Saturday, November 08, 2008

Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia




Oleh: Heru Susetyo *)


Pada pertengahan Juli 2008 publik Indonesia kembali tersentak. Eksekusi hukuman mati, yang diduga hanya sekedar gertakan, dan tak benar-benar dilaksanakan, ternyata betul-betul terjadi

Pada 19 Juli 2008, tiga terpidana mati, (Sumiarsih dan Sugeng) dieksekusi di Jawa Timur, dan satu lagi (Tubagus Maulana Yusuf alias Dukun Usep) dieksekusi di Lebak Banten. Uniknya, ketiga terpidana mati sebelumnya dipenjara dengan durasi yang sangat jauh berbeda. Sumiarsih dan Sugeng, Ibu dan Anak yang terlibat pembunuhan keluarga Letkol Purwanto pada 13 Agustus 1988, telah menjalani nyaris dua puluh tahun penjara, sebelum akhirnya dieksekusi. Sebaliknya, Dukun Usep, yang terbukti membunuh delapan orang klien-nya pada 2006 – 2007, baru menjalani satu tahun penjara saja sebelum akhirnya dieksekusi.



Sebelumnya, eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso pada bulan September 2006 lalu, mengagetkan dunia penegakan hukum Indonesia. Pasalnya, hukuman mati dan eksekusi mati biasanya terjadi untuk terpidana kasus narkoba seperti kasus Ayodhya Prasad Chaubey, terpidana mati kasus narkoba, yang telah dieksekusi pada 5 Agustus 2004 dan pembunuhan berencana, seperti kasus Ny. Astini, terpidana mati kasus pembunuhan dengan mutilasi, yang telah dieksekusi pada 20 Maret 2005. Namun, dalam kasus Tibo dkk, berlaku juga untuk pelaku kekerasan dalam konflik bernuansa SARA.



Semula, banyak pihak menduga bahwa hukuman mati hanya sekedar gertakan demi menimbulkan efek jera, dan tak pernah benar-benar dilaksanakan. Ada kesan telah tercipta moratorium (jeda eksekusi mati). Apalagi, banyak sudah terpidana mati di Indonesia namun tak semua benar-benar dieksekusi. Ada yang dirubah hukumannya menjadi seumur hidup, ada yang mendapat grasi presiden, ada yang kemudian bebas setelah menjalani hukuman penjara puluhan tahun. Sebaliknya, ada pula yang layak dihukum mati, semisal para koruptor kelas berat, namun masih saja bebas berkeliaran bahkan menghilang tak tentu rimbanya.



Eksekusi mati terhadap Sumiarsih dan Sugeng setelah mereka nyaris dua puluh tahun menjalani penjara dan terhadap Dukun Usep yang baru setahun dipenjara, menimbulkan pertanyaan legitimasi maupun manajemen (baca: hukum acara) eksekusi mati di Indonesia. Apakah eksekusi mati memang harus dilakukan dan memiliki legitimasi dalam sistem hukum Indonesia maupun hukum internasional? Pertanyaan kedua adalah, apakah memang terpidana mati harus menunggu sangat lama (death row) sebelum akhirnya benar-benar dieksekusi?



Menolak Eksekusi Mati

Kalangan yang tidak setuju dengan pidana mati beralasan bahwa hukuman mati adalah hukuman yang sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM), utamanya hak hidup. Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif terhadap masyarakat. Lalu, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur dieksekusi. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat pengadilan di Indonesia belum terbukti benar-benar bersih, independen, dan profesional.



Ada contoh menarik terkait eksekusi mati terhadap terpidana mati. Timothy McVeigh, mantan tentara AS veteran perang teluk, melakukan pemboman gedung FBI (Alfred P. Murrah Federal Buiding) di Oklahoma City-USA pada 19 April 1995. Ia kemudian dipidana mati dan akhirnya dieksekusi mati pada 11 Juni 2001. Kendati ia telah terbukti bersalah dan dituntut di sebelas negara bagian yang berbeda sebagai pelaku kejahatan yang menewaskan 168 jiwa, namun tak sedikit kalangan yang membelanya supaya dia tak dijatuhi hukuman mati. Menariknya, dari kalangan yang membela tersebut ada juga keluarga dari para korban pengeboman. Mereka mengatakan :”Dia (Tim Mc Veigh) memang telah melakukan kejahatan dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa. Namun, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang dilakukannya dengan mengambil nyawanya juga”.



Terkait dengan dasar hukum, legalitas penolakan terhadap hukuman mati datang dari beberapa instrumen HAM internasional antara lain: (1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, (2) Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty, (3) Protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1982 (European Convention on Human Rights), dan (4) Protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 2002 (European Conventon on Human Rights).


Dari empat instrumen di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional. Sedangkan ketiga instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki kekuatan secara hukum (entry into force) sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi oleh 50 negara dan ditandatangani oleh 7 negara lainnya (UNHCHR, 2006). Protokol ini mewajibkan bagi negara-negara yang telah meratifikasinya (state parties) untuk menghapuskan eksekusi dan hukuman mati dalam legislasi maupun dalam praktiknya.


Second Optional Protocol mendalilkan perlunya hukuman mati dihapus, dengan merujuk pada pasal 3 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi: "Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan (life, liberty, and security of person), juga pada pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR) yang berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak yang tak terpisahkan dan dilindungi oleh hukum, yaitu hak untuk hidup.


Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan hukuman mati (death penalty). Dari jumlah tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang (war time), dan 30 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik.


Sementara itu, 68 negara sampai kini masih memberlakukan hukuman mati dalam hukum nasionalnya. Di antaranya adalah Amerika Serikat (pada 37 negara bagiannya), Jepang, Korea (utara dan selatan), India, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.


Menurut catatan Amnesty lagi, selama tahun 2005 minimal 2148 terpidana telah dieksekusi di 22 negara dan 5186 lainnya telah divonis mati di 53 negara. Dari jumlah tersebut, 94% dari total eksekusi terjadi di empat negara saja, masing-masing China, Iran, Saudi Arabia, dan USA. Satu perkiraan kasar dari Mark Warren (Amnesty, 2006) menyebutkan bahwa total terpidana mati yang tengah menanti eksekusi di dunia berkisar antara 19.474 – 24.546 jiwa.



Mempertahankan Eksekusi Mati

Kendati hukuman mati telah ditolak oleh nyaris dua pertiga negara di dunia, tak urung masih ada sekitar 68 negara yang masih mempraktekkannya. Dari 68 negara tersebut, hanya Amerika bersama Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang tergolong negara 'maju', di samping beberapa negara petrodollar di Timur Tengah. Karena, selebihnya adalah negara-negara 'dunia ketiga.'



Sejak 1977, saat hukuman mati dihidupkan kembali di AS, tak kurang dari 820 jiwa telah dieksekusi. Pada 2002, sebanyak 71 jiwa telah dieksekusi. Kemudian, per 1 Januari 2002, sekitar 3.700 jiwa telah dijatuhi hukuman mati (belum dieksekusi). Hukuman mati masih berlaku di 37 negara bagian di AS.


Jepang bahkan memiliki kasus yang menarik. Bahwa seorang terpidana dijatuhi hukuman mati hanya karena menculik dan membunuh seorang gadis kecil bernama, Kaede Ariyama (7 tahun) pada November 2004 di daerah Nara. Kaoru Kobayashi, sang terpidana, divonis mati karena hakim berpendapat bahwa kejahatannya sangat sadis dan ia tak mungkin dapat direhabilitasi. Maka, tak mungkin menghentikan kejahatannya kecuali ia harus dipidana mati sebagai kompensasi kejahatannya ((Daily Yomiuri, 27 September 2006).


Di Indonesia sendiri, legalitas hukuman mati paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pasal pembunuhan berencana, Undang-Undang tentang Narkotika dan Psikotropika 1997, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 & 2001, UU Pengadilan HAM 2000 dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 2003.



Di level masyarakat Indonesia sendiri, hukuman mati tidak pernah menjadi isu yang sangat serius. Minimal sampai eksekusi mati Tibo dkk. Masih banyak praktek adat dan kebiasaan di beberapa masyarakat di Indonesia yang memang ‘mentolerir pengadilan jalanan’ sebagai bagian dari nilai budaya yang hidup. Juga, masih lekat pengaruh dari hukum agama, sebutlah hukum pidana Islam yang memang mengatur hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu (Hadd/Qishas). Kendati hukum pidana Islam bukanlah bagian dari hukum positif di Indonesia (terkecuali untuk Nanggroe Aceh Darussalam untuk sebagian wilayah pidana), namun sebagian masyarakat muslim menganggapnya sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.



Permasalahan muncul ketika pascareformasi 1998 Indonesia banyak melahirkan Undang-Undang bernuasan HAM, antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, dilanjutkan dengan ratifikasi terhadap dua Kovenan Internasional, masing-masing International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) pada tahun 2005. Mandat dari instrumen HAM tersebut (ICCPR) antara lain adalah negara harus menghargai hak hidup dan mewajibkan negara memiliki policy dan legislasi yang benar-benar melindungi hak hidup dan martabat kemanusiaan. Maka, kendati tidak secara eksplisit menyerukan hukuman mati, hadirnya instrumen tesebut semakin menegaskan kesenjangan yang terjadi dengan produk perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati.



Manajemen Eksekusi Mati

Merupakan tugas dari pembuat hukum dan pengambil kebijakan di negeri ini untuk meninjau kembali pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia. Apakah hukuman mati memang masih diperlukan di negeri ini? Bagaimanakah menyikapi kesenjangan yang terjadi antara perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati dengan instrumen HAM yang cenderung menghapuskan hukuman mati? Bagaimanakah meningkatkan kinerja, profesionalisme, dan independensi badan-badan peradilan sehingga dapat benar-benar menciptakan keadilan bagi masyarakat? Dan, akhirnya, bagaimanakah meningkatkan kesejahteraan rakyat secara umum melalui program-program pembangunan yang berkeadilan, sehingga, potensi rakyat untuk melakukan kejahatan akibat kemiskinan yang dideritanya dapat terus diminimalisir.



Selanjutnya, yang harus diperhatikan adalah memperbaiki manajemen dan hukum acara eksekusi mati di Indonesia. Mengapa harus memenjara orang hingga dua puluh tahun kalau akhirnya dieksekusi mati juga? Dan bukan hanya kasus Sumiarsih dan Sugeng. Sudah cukup banyak terpidana mati yang menunggu bertahun-tahun lamanya (death row) sebelum akhirnya dieksekusi mati. Harapan-harapan yang sempat dibangun oleh terpidana mati karena diperkenankan hidup puluhan tahun setelah jatuhnya vonis mati, pupus sudah. Sementara itu, puluhan lainnya yang sudah dijatuhi hukuman mati dan tengah menanti eksekusi mati ataupun tengah mengajukan upaya hukum lain (PK atau Grasi) menjadi semakin gelisah. Mereka telah ‘dieksekusi mati’ sebelum benar-benar dieksekusi mati.



Data Kejaksaan Agung RI tahun 2006 menyebutkan, pasca eksekusi Tibo dkk, jumlah seluruh terpidana mati di kejaksaan di seluruh Indonesia ada delapan puluh sembilan (89) orang dan yang sudah dinyatakan final serta berkekuatan hukum tetap (legally binding) ada delapan (8).



Perlu ada revisi mendasar terhadap hukum acara pidana mati. Selama ini, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) tahun 1981 dikenal adanya proses di pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri atau pengadilan militer), kemudian tingkat banding (pengadilan tinggi), tingkat kasasi di Mahkamah Agung, peninjauan kembali (PK) apabila ada alat bukti baru di Mahkamah Agung, dan akhirnya permohonan grasi kepada Presiden. Namun tidak pernah ada kejelasan berapa kali proses peninjauan kembali (PK) maupun permohonan grasi dapat dilakukan. Maka, perlu ada kejelasan ataupun amandemen terhadap hukum acara sejauh menyangkut pidana mati ini, demi penghargaan terhadap hak-hak terpidana, keluarganya, maupun hak-hak korban kejahatan.



Cara mengeksekusi mati juga perlu dikaji kembali. Apakah sudah cukup efektif dengan menggunakan tembakan (senjata api) oleh sekelompok polisi yang selalu terjadi di tempat rahasia setelah sebelumnya kucing-kucingan dengan wartawan? Ataukah ada cara lain yang lebih efektif dan meringankan penderitaan sang terpidana semisal suntikan mati misalnya?



Para terpidana mati memang barangkali telah berbuat kejahatan. Telah menimbulkan korban dan penderitaan. Namun jangan sampai negara dan juga masyarakat melakukan pembalasan dan penderitaan berlebihan. Bagaimanapun para terpidana mati masih memiliki hak-hak dan telah menjalani sanksi sosialnya selama menjalani penjara. Maka, tinjau kembali legalitas hukuman matinya. Kalaupun akhirnya harus dieksekusi mati, pilihlah cara yang paling ringan dan membuat mereka tidak lama menderita.



*) Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Human Rights & Peace Studies Mahidol University – Thailand/Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum UI - Depok


sumber : Hukumonline


----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------

Hukuman Mati Dari Masyarakat Tradisional Sampai Modern


Oleh
Eddy Rifai dan Yusanuli

PENJATUHAN hukuman mati dengan cara dipancung terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi cukup mendapat reaksi keras dari kalangan masyarakat Indonesia, antara lain berkaitan dengan benar tidaknya perbuatan TKI membunuh majikan dan kerasnya sanksi pidana mati yang diterapkan pemerintah Arab Saudi. Padahal dalam sejarah perkembangan masyarakat modern, sanksi pidana mati telah banyak mengalami perubahan.

Dalam kaitannya dengan hukum, sejarah adalah fakta hukum. Fakta hukum yang pernah ada dan terjadi di masa lampau, masa kini dan proyeksinya di masa depan. Demikian halnya dengan pidana mati. Ia merupakan reaksi yang paling keras atas delik, karena tidak memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki perilaku pelanggaran norma-norma yang telah disepakati bersama sebagai tatanan hukum.

vPidana mati dapat pula dipandang sebagai bentuk keputusan hukum dalam menghadapi penjahat dan kejahatan. Kejahatan tidak mungkin diberantas habis, yang mungkin bisa dilakukan adalah menguranginya. Salah satu cara yang dipilih hukum untuk mengurangi kejahatan adalah dengan menghilangkan pelaku kejahatan yang dipandang tidak dapat diperbaiki, atau pelaku kejahatan tersebut melakukan perbuatan pidana tertentu yang tidak mungkin diampuni oleh hukum, karena kualitas perbuatannya dipandang mengancam ketertiban, ketenteraman dan rasa kemanusiaan.

Meskipun banyak negara sampai dengan saat ini masih menerapkan pidana mati, karena adanya pelbagai alasan di atas, tetapi penerapan dan penjatuhan pidana mati mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Hal itu sesuai dengan pendapat Sir Henry James Summer Maine, seorang ahli sejarah Hukum Inggris "Dalam perjalanan sejarah hukum pidana dan pemidanaan menunjukkan ada kaitan antara sistem hukum pidana dan pemidanaan dengan keperluan masyarakat yang ada di sekitarnya" (Encyclopaedia Americana, 1977).

Begitu pula Indonesia, meskipun sampai sekarang menerapkan pidana mati, tetapi penerapan dan penjatuhannya mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan fase-fase masyarakat.

***

PADA fase pertama, penjatuhan pidana mati dilaksanakan dengan mengandalkan kekuatan alam sepenuhnya, tanpa bantuan alat tertentu sebagai hasil kebudayaan manusia. Dari catatan inventarisasi cara-cara pelaksanaan penjatuhan pidana mati yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah "dibiarkan di tengah terik matahari tanpa makan dan minum", "dibakar pada suatu tiang", atau "ditenggelamkan di laut".

Dari cara yang digunakan, maka dapat diduga bahwa lingkungan masyarakat di sekitar penjatuhan pidana mati dengan cara-cara di atas terjadi pada masyarakat yang memiliki ciri ketergantungan pada alam yang besar, terutama karena tingkat teknologi pembuatan alat-alat yang belum berkembang, dan ciri pengorbanan terhadap alam dan kepercayaan akan adanya kekuatan-kekuatan yang tidak nampak.

Perkembangan selanjutnya dari fase pertama ini adalah dijatuhkannya pidana mati terhadap anggota masyarakat karena kesalahannya dianggap sebagai penyebab terganggunya alam, seperti pelanggaran dalam berburu hewan, pelanggaran terhadap upacara-upacara tertentu untuk menghormati dewa matahari dan seterusnya.

Pada fase kedua, ketergantungan manusia pada alam sedikit berkurang. Ia telah mampu menciptakan alat-alat untuk kebutuhan hidupnya, antara lain tembaga untuk berburu, pisau untuk menguliti daging hewan, sementara pola pertanian bercocok-tanam sudah dikenal, walaupun masih berpindah-pindah.
Dalam fase ini, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan alat-alat tertentu yang selama ini dipandang sebagai sarana yang efektif untuk menimbulkan kematian, seperti yang dipakai untuk membunuh hewan. Beberapa cara yang dapat diinventarisasi adalah "dibunuh dengan lembing", "daging badan terpidana dipotong", atau "kepala terpidana ditombak".

Di sini tergambar bahwa cara melaksanakan pidana mati memiliki hubungan yang erat dengan perkembangan budaya manusia dalam bentuk alat yang telah diciptakannya serta kemajuan dalam peradaban yang dicapainya. Nilai-nilai atau norma-norma masyarakat yang hendak dilindungi dengan melaksanakan sanksi pidana mati pun tidak bergeser dari perkembangan peradaban manusia pada saat itu. Penjatuhan pidana mati bukan lagi semata-mata untuk menyeimbangkan keadaan akibat murkanya dewa, tetapi juga ditimpakan pada manusia yang dipandang sebagai penyebab timbulnya kerusakan dan malapetaka pada orang lain. Di sini alasan penjatuhan pidana mati adalah pembalasan
atas perbuatan pelaku, yang untuk selanjutnya pelaku harus juga menderita sama dengan yang telah ditimpakan pada orang lain.

Perkembangan berikutnya, kepercayaan pada kekuatan alam mulai bergeser menuju pada kekuatan salah satu di antara mereka yang kuat, yaitu 'sang pemimpin'. Nilai-nilai atau norma-norma hukum yang hendak dilindungi juga bergeser, dari pelanggaran terhadap hubungan-hubungan dengan alam ke hubungan-hubungan dengan pemimpin mereka, yang disebut raja. Perlindungan terhadap kepentingan atau kehormatan raja menjadi sangat penting. Mukah dengan istri raja misalnya, dihukum mati. Mencuri barang milik kerajaan dihukum mati. Juga mencuri barang milik tamu raja dihukum mati. Namun, bila
pelanggaran tersebut tidak dilakukan terhadap kepentingan raja, maka pidana mati bisa diganti dengan pidana lain. (Hamzah, 1985).

Norma-norma tersebut untuk selanjutnya terus berkembang dengan perkembangan kebudayaan peradaban manusia, sehingga nilai-nilai atau norma-norma yang dikembangkan untuk selanjutnya dilindungi dengan hukum juga berkembang, dari melindungi kepentingan-kepentingan raja menuju perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan yang sifatnya umum, kepentingan masyarakat.

Dari sinilah untuk selanjutnya dikenal pidana mati bagi mereka yang berzinah dengan istri orang lain (Aceh, Gayo, Minangkabau, Lampung, dan lain-lain). Nilai-nilai yang bersifat umum ini terus berkembang, menjadi nilai yang harus dijaga agar tidak terjadi pelanggaran dengan menerapkan sanksi pidana yang berat berupa pidana mati.

***

PADA fase ketiga yang perlu dicatat adalah adanya penetrasi kebudayaan barat yang masuk dalam tata nilai budaya Indonesia. Satjipto Rahardjo (1979) manulis bahwa: "Kontak-kontak antara Indonesia dengan dunia barat merupakan masa perhubungan yang di belakang hari menimbulkan persoalan sosial dan kebudayaan yang besar, yang barang tentu mempunyai hubungan yang erat dengan hukum di negeri ini."

Penetrasi kebudayaan Barat, yang secara langsung mempengaruhi tata hukum Indonesia dalam masalah pidana mati, telah dimulai pada tahun 1808, ketika Daendels mengeluarkan Plakat tertanggal 22 April 1808, di mana diperintahkan bahwa untuk melaksanakan putusan pidana mati, yang diperkenankan hanyalah dua cara, yaitu "dibakar hidup-hidup pada suatu tiang", atau "dimatikan dengan keris". Selanjutnya, penetrasi tersebut tidaklah berhenti sampai di situ. Pada perkembangan berikutnya, Hindia Belanda mengeluarkan peraturan hukum pidana yang terkenal dengan nama Intermaire Strafbepalingen LNHB Nr 6 Pasal 1 yang intinya menentukan bahwa pidana mati hanya boleh dilakukan dengan cara digantung. (Hamzah, 1985).

Setelah berhasil mempengaruhi tata hukum pidana Indonesia, yang dalam hal ini tentunya hukum pidana adat berkaitan dengan pelaksanaan penjatuhan pidana mati, Pemerintah Hindia Belanda selanjutnya pada tahun 1915 memaksakan kehendaknya dengan memberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda (WvSNI) berlaku untuk seluruh wilayah jajahan. Hakim pidana pada pengadilan negara tidak dapat lagi memakai hukum pidana adat dan adat istiadat sebagai strafbaar. Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang diberlakukan oleh Belanda tersebut, tidak memberi
kesempatan hukum yang tidak tertulis, yang tidak terwadahi dalam undang-undang, dalam hal ini hukum pidana adat.

Pelaksanaan pidana mati menurut KUHP yang diberlakukan oleh Belanda tersebut tercantum dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa: "Hukuman mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri."

***

PADA fase keempat Indonesia dikuasai oleh pemerintah bala tentara Jepang. Pada masa ini ada dua peraturan hukum pidana yang berlaku, yaitu WvSNI dan peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh bala tentara Jepang. Dalam Pasal 6 Osamu Gurei No. 1 ditetapkan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan dengan bedil (Han Bing Siong, 1960).

Dengan demikian ada dua cara pelaksanakan hukuman mati yaitu dengan cara digantung dan ditembak. Pertanyaan yang timbul adalah kapan pidana mati dilakukan dengan cara digantungkan dan kapan pula pidana mati dilakukan dengan cara dibedil. Berkaitan dengan hal ini Han Bing Siong menyatakan bahwa: "Tergantung dari persoalan, peraturan hukum pidana mana yang dilanggar. Jika peraturan hukum pidana dari dahulu (WvSNI) maka hukuman mati dilakukan dengan cara digantung, akan tetapi jika tindak pidana itu merupakan pelanggaran terhadap suatu peraturan dari pemerintah bala tentara Jepang, maka hukuman mati harus dilaksanakan dengan cara ditembak mati".

Kemudian pemerintah bala tentara Jepang mengeluarkan Gunsei Keizerei atau Undang-undang Kriminal Pemerintah Bala Tentara Jepang pada tanggal 1 Juli 1944 yang keberadaannya tidak meniadakan WvSNI, sehingga cara pelaksanaan pidana mati setelah dikeluarkannya Gunsei Keizerei tetap ada dua cara, yaitu dengan ditembak dan digantung.

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, menurut Pasal II Aturan Peraturan Peralihan UUD 1945 jo Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 dikatakan bahwa "peraturan lama dipandang tetap berlaku", dalam hal ini WvSNI dan peraturan hukum pidana pemerintah bala tentara Jepang, sehingga cara pelaksanaan hukuman mati sama dengan cara yang berlaku pada masa pendudukan Jepang, yaitu ditembak atau digantung.

Belanda pada tahun 1945 datang lagi ke Indonesia dengan membonceng pada tentara sekutu, selanjutnya menguasai dan menduduki beberapa wilayah Indonesia. Melalui Stb. 1945 No. 123 dalam Pasal 1 dikatakan bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan cara ditembak. (Salmi, 1985).

Pada tahun 1946 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 1 Tahun
1946, Pasal 1 mengatakan bahwa peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang
ialah peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942.

Dengan memperhatikan dan mempelajari latar belakang lahirnya Undang-undang
No. 1 Tahun 1956 dapat diketahui bahwa peraturan tentang pelaksanaan pidana
mati yang berlaku adalah peraturan peninggalan Belanda WvSNI yang selanjutnya disebut dengan WVS yang diterjemahkan sebagai KUHP. Ketentuan Pasal 11 KUHP mengharuskan hukuman mati dilaksanakan dengan cara digantung
dan di daerah yang masih dikuasai Belanda berlaku Stb. No. 123 yang mengharuskan pelaksanaan hukuman mati dengan cara ditembak, keadaan ini
berlangsung sampai tahun 1958.

Setelah pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 yang
isinya menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 untuk seluruh Indonesia,
maka cara pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan digantung, sesuai dengan
ketentuan Pasal 11 KUHP. Pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung
berlaku sampai dengan tahun 1964.

Melalui Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 Pasal 1 pelaksanaan penjatuhan
pidana mati di Indonesia tidak lagi dilaksanakan dengan cara digantung,
karena dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa bangsa Indonesia, untuk
selanjutnya pidana mati dilaksanakan dengan cara ditembak sampai mati, yang
berlaku sampai hari ini.

Melihat perkembangan penjatuhan pidana mati yang ada dalam fase ini, yaitu
selama kurun waktu kemerdekaan sampai tahun 1946, sebelum dikeluarkannya
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 terlihat bahwa pemerintah Indonesia
melaksanakan putusan pidana mati dengan cara melegalisir penetrasi kebudayaan asing. Indonesia baru menentukan sikapnya di antara beberapa cara pelaksanaan pidana mati yang sesuai dengan perkembangan jiwa bangsa Indonesia, rasa kemanusiaan bangsa Indonesia, atau lebih lanjut perkembangan peradaban bangsa Indonesia melalui Penetapan Presiden No 2 Tahun 1964 dengan cara ditembak sampai mati.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diprediksi gambaran dari tata hukum Indonesia di masa akan datang masih akan tetap menggunakan cara melaksanakan pidana mati dengan ditembak sampai mati, mengingat cara ini di samping kelebihannya tanpa menggunakan algojo juga masih selaras dengan "rasa kemanusiaan" yang ada dalam rakyat Indonesia.

( * Eddy Rifai, peserta Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia;
Yusanuli, peserta Magister Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. )


sumber : Kompas dalam http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/10/30/0003.html

----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------



Press Release Elsam : Putusan MK tentang Pelaksanaan Hukuman Mati, Terjebak Positivisme Hukum Formal



Press Release
No : 05/DP/Elsam/X/08

Putusan MK tentang Pelaksanaan Hukuman Mati:
Terjebak Positivisme Hukum Formal


Dalam putusan yang dibacakan majelis hakim konstitusi yang dipimpin Mahfud MD dalam
sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 21 Oktober 2008, Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra yang mempersoalkan hukuman mati
dengan cara ditembak. Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaan pidana mati. Semua mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan yang menimbulkan rasa sakit.


Dalam Putusannya, MK menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia
adalah menurut UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang
merupakan lex specialis yang menegasikan pasal 11 KUHAP. Lebih lanjut, MK menyatakan UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Di tengah pro-kontra wacana terhadap hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas
penghormatan fundamental terhadap HAM semestinya menjadi pijakan utama. Hak untuk hidup (right to life); merupakan kategori hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam keadaan apapun, termasuk dalam batasan regulasi formal. Apalagi, hal ini secara jelas tercantum dalam Konstitusi RI. Mahkamah Konstitusi, sebagai pengawal pelaksanaan UUD 1945, seharusnya menjalankan amanat konstitusi tersebut dengan memberikan amanat penghapusan hukuman mati. Terlebih dalam sistem hukum di Indonesia, hukuman mati bukanlah cara yang efektif untuk menghentikan suatu tindak pidana. Sistem peradilan kita masih belum dapat menjamin sebuah proses yang jujur (fair trial), sehingga kemungkinan terjadinya peradilan sesat khususnya kesalahan penerapan hukum cukup besar akibat korupsi, birokratisasi, diskriminasi dan bias kelas. Dalam konteks itu, kehadiran sanksi hukuman mati tentu tidak dapat memperbaiki satu keputusan hakim yang salah. Di sisi lain, tidak ada pembuktian akademis bahwa pelaksanaan hukuman mati secara efektif memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan dan mengurangi tindak pidana yang terjadi.



Putusan MK yang melihat bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 karena menganggap tata cara pelaksanaan hukuman mati berdasarkan UU No.2/Pnps/1964 bukan merupakan tindakan penyiksaan adalah sebuah keputusan yang terjebak positivisme hukum formal, karena hanya melihat unsur yang digugat saja, yaitu penyiksaan. Padahal, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 secara tegas dan jelas mengatur mengenai hak-hak dasar warga negara sebagai satu kesatuan yang utuh, di mana dengan tegas dinyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak dasar yang harus dijamin oleh negara.


Putusan MK ini secara nyata telah mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan
peraturan perundang-undangan di Indonesia yang telah mengalami perubahan paradigma sebagaimana terlihat dalam RUU KUHP yang sudah menempatkan hukuman mati sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. Demikian juga dengan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court, 1998) yang rencananya akan diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tahun 2008 ini, yang sama sekali tidak mengatur mengenai ancaman pidana mati. Hukuman dalam mekanisme International Criminal Court juga hanya berupa hukuman penjara yang terdiri dari hukuman penjara seumur hidup untuk kejahatan yang sangat serius dan hukuman penjara maksimum 30 tahun.


Disamping itu, penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi
manusia Internasional yang secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang diatur di dalam konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
(International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hak untuk hidup (rights to life)
–yaitu pada bagian III Pasal 6 (1) –menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak
untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.
Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip yang diatur dalam ICCPR telah menjadi bagian dari
hukum nasional Indonesia, melalui UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini sangatlah ironi, mengingat dasar filosofis dan
konstitusi negara Indonesia yang kemudian dikonkritkan lagi dalam Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 telah secara eksplisit menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa
Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral
universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila, dimana hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.

Oleh karenanya, mempertahankan penerapan hukuman mati dalam pendekatan hukum positif
semata jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, perubahan terhadap hukum nasional menuju penghapusan hukuman mati menjadi sebuah keharusan.
Terlebih lagi konstitusi negara telah melahirkan pengakuan akan hak untuk hidup yang
tidak dapat dikurangi atas alasan apapun, sehingga penghapusan hukuman mati diseluruh
ketentuan hukum adalah kewajiban konstitusional.

Jakarta, 24 Oktober 2008
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)


Indriaswaty Dyah Saptaningrung, S.H, LLM
Asisten Deputi Direktur Program


Kontak : Indriaswaty DS (0813 80305 728)



sumber : Elsam





----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------



UU No 2/Pnps/1964 Tentang TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI



UU No 2/Pnps/1964 [Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang
ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969]
tentang
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI YANG DIJATUHKAN OLEH
PENGADILAN DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN MILITER



Mengingat :
1. Pasal IV Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.I/MPRS/1960 dan
Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960;
2. Pasal 4 dari Penetapan Presiden No.4 Tahun 1962 tanggal 28 Desember 1962;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 226 Tahun 1963.

BAB I
UMUM

Pasal 1

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan
putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuanketentuan
dalam pasal-pasal berikut.

BAB II
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM

Pasal 2

(1) Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum
pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1).
(2) Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan
secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak
memungkinkan pelaksanaan demikian itu.

Pasal 3

(1) Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar
nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan
tempat pelaksanaan pidana mati.
(2) Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah
lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi
Komisariat Daerah lain itu.
(3) Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan
ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang
diperlukan untuk itu.

Pasal 4

Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk olehnya
menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang
bertanggungjawab atas pelaksanaannya.

Pasal 5
Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus
ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.

Pasal 6
(1) Tiga kali duapuluh empat jam sebelum saat elaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut
memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.
(2) Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima
oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.

Pasal 7
Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari
nsetelah anaknya dilahirkan.

Pasal 8

Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri
pelaksanaan pidana mati.

Pasal 9

Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali
ditetapkan lain oleh Presiden.

Pasal 10

(1) Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri dari
seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
(2) Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata
organiknya.
(3) Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4
sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

Pasal 11

(1) Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
(2) Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
(3) Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
(4) Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan
sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.

Pasal 12
(1) Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
(2) Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya
terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

Pasal 13
(1) Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat
yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
(2) Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10
meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.

Pasal 14
(1) Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk
pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
(2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
(3) Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah
supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya
untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara
cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
(4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati,maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskantembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat diatas telinganya.
(5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.

Pasal 15
(1) Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan
kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.
(2) Dalam hal terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh
keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan
mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh
terpidana.

Pasal 16
(1) Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada pelaksanaan
pidana mati.
(2) Isi dari pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah mendapat
kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang
ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah disalinkan ke dalam Surat
Putusan Pengadilan bersangkutan.
(3) Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.

BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

Pasal 17
Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer
dilakukan menurut ketentuan termaksud dalam Bab I dan II, dengan ketentuan bahwa:
a. kata-kata “Menteri Kehakiman” termaksud dalam Pasal 2 harus dibaca “Menteri/Panglima Angkatan
yang bersangkutan”;
b. kata-kata “Kepala Polisi Komisariat Daerah” dalam Bab II harus dibaca “Panglima/Komandan
Daerah Militer”;
c. kata-kata “Jaksa Tinggi/Jaksa” dalam Bab II harus dibaca “Jaksa Tentara/Oditur Militer”;
d. kata-kata “Brigade Mobile” dalam Pasal 10 ayat (1) dan “polisi” dalam Pasal 11 ayat (1) harus dibaca “militer”;
e. Pasal 3 ayat (2) harus dibaca “Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang
Panglima/Komandan Daerah Militer dari Angkatan yang sama atau Angkatan lain, maka Panglima
atau Komandan Daeerah tempat kedudukan pengadilan militer yang menjatuhkan putusan dalam
tingkat pertama merundingkannya dengan Panglima atau Komandan dari Angkatan yang
bersangkutan”.
f. Pasal 11 ayat (3) harus dibaca “Terpidana, jika seorang militer maka dia berpakaian dinas harian
tanpa tanda pangkat dan atau tanda-tanda lain”.

BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Pasal 18
Pidana mati yang dijatuhkan sebelum mulai berlakunya Undang-undang ini dan yang masih harus
dilaksanakan, diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 19
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1964.










-----------------


-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi


-------------








--------------------

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...