

Menyangkut Bab VIII mengenai Konektitas, perlu ditunda pembahasannya, karena ada kecenderungan sekarang untuk menentukan agar militer yang melakukan delik umum (bukan delik militer) diadili oleh pengadilan umum sebagaimana berlaku di Malaysia dan Singapura. Jika itu terjadi, maka dengan sendirinya tidak ada masalah koneksitas karena keduanya akan diadili oleh Pengadilan Negeri.
Menyangkut Bab IX tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi tidak ada perubahan berarti dari KUHAP yang sekarang.
Menyangkut Bab X tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian perlu disosialisasikan dengan baik, karena kelihatanya sekarang ketentuan ini tidak jalan dalam praktek. Hampir tidak ada jaksa penuntut umum yang menuntut kepada hakim agar di samping menjatuhkan pidana dan tindakan, juga menjatuhkan sanksi perdata berupa ganti kerugian, padahal ini penting sekali dalam rangka asas peradilan cepat. Ketentuan itu penting sekali untuk menghindari proses gugatan perdata yang bertele-tele.

C. Bab XVI sampai dengan Bab XIX
1. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa tercantum di dalam BAB XVII KUHAP. Upaya hukum yang pertama, yaitu upaya hukum banding. Jika ditelaah Pasal 233 ayat (1) KUHAP dan dihubungkan dengan Pasal 67 KUHAP maka semua putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi dengan beberapa pengecualian. Di dalam Pasal 233 KUHAP itu disebut terdakwa yang mestinya terpidana. Hampir pasti orang yang telah diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum meminta banding. Pengecualian berdasarkan Pasal 67 KUHAP adalah :
1) Putusan bebas (vrijspraak).
2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum.
3) Putusan pengadilan dalam acara cepat (dahulu disebut perkara rol).

Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa dipakai istilah “kurang tepatnya penerapan hukum”, yang berarti jika penerapan hukum tepat dapat dimintakan banding ? Di dalam praktek HIR dulu putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat dibanding. Prinsip bahwa semua permintaan kasasi harus melalui dulu upaya hukum banding menyebabkan, bahwa putusan lepas dari segala tuntutan hukum itu harus dapat dibanding. Sesudah itu baru dapat dimintakan kasasi. Tidak seperti sekarang, putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dibanding tetapi dapat langsung dilakukan kasasi.
Lebih-lebih dengan kenyataan, bahwa adanya pendapat pakar hukum acara pidana Belanda yang dikembangkan juga di Indonesia, yaitu yang disebut bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) yang merupakan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (verkapte ontslag van rechtsvervolging). Yang artinya putusan hakim pengadilan negeri salah kualifikasi, yang mestinya diputus lepas dari segala tuntutan hukum diputus bebas. Oleh karena bebas tidak murni di Belanda dapat dibanding dan di Indonesia dapat langsung dikasasi, maka terjadilah spekulasi, yaitu hampir semua putusan bebas dikasasi dengan alasan bebas tidak murni. Salah satu penyebabnya ialah kurang dipahaminya kapan sesuatu putusan harus berupa bebas dan kapan berupa lepas dari segala tuntutan hukum. Jika tindak pidana yang didakwakan jaksa tidak terbukti dan meyakinkan hakim maka putusannya bebas. Jika tindak pidana yang didakwakan jaksa terbukti (actus reus) tetapi ada dasar peniadaan pidana, maka putusannya lepas dari segala tuntutan hukum. Perlu dipikirkan untuk memasukkan masalah bebas murni atau lepas dari segala tuntutan hukum terselubung ini ke dalam penjelasan KUHAP. Di Nederland hal ini tidak perlu dimasukkan, karena semua hakim dan jaksa telah mengetahui persis masalah ini dalam pendidikan pembentukan hakim dan jaksa yang terpadu.


KASASI
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis, kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Semula berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut Conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Perancis, dibentuklah suatu badan hukum yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum. Jadi merupakan badan antara yang menjebatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman.
Pada tanggal 21 Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de Cour de cassation telah terorganisasi dengan baik.
Kemudian lembaga kasasi ditiru pula di negeri Belanda yang pada gilirannya di bawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang menafsirkan secara sempit ialah D. Simon yang mengatakan jika hakim memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman. Dalam arti luas misalnya jika hakim Pengadilan Tinggi memutus padahal hakim pertama telah membebaskan.
Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
Kemudian dalam perundang-undangan Belanda, tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu :
1) apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim);
2) peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya;
3) apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang-undang.

2. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa tercantum di dalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri dari dua bagian, yaitu Bagian Kesatu Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Bagian Kedua Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Bagian Kesatu terdiri atas 4 pasal saja, yaitu Pasal 259 sampai dengan Pasal 262.

Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi Kepentingan Hukum
Dalam peraturan lama kasasi demi kepentingan hukum ini telah diatur bersama kasasi biasa dalam satu pasal, yaitu Pasal 17 Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950) yang mengatakan bahwa kasasi dapat dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan atau permohonan Jaksa Agung karena jabatannya, dengan pengertian bahwa kasasi atas permintaan Jaksa Agung hanya semata-mata untuk kepentingan hukum dengan tidak dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. Jadi hanya dibedakan kasasi pihak dan kasasi karena jabatan Jaksa Agung. Kasasi karena jabatan inilah yang sama dengan kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya hukum luar biasa menurut KUHAP.
Menurut Pasal 259 ayat (1) KUHAP, Jaksa Agung dapat mengajukan satu kali permohonan kasasi terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, demi kepentingan hukum.
Terhadap perkara yang bagaimana dan dengan alasan apa yang dapat dikemukakan oleh Jaksa Agung untuk mengajukan suatu permohonan kasasi demi kepentingan hukum tidak diatur baik di dalam KUHAP maupun PP Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP tersebut.
Jadi rupanya pembuat undang-undang menyerahkan masalah itu kepada pertimbangan Jaksa Agung sendiri.
Para penulis mengatakan bahwa sebagai upaya hukum luar biasa, kasasi demi kepentingan hukum itu maksudnya ialah untuk mencapai kesatuan penafsiran hukum oleh pengadilan. Apabila sesuatu meragukan atau dipermasalahkan diserahkan kepada Mahkamah Agung untuk memutuskan, maka putusan Mahkamah Agung itu diambil oleh hakim yang lebih rendah sebagai pegangan.
Bagi terdakwa hal ini sama sekali tidak membawa pengaruh, jadi betul-betul hanya untuk kepentingan teori belaka, tidak akan merugikan terdakwa (Pasal 259 KUHAP).
Kasasi demi kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak ada upaya hukum biasa yang dapat dipakai. Permohonan Kasasi diajukan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama, disertai risalah yang menjadi alasan, kemudian panitera meneruskan kepada yang berkepentingan (Pasal 260 KUHAP). Salinan keputusan Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan, disertai berkas perkara (Pasal 261 KUHAP). Ketentuan tentang kasasi demi kepentingan hukum bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum berlaku juga bagi peradilan militer (Pasal 262 KUHAP).
Jadi, pada umumnya sama saja dengan kasasi biasa, kecuali dalam kasasi demi kepentingan hukum pengacara tidak dilibatkan. Catatan 1
Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi demi kepentingan hukum, maka Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang lebih rendah, dan dengan demikian terjawablah keragu-raguan atau hal yang dipermasalahkan itu.

Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Sebelum berlakunya KUHAP, belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Undang-Undang tentang Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 21 hanya menyebut kemungkinan peninjauan kembali, tetapi pelaksanaannya sesuai dengan undang-undang. Semula dikeluarkan peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 tanggal 19 Juli 1969 yang memungkinkan diajukan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 18 Tahun 1969 tanggal 23 Oktober 1969, menunda berlakunya peraturan Mahkamah Agung tersebut dengan alasan masih diperlukan aturan lebih lanjut misalnya mengenai biaya perkara yang memerlukan persetujuan Menteri Keuangan. Kemudian dengan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1971, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 dan surat edaran tersebut dicabut, dan ditentukan bahwa peninjauan kembali mengenai perkara perdata dapat diajukan request civiel, dengan bercermin kepada Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering, sedangkan mengenai perkara pidana tidak dapat diajukan karena belum ada undang-undangnya.
Barangkali karena terjadinya kasus Karta dan Sengkong yang sangat menghebohkan, maka Mahkamah Agung setelah mengadakan rapat kerja dengan DPR tanggal 19 November 1980, memberanikan diri mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatur kemungkinan mengajukan peninjauan kembali putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap baik perkara perdata maupun pidana. Mengenai perkara pidana diatur dalam Pasal 9, yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengandung pemidanaan, dengan alasan :
1. apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi satu sama lain bertentangan;
2. apabila terdapat suatu keadaan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.

Dibanding dengan ketentuan KUHAP yang tersebut pada Pasal 262 ayat (2) KUHAP, maka terlihat keduanya hampir sama. Ketentuan dalam KUHAP itu menyatakan :
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai keputusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kemudian, ayat (3) Pasal 273 KUHAP tersebut mengatakan bahwa atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Menurut pendapat penulis, ini hanya berarti untuk rehabilitasi nama terdakwa belaka.
Dalam Pasal 266 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dapat berupa :
1) putusan bebas;
2) putusan lepas dari segala tuntutan;
3) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4) putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Suatu ketentuan yang tercantum di dalam ayat (3) Pasal 266 KUHAP tersebut yang menyatakan pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula, menurut pendapat penulis berkelebihan, dalam ayat (2) pasal itu yang telah disebut di muka, telah jelas putusan yang dijatuhkan yang limitatif itu.
Sebagaimana penulis telah kemukakan tentang ganti kerugian, ketentuan tentang peninjauan kembali suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tersebut di dalam KUHAP, tidak diikuti dengan peraturan tentang ganti kerugian yang semestinya mengikuti putusan Mahkamah Agung tentang pembatalan putusan. Dalam sistem ganti kerugian yang dianut di negara-negara lain seperti Belanda, ganti kerugian yang dianut di negara-negara lain seperti Belanda, ganti kerugian setelah peninjauan kembali (herziening) itu bersifat imperatif berbeda dengan ganti kerugian yang tersebut dalam Pasal 81 dan 95 KUHAP (ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain) yang bersifat fakultatif. Penulis mengharapkan ketentuan tentang ganti kerugian sesudah peninjauan kembali (herziening) itu akan diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 1983, tetapi ternyata tidak demikian.
Kasus perkara yang paling banyak dihebohkan dan akhirnya diselesaikan melalui peninjauan kembali ialah perkara Sengkong bin Yakin dan Karta alias karung alias Encep bin Salam. Semula keduanya dipidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi masing-masing 12 tahun dan 7 tahun, karena dakwaan pembunuhan. Kemudian putusan Pengadilan Tinggi Bandung tetap memidana kedua terpidana seperti yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (Putusan No. Reg.38/1978/Pid/PTB).
Ternyata kemudian orang lain Gunel bin Kuru, Siih bin Siin dan Warnita bin Jaam dipidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan perbuatan yang sama dengan putusan tanggal 15 Oktober 1980 No. 6/1980/Pid/PN.BKS dan kemudian lagi Elli bin Senam, Nyamang bin Naing, M. Cholid bin H. Nair, dan Jobing bin H. Paih diputus dan dipidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 13 November 1980 No. 7/1980/Pid/PN.BKS.
Kesimpulan tertulis Jaksa Agung tanggal 22 Januari 1981 mengusulkan agar Sengkong dan karta dibebaskan. Dan dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 24 januari keduanya dibebaskan.

3. Kesimpulan
Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini bermaksud untuk memperoleh bahan seluas-luasnya, sehingga Hukum Acara Pidana yang akan datang lebih sempurna daripada yang sekarang. Semua pihak dapat ikut serta memberi pandangan, asal saja tidak keluar dari sistem hukum yang berlaku. Asas legalitas bukan saja harus tercantum dalam hukum pidana materiel, tetapi juga dalam hukum pidana formil, artinya tidak ada proses acara yang berjalan di luar jalur undang-undang yang berlaku.
Hakim Komisaris yang merupakan lembaga baru menggantikan Praperadilan, perlu dibahas mendalam agar tidak ada kesenjangan peraturan yang terjadi. Perlu studi banding ke Nederland dan atau Perancis untuk melihat efektivitas Hakim Komisaris di sana.


Catatan 1 A. Minkenhof, halaman 305.


Sumber : http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+2&f=pokok_pokok_pikiran_ruu_hap.htm#Footref1



----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------







PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...