Tuesday, June 19, 2007

Pergeseran Makna Terorisme

M Jodi Santoso

Satu hal yang perlu diingat dalam mengkaji terorisme adalah adanya perbedaan sudut pandang tentang terorisme. Muncul adagium “today’s terrorist is tomorrow’s statesman” or that “one man’s terrorist is another’s freedom fighter”. Charles W. Kegley Jr. dalam buku Internasional Terrorism: Characteristics, Causes, Control, mengatakan : “Therefor, it is believed that there is no single definition of terrorism that can posibly cover all the varieties of terrorism that have appeared throughout history.”

Dalam perspektif psico sosial, terorisme merupakan gejala sosial yang kompleks. Sudut pandang dan kepentingan para pihak larut dalam memaknai terorisme. Pemaknaan dari sudut pandang yang berbeda tersebut yang menyebabkan terjadinya pergeseran makna terorisme dari masa kemasa. Terorisme pada awal kemunculannya berkonotasi positif, kini menjadi sebuah kejahatan berat dan kejahatan terhadap kemanusian (crime againt humanity).

Istilah teror (isme), pertama kali, populer pada masa Revolusi Perancis (1789-1794). Akan tetapi, praktik terorisme itu sendiri terjadi jauh sebelumnya. Dalam catatan sejarah, terorisme telah dipraktikkan manusia sejak zaman Yunani kuno. Xenophon (431-350 SM) misalnya, menuliskan dalam bukunya tentang terorisme dalam term "perang psikologis" untuk menaklukkan musuh. Pada awal abad masehi tercatat nama Kaisar Rome Tiberius (14-37) dan Caligula (37-41) yang melakukan terorisme terhadap lawan-lawan politiknya.

Aksi teror juga dilakukan Zealot (hidup pada 66-73 M), sebuah organisasi partai politik yang beroposisi dengan pemerintahan Herodes yang menentang penjajah Roma. Mereka menuntut kemurnian religius dan menentang segala tindakan asusila dan tindakan yang bersifat anti Yahudi. Mereka menggunakan pisau kecil yang disebut sica yang disembunyikan di balik jaket. Dengan senjata sica tersebut, aksi Zealot sering disebut Sicarii. Aksi sicarri dilakukan dengan cara bercampur orang-orang dipasar. Jika mereka melihat suatu pelanggaran mereka langsung mengambil pisau dan menikam si pelanggar. Metode yang mereka gunakan adalah praktek pembunuhan teroganisir di zaman kuno. Tindakan ini bersifat acak dan menimbulkan ketakutan masyarakat. Motivasi kelompok Zealot adalah agama dan didukung oleh kitab suci.

Teror sebagai sebuah aksi yang sistematis dikenal sejak Revolusi Perancis (1789-1794). Pada masa itu, muncul apa yang dikenal dengan French Revolution’s terrorism atau regime de la terreur pimpinan Maximilien Robespierre. Regime de la terreur digunakan sebagai instrumen untuk mendirikan Revolusionary State yaitu membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik. Selain mempunyai kaitan erat dengan revolusi, Maximilien Robespierre, sang pemimpin gerakan, mengaitkan teror dengan kebaikan (virtue) dan demokrasi (democracy). Robespierre menyebutkan : virtue, without which terror is evil; terror, without which virtue is helpless. … terror is nothing but justice, prompt, severe and inflexible; its therefore an emanation of virtue.

Terdapat dua karakteristik utama dari French Revolution’s terrorism. Pertama, regime de la terreur tidak dilakukan dengan acak random dan tidak juga indiskriminasi (neither random nor indiscriminate), tetapi dilakukan secara terorganisir (organized), terarah dan berhati-hati (deliberate), serta sistematis (systematic). Karakteristik ini yang membedakan regime de la terreur dengan aksi terror yang digambarkan saat ini. Kedua, tujuan French Revolution’s terrorism (regime de la terreur) adalah untuk membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik (a new and batter society).

Pertengahan abad ke-19, di Eropa, revolusi Perancis mengilhami munculnya sentimentil anti monarki (anti penguasa). Pada abad ini, muncul aksi era terorisme baru di mana terorisme dikonotasikan dengan gerakan anti pemerintahan. Aksi-aksi teror digunakan sebagai taktik untuk menggulingkan orang-orang berkuasa. Carlo Pisacane, seorang extrim Republika Italia, melakukan gerakan revolusioner yang disandarkan pada teori “the propaganda by deed”.

Hingga menjelang perang dunia I, terrorisme berkonotasi revolutioner. Bersamaan dengan perang dunia II dan semangat pergerakan kemerdekaan, penggunaan istilah teorisme digunakan dalam perspektif berbeda. Pertama, teroris dikonotasikan dengan gerakan revolusioner. Dan, kedua, mengacu pada pemberontakan yang dilakukan kaum nasionalis/anti-colonialis. Konotasi kedua memicu ketidaksenangan para pejuang kemerdekaan (negara dunia ketiga) dengan stigma teroris. mereka dengan tegas menolak stigma teroris yang melekat pada mereka. Bagi mereka (pejuang kemerdekaan) berjuang untuk kemerdekaan dan kebebasan demi tanah air dari penjajahan bukan terorisme tetapi freedom fighters.

Pada awal tahun 1990, muncul istilah narco terrorism dan istilah gray area phenomenon. Istilah Pertama muncul bersamaan dengan gerakan sekelompok orang dengan motivasi ekonomi yang bergelut dalam peragangan obat terlarang. Narco terrorism muncul akibat pertemuan antara penjualan obat terlarang dengan penjualan senjata. Sedangkan istilah gray area phenomenon digunakan pada gerakan yang mengancam stabilitas nasional oleh orang atau kelompol bukan negara.


Category : Article, Advocacy, Totorial,





Artikel Lain

*CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)
* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia*
1. Terorisme dalam Peradilan Pidana
2. Pergeseran Makna Terorisme
3. Kerahasiaan Data PPATK
4. Panwas (dan) Pemilu
5. Sistem Hukum Indonesia
6. Kegagalan SPP Anak
7. proses hukum dalam pemilu
8. KPK dan Korupsi
9. Bush Kebal Santet

.

No comments:

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...