Monday, July 28, 2008

Harmonisasi Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Memahami Peraturan Perundang-undangan Tentang Tindak Pidana Korupsi



Oleh: Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, SH.MH (staf pengajar hukum pidana FHUI)
sumber : http://korup5170.wordpress.com


Harmonisasi dalam pengertian yang sempit mempunyai makna usaha bersama untuk menyamakan pandangan, penilaian atau langkah tindakan guna dapat mencapai tujuan atau target bersama. Karena merupakan bentuk usaha bersama maka terdapat jamak pihak yang terlibat di dalam pencapaian tujuan atau target bersama tersebut. Mengapa harus diharmonisasikan? Tidak menutup kemungkinan berawal dari dua hal. Pertama, berawal dari keinginan sebelum melangkah maka pihak-pihak yang turut berperan untuk mencapai tujuan atau target bersama tersebut harus menyatukan pemahaman sebelum masing-masing mengambil langkah. Kedua, kemungkinannya berawal dari telah terjadi satu atau banyak perbedaan pemahaman untuk mencapai tujuan atau target bersama.

Kemungkinan yang kedua, kalau tidak secepatnya di harmoniskan akan berakibat menghambat dalam usaha pencapaian tujuan atau target bersama. Untuk keperluan tulisan ini, penulis fokuskan pada persoalan kemungkinan yang kedua yaitu harmonisasi peran aparat penegak hukum dalam ”pemberantasan” tindak pidana korupsi. Karena penulis menilai telah terjadi perbedaan yang sudah sangat besar dan mendasar terhadap persoalan yang berhubungan dengan usaha ”pemberantasan” tindak pidana korupsi yang selama ini telah dijalankan. Sehingga memberikan citra yang buruk terhadap upaya penegakan hukumnya.

Persoalan yang pertama terkait dengan penggunaan istilah ”pemberantasan” dalam penamaan undang-undang yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

Politik kalau secara bebas dan mudah untuk diartikan, maka salah satu maknanya bisa jadi adalah pilihan cara atau jalan untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga kalau pengertian politik tersebut dikaitkan dengan persoalan hukum, sehingga muncul istilah politik hukum maka bisa jadi maknanya adalah pilihan cara atau jalan untuk mencapai tujuan hukum. Kalau kemudian diambil salah satu tujuan dari hukum - dari sekian banyak tujuan hukum - , yaitu hukum adalah sarana untuk mencapai keadilan, maka politik hukum dapat diartikan sebagai pilihan cara atau jalan untuk mencapai keadilan.

Sebagai pilihan cara atau jalan untuk mencapai keadilan, maka cara atau jalan itu sendiri secara umum terbagi dalam dua. Pertama, adalah cara atau jalan “bebas”, yang dimaksudkan tidak ada “patron” atau tidak ada pola pasti bagaimana cara atau jalan untuk mencapai keadilan prinsipnya adalah asalkan atau pokoknya tercapai keadilan itu. Kedua, adalah cara atau jalan yang “dibatasi” – tidak boleh tidak harus cara atau jalan itu – untuk mencapai keadilan. Atau mungkin ada cara atau jalan ketiga yaitu campuran “bebas” dan “dibatasi” (mari kita pikirkan bersama apakah cara atau jalan ini juga bernilai adil) akan tetapi bukan sesekali “bebas” dan lain kali “dibatasi” atau “plinplan” kata orang. Hukum diciptakan untuk membuat kepastian, sehingga suatu hal yang “haram” bagi dunia hukum untuk bergerak dalam keadaan abu-abu. atau hukum yang akan dipergunakan sebagai cara atau jalan untuk mencapai keadilan, maka dipersyaratkan hukum tersebut dibuat dan ditegakkan harus memuat nilai keadilan atau berkeadilan.

Jadi apakah cara “bebas” atau “dibatasi” untuk mencapai keadilan sebagai tujuan hukum, maka harus dilakukan dengan cara atau jalan keadilan. Kalau cara atau jalan dapat disamakan dengan proses, maka Mardjono Reksodiputro menamakan sebagai “proses hukum yang adil” sebagai terjemahan dari “due process of law” dan menjadi lawan dari “proses hukum yang sewenang-wenang” atau “arbitrary process”. Atau apabila mengambil pendapat dari Roeslan Saleh, cara atau jalan “bebas” dan “dibatasi” untuk mencapai keadilan sebagai “proses yang terjadi antara manusia dan manusia”, karena “mengadili (sebagai cara atau jalan untuk mencapai keadilan) sebagai pergulatan kemanusiaan”. Sudahkah haluan politik hukum pemberantasan korupsi sesuai dengan makna sesungguhnya dari politik hukum yaitu mencapai keadilan dengan cara atau jalan keadilan?.

Dengan memperhatikan pembangunan hukum yang berintikan pembuatan atau pembaruan dan penegakan terhadap materi-materi hukum yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi dapat diketahui ke arah mana haluan telah atau akan ditempuh.

Perhatian pertama ditujukan terhadap nama dari undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi. Nama (tentang) mencerminkan apa yang menjadi materi muatan atau keinginan dari suatu produk hukum. Berbicara soal atur mengatur hal yang berhubungan dengan korupsi, maka sejak tahun 1957 perhatian pemerintah terhadap persoalan itu sudah ada yaitu melalui Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat (Peperpu) Nomor 013 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 mempergunakan nama (tentang) Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Produk hukum yang tidak hanya mengatur hukum beracara (Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan) tetapi juga tindakan yang merupakan korupsi, tetapi diberi nama (tentang) hanya mewakili hukum acaranya, maka dapat dikatakan dari sudut penamaan undang-undang saja sudah tidak pas.

Pada 29 Maret 1971 guna menunjukkan bahwa pemerintahan baru ini juga turut memikirkan masalah korupsi, pemerintahan Soeharto mengundangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dimaksudkan sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960. Undang-undang tersebut diberi nama (tentang) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu nama (tentang) yang mungkin hanya terjiwai oleh semangat yang ada dalam produk hukum yang pernah dibuat oleh pemerintah Soekarno dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

Tetapi penggunaan kata “pemberantasan” dalam undang-undang tersebut harus diartikan sebagai bagian dari politik hukum dalam hal ini adalah politik hukum pidana yang dimaksudkan untuk dicapai oleh undang-undang itu yakni “memberantas korupsi”. Makna “memberantas” identik dengan menghilangkan, jadi politik hukum pidana yang harus dicapai oleh pemerintahan Soeharto waktu itu dengan adanya undang-undang tersebut adalah hilangnya korupsi di bumi Indonesia!

Namun dengan mempergunakan pemikiran yang paling sederhana sekalipun tidak mungkin yang dinamakan dengan kejahatan dengan segala macam bentuknya hilang. Target tertinggi penegakan hukum pidana hanya sampai dengan pencegahan kejahatan dan itupun hanya sampai taraf “kalau bisa”. Dengan demikian dari sisi nama (tentang) dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 senyatanya hanya sekedar niat besar yang dari pemikiran yang paling sederhanapun tidak akan pernah tercapai yaitu untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 pada tanggal 16 Agustus 1999 oleh pemerintahan BJ Habibie diganti dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-undang tersebut mungkin dimaksudkan dibuat untuk sekedar menunjukkan pada rakyat sikap tanggapnya pemerintahan “baru” ini terhadap persoalan korupsi. Karena menurut Transparency International, “Corruption Perception Index 1997-1996” Berlin, Germany 1997 digabung dengan “Corruption Perception Index 1998”, September 1998 membuat laporan tentang peringkat negara-negara dari sudut pandang praktek korupsi yang terjadi di negara tersebut.

Bahwa dari 85 negara yang dijadikan penelitian Indonesia menempati urutan 80 terkorup di dunia setelah Nigeria. Atau kalau berdasar dari Political and Economic Risk Consultancy, Ltd (PERC) sebuah perusahaan di bidang konsultasi yang bermarkas di Hongkong salah satu hasil kajiannya dalam penelitian peringkat korupsi di negara-negara Asia pada tahun 1997 menyatakan bahwa dari 12 negara di Asia maka dalam persoalan korupsi Indonesia ada di peringkat 12 dengan kata lain di Asia Indonesia adalah negara terkorup. Sekali lagi ternyata undang-undang ini menggunakan nama (tentang) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dapat dikatakan sama dengan undang-undang yang sebelumnya, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dari sisi nama (tentang) adalah “omong kosong”. Tidak pernah ada pemberantasan korupsi di negeri ini.

Bukti akan hal itu menjadi lebih jelas lagi apabila memperhatikan isi Bab VII Ketentuan Penutup Pasal 44 yang menyatakan “Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 295 8) dinyatakan tidak berlaku”. Maka mulai saat itu berlaku ketentuan “tindakan korupsi yang terjadi sebelum 16 Agustus 1999 tidak lagi sebagai tindak pidana. Karena telah kehilangan dasar hukum (legalitas) untuk menyatakannya sebagai tindak pidana”. Maka dapat dikatakan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan sebagai upaya menyelamatkan leher para tersangka pelaku tindak pidana korupsi sepanjang masa pemerintahan Soeharto dari jeratan hukum!

Pemerintahan Presiden Megawati pada tanggal 21 November 2001 “menambal” lubang besar yang ada dalam Undang-undang 31 Tahun 1999 dengan mengundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-undang 31 Tahun 1999. Sebagian dari “tambalan” tersebut adalah Bab VIA Ketentuan Peralihan. Secara garis besar ketentuan peralihan menyatakan bahwa untuk tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum 16 Agustus 1999 diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.

Ternyata “tambalan” tersebut, masih jauh dari mencukupi untuk memenuhi nafsu besar memberantas korupsi. Hal ini terbukti dengan persoalan penegakan hukum dikaburkan dengan persoalan realisasi kepentingan politik. Sehingga tidaklah salah pendapat yang menyatakan pengadilan tindak pidana korupsi yang terjadi sesungguhnya adalah mengadili pelaku politik dan kesalahan politiknya. Sehingga saat pidana dijatuhkan relevan dengan kesalahan dalam menjalankan politik yang telah terdakwa lakukan. Akibatnya masyarakat tidak dapat menerima, karena seharusnya pidana tersebut dijatuhkan untuk kesalahan yang telah dilakukannya terhadap rakyat karena merampas hak rakyat, uang rakyat dan hak hidup rakyat!

Penggunaan istilah ”memberantas”, di depan istilah tindak pidana korupsi dan tidak cukup dengan hanya mempergunakan istilah ”Tindak Pidana Korupsi” sebagai nama undang-undang, benar ataukah tidak benar tidak menutup kemungkinan menimbulkan tindakan-tindakan penyalahgunaannya. Penyalahgunaan tersebut menjadi sah karena terbungkus dengan rapi oleh produk hukum – asas legalitas – dan dibentengi dengan semangat bersama rakyat ikut dalam barisan anti korupsi.

Dengan mempergunakan isitilah ”memberantas” maka dapat dimaknai silahkan dengan cara apapun asal ada aturan tertulisnya untuk dapat dipergunakan memproses sampai dengan ”menghukum ” seseorang yang disangka telah melakukan korupsi. Misalkan terkait dengan persoalan dasar hukum untuk menyatakan seseorang korupsi dengan cara yang “melawan hukum” (Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999).



Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006

Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa pemohon tidak terlampau mempersoalkan hal yang berhubungan dengan unsur “melawan hukum” . Hal tersebut tercermin dari kalimat “… meskipun pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut (lihat halaman 73 alinea ke 3).

Menarik dari apa yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa dengan adanya penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian pertama tersebut berbunyi, “ yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peratutran perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.



Pendapat Mahkamah Konstitusi tetang penjelasan Pasal 2 ayat (1) adalah:

Pertama, “Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur “melawan hukum”, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana.

Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad), seolah-olah telah diterima menjadi suatu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum.”

Kedua, Menimbang bahwa berkaitan dengan pertimbangan diatas, maka Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula menguraikan bahwa sesuai dengan kebiasan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan yang baik, yang diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan.



Akibat hukum terhadap tindakan penegakan hukum pelaku tindak pidana korupsi

Sebelum membahas apa yang menjadi akibat hukum dari putusan MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 003/PUU-IV/2006 terhadap tindakan penegakan hukum pelaku tindak pidana korupsi, maka perlu rasanya sedikit memberikan komentar hal yang menjadi pendapat MK yang menyatakan bahwa “Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur “melawan hukum”, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana.

Menjadi pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah memang telah muncul adanya norma baru apabila memberikan penjelasan terhadap unsur “melawan hukum” yang meliputi melawan hukum formil dan materiil?. Bahkan kemudian dikatakan dengan mempergunakan melawan hukum materiil di dalam istilah melawan hukum identik dengan “…memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana”. Bukankah selama ini apabila mengartikan unsur melawan hukum berarti adalah formil dan materiil, sebab yang dipergunakan adalah “hukum” dan bukan “undang-undang”

Suatu hal yang berbeda apabila memperbandingkannya dengan isi pasal 1 ayat 1 KUHP

Pasal 1

1. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Walaupun secara tegas KUHP mempergunakan perundang-undangan yang kemudian dimaksudkan adalah aturan yang tertulis, namun di dalam perumusan beberapa pasal-pasalnya mempergunakan istilah “melawan hukum” sebagai unsur pasal bukan “melawan undang-undang”.

Hal tersebut diterima karena disadari benar bahwa tidak semua atau belum semua tindakan yang dinilai sebagai tindakan yang merugikan masyarakat – sifat hukum pidana sebagai hukum publik – telah tertampung semua oleh produk hukum yang tertulis.

Dari hal tersebut di atas salah satu hal yang paling berat yang akan ditanggung oleh aparat penegak hukum – tidak termasuk dalam hal ini hakim Mahkamah Konstitusional – akan mendapatkan hujatan dari masyarakat apabila suatu saat nanti menangani kasus korupsi yang identik dengan dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara atas dasar penilaian masyarakat adalah tidak patut, tidak pantas untuk dilakukan ternyata tidak dapat dijatuhi sanksi.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Memperhatikan isi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, kekayaan negara yang sudah dipisahkan—disebut kekayaan terpisah—itu tunduk pada Undang-undang Perseroan Terbatas (ranah hukum perdata). Sehingga penempatan atau penyertaan keuangan negara di dalam suatu perum, persero, atau lainnya, sudah menjadi kekayaan terpisah. Sehingga ranahnya adalah perdata.

Namun apabila memperhatikan pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kekayaan yang terpisah maupun tidak terpisah itu tetap masuk dalam pengertian keuangan negara (ranah hukum pidana). Sehingga dari dua produk hukum yang paling menentukan untuk menyatakan seseorang korupsi ataukah tidak terkait dengan keuangan negara telah terjadi saling bertentangan dalam mendefinisikan keuangan negara.

Sebagai seorang pencari dan pengumpul bukti atau penuntut sepanjang dapat menguatkan pelaksanaan pekerjaannya pasti akan memilih dan mempergunakan PP 21 Tahun 2007 atau Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara untuk menyeret seseorang ke pengadilan. Namun apabila ia adalah sebagai bagian dari aparat penegak hukum, tidak akan melakukan hal tersebut, karena memang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang ada.



PP Nomor 37 Tahun 2006

Saat sekarang sedang santer dan seru perbincangan terkait dengan produk hukum PP Nomor 37 Tahun 2006. PP tersebut kemudian telah diubah dengan PP Nomor 21 Tahun 2007 yang lebih dikenal dengan persoalan ”rapelan” bagi anggota DPRD. Bukankah di dalam isi Pasal 1 KUHP.

BAB I

Batas-Batas Berlakunya Aturan Pidana Dalam Perundang-Undangan

Pasal 1

(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada

(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.

Salahkah kalau terdapat anggota DPRD yang mengambil haknya yang diberikan oleh negara dengan adanya dasar hukum PP 37 tahun 2006? Menurut pendapat saya adalah tidak karena anggota DPRD tersebut dalam melakukan tindakan telah ada dasar hukumnya – asas legalitas – PP Nomor 37 tahun 2006. Apakah anggota DPRD tersebut akan dikatakan sebagai seorang koruptor apabila ia mengambil dan tidak mengembalikan uang yang telah ia ambil karena adanya PP Nomor 21 Tahun 2007 yang memerintahkan bagi anggota DPRD yang telah mengambil untuk mengembalikan dan kalau tidak mengembalikan akan dikenakan ketentuan mengenai korupsi? Menurut pendapat saya adalah tidak, karena prinsip dalam hukum pidana apabila ada perubahan perundang-undangan dikenakan aturan yang menguntungkan. Sehingga yang berlaku bukan PP 21 Tahun 2007 tetapi adalah PP 37 Tahun 2006.



(Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada matakuliah: hukum pidana, hukum acara pidana, aspek hukum pidana dan hukum lainnya dalam media massa, kependudukan dan kesehatan, kapita selekta hukum pidana. Pengajar matakuliah Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan , Karawaci, Tangerang, Jawa Barat. Pengajar matakuliah Perbandingan Hukum Pidana pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta. Pengajar matakuliah Sistem Peradilan Pidana pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta. Pengajar matakuliah HAM dan Sistem Peradilan Pidana pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. Pengajar matakuliah Hukum dan HAM dan Sistem Peradilan Pidana pada Program Pascasarjana Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Kekhususan Kajian Strategis Kebijakan & Manajemen Lembaga Pemasyarakatan dan Penegakan HAM Universitas Indonesia Jakarta.)









<



-------------
Artikel Lain

* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi




-------------



Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!





--------------------

Tuesday, July 01, 2008

Wartawan Bukan Profesi Eksklusif

Oleh
Tjipta Lesmana


sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0310/23/opini/639583.htm

PADA bulan Oktober 2001, di depan peserta seminar yang diselenggarakan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), saya mengemukakan pendapat, kebebasan pers Indonesia sebenarnya sudah kebablasan. UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah salah satu undang-undang pers yang paling bebas di dunia. Dalam seminar itu juga tampil sebagai pembicara Jakob Oetama, Pemimpin Umum Kompas; DH Assegaff, ilmuwan komunikasi; Inspektur Jenderal (Pol) Saleh Saaf, Kepala Badan Hubungan Masyarakat Polri dan Ishadi SK, seorang praktisi pertelevisian.

BANYAK orang, terutama wartawan, tidak sependapat, bahkan tidak senang dengan penilaian saya. Jakob Oetama senyum-senyum mendengar tudingan saya. Dalam forum itu Jakob mengingatkan segenap insan pers, dalam kebebasan (pers) melekat pertanggungjawaban.

Keduanya harus berjalan seimbang. Di berbagai kesempatan saya tetap "berkhotbah" bahwa kebebasan pers kita memang sudah kebablasan!

Di depan para peserta perwira Pendidikan dan Latihan Reserse Kriminal Polri di Megamendung, 3 Oktober 2003, saya mengemukakan wartawan kita, sebagian, merasa dirinya paling hebat, paling benar, dan paling dibutuhkan negara. Bahkan, ada kesan wartawan itu manusia yang tak tersentuh hukum.

Semua ini tampaknya merupakan ekses negatif dari eforia reformasi. Dalam alam reformasi, pers nasional kembali ke alam liberal, mirip pada zaman pers liberal tahun 1950-1959.

Dan, pers menurut teori libertarian, seperti ditulis Siebert (Four Theories of the Press), merasa berhak menikmati kebebasan mutlak. Berita, bagi penganut pers liberal, tidak lain, anything that fits to print. Pokoknya, apa saja menurut wartawan layak dipublikasikan, itulah berita. Maka, mutlak diberitakan kepada publik. Kalaupun berita itu salah, wartawan tetap tidak bisa disalahkan.

Namun, teori libertarian sudah usang. Bahkan di AS, negara kelahirannya, teori ini tidak lagi dipraktikkan, sebab mendapat banyak kecaman dari teoritisi dan praktisi pers sendiri. Sejak setengah abad lalu, teori ini telah diganti teori pertanggungjawaban sosial yang intinya seperti apa yang dikatakan Jakob Oetama: kebebasan pers dan pertanggungjawaban sosial harus berjalan beriringan.

Pers harus mempertanggungjawabkan tiap berita, tiap tulisan yang dipublikasikan kepada publik. Bila tidak bisa? Hukum akan berbicara!

Salah satu pandangan keliru yang dianut wartawan penganut teori libertarian adalah, pers takkan mampu menjalankan fungsinya secara baik dan independen bila pemerintah dapat menjeratnya di pengadilan karena tulisan yang dibuatnya. Padahal pers mempunyai peran vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pers merupakan alat kontrol sosial yang penting; tanpa kehadiran pers yang bebas, demokrasi takkan hidup, apalagi berkembang.

Persepsi untouchable tampak dari reaksi sejumlah insan dan pengamat pers atas delik pers yang dihadapi dua harian Ibu Kota. Mereka mempertanyakan (a) Mengapa wartawan diseret ke pengadilan. Bukankah dalam UU Pers sudah diatur mekanisme penyelesaian delik pers? (b) Mengapa jaksa/penuntut umum menggunakan pasal dalam KUHP, bukan UU Pers; (c) Mengapa wartawan yang bersalah harus dihukum penjara, tidak cukup dikenakan denda. Di luar negeri, wartawan yang bersalah tidak bisa dikenakan criminal laws, sehingga tidak bisa dipenjara.

Benarkah demikian?

Di AS pun, wartawan yang dituduh memfitnah seseorang atau satu institusi melalui tulisannya bisa dimeja-hijaukan dan dihukum. Dalam putusannya terhadap delik pers New York Times versus Sullivan pada 1964, Mahkamah Agung AS dengan tegas mengatakan: "Public officials no longer could sue successfully for liberal unless reporters or editors were guilty of actual malice when publishing false statements about them." Ini berarti wartawan bisa dituntut secara hukum jika tulisannya ternyata tidak benar dan wartawan bersangkutan tidak mempunyai upaya untuk mengecek kebenaran informasi yang diperolehnya.

Istilah malice menjadi kunci penentu apakah wartawan bisa dituntut atau tidak. Majelis Hakim Agung yang mengadili delik New York Times versus Sullivan mengartikan malice sebagai "knowledge that (the publishing information) was false or that it was published with reckless disregard of whether it was false or not." (Ia tahu, informasi itu tidak benar, atau kalaupun tidak tahu tapi ia bersikap ceroboh untuk tidak mau mengecek terlebih dahulu kebenaran dari informasi yang diberitakannya).

Dengan demikian, dalam delik pers penghinaan, yang dibuktikan lebih dulu adalah (a) Apakah berita itu benar atau salah; (b) Apakah ada kesengajaan bagi wartawan untuk memberitakan informasi yang sebenarnya diketahui tidak benar dan (c) Apakah ia sama sekali tidak menempuh upaya untuk mengecek kebenaran informasi yang diberitakan. Tuduhan menghina terbukti manakala salah satu unsur tadi bisa dibuktikan.

Di AS, setiap tahun ratusan kasus delik penghinaan (libel) menimpa penerbitan koran, majalah, dan radio. Sebagian terbukti, sebagian lagi tidak. Jika terbukti, hukuman denda yang ditanggung tergugat umumnya amat berat. Bulan Mei 1991, misalnya, seorang pengusaha di Chicago, Robert Crinkley, memperkarakan harian Wall Street Journal.

Sebuah tulisan di koran ini menuduh Robert menyuap sejumlah pejabat asing. Wall Street Journal kalah dan harus membayar ganti rugi 2,25 juta dollar AS. Seorang Hakim Agung di Mahkamah Agung Pennsylvania marah dan menuntut Harian Philadelphia Inquiry yang menuduhnya menerima suap dalam sebuah kasus yang ditanganinya pada 1983. Setelah menjalani proses hukum cukup lama, Hakim Agung itu memenangkan perkara dengan menerima ganti rugi sebesar 6 juta dollar AS.

Barangkali contoh klasik dari delik penghinaan yang menimpa pers AS adalah gugatan hukum Jenderal Westmoreland, mantan panglima pasukan AS di Vietnam atas stasiun televisi CBS. Westmoreland naik pitam karena CBS menayangkan serangkaian reportase yang intinya menuduh sang Jenderal memberi laporan menyesatkan kepada Gedung Putih sehingga Pemerintah AS membuat kebijakan perang Vietnam yang keliru.

Setelah melewati proses hukum cukup melelahkan, CBS akhirnya mengalah dan bersedia membayar kompensasi yang tidak kecil kepada Westmoreland, selain minta maaf secara terbuka.

Di luar AS, jumlah delik pers penghinaan amat banyak. Di Korea Selatan (1999), 12 jaksa menuntut Harian Chosun Libo, karena menuduh mereka melakukan penyadapan dalam satu sidang pengadilan. Harian itu didenda 180 juta won.

Di Polandia, Presiden Aleksander Kwasniewski memperkarakan Harian Zycie, karena merasa namanya tercemar gara-gara tulisan di koran itu yang menuding sang Presiden menikmati liburan bersama seorang perwira intel Rusia bernama Alganov.

Pertanyaan kita, bagaimana bila ada penerbitan pers kita yang dinilai telah melakukan tindak pidana penghinaan karena tulisan atau reportase yang dipublikasikannya? Praktisi pers dan sejumlah ahli hukum menuntut semua delik pers supaya diselesaikan dengan berpedoman pada UU No 40/1999 tentang Pers. Bukan sesuai asas Lex Specialis?

Bila tidak demikian, buat apa kita membuat UU Pers? Sayang, orang-orang pers lupa, jaksa dan hakim kita tidak bodoh. Mengapa? Karena UU No 40 /1999 hanya mengatur "3 kejahatan" yang bisa dilakukan pers, yaitu pelanggaran terhadap norma agama, norma susila, dan prinsip praduga tak bersalah (Pasal 5 Ayat 1). Bila wartawan dinilai melakukan fitnah atau menghina, lalu jaksa tetap menggunakan pasal dalam UU No 40 Tahun 1999, wartawan itu akan lolos dari jeratan hukum!

Untuk itu, jaksa dan hakim "terpaksa" menggunakan pasal KUHP, yaitu Pasal 310 bis. Sikap itu jelas, dan sah. Bukankah pasal-pasal dalam KUHP selalu didahului kata "Barangsiapa"? "Barangsiapa" mengandung makna setiap saja, tanpa kecuali, apakah dia presiden, tukang becak, tentara atau wartawan.

Pokoknya, bila "barangsiapa" terbukti melakukan tindak pidana, dia harus dihukum. Bukankah negara kita berasas hukum? Tiap warga negara berkedudukan sama di muka hukum?

Masalahnya, banyak wartawan diam-diam menganggap dirinya hebat, dan amat penting bagi kehidupan negara sehingga tidak bisa dituntut hukum. Kalaupun wartawan bersalah, ya, diselesaikan oleh wartawan sendiri (via Dewan Pers).

Bukankah masyarakat yang merasa dirugikan bisa menggunakan hak jawab? Sedang pers wajib melayani hak jawab? Wartawan pura-pura lupa, ralat yang dipasang pers terlalu sering tidak proporsional dan mengalami time lag cukup lama, sehingga penghinaan itu sudah merangsak kuat dalam otak publik. Lagipula, sesuai teori first order dalam ilmu komunikasi, substansi ralat biasanya kurang dipercaya masyarakat.

Tjipta Lesmana Dosen "Etika dan Filsafat Komunikasi" Universitas Bung Karno, Jakarta











-------------
Artikel Lain

* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi




-------------




-------------

Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!





--------------------

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...