Sunday, August 30, 2015

Habeas Corpus

*
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-5096594059096606"
     crossorigin="anonymous"></script>


"Habeas Corpus" (ad subjiciendum) means "You may have the body" (to produce it in court).

"Habeas Corpus" (ad subjiciendum)is an important instrument to safeguard individual freedom against arbitrary criminal process by police or other executive powers. The concept of habeas corpus is a fundamental part of the British legal system. the first mention of habeas corpus was in 1305, to the reign of England’s King Edward I. Habeas corpus is a writ, or written court order, that requires a person held by the authorities to be brought before the courts so the legality of their detention can be examined.

In America, the main principles were adopted in the US Constitution. (Habeas Corpus Act 1679) Article 1, Section 9, Clause 2


Habeas Corpus Act

31 Car. 2, c. 2 , 27 May 1679


Wednesday, October 09, 2013

Perppu Kegentingan MK

 
Oleh
Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.

Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.

Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Thursday, July 18, 2013

Legislasi Parlementer-Trikameral


 Oleh:
Mohammad Fajrul Falaakh ;    
Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah tidak menempatkan Indonesia sebagai penganut tipe parlemen trikameral. Tak ada hubungan fungsional yang melembaga antara MPR, DPR, dan DPD yang menghasilkan suatu produk ketatanegaraan. Namun, secara khusus, ”legislasi bidang tertentu” melibatkan DPR, DPD, dan presiden.

Fenomena trikameralisme ini bersifat ganjil. Presiden-eksekutif dalam sistem presidensial ikut ambil keputusan untuk menghasilkan undang-undang bersama DPR, tanpa DPD. Peran DPD kian tereduksi sejak tahun 2004. Mahkamah Konstitusi sudah memulihkan peran DPD dan DPR berkoordinasi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai implikasinya (Kompas, 28/5/2013).

Memutus “Aliran Darah” Terorisme


Oleh
M Jodi Santoso

\
Sumber: Newsletter KHN

Pada 19 Oktober 2012,  The Financial Action Task Force (FATF) merilis Public Statement tentang  High-risk and non-cooperative jurisdictions yang isinya adalah hasil identifikasi terhadap negara-negara yang beresiko tinggi dan non kooperatif (High-risk and non-cooperative jurisdictions) dalam melindungi sistem keuangaan internasional dari pencucian uang dan pendanaan terorisme. FATF dalam Publik Statement tersebut mengidentifikasi dua kelompok negara. Pertama, negara-negara yang diminta untuk menerapkan langkah-langkah pemberantasan yaitu Irak dan Korea Utara. Kedua, negara-negara yang diminta untuk mempertimbangkan resiko yang ditimbulkan atas kekurangan strategi anti pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme (anti-money laundering and combating the financing of terrorism - AML/CFT).

Tuesday, September 11, 2012

Mengupas RUU Ormas


* Tweet To @jodi_santoso
Oleh:
Mohammad Fajrul Falaakh
Anggota Komisi Hukum Nasional RI
Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan sedang dibahas oleh panitia khusus di DPR. RUU ini telah menyedot anggaran untuk melakukan studi dan menyiapkan rancangan di lingkungan pemerintah sejak tahun 2000-an. Tulisan ini membahas akal-akalan di baliknya, misalnya agar RUU ini dapat menjadi dasar hukum membubarkan anarkisme berkelompok.

PROSES LEGISLASI : MEMBENDUNG OLIGARKI MEWUJUDKAN DEMOKRASI

Oleh
M Jodi Santoso
Sumber: Newsletter Komisi Hukum Nasional

Amandemen konstitusi telah mengubah pola kekuasaan dari yang sebelumnya yang semula kekuatan berada pada eksekutif (executive heavy) menjadi penguatan legislatif (legislative heavy). legislative heavy ditandai dengan bertambahnya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal: penguatan posisi yang lebih dominan dari pada pemerintah dalam hal pembentukan undang-undang, pengangkatan dan penerimaan duta besar memilih anggota lembaga-lembaga negara. Pergeseran pendulum ini bertujuan untuk mewujudkan proses politik dan legislasi yang demokratis. Politik hukum demikian menghindarkan praktik politik pada masa orde baru non demokratis. 

Meski UUD NRI Tahun 1945 membangun sistem hukum dan politik yang lebih demokratis, tetapi perlu memperhatikan dan membaca catatan sejarah tentang perubahan konfigurasi politik. Mahfud MD (1998: 317) dalam studinya menjabarkan terjadinya pergeseran konfigurasi politik dalam setiap orde pemerintahan. Pada orde lama dari yang demokratis (liberal) menjadi otoriter sedangkan pada masa orde baru pada awalnya bersifat demokratis tapi kemudian menuju proses non demokratis. Sejarah tersebut menjadi penting karena selama dua belas tahun reformasi demokratisasi masih bersifat formal prosedural belum menyentuh subtansinya. 

Pada awal reformasi, masyarakat menaruh harapan besar kepada DPR yang dililih secara langsung oleh rakyat untuk membuat peraturan peraundang-undangan yang mengakomodasi tuntutan publik. Dalam perjalannya, fungsi legislasi DPR dijalankan tanpa visi yang jelas. Dalam catatan PSHK (2010), kebijakan DPR sulit dipetakan karena lebih mengarah pada kepentingan pemerintah. Begitu halnya dengan pola legislasi yang tidak jelas dan yang cenderung menguatkan kebijakan pemerintah.


Dalam kurun waktu setahun terakhir terjadi ketimpangan implementasi fungsi utama DPR. Dinamika politik dan hukum selama ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pada DPR melakukan fungsi pengawasan. Hal demikian berbeda dengan pelaksanaan fungsi legislasi dan anggaran yang hasilnya tidak sesuai dengan hingar bingar dalam proses pengawasan. Kasus Century, cicak dan buaya, Gayus Tambunan, angket pajak merupakan deretan kasus yang saling berkaitan dan terakhir perkara pembobolan nasabah dan meninggalnya nasabah kartu kredit Citybank banyak menjadi menyita perhatian DPR. Pengawasan DPR berhenti di ruang DPR dan penyampaian hasil rekomendasi yang dikeluarkan tanpa ada pengawasan lanjutan yang sepadan. Berhentinya kasus-kasus besar tersebut memunculkan pertanyaan besar fungsi pengawasan DPR dilaksanakan untuk merespon kepentingan rakyat atau hanya sebagai instrumen kepentingan yang mengatasnamakan rakyat.


Bertolak belakang dengan ‘hingar bingar’ pelaksanaan fungsi pengawasan, dalam menjalankan legislasi pada tahun 2010, kinerja DPR jauh dari target program legislasi nasional (Prolegnas). Belajar dari kinerja DPR tahun 2004/2009, dalam kurun waktu 2005 hingga 2010, capain keberhasilan penyelesaian pembahasan RUU tertinggi dilakukan pada tahun 2008 yang telah menyelesaikan pembahasan dan menetapkan 61 RUU menjadi undang-undang. Akan tetapi, dari 61 RUU yang disahkan tersebut, 61 % (37 RUU) adalah RUU luncuran (27 RUU pemekaran, 3 RUU ratifikasi, 4 RUU pengesahan Perppu, dan 3 RUU APBN) di luar prolegnas yang pembahasannya tidak membutuhkan pembahasan serius.

Membendung Oligarki

Demokrasi sebagai lawan dari otoritarianisme menjadi pilihan negara hukum modern (moderne rechtsstaat) dalam menerapkan sistem pemerintahannya. Dalam perkembangannya, negara modern menuju perwujudan negara kesejahteraan (welfare state) sebagai akibat kegagalan peran negara sebagai penjaga malam (nachtwachterastaat) bidang politik dan ekonomi yang sandarkan pada individualis kapitalisme. Menurut Carter & Herts, dalam negara kesejahteraan, untuk mewujudkan kemakmuran rakyat, negara harus campur tangan ke dalam kehidupan sehari-hari dapat berdampak pada pemerintahan besar baik dalam jumlah maupun dalam lingkup tanggung jawabnya (Miriam Budiardjo: 1977, 76 – 78) . Peran aparatur negara dalam memberi pelayanan dan menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg, service public) yang dijalankan dalam suasana yang bebas (freies ermenssen) berpotensi menuju negara intervensionis (intervensionis state) dan maladministrasi. Dalam kondisi demikian, pengawasan terhadap eksekutif menjadi penting. DPR dapat menjadi penyeimbang dan melakukan kontrol politik terhadap tindakan pemerintah. Sebaliknya, jika DPR terkooptasi oleh kekuatan dan kekuasaan eksekutif maka akan memunculkan oligarki dalam sistem demokrasi formal.


Talcott Parson melalui Teori Sibernetika-nya memperingatkan bahwa dalam sistem kehidupan kemasyarakatan, arus energi subsistem ekonomi menempati kedudukan paling kuat, diikuti subsistem politik, subsistem sosial (hukum), dan terakhir adalah subsistem budaya. Sebaliknya dalam arus informasi, energi budaya lebih besar yang mempengaruhi subsistem sosial, politik, dan ekonomi. (Satjipto Rahardjo, 1985). Beranjak dari arus energi menurut teori Sibernetika demikian, maka hukum adalah produk politik yang dipengaruhi oleh energi ekonomi. Sebaliknya, hukum bisa menjadi produk budaya jika memanfaatkan energi informasi budaya. 


DPR dapat memerankan dua arus yang disampaikan Parson di atas. DPR yang memegang kekuasaan politik dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksektif atau menjadi kepanjangan tangan pemerintah. Melihat kondisi demikian, fungsi kontrol tidak hanya diberikan pada DPR tetapi pemerintah dan DPR merupakan lembaga yang harus dikontrol. Trias politika telah memberikan kewenangan pada kekuasaan kehakiman melakukan kontrol terhadap eksekutif dan legislatif. Dalam konteks kontrol terhadap peraturan-perundangan, tidak ada jaminan absolut bahwa norma hukum selaras karena organ hukum yang berwenang membuat norma hukum menciptakan norma-norma yang saling bertentangan (Hans Kelsen: 1967, 205). Oleh karena itu, Kelsen memberikan jalan untuk melakukan revisi baik secara biasa (ordinary way) melalui executive review maupaun legislative review maupun secara exra-ordinary way melalui judicial review. (Hans Kelsen: 1961, 159). Jalan yang ditawarkan Kelsen dapat berjalan jika, kekuasaan kehakiman dapat menjalankan fungsinya secara independen dan bukan menjadi perluasan sistem oligarki.

Transparansi Legislasi

Demokratisasi secara signifikan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum dan politik. Implementasi demokrasi perwakilan tidak berhenti pada penyerahan kedaulatan rakyat pada wakil-wakilnya di DPR. Demokrasi perwakilan bukan menyerahan kedaulatan. Rakyat masih bisa menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap pengambilan keputusan yang diambil oleh DPR dan Pemerintah dengan melakukan judicial review. Semakin banyaknya peraturan perundang-undangan yang ajukan judicial review menunjukkan tingkat pemahaman rakyat dalam menggunakan hak-haknya.


Bagi DPR, fakta banyaknya masyarakat mengajukan judicial review harus direspon secara positif. Legislasi yang berkembang saat ini cenderung merespon kebutuhan perubahan dengan pengeluaran undang-undang. Penyusunan prolegnas tidak disertai dengan data-data atau hasil kajian yang valid. Kebanyakan Prolegnas atau RUU inisiatif DPR hanya mengajukan judulnya saja, tanpa disertai dengan naskah akademik atau kajian-kajian sebelumnya yang membuktikan bahwa RUU tersebut penting bagi kehidupan Indonesia. Keinginan sekelompok masyarakat untuk mengajukan RUU yang tidak jelas apa tujuan pengaturannya bagi masyarakat tidak harus diwujudkan dalam RUU sendiri.
DPR perlu lebih membuka akses publik dalam proses legislasi. Perlu perubahan manajemen yang terjadi selama ini sifat tertutup dalam proses penyiapan dan pembahasan RUU di internal pemerintah maupun DPR. Mekanisme partisipasi dan transparansi harus dibangun dengan baik di tingkat internal pemerintah dan DPR. DPR harus mampu mewujudkan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).


PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...