Friday, February 13, 2009

Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?





Oleh:

M. Jodi Santoso





Dengan diberlakukannya KUHAP (UU No 8/1981), terjadi pergeseran model dalam sistem peradilan pidana Indonesia dari model civil law system khususnya model Belanda ke arah sistem campuran (mix system). Salah satu tradisi common law yang diadopsi KUHAP adalah konsep habeas courpus yang menjelma menjadi praperadilan.

Habeas courpus muncul pertama kali di Inggris pada tahun 1302 dan menjadi prinsip dasar dalam sistem hukum negara tersebut. Nama lengkapnya habeas corpus ad subjiciendum (Latin) yang berarti "you may hold the body subject to examination." Habeas corpus (corpus ad subjiciendum) merupakan a writ atau surat perintah dari pengadilan untuk menguji kebenaran dari penggunaan upaya paksa (dwang middelen) baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat. Amerika Serikat mengadopsi konsep ini melalui Habeas Corpus Act of 1679 dan menjadi bagian penting dalam proses peradilan pidana Amerika.

Indonesia tidak mengadosi seluruh habeas courpus. Praperadilan sebagai perwujudannya hanya berperan sebagai hakim pengawas (examinating judge) yang kewenangannya terbatas pada pemeriksaan aspek formalitas yaitu sah-tidaknya syarat-syarat formil dilakukannya upaya paksa oleh polisi atau jaksa. Pemeriksaan terbatas pada sah tidaknya penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat. Praperadilan tidak berperan sebagai hakim investigasi (investigating judge) untuk melakukan pemeriksaan substansi perlu tidaknya upaya paksa dilakukan. Pada praperadilan ini, hakim bersifat pasif tidak dapat memeriksa dan memutus tanpa adanya pemohonan dari tersangka, keluarga atau kuasanya, penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga.

Perlindungan Tersanka dalam Tradisi Common Law dan Civil Law

Keterbatasan Praperadilan, mendorong dihidupkannya konsep hakim komisaris (rechters commisaris) dalam RUU KUHP untuk mengganti Praperadilan. Konsep ini mengadopsi tradisi negara civil law khususnya rechters commisaris di Belanda. Konsep hakim komisaris memberi peran aktif pada hakim baik sebagai hakim pengawas (examinating judge) maupun sebagai hakim investigasi (investigating judge) untuk melakukan pemeriksaan perlu tidaknya upaya paksa. Di Perancis, model demikian hampir sama dengan konsep le juge d’ instruction. Hakim melalui le juge d’ instruction berwenang memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti lainnya serta dapat membuat berita acara pemeriksaan, melakukan penahanan, penyitaan, bahkan menentukan apakah cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan.

Baik tradisi common law maupun civil law mengenal peran hakim dalam proses praajudikasi (sebelum sidang). Tujuan hakim komisaris (rechters commisaris ) dan Praperadilan (Habeas corpus) sama yaitu melindungi hak tersangka, tetapi dalam pijakan yang berbeda. Habeas corpus beranjak dari pemberian hak pada tersangka untuk mengajukan keberatan ke pengadilan atas upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan. Sementara itu, Konsep hakim komisaris didasarkan pada hak yudikatif untuk melakukan kontrol terhadap eksekutif. Proses pemeriksaan hakim komisaris bersifat tertutup.

Dalam konteks transparansi proses peradilan, praperadilan memberikan jaminan dan perlindungan pada tersangka untuk melakukan keberatan terhadap upaya paksa baik dalam proses penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan. Akan tetapi, dalam praktiknya, pemberian hak pada tersangka sering tidak digunakan. KUHAP memberikan hak pada tersangka tapi tidak disertai dengan memberikan kewajiban pada negara agar hak tersebut dapat terpenuhi. Tidak banyak tersangka dan keluarga menggunakan hak untuk melakukan praperadilan. Hanya perkara besar dan orang tertentu yang menggunakan hak melakukan keberatan terhadap upaya paksa melalui pranata praperadilan. Pada kondisi demikian, hakim komisaris mempunyai peran penting untuk melakukan kontrol terhadap tindakan paksa yang dilakukan penyidik dan penuntut umum.

Baik konsep Habeas corpus (praperadilan) maupun hakim komisaris (rechters commisaris mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Politik hukum pidana selanjutnya menentukan pilihan mana yang lebih memungkinkan untuk di terapkan di Indonesia.

Representasi Masyarakat melalui Grand Jury

Dalam tradisi common law, masyarakat dapat terlibat langsung dalam proses peradilan pidana melalui grand jury. Grand jurors (anggota grand jury) berasal dari masyarakat. Meski berasal dari konsep jury system, tetapi grand jury berbeda dengan juri dipersidangan (petit jury). Grand jury tidak menentukan salah atau tidak bersalahnya seseorang. Grand jury hanya bertugas menentukan adanya probable cause (bukti permulaan) terjadinya suatu tindak pidana berat (felony) dengan ancaman pidana satu tahun atau lebih atau hukuman mati serta menentukan adanya seseorang telah melakukan tindak pidana berat tersebut.

Grand jury mempunyai kewenangan memanggil saksi-saksi untuk memastikan telah terjadi sebuah tindak pidana. Ketika grand jury percaya bahwa suatu tindak pidana telah terjadi maka mereka akan mengeluarkan sebuah indictment atau presentments yaitu documents atau rekomendasi tentang adanya cukup bukti bahwa seseorang telah melakukan sebuah tindak pidana. Akan tapi, jika grand jury tidak menemukan cukup bukti maka, grand jury dapat menyatakan "no true bill."

Ditinjau dari aspek sejarah, pada saat Amerika Serikat berdiri, sistem jury diadopsi sebagai bagian dari sistem pemerintah. Hal ini dilakukan karena satu alasan utama yaitu the Founders tidak percaya pada hakim, penuntut, penyidik dan aparat hukum lainnya. Sistem jury termasuk grand jury diadakan untuk memberikan perlindungan dan tegaknya hak asasi dan konstitusi Amerika Serikat. Karena hal tersebut, perlu ada representasi dari masyarakat untuk ikut mengkontrol proses peradilan pidana. Di Los Angeles, misalnya, setiap tahun dilakukan pemilihan dua calon grand jurors yang berasal dari masyarakat. Tujuan utama merekrut grand juror dari masyarakat adalah untuk merepresentasikan berbagai budaya, etnik, dan kehidupan serta untuk merefleksikan berbagai kepentingan dan keinginan masyarakat Los Angeles.

Di Indonesia, mengadopsi konsep grand jury dalam KUHAP bukanlah hal muda. Konsep Grand jury yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Pada sisi lain, kekakuan sebagian pengambil kebijakan terhadap penerapan tradisi civil law system secara mutlak menjadi kendala untuk menyerap konsep-konsep common law dan konsep lain dalam KUHAP. Kendala lain adalah munculnya "perlawanan" dari subsistem lama dalam sistem peradilan pidana. Penerapan konsep grand jury yang merepresentasikan masyarakat dalam dalam proses peradilan dengan sendirinya akan mengurangi kewenangan lembaga lain.

Sebagai penutup, Apapun bentuk perubahan undang-undang, penegakan hukum akan lebih baik dengan polisi, jaksa, hakim, hakim komisaris yang baik meski undang-undang jelek. Meminjam ungkapan Taverne (1876), "Geef me, goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitie en goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken".




----------



-------------
Artikel Lain

* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...