Showing posts with label Asas-asas Hukum PIdana. Show all posts
Showing posts with label Asas-asas Hukum PIdana. Show all posts

Sunday, October 25, 2009

Perpu Bukan Hak Tanpa Batas Dari Presiden

oleh M Jodi Santoso

* Tweet To @jodi_santoso


Pada periode pertama pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah mengeluarkan 16 Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPU). Dari keenambelas Perpu tersebut, 2 (dua) berkaitan dengan rekonstruksi Aceh dan Nais pasca bencana tsunami, dua perpu berkaitan dengan penundaan pelaksanaan pengadilan khusus, satu perpu berkaitan dengan jaring pengaman sistem keuangan, dan sisanya yaitu 11 Perpu isinya perubahan undang-undang termasuk yang terakhir yaitu Perpu No 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Tidak semua Perpu yang dikeluarkan ditetapkan DPR menjadi undang-undang. Pada Desember 2008 DPR Perpu Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan ditolak DPR. Perpu ini merupakan salah satu dari 3 Paket yang berkaitan dengan perbankan dan kekuangan. Dua lainnya adalah Perpu Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia ditetapkan DPR menjadi undang-undang berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2009 dan Perpu Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No 7 Tahun 2009.

Hak Subyektif “Terbatas” Presiden

“Keberanian” Presiden SBY mengeluarkan Perpu tidak lepas dari perdebatan tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Penafsiran subyektif Presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan khusus. Tindakan khusus yang diberikan oleh UUD 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyebutkan Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD 1945 dengan tergas mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan bahaya yang saat ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 ini, Presiden hanya dapat menafsirkan secara obyektif. Dalam hukum tata negara tidak tertulis dikenal dengan doktrin noodstaatsrecht.

Menurut Harun Al Rasyid (dalam Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105), dalam noodstaatsrecht, undang-undang keadaan bahaya selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar undang-undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, menurut Prof. Wiryono didasarkan pada doktrin staatnoodrecht. Mahfud MD pembenaran dekrit tidak hanya didasarkan pada staatnoodrecht tetapi juga berdasarkan pada prinsip salus populis supreme lex (keselamatan rakyat adalah dasar hukum tertinggi). Akan tetapi, menurut M. Hatta, Prawoto Mangkusasmito (dalam Mahfud MD: 2001: 136) serta Yusril Ihza Mahendra (2001) yang menyetujui pendapat Prof. Logeman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum di bidang ketatanegaraan.

Sementara itu, Perpu merupakan produk hukum yang sah sesuai ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Secara formal, Perpu adalah peraturan pemerintah, bukan Undang-undang. Tetapi secara substansial, meteri Perpu sama dengan materi muatan Undang-Undang (Pasal 9 UU No. 10 Tahun 2004). Terhadap Perpu, DPR dapat melakukan legislative review untuk menyetujui Perpu sebagai undang-undang atau tidak. Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” merupakan syarat mutlak bagi presiden untuk menggunakan haknya. Secara a contrario presiden tidak dapat menggunakan haknya selama tidak ada hal ikhwal kegentingan memaksa.

Menelisik ke belakang, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks asli UUD 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85), Perpu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner nootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan (i) mendesak dari segi substansi, dan (ii) genting dari segi waktunya. Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004) mengatakan, hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan perppu. Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang. Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan (administratiefrechtelijk).

Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya dalam mengeluarkan perpu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan.

Inkonsistensi Dalam Mengeluarkan PERPU

Substansi Perpu No 4 Tahun 2004 setidaknya memuat 2 hal penting yaitu: (1) penafsiran Presiden terhadap kondisi KPK setelah terjadi kekosongan 3 posisi pimpinan KPK, dan (2) penafsiran Presiden terhadap UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan pengisian kekosongan pimpinan KPK. Dalam konteks penafsiran subyektif terhadap kondisi KPK, sebagai perbandingan perlu melihat proses penerbitan dua perpu yang dikeluarkan Presiden SBY sebelumnya yang berkaitan dengan penangguhan pembentukan pengadilan khusus yaitu Perpu No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Perpu No 2 Tahun 2006 Tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Pengadilan Perikanan.

Terbitnya kedua Perpu tersebut tidak lepas dari adanya Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden Republik yaitu Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden Republik Indonesia Nomor KMA/674/XII/2004 tanggal 10 Desember 2004 perihal Penundaan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dan Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden Republik Indonesia Nomor KMA/295/IX/2006 tanggal 07 September 2006 perihal Penerbitan Perpu tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan.

Kedua surat Ketua Mahkamah Agung tersebut menunjukkan adanya kondisi obyektif dari kekuasaan yudikatif di mana menurut Ketua Mahkamah Agung perlu dilakukan penundaan pembentukan pengadilan perikanan dan penundaan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kedua surat tersebut menjadi pertimbangan Presiden dalam mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2005 dan Perpu No. 2 Tahun 2006.

Bagaimana dengan KPK? Dalam Pasal 3 UU No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Sementara itu dalam Penjelasan Pasal 3 disebutkan bahwa, dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. Ketentuan Pasal 3 dan Penjelasannya tersebut dengan tegas melindungi KPK dari intervensi kekuasaan manapun termasuk dari Presiden, DPR, maupun Mahkamah Agung.

Meski KPK mempunyai fungsi eksekutif dalam hal penyidikan dan penuntutan tetapi, ketentuan Pasal 3 tersebut di atas dengan jelas mengaskan bahwa, dalam menjalankan fungsinya, KPK sebagai lembaga negara yang tidak dapat diintervensi Presiden. Dengan demikian, Presiden mempunyai keterbatasan dalam hal menafsirkan ketentuan UU No 3 Tahun 2002 Tentang KPK berkaitan dengan “hal ikwal kegentingan memaksa” yang terjadi dalam tubuh KPK. Penafsiran Presiden terhadap kondisi darurat harus didasarkan pada kondisi obyektif yang terjadi dalam tubuh internal KPK. Jika komisioner KPK merasa belum ada kegentingan yang memaksa maka dengan sendiri kewenangan subyektif dari Presiden tidak dapat digunakan.

Mestinya Presiden menggunakan dasar yang sama seperti saat mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2005 dan Perpu No. 5 Tahun 2006 yaitu menggunakan hak subyektifnya setelah ada kondisi obyektif dari lembaga yang bersangkutan. Dari konteks demikian maka Presiden SBY tidak cukup konsisten menggunakan haknya dalam mengeluarkan Perpu.
Indikasi inkonsistensi lain adalah pada substansi Perpu itu sendiri, di mana presiden menafsirkan pimpinan KPK efektif jika ada minimal 3 orang pimpinan. Dengan adanya ketentuan demikian maka seharusnya pengisian pimpinan KPK didasarkan pada fakta yang terjadi saat penerbitan perpu. Faktanya adalah satu pimpinan secara hukum diberhentikan karena menjadi terdakwa dalam proses peradilan (Pasal 32 ayat (1) huruf c) dan 2 (dua) pimpinan diberhentikan sementara (non aktif) karena menjadi tersangka dalam proses penyidikan kepolisian. Dari fakta yang ada, Presiden hanya perlu memasukkan satu orang pimpinan KPK yaitu untuk mengganti pimpinan yang jelas berhenti atau diberhentikan karena status hukumnya sebagai terdakwa. Dengan menambah satu pimpinan maka dianggap cukup untuk menjadikan KPK efektif bekerja. Dugaan intervensi muncul dengan penggantian dua pimpinan KPK yang nonaktif karena statusnya sebagai tersangka yang suatu saat penyidikan/penuntutan dihentikan.

Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa ketentuan UUD 1945 tentang hak presiden menafsirankan keadaan darurat dan kegetingan memaksa bukan merupakan hak tanpa batas. Hak mengeluarkan perpu (atau bahkan Dekrit) tanpa batas akan menjadikan bangsa Indonesia berjalan mundur.





----------

-------------
Artikel Lain
* R - KUHAP
* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------

--------------------

Saturday, February 02, 2008

Dimensi Historis Asas Retroaktif



Oleh A Ahsin Thohari

Sumber : kompas, Sabtu, 19 Februari 2005

JIKA ada dua sarjana hukum, maka akan ada tiga pendapat. Itulah ungkapan yang kerap muncul untuk menggambarkan betapa hukum itu multiperspektif. Dengan demikian, setiap orang selalu punya seleranya sendiri untuk lebih menonjolkan satu aspek sambil mengabaikan aspek lain. Tak terkecuali dalam melihat keberadaan asas retroaktif.

Wacana keberadaan asas retroaktif yang selalu kontroversial kembali menghangat seiring pengajuan permohonan tersangka kasus korupsi Bram HD Manoppo kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menurutnya berlaku retroaktif.
Ini kedua kalinya MK mengadili kasus yang memperdebatkan asas retroaktif, setelah sebelumnya mengadili kasus terdakwa bom Bali Masykur Abdul Kadir yang mengajukan permohonan pengujian atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003. Bedanya, kali ini MK menolak permohonan pengujian karena Pasal 68 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tidak mengandung asas retroaktif.

Asas retroaktif yang memberlakukan surut peraturan merupakan penyimpangan dari asas legalitas yang mengandaikan tiada perbuatan boleh dihukum kecuali ada peraturan terlebih dulu. Tulisan ini akan mengulas pasang surut sejarah kedua asas itu dalam perspektif perkembangan gagasan-gagasan ketatanegaraan di negara-negara yang dianggap sebagai asal kedua asas itu.

Dinamika asas legalitas

Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Pandangan inilah yang akhirnya dibawa ke Perancis oleh seorang sahabat dekat George Washington, Marquis de Lafayette. Ketentuan mengenai "tiada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya" tercantum dalam Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789). Gagasan itu akhirnya menyebar ke berbagai negara, termasuk Belanda dan akhirnya Indonesia yang mengaturnya dalam Pasal 1 KUHP.

Tujuan yang ingin dicapai asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002). Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar.

Oleh karena itu, E Utrecht (1966) mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).
Kontroversi asas retroaktif

Dengan kelemahan asas legalitas itu, beberapa ahli menganggap perlu dimungkinkannya penerapan asas retroaktif setidak-tidaknya untuk (1) menegakkan prinsip-prinsip keadilan; (2) mencegah terulangnya kembali perbuatan yang sama; (3) mencegah terjadinya impunitas pelaku kejahatan; dan (4) mencegah terjadinya kekosongan hukum. Dengan empat alasan tersebut, asas legalitas yang sering mengalami kebuntuan ketika berhadapan dengan realitas dapat disimpangi secara selektif. Menurut mantan jaksa penuntut dalam International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY), Marie Tuma (2001), asas retroaktif dapat diterapkan terhadap situasi kekacauan yang menghancurkan manusia.

Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika (1) menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan (2) menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM). Asas tersebut bisa mengakibatkan seseorang dapat dipidana dengan alasan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang tidak diperhitungkan atau tidak diketahui akan membawanya pada pertanggungjawaban pidana. Pendukung asas ini mendasarkan diri pada asas ignorantia juris neminem excusat (ketidaktahuan hukum tidak membebaskan apa pun).

Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1973) mengatakan, "Retroactive laws are considered to be objectionable and undesirable because it hurts our feeling of justice to inflict a sanction, especially a punishment, upon an individual because of an action or omission of which this individual could not know that it would entail this sanction." Kemungkinan adanya pelanggaran hukum yang tidak diperhitungkan dan tidak diketahui oleh pelakunya akan membawa pada pertanggungjawaban hukum inilah yang menjadi keberatan ahli lain terhadap keberadaan asas retroaktif.

Keberatan terhadap asas retroaktif semakin nyata setelah larangan penerapan hukum yang berlaku surut dicantumkan dalam konstitusi suatu negara sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tidak hanya itu, sebagaimana terbaca dalam putusan MK, asas retroaktif dengan segala bentuk dan alasan apa pun tidak dikehendaki karena dianggap dapat menimbulkan suatu bias hukum, mengabaikan kepastian hukum, menimbulkan kesewenang-wenangan, dan akhirnya akan menimbulkan political revenge (balas dendam politik). Inilah yang disebut bahwa asas retroaktif merupakan cerminan lex talionios (balas dendam).

Penulis berpendapat, asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif: (1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya; (2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional; (3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan (4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.

Kontroversi penerapan asas retroaktif sulit diakhiri dalam waktu dekat dengan penjelasan akademis sebaik apa pun. Dugaan saya, ini bukan merupakan kasus permohonan pengujian undang-undang bermuatan asas retroaktif yang terakhir. Selalu saja ada ruang cukup untuk berdebat ketika asas retroaktif didiskusikan.

A Ahsin Thohari Pemerhati Hukum, Penulis Buku Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan










-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi




-------------


- hibah untuk yang lain
- dapat dana untuk sekolah/kuliah/usaha


Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!





--------------------

Monday, December 17, 2007

Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik

Oleh: Romli Atmasasmita[1]
Sumber : http://www.legalitas.org

Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah

Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) [2] berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tsb. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[3] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial.

Di sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”. Bahkan, prinsip tsb telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini.

Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan( the right to remain silent).

Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa ybs.[4] Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof. Andi Hamzah, yang telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power) penyidik dalam menjalankan tugasnya.

Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian; akan tetapi, di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat,sudah memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan kemuka persidangan.[5] Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.

Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda, hanya sistem hukum pidana Perancis mengadopsi sistem juri sedangkan di dalam sistem hukum acara pidana Belanda tidak digunakan sistem juri.[6]
Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.


Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah


Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya(praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut(non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Rumusan kalimat tsb di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.

Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”!.

Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:

1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum ybs;
3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh ybs;
5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika ybs tidak mampu;
6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan ybs;
7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh ybs;
8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.

Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tsb, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.


Perkembangan tafsir Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) dalam sistem Hukum Acara Belanda dan Perancis

Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000,tertanggal 31 Mei) ternyata lebih maju(progresif) dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981).

HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.Pasal 1. butir II, HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”.[7] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis, menegaskan: ”Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).

Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tsb, sebagaimana disebutkan:
“Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.

Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansiil memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi(Braithwaite, 1989).[8]

Berkaitan dengan pemaknaan tsb, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil. Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tsb menganut paradigma (individualistik)[9] perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan ybs (korban ).[10]

Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tsb tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum tsb di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.
Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi mansia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitupula, di dalam Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ”due process of law”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggeris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia. Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tsb mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ”unfair dan partial trial” terhadap pihak korban kejahatan.

Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.


Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah

Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak indvidu. Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.

Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tsb, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht”[11] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.

Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan dengan perubahan paradigma tsb di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding. Praduga tsb selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel.
Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.

Rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif (Aristoteles) [12]serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.

Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tsb sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[13]

Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan tsb, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6(enam) tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan ybs atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tsb kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[14]

Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Undang-undang tentang Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

ENDNOTE:
[1] GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD
[2] Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “ Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer(1968), yaitu, model “Crime Control”, dan “Due Process” yang merupakan model antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari Griffith(1970); model birokratik (bureaucratic model) dari Reine (1993), dan model resotratif (restorative justice) dari Wright(1996),Fenwick(1997) [dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999;p.40].
[3] Lawrence M.Friedman, “Total Justice”; Russel-Sage Foundation; 1994: p.80-81
[4] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgever; 2003; p.30
[5] ibid
[6] Caherine Elliot, “French Criminal Law”; Wilan Publishing Coy; 2003; page………..
[7] Catherine Elliot, op cit.; p.11-12
[8] Braithwaite,di dalam karyanya, ” Shame and Integration Process”
[9] Perhatikan dan baca, Dekalarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia(1948); bandingkan dengan
[10] Perhatikan dan bacan, Bab XA UUD 1945, substansi Bab 28 A sd 28 I, dan Bab 28 J.
[11] J.Remmelink, “Hukum Pidana”:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia”; Gramedia, 2003; Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana; 1963.
[12] Aristoteles membedakan beberapa jenis keadilan: keadilan retributive, distributive, komutatif, dan rehabilitatif. Keadilan distributif dan komutatif berbeda secara substansial dengan keadilan retributif yang masih bertumpu pada ajaran kantianisme. Keadilan distributif dan komutatif merupakan bentuk keadilan yang memberikan toleransi kepada pertimbangan kemanusiaan dengan menekankan kepad a kewajiban seseorang untuk mereparasi (memperbaiki) kesalahan yang telah dilakukannya dengan memberikan sejumlah ganti kerugian kepada pihak korban. Konsep keadilan mutakhir terutama setelah munculnya pendekaran perlindungan HAM, adalah keadilan restoratif, yaitu menitikberatkan kepada ”pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku dan korban dalam satu kesatuan kehidupan kemasuyarakatan”. Prinsip keadilan restoratif , mirip dengan prinsip keadilan komutatif.
[13] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgevers; 2003;p.21
[14] The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar & Stafford Wadsworth; Rothman & Co, Coloradi, 1997 p.87.

[Penulis adalah Gurubesar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran Bandung]

Tuesday, September 04, 2007

Penerapan Hukum Pidana dan Asas Non-Retroaktif dalam Pemberantasan Korupsi

Oleh: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., Ll.M.

Sumber : http://www.transparansi.or.id


Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): “ Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”

Rumusan kalimat dalam RUU KUHP tahun 2005 lebih jelas dan tegas sesuai dengan asas lex certa dalam perumusan hukum pidana yang berarti mengutamakan kejelasan, tidak multitafsir dan ada kepastian di dalam perumusannya. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) dalam RUU KUHP tersebut menegaskan antara lain bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana. Pemberlakuan surut ketentuan pidana hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan perundang-undangan yang baru justru lebih menguntungkan terdakwa maka perundang-undangan baru itulah yang diberlakukan terhadapnya.

Bertitik tolak dari uraian mengenai hukum positif dan rancangan undang-undang hukum pidana di atas dua hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat luas, yaitu pertama, uraian di atas mempertegas kembali bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya secara tegas dan diatur dan diberlakukan dalam lingkup hukum pidana materiil bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara pidana) apalagi dalam bidang hukum administrasi yang memang tidak memiliki dasar aturan mengenai hal tersebut baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum administrasi.

Penjelasan mengenai Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, dan juga dalam doktrin hukum pidana sudah ditegaskan agar tidak terjadi kesewenangan penegak hukum (penguasa ketika itu) dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini masyarakat luas harus dapat menangkap dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, kalimat mencegah kesewenang-wenangan penegak hokum (penguasa), dan kedua, kalimat dalam penerapan ketentuan pidana; bukan ketentuan (sanksi) administrasi, dan bukan ketentuan mengenai wewenang untuk menangkap, menahan atau menuntut. Penegasan atas dua hal tersebut hendak memberitahukan dan menjelaskan bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya dalam konteks apakah suatu perbuatan itu dapat dipidana atau tidak ketika perbuatan itu dilakukan oleh suatu dasar aturan ketentuan pidana yang telah berlaku ketika itu. Sehingga dengan demikian adresat dari pemberlakuan ketentuan mengenai asas non-retroaktif adalah terhadap suatu tindak pidana semata-mata. Seluruh uraian di atas adalah hasil analisis mengenai penerapan penafsiran histories dan teleologis, bukan semata-mata penafsiran secara gramatikal, sehingga jika masih ada Gurubesar Hukum Pidana atau para Hakim Mahkamah Konstitusi dan pengamat yang masih tetap berpendirian bahwa asas non-retroaktif itu ada dan berlaku untuk seluruh substansi bidang hukum, jelas bahwa mereka telah melupakan arti dan makna spesialisasi yang berlaku dalam disiplin ilmu hukum, dan juga melupakan atau mengabaikan sama sekali metoda-metoda penafsiran hukum yang dianut dalam ajaran ilmu hukum dan telah diajarkan sejak tingkat persiapan di fakultas hukum.

Dalam kaitan ini pula saya hendak menegaskan bahwa sejak kelahirannya hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht), namun dalam perkembangannya kemudian dengan pengaruh gerakan humanisme maka hukum pidana juga diwajibkan mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ketika perbuatan itu dilakukan yang bersangkutan dalam keadaan di bawah umur atau dalam keadaan gila, maka pemberlakuan ketentuan pidana dikecualikan terhadap yang bersangkutan, sehingga dalam doktrin hukum pidana muncul sebutan, daad-dader strafrecht. Jika masih ada pendapat yang membedakan atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor maka tidak ada lain legitimasi selain harus dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau di bawah umur!.

Menurut saya sangatlah gamblang sekali bahwa, adresat hukum pidana adalah perbuatan seseorang yang melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP telah menegaskan beberapa kali tentang “perbuatan” dan tidak menyebutkan sama sekali tentang ORANG yang melakukan perbuatan.

Jika dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait pelaku tindak pidana termasuk para koruptor kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan dengan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan “keistimewaan” perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jika dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada Guru Besar Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi atau status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas kepada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana di satu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan obyeknya) dan hukum administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna spesialisasi titik!). Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa hukum administrasi sejak awal kelahirannya dan juga perkembangannya di kemudian hari tidak berurusan dan tidak ada kaitannya dengan setiap pemegang jabatan di lingkungan eksekutif, legislatif atau judikatif atau di lembaga-lembaga negara lainnya yang menjadi tersangka melakukan tindak pidana tertentu. Hukum Administrasi negara hanya berurusan dengan atau mengatur tentang prosedur administrasi pemerintahan semata-mata. Hukum administrasi negara tidak memberikan alasan hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi ditengarai untuk memberikan “impunity” terhadap pejabat Negara atau penyelenggara negara yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Jika masih ada UU yang memberikan keistimewaan perlakuan tersebut maka UU tersebut bertentangan secara diametral dengan UUD 45 dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status tersangka/terdakwa/terpidana.

Mengenai pemberlakuan asas non-retroaktif sebagaimana telah diuraikan di atas ketentuan hukum pidana positif , dan dalam penjelasan RUU KUHP telah ditegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah bersifat mutlak. Sesungguhnya jika mempelajari referensi hukum internasional mengenai kejahatan internasional atau hukum pidana internasional maka hukum kebiasaan internasional (international customary law) telah mengakui bahwa pemberlakuan asas non-retroaktif tidak berlaku untuk kejahatan berat yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia (gross-violation of human rights). Contoh kasus proses peradilan Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan di bekas jajahan Yugoslavia. Seluruh prinsip-prinsip hukum yang diterapkan dalam proses peradilan Mahkamah-Mahkamah tersebut sudah diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari hukum internasional dalam praktik karena seluruh putusan Mahkamah tersebut bersifat mengikat dan diakui oleh masyarakat internasional serta seluruh terdakwa wajib menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah tersebut. Bagaimana pandangan para Ahli Hukum Pidana terhadap pemberlakuan asas ini, ternyata masih belum ada kesamaan pendapat atau pandangan di antara para ahli. Pandangan konvensional masih menegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah asas hukum yang bersifat mutlak (lihat penjelasan RUU KUHP Pasal 2), dan asas hukum ini merupakan asas umum hukum pidana dan bersifat universal. Di dalam UUD 45 dan perubahan kedua, juga ditegaskan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khusus Pasal 28 I dengan pembatasan-pembatasan tertentu sebagaiman telah dicantumkan dalam Pasal 28 J. Dalam referensi tentang HAM, harus diketahui bahwa hak untuk tidak dituntut oleh undang-undang yang berlaku surut bukan hak absolut melainkan merupakan hak relative. Sedangkan kalimat terakhir dari rumusan Pasal 28 I UUD 45 dan perubahannya, “dalam keadaan apapun” tidaklah sejalan dengan baik Pasal 28 J dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM PBB. Di sisi lain, pandangan modern terhadap penerapan asas non-retroaktif adalah sejalan dengan perkembangan hukum pidana internasional dan perkembangan konvensi internasional tentang kejahatan transnasional terorganisasi termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana terorisme dan tindak pidana narkotika dan perkembangan Konvensi Internasional mengenai Mahkamah Permanen Pidana Internasional (International Criminal Court). Pendapat atau pandangan modern abad ke-20 tentang penerapan asas non-retroaktif menegaskan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu dan dalam konteks kejahatan tertentu yang merupakan ancaman terhadap perdamaian dan kemanana dunia (threaten to the peace and security of humankind), maka pemberlakuan asas hukum non-retroaktif dapat dikesampingkan, secara selektif dan terbatas. Dalam kaitan ini sudah diterapkan sejak proses peradilan Mahkamah Nuremberg (1946) sampai dengan proses ad hoc Tribunal untuk kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bekas jajahan Yugoslavia. Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi Indonesia sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial masyarakat yang bersifat sistematik dan meluas sehingga digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Atas dasar itulah maka pemberlakuan surut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sah adanya dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini sejalan dengan pandangan Jan Remmelink tentang pemberlakua surut ketentuan hukum pidana di Belanda.

Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink (2003: 362) yang menegaskan bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat (2) dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. Secara tegas Remmelink (halaman 365-366) mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving (pembuat perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (strafbaarstelling). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa dari atau melalui perubahan ini (undang-undang,pen.) harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan (kepatutan,pen.) tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif-restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa (Remmelink, hal.367).

Diakui pula bahwa, cara pandang konservatif dalam konteks situasi hukum transisional masih menganut paradigma lama yaitu lebih mengedepankan asas kepastian hukum bagi terdakwa akan tetapi mengabaikan sisi keadilan bagi korban dan sisi kemanfaatan terbesar bagi masyarakat luas. Paradigma tersebut juga bertentangan dengan kedudukan hukum pidana dalam pohon Ilmu Hukum yang terletak pada hukum publik bukan hukum administrasi atau hukum perdata. Implikasi dari kedudukan hukum pidana tersebut adalah ia harus bersifat public-rechtelijke (implisit kepentingan negara dan masyarakat luas) dari pada privaat-rechtleijke (orang perorangan). Selain iitu, kedudukan hukum pidana tersebut memiliki implikasi juga terhadap pertanyaan tentang untuk kepentingan hukum siapa hukum pidana itu dibentuk dan diberlakukan, serta untuk tujuan apa hukum pidana itu dibentuk ? Berangkat dari sifat dan hakikat kedua pertanyaan mendasar tersebut maka - sekalipun dengan pro dan kontra - tidaklah salah jika ditegaskan di sini bahwa, sisi kepastian hukum harus dilihat dalam konteks sisi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa yaitu kepastian hak-hak memperoleh bantuan hukum, peradilan yang jujur dan adil, dan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Namun demikian seluruh hak-hak asasi tersebut juga harus diseimbangkan – dalam pendakwaan dan putusan pengadilan - dengan seberapa jauhkah Negara (masyarakat luas) sudah terlindungi (asas keadilan korban dan kemanfaatan terbanyak) dari ancaman dan bahaya perbuatan tersangka/terdakwa yang bersangkutan, bukan hanya untuk hari ini (fungsi represif) akan tetapi untuk calon-calon tersangka/terdakwa di masa yang akan datang (fungsi preventif).

Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun, yang sudah mencapai 50%, kiranya sudah tidak dapat ditolerir lagi pendapat yang mengatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sistematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam Bagian Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menegaskan antara lain; “bahwa tindak pidana korupsi …tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. Bertitiktolak kepada fakta korupsi di Indonesia dan mengacu kepada hukum positif tentang UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas; pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau “extra-ordinary crimes” (lihat alinea kedua baris ke-4 dari bawah, penjelasan umum UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK); sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan .pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 30 tahun 2002 juga telah diuraikan antara lain sebagai berikut: “…karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainka telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun di dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.

Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia sampai saat ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama-sama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi merupakan “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis, dan konstitusional serta sosiologis yang kuat, teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non-retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diberlakukannya UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Atas dasar uraian di atas maka tidak ada lagi dalih atau pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlakuan UU tersebut tidak berlaku surut.

* Tulisan ini dimuat dalam Buku "Di Balik Palu Mahkamah Konstitusi: Telaah Judicial Review Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi" yang diterbitkan oleh MTI akhir Maret 2005


--------------

* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi
* Bush Kebal Santet


--------------





Tuesday, June 19, 2007

Pergeseran Makna Terorisme

M Jodi Santoso

Satu hal yang perlu diingat dalam mengkaji terorisme adalah adanya perbedaan sudut pandang tentang terorisme. Muncul adagium “today’s terrorist is tomorrow’s statesman” or that “one man’s terrorist is another’s freedom fighter”. Charles W. Kegley Jr. dalam buku Internasional Terrorism: Characteristics, Causes, Control, mengatakan : “Therefor, it is believed that there is no single definition of terrorism that can posibly cover all the varieties of terrorism that have appeared throughout history.”

Dalam perspektif psico sosial, terorisme merupakan gejala sosial yang kompleks. Sudut pandang dan kepentingan para pihak larut dalam memaknai terorisme. Pemaknaan dari sudut pandang yang berbeda tersebut yang menyebabkan terjadinya pergeseran makna terorisme dari masa kemasa. Terorisme pada awal kemunculannya berkonotasi positif, kini menjadi sebuah kejahatan berat dan kejahatan terhadap kemanusian (crime againt humanity).

Istilah teror (isme), pertama kali, populer pada masa Revolusi Perancis (1789-1794). Akan tetapi, praktik terorisme itu sendiri terjadi jauh sebelumnya. Dalam catatan sejarah, terorisme telah dipraktikkan manusia sejak zaman Yunani kuno. Xenophon (431-350 SM) misalnya, menuliskan dalam bukunya tentang terorisme dalam term "perang psikologis" untuk menaklukkan musuh. Pada awal abad masehi tercatat nama Kaisar Rome Tiberius (14-37) dan Caligula (37-41) yang melakukan terorisme terhadap lawan-lawan politiknya.

Aksi teror juga dilakukan Zealot (hidup pada 66-73 M), sebuah organisasi partai politik yang beroposisi dengan pemerintahan Herodes yang menentang penjajah Roma. Mereka menuntut kemurnian religius dan menentang segala tindakan asusila dan tindakan yang bersifat anti Yahudi. Mereka menggunakan pisau kecil yang disebut sica yang disembunyikan di balik jaket. Dengan senjata sica tersebut, aksi Zealot sering disebut Sicarii. Aksi sicarri dilakukan dengan cara bercampur orang-orang dipasar. Jika mereka melihat suatu pelanggaran mereka langsung mengambil pisau dan menikam si pelanggar. Metode yang mereka gunakan adalah praktek pembunuhan teroganisir di zaman kuno. Tindakan ini bersifat acak dan menimbulkan ketakutan masyarakat. Motivasi kelompok Zealot adalah agama dan didukung oleh kitab suci.

Teror sebagai sebuah aksi yang sistematis dikenal sejak Revolusi Perancis (1789-1794). Pada masa itu, muncul apa yang dikenal dengan French Revolution’s terrorism atau regime de la terreur pimpinan Maximilien Robespierre. Regime de la terreur digunakan sebagai instrumen untuk mendirikan Revolusionary State yaitu membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik. Selain mempunyai kaitan erat dengan revolusi, Maximilien Robespierre, sang pemimpin gerakan, mengaitkan teror dengan kebaikan (virtue) dan demokrasi (democracy). Robespierre menyebutkan : virtue, without which terror is evil; terror, without which virtue is helpless. … terror is nothing but justice, prompt, severe and inflexible; its therefore an emanation of virtue.

Terdapat dua karakteristik utama dari French Revolution’s terrorism. Pertama, regime de la terreur tidak dilakukan dengan acak random dan tidak juga indiskriminasi (neither random nor indiscriminate), tetapi dilakukan secara terorganisir (organized), terarah dan berhati-hati (deliberate), serta sistematis (systematic). Karakteristik ini yang membedakan regime de la terreur dengan aksi terror yang digambarkan saat ini. Kedua, tujuan French Revolution’s terrorism (regime de la terreur) adalah untuk membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik (a new and batter society).

Pertengahan abad ke-19, di Eropa, revolusi Perancis mengilhami munculnya sentimentil anti monarki (anti penguasa). Pada abad ini, muncul aksi era terorisme baru di mana terorisme dikonotasikan dengan gerakan anti pemerintahan. Aksi-aksi teror digunakan sebagai taktik untuk menggulingkan orang-orang berkuasa. Carlo Pisacane, seorang extrim Republika Italia, melakukan gerakan revolusioner yang disandarkan pada teori “the propaganda by deed”.

Hingga menjelang perang dunia I, terrorisme berkonotasi revolutioner. Bersamaan dengan perang dunia II dan semangat pergerakan kemerdekaan, penggunaan istilah teorisme digunakan dalam perspektif berbeda. Pertama, teroris dikonotasikan dengan gerakan revolusioner. Dan, kedua, mengacu pada pemberontakan yang dilakukan kaum nasionalis/anti-colonialis. Konotasi kedua memicu ketidaksenangan para pejuang kemerdekaan (negara dunia ketiga) dengan stigma teroris. mereka dengan tegas menolak stigma teroris yang melekat pada mereka. Bagi mereka (pejuang kemerdekaan) berjuang untuk kemerdekaan dan kebebasan demi tanah air dari penjajahan bukan terorisme tetapi freedom fighters.

Pada awal tahun 1990, muncul istilah narco terrorism dan istilah gray area phenomenon. Istilah Pertama muncul bersamaan dengan gerakan sekelompok orang dengan motivasi ekonomi yang bergelut dalam peragangan obat terlarang. Narco terrorism muncul akibat pertemuan antara penjualan obat terlarang dengan penjualan senjata. Sedangkan istilah gray area phenomenon digunakan pada gerakan yang mengancam stabilitas nasional oleh orang atau kelompol bukan negara.


Category : Article, Advocacy, Totorial,





Artikel Lain

*CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)
* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia*
1. Terorisme dalam Peradilan Pidana
2. Pergeseran Makna Terorisme
3. Kerahasiaan Data PPATK
4. Panwas (dan) Pemilu
5. Sistem Hukum Indonesia
6. Kegagalan SPP Anak
7. proses hukum dalam pemilu
8. KPK dan Korupsi
9. Bush Kebal Santet

.

Saturday, June 16, 2007

Pembuktian Terbalik Tidak Dikenal di Negara Kontinental

Prof. Indriyanto Senoadji
Guru Besar FH Universitas Krisna Dwipayana dan Pengajar Program Pascasarjana FH UI

Sejarah mengenai pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang menjadi polemik, sudah terjadi sejak tahun 1971. Istilah almarhum Oemar Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata “Beban” ditekankan bukan pada alat buktinya tapi pada siapa yang berhak untuk melakukan.

ICCPR tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Jadi, amanah dari ICCPR ini adalah penekanan dari berlakunya non self incrimination, bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence).
Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang mengakui rule of law, salah satu karakternya ialah presumption of innocence. Dalam sistem acara pidana, dalam kaitannya dengan pembuktian, non self incrimination itu karakter dari berlakunya sistem pembuktian yang kita sebut pembuktian negatif.

Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Kalau kita lihat di KUHP atau KUHAP di negara-negara Kontinental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap (Bribery).

Dari perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, suap dikatakan sebagai kejahatan yang sulit pembuktiannya (invisible crime). Di negara-negara Anglo Saxon pun suap yang menjadi kendala, makanya lalu keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia.

Usia KUHP Indonesia sudah ratusan tahun dan aturan dalam pasal mengenai suap itu mati suri atau impoten, dalam arti tidak bisa diapa-apakan. Berbagai cara dicoba, dikeluarkaan aturan baru mengenai suap aktif (Pasal 1 ayat (1) huruf d), diubah lagi dalam Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 sampai sekarang masih dipertahankan, tapi tetap jadi Pasal yang impoten.

Kemudian dicoba lagi dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan memperluas alat bukti petunjuk di Pasal 26 a di mana pengertian surat diperluas menyangkut yang terkait dengan elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Padahal istilah alat bukti petunjuk di dunia dan di akhirat tidak dikenal, hanya di Indonesia alat bukti petunjuk dimasukkan. Sekarang di RUU KUHAP alat bukti petunjuk dihapuskan.

Ketidakberhasilan lembaga delik baru yaitu suap aktif yang diatur dalam pasal tersendiri sejak UU No.3 Tahun 1997, dilanjutkan dengan membuat mekanisme pelaporan di dalam UU No.20 Tahun 2001) dengan mencantumkan Pasal 12 A dalam rancangan yang disahkan menjadi Pasal 12 b mengenai gratifikasi. Oleh karena itu, jika pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan (menyangkut tehnis hukum pidana), maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan delik.

Kalau kita lihat Pasal 12 b, terhadap kata-kata yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan, karena untuk menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik itu jauh lebih baik dilakukan di peradilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi (jadi maksudnya dilakukan di peradilan adalah untuk menghindari kemungkinan kolusi pada proses penyidikan dan penuntutan).

Tapi yang terpenting untuk apa yang dinamakan pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari Penuntut umum untuk dibuktikan, tapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, dan tidak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu.
Kesimpulannya;

1. Di dalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap (gratifikasi). Jadi di UU No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.20 Tahun 2001(Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,15), pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk Pasal 12 b dan 38 b yaitu yang berkaitan dengan delik suap.
2. Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku hanya terhadap perampasan harta kekayaan dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan dan diputus berdasarkan Pasal 2, 3, yang bersangkutan berhak membuktikan sebaliknya bahwa hartanya diperoleh bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Sumber : Newsletter Komisi Hukum Nasional Vol. 7, N0. 2, Maret-April 2007

Category : Article, Advocacy, Totorial,






Artikel Lain
1. Terorisme dalam Peradilan Pidana
2. Pergeseran Makna Terorisme
3. Kerahasiaan Data PPATK
4. Panwas (dan) Pemilu
5. Sistem Hukum Indonesia
6. Kegagalan SPP Anak
7. proses hukum dalam pemilu
8. KPK dan Korupsi
9. Bush Kebal Santet

Friday, May 18, 2007

Two Models of the Criminal Process ( I I)

by
HERBERT L. PACKER

Reprinted and published by http://www.hhs.csus.edu
from The Limits of the Criminal Sanction by Herbert L. Packer, with the permission of the publishers, Stanford University Press.  1968 by Herbert L. Packer.



In one of the most important contributions to systematic thought about the administration of criminal justice, Herbert Packer articulates the values supporting two models of the justice process. He notes the gulf existing between the "Due Process Model" of criminal administration, with its emphasis on the rights of the individual, and the "Crime Control Model," which sees the regulation of criminal conduct as the most important function of the judicial system.



Part I

Part II


Due Process Values

If the Crime Control Model resembles an assembly line, the Due Process Model looks very much like an obstacle course. Each of its successive stages is designed to present formidable impediments to carrying the accused any further along in the process. Its ideology is not the converse of that underlying the Crime Control Model. It does not rest on the idea that it is not socially desirable to repress crime, although critics of its application have been known to claim so. Its ideology is composed of a complex of ideas, some of them based on judgments about the efficacy of crime control devices, others having to do with quite different considerations. The ideology of due process is far more deeply impressed on the formal structure of the law than is the ideology of crime control; yet an accurate tracing of the strands that make it up is strangely difficult. What follows is only an attempt at an approximation.

The Due Process Model encounters its rival on the Crime Control Model's own ground in respect to the reliability of fact-finding processes. The Crime Control Model, as we have suggested, places heavy reliance on the ability of investigative and prosecutorial officers, acting in an informal setting in which their distinctive skills are given full sway, to elicit and reconstruct a tolerably accurate account of what actually took place in an alleged criminal event. The Due Process Model rejects this premise and substitutes for it a view of informal, nonadjudicative fact-finding that stresses the possibility of error. People are notoriously poor observers of disturbing events—the more emotion-arousing the context, the greater the possibility that recollection will be incorrect; confessions and admissions by persons in police custody may be induced by physical or psychological coercion so that the police end up hearing what the suspect thinks they want to hear rather than the truth; witnesses may be animated by bias or interest that no one would trouble to discover except one specially charged with protecting the interests of the accused (as the police are not). Considerations of this kind all lead to a rejection of informal fact-finding processes as definitive of factual guilt and to an insistence on formal, adjudicative, adversary fact-finding processes in which the factual case against the accused is publicly heard by an impartial tribunal and is evaluated only after the accused has had a full opportunity to discredit the case against him. Even then, the distrust of fact-fording processes that animates the Due Process Model is not dissipated. The possibilities of human error being what they are, further scrutiny is necessary, or at least must be available, in case facts have been overlooked or suppressed in the heat of battle.

How far this subsequent scrutiny must be available is a hotly controverted issue today. In the pure Due Process Model the answer would be: at least as long as there is an allegation of factual error that has not received an adjudicative hearing in a fact-finding context. The demand for finality is thus very low in the Due Process Model.

This strand of due process ideology is not enough to sustain the model. If all that were at issue between the two models was a series of questions about the reliability of fact-finding processes, we would have but one model of the criminal process, the nature of whose constituent elements would pose questions of fact not of value. Even if the discussion is confined, for the moment, to the question of reliability, it is apparent that more is at stake than simply an evaluation of what kinds of fact-finding processes, alone or in combination, are likely to produce the most nearly reliable results. The stumbling block is this: How much reliability is compatible with efficiency? Granted that informal fact-finding will make some mistakes that can be remedied if backed up by adjudicative factfinding, the desirability of providing this backup is not affirmed or negated by factual demonstrations or predictions that the increase in reliability will be x percent or x plus n percent. It still remains to ask how much weight is to be given to the competing demands of reliability (a high degree of probability in each case that factual guilt has been accurately determined) and efficiency (expeditious handling of the large numbers of cases that the process ingests). The Crime Control Model is more optimistic about the improbability of error in a significant number of cases: but it is also, though only in part therefore, more tolerant about the amount of error that it will put up with. The Due Process Model insists on the prevention and elimination of mistakes to the extent possible; the Crime Control Model accepts the probability of mistakes up to the level at which they interfere with the goal of repressing crime, either because too many guilty people are escaping or, more subtly, because general awareness of the unreliability of the process leads to a decrease in the deterrent efficacy of the criminal law. In this view, reliability and efficiency are not polar opposites but rather complementary characteristics. The system is reliable because efficient; reliability becomes a matter of independent concern only when it becomes so attenuated as to impair efficiency. All of this the Due Process Model rejects. If efficiency demands shortcuts around reliability, then absolute efficiency must be rejected. The aim of the process is at least as much to protect the factually innocent as it is to convict the factually guilty. It is a little like quality control in industrial technology; tolerable deviation from standard varies with the importance of conformity to standard in the destined uses of the product. The Due Process Model resembles a factory that has to devote a substantial part of its input to quality control. This necessarily cuts down on quantitative output.

All of this is only the beginning of the ideological difference between the two models. The Due Process Model could disclaim any attempt to provide enhanced reliability for the fact-finding process and still produce a set of institutions and processes that would differ sharply from those demanded by the Crime Control Model. Indeed, it may not be too great an oversimplification to assert that in point of historical development the doctrinal pressures emanating from the demands of the Due Process Model have tended to evolve from an original matrix of concern for the maximization of reliability into values quite different and more far-reaching. These values can be expressed in, although not adequately described by, the concept of the primacy of the individual and the complementary concept of limitation on official power.

The combination of stigma and loss of liberty that is embodied in the end result of the criminal process is viewed as being the heaviest deprivation that government can inflict on the individual. Furthermore, the processes that culminate in these highly afflictive sanctions are seen as in themselves coercive, restricting, and demeaning. Power is always subject to abuse—sometimes subtle, other times, as in the criminal process, open and ugly. Precisely because of its potency in subjecting the individual to the coercive power of the state, the criminal process must, in this model, be subjected to controls that prevent it from operating with maximal efficiency.

According to this ideology, maximal efficiency means maximal tyranny. And, although no one would assert that minimal efficiency means minimal tyranny, the proponents of the Due Process Model would accept with considerable equanimity a substantial diminution in the efficiency with which the criminal process operates in the interest of preventing official oppression of the individual.

The most modest-seeming but potentially far-reaching mechanism by which the Due Process Model implements these antiauthoritarian values is the doctrine of legal guilt. According to this doctrine, a person is not to be held guilty of a crime merely on a showing that in all probability, based upon reliable evidence, he did factually what he is said to have done. Instead, he is to be held guilty if and only if these factual determinations are made in procedurally regular fashion and by authorities acting within competences duly allocated to them. Furthermore, he is not to be held guilty, even though the factual determination is or might be adverse to him, if various rules designed to protect him and to safeguard the integrity of the process are not given effect: the tribunal that convicts him must have the power to deal with his kind of case (“jurisdiction”) and must be geographically appropriate (“venue”); too long a time must not have elapsed since the offense was committed (“statute of limitations”); he must not have been previously convicted or acquitted of the same or a substantially similar offense (“double jeopardy”); he must not fall within a category of persons, such as children or the insane, who are legally immune to conviction (“criminal responsibility”); and so on. None of these requirements has anything to do with the factual question of whether the person did or did not engage in the conduct that is charged as the offense against him; yet favorable answers to any of them will mean that he is legally innocent. Wherever the competence to make adequate factual determination lies, it is apparent that only a tribunal that is aware of these guilt-defeating doctrines and is willing to apply them can be viewed as competent to make determinations of legal guilt. The police and the prosecutors are ruled out by lack of competence, in the first instance, and by lack of assurance of willingness, in the second. Only an impartial tribunal can be trusted to make determinations of legal as opposed to factual guilt.

In this concept of legal guilt lies the explanation for the apparently quixotic presumption of innocence of which we spoke earlier. A man who, after police investigation, is charged with having committed a crime can hardly be said to be presumptively innocent, if what we mean is factual innocence. But if what we mean is that it has yet to be determined if any of the myriad legal doctrines that serve in one way or another the end of limiting official power through the observance of certain substantive and procedural regularities may be appropriately invoked to exculpate the accused man, it is apparent that as a matter of prediction it cannot be said with confidence that more probably than not he will be found guilty.
Beyond the question of predictability this model posits a functional reason for observing the presumption of innocence: by forcing the state to prove its case against the accused in an adjudicative context, the presumption of innocence serves to force into play all the qualifying and disabling doctrines that limit the use of the criminal sanction against the individual, thereby enhancing his opportunity to secure a favorable outcome. In this sense, the presumption of innocence may be seen to operate as a kind of self-fulfilling prophecy. By opening up a procedural situation that permits the successful assertion of defenses having nothing to do with factual guilt, it vindicates the proposition that the factually guilty may nonetheless be legally innocent and should therefore be given a chance to qualify for that kind of treatment.

The possibility of legal innocence is expanded enormously when the criminal process is viewed as the appropriate forum for correcting its own abuses. This notion may well account for a greater amount of the distance between the two models than any other. In theory the Crime Control Model can tolerate rules that forbid illegal arrests, unreasonable searches, coercive interrogations, and the like. What it cannot tolerate is the vindication of those rules in the criminal process itself through the exclusion of evidence illegally obtained or through the reversal of convictions in cases where the criminal process has breached the rules laid down for its observance. And the Due Process Model, although it may in the first instance be addressed to the maintenance of reliable fact-finding techniques, comes eventually to incorporate prophylactic and deterrent rules that result in the release of the factually guilty even in cases in which blotting out the illegality would still leave an adjudicative fact-finder convinced of the accused person's guilt. Only by penalizing errant police and prosecutors within the criminal process itself can adequate pressure be maintained, so the argument runs, to induce conformity with the Due Process Model.
Another strand in the complex of attitudes underlying the Due Process Model is the idea—itself a shorthand statement for a complex of attitudes-of equality. This notion has only recently emerged as an explicit basis for pressing the demands of the Due Process Model, but it appears to represent, at least in its potential, a most powerful norm for influencing official conduct. Stated most starkly, the ideal of equality holds that “there can be no equal justice where the kind of trial a man gets depends on the amount of money he has.” The factual predicate underlying this assertion is that there are gross inequalities in the financial means of criminal defendants as a class, that in an adversary system of criminal justice an effective defense is largely a function of the resources that can be mustered on behalf of the accused, and that the very large proportion of criminal defendants who are, operationally speaking, “indigent” will thus be denied an effective defense. This factual premise has been strongly reinforced by recent studies that in turn have been both a cause and an effect of an increasing emphasis upon norms for the criminal process based on the premise.

The norms derived from the premise do not take the form of an insistence upon governmental responsibility to provide literally equal opportunities for all criminal defendants to challenge the process. Rather, they take as their point of departure the notion that the criminal process, initiated as it is by the government and containing as it does the likelihood of severe deprivations at the hands of government, imposes some kind of public obligation to ensure that financial inability does not destroy the capacity of an accused to assert what may be meritorious challenges to the processes being invoked against him. At its most gross, the norm of equality would act to prevent situations in which financial inability forms an absolute barrier to the assertion of a right that is in theory generally available, as where there is a right to appeal that is, however, effectively conditional upon the filing of a trial transcript obtained at the defendant’s expense. Beyond this, it may provide the basis for a claim whenever the system theoretically makes some kind of challenge available to an accused who has the means to press it. If, for example, a defendant who is adequately represented has the opportunity to prevent the case against him from coming to the trial stage by forcing the state to its proof in a preliminary hearing, the norm of equality may be invoked to assert that the same kind of opportunity must be available to others as well. In a sense the system, as it functions for the small minority whose resources permit them to exploit all its defensive possibilities, provides a benchmark by which its functioning in all other cases is to be tested: not, perhaps, to guarantee literal identity but rather to provide a measure of whether the process as a whole is recognizably of the same general order. The demands made by a norm of this kind are likely by their very nature to be quite sweeping. Although the norm's imperatives may be initially limited to determining whether in a particular case the accused was injured or prejudiced by his relative inability to make an appropriate challenge, the norm of equality very quickly moves to another level on which the demand is that the process in general be adapted to minimize discriminations rather than that a mere series of post hoc determinations of discriminations be made or makeable.

It should be observed that the impact of the equality norm will vary greatly depending upon the point in time at which it is introduced into a model of the criminal process. If one were starting from scratch to decide how the process ought to work, the norm of equality would have nothing very important to say on such questions as, for example, whether an accused should have the effective assistance of counsel in deciding whether to enter a plea of guilty. One could decide, on quite independent considerations, that it is or is not a good thing to afford that facility to the generality of persons accused of crime. But the impact of the equality norm becomes far greater when it is brought to bear on a process whose contours have already been shaped. If our model of the criminal process affords defendants who are in a financial position to do so the right to consult a lawyer before entering a plea, then the equality norm exerts powerful pressure to provide such an opportunity to all defendants and to regard the failure to do so as a malfunctioning of the process of whose consequences the accused is entitled to be relieved. In a sense, this has been the role of the equality norm in affecting the real-world criminal process. It has made its appearance on the scene comparatively late and has therefore encountered a system in which the relative financial inability of most persons accused of crime results in treatment very different from that accorded the small minority of the financially capable. For this reason, its impact has already been substantial and may be expected to be even more so in the future.
There is a final strand of thought in the Due Process Model that is often ignored but that needs to be candidly faced if thought on the subject is not to be obscured. This is a mood of skepticism about the morality and utility of the criminal sanction, taken either as a whole or in some of its applications. The subject is a large and complicated one, comprehending as it does much of the intellectual history of our times. It is properly the subject of another essay altogether. To put the matter briefly, one cannot improve upon the statement by Professor Paul Bator:

In summary we are told that the criminal law's notion of just condemnation and punishment is a cruel hypocrisy visited by a smug society on the psychologically and economically crippled; that its premise of a morally autonomous will with at least some measure of choice whether to comply with the values expressed in a penal code is unscientific and outmoded; that its reliance on punishment as an educational and deterrent agent is misplaced, particularly in the case of the very members of society most likely to engage in criminal conduct; and that its failure to provide for individualized and humane rehabilitation of offenders is inhuman and wasteful. 1

This skepticism, which may be fairly said to be widespread among the most influential and articulate contemporary leaders of informed opinion, leads to an attitude toward the processes of the criminal law that, to quote Mr. Bator again, engenders “a peculiar receptivity toward claims of injustice which arise within the traditional structure of the system itself, fundamental disagreement and unease about the very bases of the criminal law has, inevitably, created acute pressure at least to expand and liberalize those of its processes and doctrines which serve to make more tentative its judgments or limit its power.” In short, doubts about the ends for which power is being exercised create pressure to limit the discretion with which that power is exercised.

The point need not be pressed to the extreme of doubts about or rejection of the premises upon which the criminal sanction in general rests. Unease may be stirred simply by reflection on the variety of uses to which the criminal sanction is put and by a judgment that an increasingly large proportion of those uses may represent an unwise invocation of so extreme a sanction. It would be an interesting irony if doubts about the propriety of certain uses of the criminal sanction prove to contribute to a restrictive trend in the criminal process that in the end requires a choice among uses and. finally an abandonment of some of the very uses that stirred the original doubts, but for a reason quite unrelated to those doubts.
There are two kinds of problems that need to be dealt with in any model of the criminal process. One is what the rules shall be. The other is how the rules shall be implemented. The second is at least as important as the first, as we shall see time and again in our detailed development of the models. The distinctive difference between the two models is not only in the rules of conduct that they lay down but also in the sanctions that are to be invoked when a claim is presented that the rules have been breached and, no less importantly, in the timing that is permitted or required for the invocation of those sanctions.

As I have already suggested, the Due Process Model locates at least some of the sanctions for breach of the operative rules in the criminal process itself. The relation between these two aspects of the process—the rules and the sanctions for their breach—is a purely formal one unless there is some mechanism for bringing them into play with each other. The hinge between them in the Due Process Model is the availability of legal counsel. This has a double aspect. Many of the rules that the model requires are couched in terms of the availability of counsel to do various things at various stages of the process—this is the conventionally recognized aspect; beyond it, there is a pervasive assumption that counsel is necessary in order to invoke sanctions for breach of any of the rules. The more freely available these sanctions are, the more important is the role of counsel in seeing to it that the sanctions are appropriately invoked. If the process is seen as a series of occasions for checking its own operation, the role of counsel is a much more nearly central one than is the case in a process that is seen as primarily concerned with expeditious determination of factual guilt. And if equality of operation is a governing norm, the availability of counsel is seen as requiring it for all. Of all the controverted aspects of the criminal process, the right to counsel, including the role of government in its provision, is the most dependent on what one’s model of the process looks like, and the least susceptible of resolution unless one has confronted the antinomies of the two models.

I do not mean to suggest that questions about the right to counsel disappear if one adopts a model of the process that conforms more or less closely to the Crime Control Model, but only that such questions become absolutely central if one’s model moves very far down the spectrum of possibilities toward the pure Due Process Model. The reason for this centrality is to be found in the assumption underlying both models that the process is an adversary one in which the initiative in invoking relevant rules rests primarily on the parties concerned, the state, and the accused. One could construct models that placed central responsibility on adjudicative agents such as committing magistrates and trial judges. And there are, as we shall see, marginal but nonetheless important adjustments in the role of the adjudicative agents that enter into the models with which we are concerned. For present purposes it is enough to say that these adjustments are marginal, that the animating presuppositions that underlie both models in the context of the American criminal system relegate the adjudicative agents to a relatively passive role, and therefore place central importance on the role of counsel.

One last introductory note: . . . What assumptions do we make about the sources of authority to shape the real-world operations of the criminal process? Recognizing that our models are only models, what agencies of government have the power to pick and choose between their competing demands? Once again, the limiting features of the American context come into play. Ours is not a system of legislative supremacy. The distinctively American institution of judicial review exercises a limiting and ultimately a shaping influence on the criminal process. Because the Crime Control Model is basically an affirmative model, emphasizing at every turn the existence and exercise of official power, its validating authority is ultimately legislative (although proximately administrative). Because the Due Process Model is basically a negative model, asserting limits on the nature of official power and on the modes of its exercise, its validating authority is judicial and requires an appeal to supralegislative law, to the law of the Constitution. To the extent that tensions between the two models are resolved by deference to the Due Process Model, the authoritative force at work is the judicial power, working in the distinctively judicial mode of invoking the sanction of nullity. That is at once the strength and the weakness of the Due Process Model: its strength because in our system the appeal to the Constitution provides the last and overriding word; its weakness because saying no in specific cases is an exercise in futility unless there is a general willingness on the part of the officials who operate the process to apply negative prescriptions across the board. It is no accident that statements reinforcing the Due Process Model come from the courts, while at the same time facts denying it are established by the police and prosecutors.




NOTE

1. Paul Bator, “Finality in Criminal Law and Federal Habeas Corpus for State Prisoners,” Harvard Law Review 76 (1963): 441-442.


Source: Reprinted by http://www.hhs.csus.edu
from The Limits of the Criminal Sanction by Herbert L. Packer, with the permission of the publishers, Stanford University Press.  1968 by Herbert L. Packer.

Habeas Corpus