Monday, December 22, 2008

Terima Kasih Ibu, Majulah Perempuan Indonesia

”......pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan untuk menjadi saingan laki-laki. Tapi ....agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke tangannya yaitu menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [dikutip dari Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]

22 Desember, 80 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1928, para pejuang perempuan Indonesia untuk kali pertama berkumpul dalam sebuah kongres perempuan yang diselenggarakan di Yogyakarta di sebuah gedung yang sekarang dikenal Mandalabhakti Wanitatama. Kongres yang menghasilkan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) ini di anggap sebagai tonggak sejarah perjuangan perempuan Indonesia. Sebagai simbul perjuangan kaum perempuan, Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959 menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.


Meski demikian, hari itu bukan awal dari pergerakan perempuan Indonesia.

Jauh sebelumnya, muncul sejumlah pejuang pemajuan perempuan Indonesia. R.A. Kartini, misalnya, melalui surat-suratnya telah membuka mata dunia tentang pentingnya memperjuangkan hak perempuan sesuai kodratnya untuk bersama laki-laki memperbaiki kualitas hidup manusia. Tulisan-tulisan emasnya tersebut dikumpulan dalam sebuah buku
yang berjudul Door Duisternis Tot Licht- dari gelap kepada cahaya. Door Duisternis Tot Licht sendiri diilhami dari penggalan kalimat dalam surah Al-Baqarah ayat 257 yaitu Minazh-Zhulumaati ilan Nuur.

Tinta sejarah juga mencatat nama Dewi Sartika. Pejuang pemajuan perempuan melalui pendirian Sakolah Istri (kemudian berubah menjadi Sakola Kautamaan Istri- Sekolah Keutamaan Perempuan) pada tahunn 16 Januari 1904. Atau, Nyai Achmad Dahlan, yang mendirikan pengajian wanita Sopo Tresno (siapa cinta) tahun 1914 yang kini menjadi organisasi Aisyiyah sebuah organisasi perempuan yang terus memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia hingga saat ini. Atau, deretan nama lain yang tidak kalah kukuhnya memperjuangkan hak perempuan di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan.

Rentetan perjuang kaum perempuan tersebut merupakan wujud kesetaraan dan kualitas manusia Indonesia. Peringatan Hari Ibu, bukan untuk sekedar menyanjung dan bersimpuh dikaki ibu. Peringatan 22 Desember juga bukan hanya untuk memuja perempuan atau memanjakannya. Kita (kaum laki-laki dan perempuan) seharusnya menjadikan perempuan sebagai pelaku perubahan. Tidak ada alasan untuk menempatkan perempuan sebagai insan nomor dua. Sinergi positif tanpa membedakan jender lebih dikedepankan untuk pembaruan kualitas manusia di Indonesia.

Terima kasih Ibu, Majulah Perempuan Indonesia

Karena ada ibu, Aku ada.
Karena ibu pula Aku terus berdiri

Bersama perempuan, aku maju
Berjalan beriring bersama menggapai cita

Ibu, engkaulah guru pertamaku
Terima kasih ibu, belaianmu semangat hidupku

Perempuan, engkaulah teman pertamaku
Majulah perempuan, bersamamu untuk mewujudkan citra, cinta, dan cita anak Indonesia

Terima kasih ibu,
Majulah Perempuan Indonesia.

Jakarta, 22 Desember 2008








----------



Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------
[FM82309-8]

PRAPERADILAN VERSUS HAKIM KOMISARIS

PRAPERADILAN VERSUS HAKIM KOMISARIS
Beberapa Pemikiran mengenai Keberadaan Keduanya

Dr. (JUR.) ADNAN BUYUNG NASUTION


Pendahuluan

Pertama-tama saya menyambut gembira hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana ini, sebagai pembaharuan terhadap UU No. 8 Tahun 1981 mengenai Hukum Acara Pidana atau disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sekalipun ketika KUHAP tersebut dibuat (tahun 1970-an sampai diundangkan tahun 1981), sudah merupakan pembaharuan total dari kitab undang-undang hukum acara pidana kolonial, Herziene Indische Reglement (HIR), sehingga kita banggakan sebagai salah satu “masterpiece” dalam hukum nasional. Namun harus diakui bahwa setelah berjalan lebih dari dua decade, ternyata banyak kekurangan dan kelemahan yang ditemukan dalam praktek, sehingga timbul kebutuhan baru yang mendesak untuk diperbaiki. Hal ini wajar karena sesuai dengan dinamika perkembangan dan pertumbuhan masyarakat demokratis yang menuntut adanya pemabaruan hukum secara berlaka atau dengan perkataan lain hukum yang responsive.

Meskipun demikian, terhadap RUU KUHAP tersebut khusus mengenai rencana untuk menggantikan lembaga Praperadilan dengan model Hakim Komisaris, saya berbeda pendapat. Oleh karena itu, sewaktu Panitia meminta saya menulis paper dengan judul “Beberapa Pemikiran mengenai Keberadaan Hakim Komisaris sebagai Pengganti Lembaga Praperadilan”, saya ubah judul paper saya menjadi “Praperadilan versus Hakim Komisaris, Beberapa Pemikiran mengenai Keberadaan Keduanya”. Sebab, judul yang diminta berasumsi, seolah-olah kita sudah menerima penggantian lembaga praperadilan dengan Hakim Komisaris. Padahal saya berpendapat, meskipun terdapat beberapa kekurangan dan kelemahan, secara prinsip lembaga praperadilan masih perlu dipertahankan, tentu saja dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan.

Sejarah Lahirnya Praperadilan

Untuk lebih memehami keberadaan lembaga praperadilan yang ada sekarang ini, perlu kiranya dijelaskan latar belakang sejarah kelahirannya sehingga masuk ke dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku. Saya mengetahui secara persis karena terlibat secara langsung dalam proses permulaan kelahirannya.

Pada waktu RUU Hukum Acara Pidana diajukan oleh Pemerintah dibawah menteri Kehakiman Mudjono, S.H. (alm) ke DPR pada akhir tahun 1979, timbul reaksi keras dari masyarakat baik dari kalangan LBH/YLBHI, Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Akdemisi maupun kalangan pers, yang mengganggap bahwa RUU tersebut amat buruk, bahkan lebih jelek dari HIR yang akan digantikannya. Rancangan itu dianggap masih saja berorientasi pada kekuasaan dan tidak cukup melindungi hak-hak asasi tersangka ataupun terdakwa yang selama berpuluh tahun dibawah HIR tidak dilindungi. Ketika itu muncul “Komite Aksi Pembela Pancasila dalam KUHAP”, yang terdiri dari gabungan LBH/YLBHI dan LBH-LBH kampus, para akademisi dan wakil-wakil pers, yang menolak dan menuntut pada pemerintah agar RUU tersebut dicabut. Dan sebagai penggantinya Komite mengajukan usul tandingan, demikian juga Peradin mengajukan RUU tandingan.

Dalam pertemuan antara delegasi Komite bersama Peradin dengan pihak Pemerintah yang dipimpin Menteri Kehakiman Mudjono, S.H., Pemerintah menolak mencabut RUU KUHAP namun menyetujui untuk membuat draft yang baru bersama DPR dengan masukan-masukan baik dari Komite, maupun Peradin dan lembaga-lembaga lainnya. Mak KUHAP sebenarnya merupakan draft baru sama sekali yang dibuat langsung di DPR oleh Pansus DPR bersama Pemerintah dengan masukan-masukan dari masyarakat sehingga benar-benar merupakan undang-undang yang demokratis, dengan meninggalkan RUU yang dibuat pemerintah sebelumnya.

Salah satu hal baru yang merupakan terobosan dalam pembuatan undang-undang baru itu adalah gagasan lembaga praperadilan, yang kebetulan saya sendirilah penggagas awalnya. Gagasan ini secara resmi diajukan dalam pertemuan dengan Menteri Mudjono, oleh “Komite Pembela Pancasila dalam KUHAP”, dan didukung oleh Peradin untuk menggantikan model Hakim Komisaris yang ada dalam RUU versi Pemerintah ketika itu, Menteri Mudjono menerima baik gagasan tersebut, dan meminta saya dibantu beberapa ahli, antara lain Saudara Gregory Churcill, lawyer Amerika yang mengajar di UI.

Dasar Pemikiran Lembaga Praperadilan

Gagasan lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia. Surat perintah habeas corpus ini dilekuarkan oleh pengadilan pada pihak yang sedang menahan (polisi atau jaksa) melalui prosedur yang sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Bunyi surat perintah habeas corpus (the writ of habeas corpus) adalah sebagai berikut: “Si tahanan berada dalam penguasaan Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.

Prinsip dasar habeas corpus ini memberikan inspirasi untuk menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketepatan dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upya paksa (dwang middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi saat itu dimana sering terjadi perkosaan hak asasi tersangka atau terdakwa oleh penyidik dan jaksa penuntut umum, karena tidak adanya suatu lembaga atau mekanisme yang dapat menilai dan menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Seorang tersangka atau terdakwa yang ditangkap atau ditahan, seolah-olah berada dalam suatu “ruangan gelap” dan tidak berdaya sama sekali (helpless). Saya sendiri mengalaminya dan dapat merasakan bagaimana tidak berdayanya seseorang yang tiba-tiba direnggut kemerdekaannya dan dijebloskan dalam sel penjara tanpa surat perintah penahanan tanpa sempat didengan dan diperiksa terlebih dahulu, dan sama sekali tidak bisa berhubungan dengan dunia luar termasuk keluarga, atau dengan perkataan lain, dengan serta merta menjadi incommunicado. Pada saat itulah terbayang dalam pikiran saya, perlunya suatu forum terbuka yang memberikan hak berupa upaya hukum pada seseorang untuk melawan atau menggugat tindakan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penguasa.

Padahal sistem peradilan kitapun menganut asas praduga tidak bersalah, yang artinya setiap orang yang disangka atau diduga keras telah melakukan tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya oleh suatu putusan pengadilan melalui sidang peradilan yang terbuka, bebas dan tidak memihak. Maka orang tersebut haruslah dijunjung dan dilindungi hak asasinya. Namun pada kenyataannya dalam mencari pembuktian terhadap orang yang baru disangka atau diduga melakukan tindak pidana, pihak penyidik atau penuntut umum seringkali langsung saja menggunakan upaya paksa (dwang middelen) tanpa dipenuhinya syarat-syarat formil terutama syarat-syarat materiil dalam hal penangkapan maupun penahanan.

Pengawasan dan penilaian terhadap upya paksa yang digunakan inilah yang tidak kita miliki dalam tingkatan pemeriksaan pendahuluan di masa berlakunya HIR. Memang pada masa itu ada semacam pengawasan oleh hakim yakni dalam hal perpanjangan waktu penahanan sementara yang harus dimintakan persetujuan hakim (pasal 83 C ayat 4, HIR). Namun dalam praktek kontrol hakim ini kurang dirasakan manfaatnya, karena tidak efektif mengingat urusan perpanjangan penahanan oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata-mata dianggap urusan birokrasi.

Dalam proses tersebut, semua surat permohonan perpanjangan penahanan secara serta merta tanpa diperiksa lagi langsung sajadi tandatangani oleh hakim ataupun petugas yang ditunjuk oleh hakim. Akibatnya banyak penahanan yang berlarut-larut sampai bertahun-tahun dan korban yang bersangkutan tidak memiliki hak dan upaya hukum apapun yang tersedia baginya untuk melawan kesewenang-wenangan yang menimpa dirinya. Dia hanya pasrah pada nasib, dan menunggu belas kasihan dari hakim untuk membebaskannya kelak di muka pemeriksaan persidangan pengadilan.

Pengalaman empiris pribadi saya seperti diuraikan di atas dan kondisi objektif inilah yang melahirkan inspirasi untuk mengambil prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka atau terdakwa untuk melakukan tuntutan ataupun gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia.

Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya ataupula atas kuasanya merupakan suatu forum yang terbuka, yang dipimpin seorang hakim atau lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya di muka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa seperti halnya dalam Habeas Corpus Act, dijamin hak asasinya berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun penuntut umum. Sebab dalam forum itu pihak penyidik atau penuntut umum wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar hukum.

Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan, adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan adanya alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi kejahatannya.

Disamping itu, melalui forum praperadilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas publik (public accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjungjung tinggi hak asasi manusia. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah timbulnya praktek-praktek birokrasi yang tertutup dan sewenang-wenang dalam menahan orang ataupun memperpanjang penahanan seperti terjadi pada masa HIR sebagaimana diuraikan di atas. Juga dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam proses membebaskan penahanan. Melalui forum terbuka ini masyarakat juga dapat ikut mengontrol jalannya proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum hakim praperadilan yang memerdekakannya.

Kelemahan dan Kekurangan Sistem Peradilan

Sekalipun secara prinsip, sistem praperadilan tersebut diterima dan diberlakukan dalam UU No. 1 tahun 1981 tentang KUHAP, namun sangat disayangkan tugas dan wewenang praperadilan sangat terbatas. Hal ini disebabkan bukan saja karena keterbatasan wawasan yang dimiliki saat itu, mengingat praperadilan adalah barang baru sama sekali, melainkan juga karena situasi dan kondisi politik yang amat represif saat itu, sehingga tidak memungkinkan dikabulkannya jaminan hak asasi yang lebih luas. Praperadilan yang dirumuskan saat itu harus dilihat sebagai hasil optimal yang bisa dicapai, antara lain juga mengingat konstelasi kekuatan-kekuatan politik baik pihak kepolisian maupun kejaksaan dimasa itu yang umumnya masih kuat berorientasi pada kekuasaan.

Menurut Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-undang ini tentang (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Dengan demikian Praperadilan hanyalah menguji dan menilai tentang kebenaran atau ketepatan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum dalam hal yang menyangkut penangkapan dan penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan, serta hal ganti rugi dan rehabilitasi.

Dengan demikian harus diakui bahwa praperadilan memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan, karena: Pertama, tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan, misalnya tindakan penggeledehan, penyitaan dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi pelanggaran. Disini lembaga praperadilan kurang memperhatikan kepentingan perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa dalam hal penyitaan dan penggeledehan, padahal penggeledahan yang sewenang-wenang merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat tinggal orang (privacy), dan penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik seseorang.

Kedua, praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, tanpa adanya permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Sehingga apabila permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau penahanan nyata-nyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku, maka sidang praperadilan tidak dapat ditiadakan.

Ketiga, lebih parah lagi sebagaimana ternyata dalam praktek selama ini dalam pemeriksaan praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada atau tidak adanya surat perintah penangkapan (Pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya. Padahal syarat materiil inilah yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut umum. Tegasnya hakim pada praperadilan seolah-olah tidak peduli apakah tindakan penyidik atau jaksa penuntut umum yang melakukan penangkapan benar-benar telah memenuhi syarat-syarat materiil, yaitu adanya “dugaan keras” telah melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang cukup”. Ada tidaknya bukti permulaan yang cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh Hakim, karena umumnya hakim praperadilan mengganggap bahwa hal itu bukan menjadi tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki materi pemeriksaan perkara yang menjadi wewenang hakim dalam sidang pengadilan negeri.

Demikian juga dalam hal penahanan, hakim tidak menilai apakah tersangka atau terdakwa yang “diduga keras” melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti yang cukup” benar-benar ada alasan yang konkrit dan nyata yang menimbulkan kekhawatiran bahwa yang bersangkutan “akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi perbuatannya”. Para hakim umumnya menerima saja bahwa hal adanya kekhawatiran tersebut semata-mata merupakan urusan penilaian sebjektif dari pihak penyidik atau penuntut umum, atau dengan lain perkataan menyerahkan semata-mata kepada hak dikresi dari pihak penyidik dan penuntut umum. Akibatnya sampai saat ini masih banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan dalam hal penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka ataupun terdakwa oleh pihak penyidik ataupun penuntut umum, yang tidak dapat diuji karena tidak ada forum yang berwenang memeriksanya. Padahal dalam sistem habeas corpus act dari negara Anglo Saxon, hal ini justru menjadi tonggak ujian sah tidaknya penahanan terhadap seseorang ataupun boleh tidaknya seseorang ditahan.

Di Amerika peranan hakim, tidak hanya terbatas pada pengawasan terhadap tindakan penangkapan dan penahanan yang sudah terjadi, melainkan pada waktu sebelumnya, yaitu sebelum diadakan penahanan, bahkan sebelum dikeluarkannya surat dakwaan. Hakim berwenang memeriksa dan menilai apakah ada alasan dan dasar hukum yang kuat tentang terjadinya peristiwa pidana dan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk mendakwa bahwa tersangka memang pelakunya, walaupun pemeriksaan tentang bersalah tidaknya berdasarkan bukti-bukti yang ada baru dilangsungkan kemudian dalam sidang pemeriksaan perkara.

Hakim Komisaris bukan Istilah Baru

Istilah hkaim komisaris sebenarnya bukan barang baru di Indonesia, sebab pada saat diberlakukannya Reglement op de Strafvoerdering, hal itu sudah diatur dalam title kedua tentang Van de regter-commissaris berfungsi pada tahap pemeriksaan pendahuluan sebagai pengawas (examinating judge) untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa (dwang middelen), yang meliputi penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah atau tidak. Selain itu, dalam Reglement op de Strafvoerdering tersebut Hakim Komisaris atau regter-commissaris dapat melakukan tindakan eksekutif (investigating judge) untuk memanggil orang, baik para saksi (Pasal 46) maupun tersangka (Pasal 47), mendatangi rumah para saksi maupun tersangka (Pasal 56), dan juga memeriksa serta mengadakan penahanan sementara terhadap tersangka (Pasal 62). Akan tetapi setelah diberlakukan Herziene Indische Reglement (HIR) dengan Staatsblad No. 44 Tahun 1941, istilah regter-commissaris tidak digunakan lagi.

Selanjutnya istilah Hakim Komisaris mulai muncul kembali dalam konsep Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diajukan ke DPR pada tahun 1974, pada masa Prof. Oemar Seno Adjie, S.H., menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Dalam konsep ini, Hakim Komisaris memiliki wewenang pada tahap pemeriksaan pendahuluan untuk melakukan pengawasan pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen), bertindak secara eksekutif untuk ikut serta memimpin pelaksanaaan upaya paksa, menentukan penyidik mana yang melakukan penyidikan apabila terjadi sengketa antara polisi dan jaksa, serta mengambil keputusan atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang dikenakan tindakan. Latar belakang diintrodusirnya Hakim Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses pidanan dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang berbeda. Penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang.

Jika diteliti lebih jauh, dasar pemikiran adanya hakim komisaris dalam sistem Eropa Kontinental, antara lain Belanda, sebenarnya tidak bisa dilepaskan daripada fungsi hukum acara pidana yang bertujuan mencari dan menemukan kebenaran sejati serta menjalankan atau melaksanakan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil memiliki asas fundamental bahwa tidak ada suatu tindak pidana tanpa ada undang-undang yang mengatur sebelumnya (nullum delictum nulla poena praviae siena lege poenali). Assa ini yang dimuat dalam pasal 1 Wetbook van Straftrecht Belanda, mempengaruhi keseluruhan proses hukum acara pidana, baik di dalam penyidikan, penuntutan maupn penggeledahan.

Untuk seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa, maka hukum acara mensyaratkan harus adanya dugaan keras bahwa orang tersebut bersalah melakukan suatu tindak pidana. Begitu pula seseorang yang ditahan harus dipenuhi syarat bahwa ada cukup bukti bahwa orang tersebut bersalah terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Demikian juga didalam hal memasuki rumah seseorang (menggeledah), harus ada dugaan keras bahwa telah terjadi tindak pidana. Sebab, jika tidak dipenuhi syarat-syarat tersebut maka pihak tersangka dapat melakukan perlawanan (verzet) yang dapat dibenarkan hakim.

Maka dapat dimengerti munculnya fungsi hakim komisaris dalam sistem Eropa Kontinental seperti Belanda bertujuan mengawasi jalannya proses hukum acara pidana khususnya pelaksanaan wewenang pihak eksekutif, dalam hal ini pihak penyidik dan penuntut umum yang dalam rangka mencari bukti pada pemeriksaan pendahuluan melakukan tindakan-tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pembukaan surat-surat. Dengan demikian pengawasan hakim komisaris ini pada dasarnya merupakan hak kontrol dari pihak yudikatif (control van rechterlijkemacht) terhadap eksekutif. Karena itulah hakim diberi wewenang yang demikian luas mencampuri bidang tugas penyidik maupun penuntut umum dalam hal pemeriksaan pendahuluan.

Sekalipun demikian di Negeri Belanda sendiri sampai sekarang, masih menjadi persoalan sampai sejauh mana batasan wewenang hakim komisaris dalam mengawasi pemeriksaan pendahuluan, karena dianggap mencampuri bidang eksekutif yaitu bidang penyidikan yang merupakan wewenang penyidik dan atau kejaksaan selaku penuntut umum. Sebab, misalnya dikhawatirkan pada saat seorang hakim komisaris memasuki bidang eksekuif dan harus berhadapan dengan masalah kebijakan, maka hakim tidak akan bisa lagi bersikap netral.

Hakim Komisaris menurut RUU KUHAP

Hakim Komisaris menurut RUU KUHAP memiliki kewenangan yang lebih luas dari Praperadilan. Menurut Pasal 75 RUU KUHAP Hakim Komisaris memiliki tugas dan kewenangan untuk (a) menentukan perlu tidaknya diteruskan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum; (b) menentukan perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum; (c) menentukan perlu tidaknya pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum; (d) menentukan sah atau tidaknya suatu penyitaan, penggeledahan tempat tinggal atau tempat yang lain yang bukan menjadi milik Tersangka; (e) memerintahkan Penyidik atau Penuntut Umum membebaskan tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir masa penahanan tersebut, jika terdapat dugaan kuat adanya penyiksaan atau kekerasan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Tugas dan wewenang Hakim Komisaris tersebut dilakukan dengan permohonan atau tanpa permohonan oleh tersangka atau terdakwa, keluarga, atau kuasanya kepada Hakim Komisaris. Dengan demikian tindakan Hakim Komisaris pada tahap pemeriksaan pendahuluan bersifat aktif, dan berfungsi baik sebagai examinating judge maupun investigating judge.

Komentar dan Kritik terhadap model Hakim Komisaris dibandingkan dengan Lembaga Praperadilan.

Harus diakui, tugas dan wewenang HakiM Komisaris sebagaimana dirumuskan dalam RUU KUHAP ternyata lebih luas daripada wewenang Hakim Praperadilan. Karena tidak hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan ataupun penghentian penyidikan dan penuntutan melainkan juga perihal perlu tidaknya diteruskan penahanan ataupun perpanjangan penahanan, perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, perlu tidaknya pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan, sah atau tidaknya penyitaan dan penggeledahan, serta wewenang memerintah penyidik atau penuntut umum untuk membebaskan tersangka atau terdakwa jika terdapat dugaan kuat adanya penyuiksaan ataupun kekerasan pada tingkat penyidikan ataupun penuntut.

Sekalipun demikian menurut hemat saya model hakim komasaris yang pada dasarnya mengambil model pengawasan yang menjadi tradisi sistem peradilan Eropa Kontinental seperti halnya Belanda, mengandung beberapa kelemahan mendasar dibandingkan dengan lembaga praperadilan. Pertama, dilihat dari konsep dasarnya, kedua sistem tersebut memiliki konsep yang berbeda, seklaipun tujuannya sama yaitu sama-sama melindungi hak asasi manusia terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. Dalam kekuasaan negara, yakni hak kontrol dari kekuasaan kehakiman (yudikatif) terhadap jalannya pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan pihak eksekutif berdasarkan wewenangnya. Sedangkan lembaga praperadilan bersumber pada hak habeas corpus yang pada dasarnya memberikan hak kepada seseorang yang dilanggar hak asasinya untuk melakukan perlawanan (redress) terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau jaksa dengan menuntut yang bersangkutan dimuka pengadilan agar mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan membuktikan bahwa upaya paksa yang dilakukan tersebut tidak melanggar hukum (ilegal) melainkan sah adanya. Disini tekanan diberikan pada hak asasi yang dimiliki tersangka atau terdakwa sebagai manusia yang merdeka, yang karena itu tidak dapat dirampas secara sewenang-wennag kemerdekaannya (menguasai diri orang, “that you have the body”).

Perbedaan hakiki tersebut membawa konsekuensi bahwa dalam konsep hakim komisaris, kemerdekaan seseorang amat digantungkan pada “belas kasihan” negara, khususnya kekuasaan kehakiman untuk melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap pihak eksekutif (penyidik dan penuntut umum) dalam menjalankan pemeriksaan pendahuluan. Sedangkan dalam konsep praperadilan, kemerdekaan orang itu memberikan hak fundamental padanya untuk melawan dan menuntut negara, dalam hal ini pihak eksekutif yaitu penyidik dan penuntut umum, untuk membuktikan bahwa tindakan upaya paksa yang dilakukan negara benar-benar tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan hak asasi manusia, dan jika yang bersangkutan tidak berhasil membuktikannya maka orang tersebut harus dibebaskan dan mendapatkan kembali kebebasannya.

Kedua, sistem pemeriksaan oleh Hakim Komisaris pada dasarnya bersifat tertutup (internal) dan dilaksanakan secara individual oleh hakim yang bersangkutan terhadap penyidik, penuntut umum, saksi-saksi bahkan juga terdakwa. Sekalipun pemeriksaan itu dilakukan secar objektif dan profesional, namun karena sifatnya yang tertutup maka tidak ada transparansi dan akuntabilitas publik, sebagaimana halnya proses pemeriksaan sidang terbuka dalam forum praperadilan. Akibatnya masyarakat (publik) tidak dapat turut mengawasi dan menilai proses pemeriksaan pengujian serta penilaian hakim terhadap benar tidaknya, atau tepat tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik ataupun jaksa penuntut umum. Dalam kondisi sekarang, syarat transparansi dan akuntabilitas publik ini amat diperlukan, terutama dalam menghadapi korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah melanda bidang peradilan.

Ketiga, pengawasan oleh hakim komisaris dalam sistem peradilan Eropa Kontinental, antara lain Belanda, merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem pengawasan hierarkis, yang dilakukan Hakim (justitie), terhadap Jaksa (Openbaar Ministrie) dan Kepolisian. Dalam sistem tersebut, hakim mengawasi jaksa, dan selanjutnya jaksa mengawasi polisi sebagai satu kesatuan sistem pengawasan integral yang harmonis dan serasi. Maka apabila konsep ini mau diterapkan, syaratnya ketiga fungsionaris tersebut (Hakim, Jaksa dan Polisi), sekalipun masing-masing merupakan instansi yang berdiri sendiri, namun didalam bidang peradilan atau proses poemeriksaan perkara dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan secara fungsional adalah merupakan satu rangkaian hierarki kesatuan fungsi yang berbagi tugas dan wewenang namun saling melengkapi.

Sistem ini dahulu pernah dimiliki oleh negara kita sebagai bekas jajahan Belanda sesuai asas konkordansi. Namun sejak Dekrit 5 Juli 1959 sistem tersebut sudah dirobah (retool), sesuai dengan tuntutan Demokrasi Terpimpin, dimana ketiga instansi tersebut masing-masing menjadi berdiri sendiri-sendiri dan terpisah secara tajam. Masing-masing instansi menolak campur tangan instansi lainnya, seperti Kejaksaan menolak campur tangan hakim, dan Kepolisian juga menolak campur tangan hakim, dan Kepolisian juga menolak campur tangan Kejaksaan. Hal ini dapat kita lihat pada waktu diajukannya model hakim komisaris dalam konsep RUU KUHAP tahun 1974, dimana timbul keberatan-keberatan dari pihak kepolsian maupun kejaksaan, karena menganggap bahwa pengawasan dalam tingkatan pemeriksaan pendahuluan adalah wewenang masing-masing instansi penyidik yaitu kepolisian dan kejaksaan. Akibatnya sistem kontrol secara hierarkis dan terpadu hilang.

Oleh karena itu, menurut hemat saya, dalam kondisi seperti sekarang ini, amatlah sulit diharapkan berjalannya sistem pengawasan dengan menggunakan model Hakim Komisaris, sekalipun misalnya diberikan kewenangan berdasarkan undang-undang. Andaikatapun model hakim komisaris ini hendak diterapkan kembali sesuai RUU KUHAP maka implikasinya adalah merombak kembali seluruh tatanan sistem peradilan kita sekarang ini, untuk dikembalikan pada sistem tradisi Eropa Kontinental seperti pernah berlaku dahulu di jaman berlakunya Strafvordering (Rs.V). hal ini berarti bahwa semua perundang-undangan yang berlaku sekarang ini yang menyangkut sistem peradilan harus diubah kembali, baik UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970), UU Pokok Kejaksaan (UU No. 5 Tahun 1991) dan maupun UU Pokok Kepolisian (UU No. 28 tahun 1997).

Pada dasarnya saya tidak keberatan diterapkan model Hakim Komisaris dalam Hukum Acara Pidana kita, asalkan kita sanggup melakukan tugas berat tersebut. Mengingat situasi dan kondisi politik sekarang ini saya sendiri menyangsikan bahwa perombakan total sistem peradilan tersebut dapat kita lakukan saat ini.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan segala sesuatu yang diuraikan di atas, penerapan Hakim Komisaris dalam sistem peradilan kita, khususnya dibidang pemeriksaan pendahuluan kiranya belum saatnya untuk diterapkan, mengingat sistem peradilan yang berlaku sekarang ini masih berjalan sendiri-sendiri dan belum terpadu. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa dilihat secara praktis lembaga praperadilan lebih feasible untuk dipertahankan dengan menambahkan semua tugas dan wewenang baru tersebut, yang berarti memperluas kewenangan hakim praperadilan, maka dapat diharapkan lembaga praperadilan sebagai forum yang terbuka dan accountable mampu melakukan pengawasan secara lebih efektif terhadap jalannya proses peradilan khususnya pemeriksaan pendahuluan di negara kita dan pada gilirannya lebih menjamin hak-hak asasi manusia.


Jakarta, 27 November 2001

Sumber : Newsletter KHN, April 2002











-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi




-------------




Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!





--------------------

Saturday, November 08, 2008

Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia




Oleh: Heru Susetyo *)


Pada pertengahan Juli 2008 publik Indonesia kembali tersentak. Eksekusi hukuman mati, yang diduga hanya sekedar gertakan, dan tak benar-benar dilaksanakan, ternyata betul-betul terjadi

Pada 19 Juli 2008, tiga terpidana mati, (Sumiarsih dan Sugeng) dieksekusi di Jawa Timur, dan satu lagi (Tubagus Maulana Yusuf alias Dukun Usep) dieksekusi di Lebak Banten. Uniknya, ketiga terpidana mati sebelumnya dipenjara dengan durasi yang sangat jauh berbeda. Sumiarsih dan Sugeng, Ibu dan Anak yang terlibat pembunuhan keluarga Letkol Purwanto pada 13 Agustus 1988, telah menjalani nyaris dua puluh tahun penjara, sebelum akhirnya dieksekusi. Sebaliknya, Dukun Usep, yang terbukti membunuh delapan orang klien-nya pada 2006 – 2007, baru menjalani satu tahun penjara saja sebelum akhirnya dieksekusi.



Sebelumnya, eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso pada bulan September 2006 lalu, mengagetkan dunia penegakan hukum Indonesia. Pasalnya, hukuman mati dan eksekusi mati biasanya terjadi untuk terpidana kasus narkoba seperti kasus Ayodhya Prasad Chaubey, terpidana mati kasus narkoba, yang telah dieksekusi pada 5 Agustus 2004 dan pembunuhan berencana, seperti kasus Ny. Astini, terpidana mati kasus pembunuhan dengan mutilasi, yang telah dieksekusi pada 20 Maret 2005. Namun, dalam kasus Tibo dkk, berlaku juga untuk pelaku kekerasan dalam konflik bernuansa SARA.



Semula, banyak pihak menduga bahwa hukuman mati hanya sekedar gertakan demi menimbulkan efek jera, dan tak pernah benar-benar dilaksanakan. Ada kesan telah tercipta moratorium (jeda eksekusi mati). Apalagi, banyak sudah terpidana mati di Indonesia namun tak semua benar-benar dieksekusi. Ada yang dirubah hukumannya menjadi seumur hidup, ada yang mendapat grasi presiden, ada yang kemudian bebas setelah menjalani hukuman penjara puluhan tahun. Sebaliknya, ada pula yang layak dihukum mati, semisal para koruptor kelas berat, namun masih saja bebas berkeliaran bahkan menghilang tak tentu rimbanya.



Eksekusi mati terhadap Sumiarsih dan Sugeng setelah mereka nyaris dua puluh tahun menjalani penjara dan terhadap Dukun Usep yang baru setahun dipenjara, menimbulkan pertanyaan legitimasi maupun manajemen (baca: hukum acara) eksekusi mati di Indonesia. Apakah eksekusi mati memang harus dilakukan dan memiliki legitimasi dalam sistem hukum Indonesia maupun hukum internasional? Pertanyaan kedua adalah, apakah memang terpidana mati harus menunggu sangat lama (death row) sebelum akhirnya benar-benar dieksekusi?



Menolak Eksekusi Mati

Kalangan yang tidak setuju dengan pidana mati beralasan bahwa hukuman mati adalah hukuman yang sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM), utamanya hak hidup. Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif terhadap masyarakat. Lalu, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur dieksekusi. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat pengadilan di Indonesia belum terbukti benar-benar bersih, independen, dan profesional.



Ada contoh menarik terkait eksekusi mati terhadap terpidana mati. Timothy McVeigh, mantan tentara AS veteran perang teluk, melakukan pemboman gedung FBI (Alfred P. Murrah Federal Buiding) di Oklahoma City-USA pada 19 April 1995. Ia kemudian dipidana mati dan akhirnya dieksekusi mati pada 11 Juni 2001. Kendati ia telah terbukti bersalah dan dituntut di sebelas negara bagian yang berbeda sebagai pelaku kejahatan yang menewaskan 168 jiwa, namun tak sedikit kalangan yang membelanya supaya dia tak dijatuhi hukuman mati. Menariknya, dari kalangan yang membela tersebut ada juga keluarga dari para korban pengeboman. Mereka mengatakan :”Dia (Tim Mc Veigh) memang telah melakukan kejahatan dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa. Namun, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang dilakukannya dengan mengambil nyawanya juga”.



Terkait dengan dasar hukum, legalitas penolakan terhadap hukuman mati datang dari beberapa instrumen HAM internasional antara lain: (1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, (2) Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty, (3) Protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1982 (European Convention on Human Rights), dan (4) Protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 2002 (European Conventon on Human Rights).


Dari empat instrumen di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional. Sedangkan ketiga instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki kekuatan secara hukum (entry into force) sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi oleh 50 negara dan ditandatangani oleh 7 negara lainnya (UNHCHR, 2006). Protokol ini mewajibkan bagi negara-negara yang telah meratifikasinya (state parties) untuk menghapuskan eksekusi dan hukuman mati dalam legislasi maupun dalam praktiknya.


Second Optional Protocol mendalilkan perlunya hukuman mati dihapus, dengan merujuk pada pasal 3 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi: "Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan (life, liberty, and security of person), juga pada pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR) yang berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak yang tak terpisahkan dan dilindungi oleh hukum, yaitu hak untuk hidup.


Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan hukuman mati (death penalty). Dari jumlah tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang (war time), dan 30 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik.


Sementara itu, 68 negara sampai kini masih memberlakukan hukuman mati dalam hukum nasionalnya. Di antaranya adalah Amerika Serikat (pada 37 negara bagiannya), Jepang, Korea (utara dan selatan), India, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.


Menurut catatan Amnesty lagi, selama tahun 2005 minimal 2148 terpidana telah dieksekusi di 22 negara dan 5186 lainnya telah divonis mati di 53 negara. Dari jumlah tersebut, 94% dari total eksekusi terjadi di empat negara saja, masing-masing China, Iran, Saudi Arabia, dan USA. Satu perkiraan kasar dari Mark Warren (Amnesty, 2006) menyebutkan bahwa total terpidana mati yang tengah menanti eksekusi di dunia berkisar antara 19.474 – 24.546 jiwa.



Mempertahankan Eksekusi Mati

Kendati hukuman mati telah ditolak oleh nyaris dua pertiga negara di dunia, tak urung masih ada sekitar 68 negara yang masih mempraktekkannya. Dari 68 negara tersebut, hanya Amerika bersama Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang tergolong negara 'maju', di samping beberapa negara petrodollar di Timur Tengah. Karena, selebihnya adalah negara-negara 'dunia ketiga.'



Sejak 1977, saat hukuman mati dihidupkan kembali di AS, tak kurang dari 820 jiwa telah dieksekusi. Pada 2002, sebanyak 71 jiwa telah dieksekusi. Kemudian, per 1 Januari 2002, sekitar 3.700 jiwa telah dijatuhi hukuman mati (belum dieksekusi). Hukuman mati masih berlaku di 37 negara bagian di AS.


Jepang bahkan memiliki kasus yang menarik. Bahwa seorang terpidana dijatuhi hukuman mati hanya karena menculik dan membunuh seorang gadis kecil bernama, Kaede Ariyama (7 tahun) pada November 2004 di daerah Nara. Kaoru Kobayashi, sang terpidana, divonis mati karena hakim berpendapat bahwa kejahatannya sangat sadis dan ia tak mungkin dapat direhabilitasi. Maka, tak mungkin menghentikan kejahatannya kecuali ia harus dipidana mati sebagai kompensasi kejahatannya ((Daily Yomiuri, 27 September 2006).


Di Indonesia sendiri, legalitas hukuman mati paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pasal pembunuhan berencana, Undang-Undang tentang Narkotika dan Psikotropika 1997, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 & 2001, UU Pengadilan HAM 2000 dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 2003.



Di level masyarakat Indonesia sendiri, hukuman mati tidak pernah menjadi isu yang sangat serius. Minimal sampai eksekusi mati Tibo dkk. Masih banyak praktek adat dan kebiasaan di beberapa masyarakat di Indonesia yang memang ‘mentolerir pengadilan jalanan’ sebagai bagian dari nilai budaya yang hidup. Juga, masih lekat pengaruh dari hukum agama, sebutlah hukum pidana Islam yang memang mengatur hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu (Hadd/Qishas). Kendati hukum pidana Islam bukanlah bagian dari hukum positif di Indonesia (terkecuali untuk Nanggroe Aceh Darussalam untuk sebagian wilayah pidana), namun sebagian masyarakat muslim menganggapnya sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.



Permasalahan muncul ketika pascareformasi 1998 Indonesia banyak melahirkan Undang-Undang bernuasan HAM, antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, dilanjutkan dengan ratifikasi terhadap dua Kovenan Internasional, masing-masing International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) pada tahun 2005. Mandat dari instrumen HAM tersebut (ICCPR) antara lain adalah negara harus menghargai hak hidup dan mewajibkan negara memiliki policy dan legislasi yang benar-benar melindungi hak hidup dan martabat kemanusiaan. Maka, kendati tidak secara eksplisit menyerukan hukuman mati, hadirnya instrumen tesebut semakin menegaskan kesenjangan yang terjadi dengan produk perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati.



Manajemen Eksekusi Mati

Merupakan tugas dari pembuat hukum dan pengambil kebijakan di negeri ini untuk meninjau kembali pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia. Apakah hukuman mati memang masih diperlukan di negeri ini? Bagaimanakah menyikapi kesenjangan yang terjadi antara perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati dengan instrumen HAM yang cenderung menghapuskan hukuman mati? Bagaimanakah meningkatkan kinerja, profesionalisme, dan independensi badan-badan peradilan sehingga dapat benar-benar menciptakan keadilan bagi masyarakat? Dan, akhirnya, bagaimanakah meningkatkan kesejahteraan rakyat secara umum melalui program-program pembangunan yang berkeadilan, sehingga, potensi rakyat untuk melakukan kejahatan akibat kemiskinan yang dideritanya dapat terus diminimalisir.



Selanjutnya, yang harus diperhatikan adalah memperbaiki manajemen dan hukum acara eksekusi mati di Indonesia. Mengapa harus memenjara orang hingga dua puluh tahun kalau akhirnya dieksekusi mati juga? Dan bukan hanya kasus Sumiarsih dan Sugeng. Sudah cukup banyak terpidana mati yang menunggu bertahun-tahun lamanya (death row) sebelum akhirnya dieksekusi mati. Harapan-harapan yang sempat dibangun oleh terpidana mati karena diperkenankan hidup puluhan tahun setelah jatuhnya vonis mati, pupus sudah. Sementara itu, puluhan lainnya yang sudah dijatuhi hukuman mati dan tengah menanti eksekusi mati ataupun tengah mengajukan upaya hukum lain (PK atau Grasi) menjadi semakin gelisah. Mereka telah ‘dieksekusi mati’ sebelum benar-benar dieksekusi mati.



Data Kejaksaan Agung RI tahun 2006 menyebutkan, pasca eksekusi Tibo dkk, jumlah seluruh terpidana mati di kejaksaan di seluruh Indonesia ada delapan puluh sembilan (89) orang dan yang sudah dinyatakan final serta berkekuatan hukum tetap (legally binding) ada delapan (8).



Perlu ada revisi mendasar terhadap hukum acara pidana mati. Selama ini, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) tahun 1981 dikenal adanya proses di pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri atau pengadilan militer), kemudian tingkat banding (pengadilan tinggi), tingkat kasasi di Mahkamah Agung, peninjauan kembali (PK) apabila ada alat bukti baru di Mahkamah Agung, dan akhirnya permohonan grasi kepada Presiden. Namun tidak pernah ada kejelasan berapa kali proses peninjauan kembali (PK) maupun permohonan grasi dapat dilakukan. Maka, perlu ada kejelasan ataupun amandemen terhadap hukum acara sejauh menyangkut pidana mati ini, demi penghargaan terhadap hak-hak terpidana, keluarganya, maupun hak-hak korban kejahatan.



Cara mengeksekusi mati juga perlu dikaji kembali. Apakah sudah cukup efektif dengan menggunakan tembakan (senjata api) oleh sekelompok polisi yang selalu terjadi di tempat rahasia setelah sebelumnya kucing-kucingan dengan wartawan? Ataukah ada cara lain yang lebih efektif dan meringankan penderitaan sang terpidana semisal suntikan mati misalnya?



Para terpidana mati memang barangkali telah berbuat kejahatan. Telah menimbulkan korban dan penderitaan. Namun jangan sampai negara dan juga masyarakat melakukan pembalasan dan penderitaan berlebihan. Bagaimanapun para terpidana mati masih memiliki hak-hak dan telah menjalani sanksi sosialnya selama menjalani penjara. Maka, tinjau kembali legalitas hukuman matinya. Kalaupun akhirnya harus dieksekusi mati, pilihlah cara yang paling ringan dan membuat mereka tidak lama menderita.



*) Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Human Rights & Peace Studies Mahidol University – Thailand/Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum UI - Depok


sumber : Hukumonline


----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------

Hukuman Mati Dari Masyarakat Tradisional Sampai Modern


Oleh
Eddy Rifai dan Yusanuli

PENJATUHAN hukuman mati dengan cara dipancung terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi cukup mendapat reaksi keras dari kalangan masyarakat Indonesia, antara lain berkaitan dengan benar tidaknya perbuatan TKI membunuh majikan dan kerasnya sanksi pidana mati yang diterapkan pemerintah Arab Saudi. Padahal dalam sejarah perkembangan masyarakat modern, sanksi pidana mati telah banyak mengalami perubahan.

Dalam kaitannya dengan hukum, sejarah adalah fakta hukum. Fakta hukum yang pernah ada dan terjadi di masa lampau, masa kini dan proyeksinya di masa depan. Demikian halnya dengan pidana mati. Ia merupakan reaksi yang paling keras atas delik, karena tidak memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki perilaku pelanggaran norma-norma yang telah disepakati bersama sebagai tatanan hukum.

vPidana mati dapat pula dipandang sebagai bentuk keputusan hukum dalam menghadapi penjahat dan kejahatan. Kejahatan tidak mungkin diberantas habis, yang mungkin bisa dilakukan adalah menguranginya. Salah satu cara yang dipilih hukum untuk mengurangi kejahatan adalah dengan menghilangkan pelaku kejahatan yang dipandang tidak dapat diperbaiki, atau pelaku kejahatan tersebut melakukan perbuatan pidana tertentu yang tidak mungkin diampuni oleh hukum, karena kualitas perbuatannya dipandang mengancam ketertiban, ketenteraman dan rasa kemanusiaan.

Meskipun banyak negara sampai dengan saat ini masih menerapkan pidana mati, karena adanya pelbagai alasan di atas, tetapi penerapan dan penjatuhan pidana mati mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Hal itu sesuai dengan pendapat Sir Henry James Summer Maine, seorang ahli sejarah Hukum Inggris "Dalam perjalanan sejarah hukum pidana dan pemidanaan menunjukkan ada kaitan antara sistem hukum pidana dan pemidanaan dengan keperluan masyarakat yang ada di sekitarnya" (Encyclopaedia Americana, 1977).

Begitu pula Indonesia, meskipun sampai sekarang menerapkan pidana mati, tetapi penerapan dan penjatuhannya mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan fase-fase masyarakat.

***

PADA fase pertama, penjatuhan pidana mati dilaksanakan dengan mengandalkan kekuatan alam sepenuhnya, tanpa bantuan alat tertentu sebagai hasil kebudayaan manusia. Dari catatan inventarisasi cara-cara pelaksanaan penjatuhan pidana mati yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah "dibiarkan di tengah terik matahari tanpa makan dan minum", "dibakar pada suatu tiang", atau "ditenggelamkan di laut".

Dari cara yang digunakan, maka dapat diduga bahwa lingkungan masyarakat di sekitar penjatuhan pidana mati dengan cara-cara di atas terjadi pada masyarakat yang memiliki ciri ketergantungan pada alam yang besar, terutama karena tingkat teknologi pembuatan alat-alat yang belum berkembang, dan ciri pengorbanan terhadap alam dan kepercayaan akan adanya kekuatan-kekuatan yang tidak nampak.

Perkembangan selanjutnya dari fase pertama ini adalah dijatuhkannya pidana mati terhadap anggota masyarakat karena kesalahannya dianggap sebagai penyebab terganggunya alam, seperti pelanggaran dalam berburu hewan, pelanggaran terhadap upacara-upacara tertentu untuk menghormati dewa matahari dan seterusnya.

Pada fase kedua, ketergantungan manusia pada alam sedikit berkurang. Ia telah mampu menciptakan alat-alat untuk kebutuhan hidupnya, antara lain tembaga untuk berburu, pisau untuk menguliti daging hewan, sementara pola pertanian bercocok-tanam sudah dikenal, walaupun masih berpindah-pindah.
Dalam fase ini, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan alat-alat tertentu yang selama ini dipandang sebagai sarana yang efektif untuk menimbulkan kematian, seperti yang dipakai untuk membunuh hewan. Beberapa cara yang dapat diinventarisasi adalah "dibunuh dengan lembing", "daging badan terpidana dipotong", atau "kepala terpidana ditombak".

Di sini tergambar bahwa cara melaksanakan pidana mati memiliki hubungan yang erat dengan perkembangan budaya manusia dalam bentuk alat yang telah diciptakannya serta kemajuan dalam peradaban yang dicapainya. Nilai-nilai atau norma-norma masyarakat yang hendak dilindungi dengan melaksanakan sanksi pidana mati pun tidak bergeser dari perkembangan peradaban manusia pada saat itu. Penjatuhan pidana mati bukan lagi semata-mata untuk menyeimbangkan keadaan akibat murkanya dewa, tetapi juga ditimpakan pada manusia yang dipandang sebagai penyebab timbulnya kerusakan dan malapetaka pada orang lain. Di sini alasan penjatuhan pidana mati adalah pembalasan
atas perbuatan pelaku, yang untuk selanjutnya pelaku harus juga menderita sama dengan yang telah ditimpakan pada orang lain.

Perkembangan berikutnya, kepercayaan pada kekuatan alam mulai bergeser menuju pada kekuatan salah satu di antara mereka yang kuat, yaitu 'sang pemimpin'. Nilai-nilai atau norma-norma hukum yang hendak dilindungi juga bergeser, dari pelanggaran terhadap hubungan-hubungan dengan alam ke hubungan-hubungan dengan pemimpin mereka, yang disebut raja. Perlindungan terhadap kepentingan atau kehormatan raja menjadi sangat penting. Mukah dengan istri raja misalnya, dihukum mati. Mencuri barang milik kerajaan dihukum mati. Juga mencuri barang milik tamu raja dihukum mati. Namun, bila
pelanggaran tersebut tidak dilakukan terhadap kepentingan raja, maka pidana mati bisa diganti dengan pidana lain. (Hamzah, 1985).

Norma-norma tersebut untuk selanjutnya terus berkembang dengan perkembangan kebudayaan peradaban manusia, sehingga nilai-nilai atau norma-norma yang dikembangkan untuk selanjutnya dilindungi dengan hukum juga berkembang, dari melindungi kepentingan-kepentingan raja menuju perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan yang sifatnya umum, kepentingan masyarakat.

Dari sinilah untuk selanjutnya dikenal pidana mati bagi mereka yang berzinah dengan istri orang lain (Aceh, Gayo, Minangkabau, Lampung, dan lain-lain). Nilai-nilai yang bersifat umum ini terus berkembang, menjadi nilai yang harus dijaga agar tidak terjadi pelanggaran dengan menerapkan sanksi pidana yang berat berupa pidana mati.

***

PADA fase ketiga yang perlu dicatat adalah adanya penetrasi kebudayaan barat yang masuk dalam tata nilai budaya Indonesia. Satjipto Rahardjo (1979) manulis bahwa: "Kontak-kontak antara Indonesia dengan dunia barat merupakan masa perhubungan yang di belakang hari menimbulkan persoalan sosial dan kebudayaan yang besar, yang barang tentu mempunyai hubungan yang erat dengan hukum di negeri ini."

Penetrasi kebudayaan Barat, yang secara langsung mempengaruhi tata hukum Indonesia dalam masalah pidana mati, telah dimulai pada tahun 1808, ketika Daendels mengeluarkan Plakat tertanggal 22 April 1808, di mana diperintahkan bahwa untuk melaksanakan putusan pidana mati, yang diperkenankan hanyalah dua cara, yaitu "dibakar hidup-hidup pada suatu tiang", atau "dimatikan dengan keris". Selanjutnya, penetrasi tersebut tidaklah berhenti sampai di situ. Pada perkembangan berikutnya, Hindia Belanda mengeluarkan peraturan hukum pidana yang terkenal dengan nama Intermaire Strafbepalingen LNHB Nr 6 Pasal 1 yang intinya menentukan bahwa pidana mati hanya boleh dilakukan dengan cara digantung. (Hamzah, 1985).

Setelah berhasil mempengaruhi tata hukum pidana Indonesia, yang dalam hal ini tentunya hukum pidana adat berkaitan dengan pelaksanaan penjatuhan pidana mati, Pemerintah Hindia Belanda selanjutnya pada tahun 1915 memaksakan kehendaknya dengan memberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda (WvSNI) berlaku untuk seluruh wilayah jajahan. Hakim pidana pada pengadilan negara tidak dapat lagi memakai hukum pidana adat dan adat istiadat sebagai strafbaar. Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang diberlakukan oleh Belanda tersebut, tidak memberi
kesempatan hukum yang tidak tertulis, yang tidak terwadahi dalam undang-undang, dalam hal ini hukum pidana adat.

Pelaksanaan pidana mati menurut KUHP yang diberlakukan oleh Belanda tersebut tercantum dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa: "Hukuman mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri."

***

PADA fase keempat Indonesia dikuasai oleh pemerintah bala tentara Jepang. Pada masa ini ada dua peraturan hukum pidana yang berlaku, yaitu WvSNI dan peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh bala tentara Jepang. Dalam Pasal 6 Osamu Gurei No. 1 ditetapkan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan dengan bedil (Han Bing Siong, 1960).

Dengan demikian ada dua cara pelaksanakan hukuman mati yaitu dengan cara digantung dan ditembak. Pertanyaan yang timbul adalah kapan pidana mati dilakukan dengan cara digantungkan dan kapan pula pidana mati dilakukan dengan cara dibedil. Berkaitan dengan hal ini Han Bing Siong menyatakan bahwa: "Tergantung dari persoalan, peraturan hukum pidana mana yang dilanggar. Jika peraturan hukum pidana dari dahulu (WvSNI) maka hukuman mati dilakukan dengan cara digantung, akan tetapi jika tindak pidana itu merupakan pelanggaran terhadap suatu peraturan dari pemerintah bala tentara Jepang, maka hukuman mati harus dilaksanakan dengan cara ditembak mati".

Kemudian pemerintah bala tentara Jepang mengeluarkan Gunsei Keizerei atau Undang-undang Kriminal Pemerintah Bala Tentara Jepang pada tanggal 1 Juli 1944 yang keberadaannya tidak meniadakan WvSNI, sehingga cara pelaksanaan pidana mati setelah dikeluarkannya Gunsei Keizerei tetap ada dua cara, yaitu dengan ditembak dan digantung.

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, menurut Pasal II Aturan Peraturan Peralihan UUD 1945 jo Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 dikatakan bahwa "peraturan lama dipandang tetap berlaku", dalam hal ini WvSNI dan peraturan hukum pidana pemerintah bala tentara Jepang, sehingga cara pelaksanaan hukuman mati sama dengan cara yang berlaku pada masa pendudukan Jepang, yaitu ditembak atau digantung.

Belanda pada tahun 1945 datang lagi ke Indonesia dengan membonceng pada tentara sekutu, selanjutnya menguasai dan menduduki beberapa wilayah Indonesia. Melalui Stb. 1945 No. 123 dalam Pasal 1 dikatakan bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan cara ditembak. (Salmi, 1985).

Pada tahun 1946 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 1 Tahun
1946, Pasal 1 mengatakan bahwa peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang
ialah peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942.

Dengan memperhatikan dan mempelajari latar belakang lahirnya Undang-undang
No. 1 Tahun 1956 dapat diketahui bahwa peraturan tentang pelaksanaan pidana
mati yang berlaku adalah peraturan peninggalan Belanda WvSNI yang selanjutnya disebut dengan WVS yang diterjemahkan sebagai KUHP. Ketentuan Pasal 11 KUHP mengharuskan hukuman mati dilaksanakan dengan cara digantung
dan di daerah yang masih dikuasai Belanda berlaku Stb. No. 123 yang mengharuskan pelaksanaan hukuman mati dengan cara ditembak, keadaan ini
berlangsung sampai tahun 1958.

Setelah pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 yang
isinya menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 untuk seluruh Indonesia,
maka cara pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan digantung, sesuai dengan
ketentuan Pasal 11 KUHP. Pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung
berlaku sampai dengan tahun 1964.

Melalui Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 Pasal 1 pelaksanaan penjatuhan
pidana mati di Indonesia tidak lagi dilaksanakan dengan cara digantung,
karena dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa bangsa Indonesia, untuk
selanjutnya pidana mati dilaksanakan dengan cara ditembak sampai mati, yang
berlaku sampai hari ini.

Melihat perkembangan penjatuhan pidana mati yang ada dalam fase ini, yaitu
selama kurun waktu kemerdekaan sampai tahun 1946, sebelum dikeluarkannya
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 terlihat bahwa pemerintah Indonesia
melaksanakan putusan pidana mati dengan cara melegalisir penetrasi kebudayaan asing. Indonesia baru menentukan sikapnya di antara beberapa cara pelaksanaan pidana mati yang sesuai dengan perkembangan jiwa bangsa Indonesia, rasa kemanusiaan bangsa Indonesia, atau lebih lanjut perkembangan peradaban bangsa Indonesia melalui Penetapan Presiden No 2 Tahun 1964 dengan cara ditembak sampai mati.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diprediksi gambaran dari tata hukum Indonesia di masa akan datang masih akan tetap menggunakan cara melaksanakan pidana mati dengan ditembak sampai mati, mengingat cara ini di samping kelebihannya tanpa menggunakan algojo juga masih selaras dengan "rasa kemanusiaan" yang ada dalam rakyat Indonesia.

( * Eddy Rifai, peserta Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia;
Yusanuli, peserta Magister Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. )


sumber : Kompas dalam http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/10/30/0003.html

----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------



Press Release Elsam : Putusan MK tentang Pelaksanaan Hukuman Mati, Terjebak Positivisme Hukum Formal



Press Release
No : 05/DP/Elsam/X/08

Putusan MK tentang Pelaksanaan Hukuman Mati:
Terjebak Positivisme Hukum Formal


Dalam putusan yang dibacakan majelis hakim konstitusi yang dipimpin Mahfud MD dalam
sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 21 Oktober 2008, Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra yang mempersoalkan hukuman mati
dengan cara ditembak. Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaan pidana mati. Semua mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan yang menimbulkan rasa sakit.


Dalam Putusannya, MK menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia
adalah menurut UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang
merupakan lex specialis yang menegasikan pasal 11 KUHAP. Lebih lanjut, MK menyatakan UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Di tengah pro-kontra wacana terhadap hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas
penghormatan fundamental terhadap HAM semestinya menjadi pijakan utama. Hak untuk hidup (right to life); merupakan kategori hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam keadaan apapun, termasuk dalam batasan regulasi formal. Apalagi, hal ini secara jelas tercantum dalam Konstitusi RI. Mahkamah Konstitusi, sebagai pengawal pelaksanaan UUD 1945, seharusnya menjalankan amanat konstitusi tersebut dengan memberikan amanat penghapusan hukuman mati. Terlebih dalam sistem hukum di Indonesia, hukuman mati bukanlah cara yang efektif untuk menghentikan suatu tindak pidana. Sistem peradilan kita masih belum dapat menjamin sebuah proses yang jujur (fair trial), sehingga kemungkinan terjadinya peradilan sesat khususnya kesalahan penerapan hukum cukup besar akibat korupsi, birokratisasi, diskriminasi dan bias kelas. Dalam konteks itu, kehadiran sanksi hukuman mati tentu tidak dapat memperbaiki satu keputusan hakim yang salah. Di sisi lain, tidak ada pembuktian akademis bahwa pelaksanaan hukuman mati secara efektif memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan dan mengurangi tindak pidana yang terjadi.



Putusan MK yang melihat bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 karena menganggap tata cara pelaksanaan hukuman mati berdasarkan UU No.2/Pnps/1964 bukan merupakan tindakan penyiksaan adalah sebuah keputusan yang terjebak positivisme hukum formal, karena hanya melihat unsur yang digugat saja, yaitu penyiksaan. Padahal, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 secara tegas dan jelas mengatur mengenai hak-hak dasar warga negara sebagai satu kesatuan yang utuh, di mana dengan tegas dinyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak dasar yang harus dijamin oleh negara.


Putusan MK ini secara nyata telah mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan
peraturan perundang-undangan di Indonesia yang telah mengalami perubahan paradigma sebagaimana terlihat dalam RUU KUHP yang sudah menempatkan hukuman mati sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. Demikian juga dengan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court, 1998) yang rencananya akan diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tahun 2008 ini, yang sama sekali tidak mengatur mengenai ancaman pidana mati. Hukuman dalam mekanisme International Criminal Court juga hanya berupa hukuman penjara yang terdiri dari hukuman penjara seumur hidup untuk kejahatan yang sangat serius dan hukuman penjara maksimum 30 tahun.


Disamping itu, penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi
manusia Internasional yang secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang diatur di dalam konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
(International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hak untuk hidup (rights to life)
–yaitu pada bagian III Pasal 6 (1) –menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak
untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.
Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip yang diatur dalam ICCPR telah menjadi bagian dari
hukum nasional Indonesia, melalui UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini sangatlah ironi, mengingat dasar filosofis dan
konstitusi negara Indonesia yang kemudian dikonkritkan lagi dalam Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 telah secara eksplisit menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa
Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral
universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila, dimana hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.

Oleh karenanya, mempertahankan penerapan hukuman mati dalam pendekatan hukum positif
semata jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, perubahan terhadap hukum nasional menuju penghapusan hukuman mati menjadi sebuah keharusan.
Terlebih lagi konstitusi negara telah melahirkan pengakuan akan hak untuk hidup yang
tidak dapat dikurangi atas alasan apapun, sehingga penghapusan hukuman mati diseluruh
ketentuan hukum adalah kewajiban konstitusional.

Jakarta, 24 Oktober 2008
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)


Indriaswaty Dyah Saptaningrung, S.H, LLM
Asisten Deputi Direktur Program


Kontak : Indriaswaty DS (0813 80305 728)



sumber : Elsam





----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------



UU No 2/Pnps/1964 Tentang TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI



UU No 2/Pnps/1964 [Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang
ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969]
tentang
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI YANG DIJATUHKAN OLEH
PENGADILAN DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN MILITER



Mengingat :
1. Pasal IV Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.I/MPRS/1960 dan
Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960;
2. Pasal 4 dari Penetapan Presiden No.4 Tahun 1962 tanggal 28 Desember 1962;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 226 Tahun 1963.

BAB I
UMUM

Pasal 1

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan
putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuanketentuan
dalam pasal-pasal berikut.

BAB II
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM

Pasal 2

(1) Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum
pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1).
(2) Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan
secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak
memungkinkan pelaksanaan demikian itu.

Pasal 3

(1) Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar
nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan
tempat pelaksanaan pidana mati.
(2) Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah
lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi
Komisariat Daerah lain itu.
(3) Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan
ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang
diperlukan untuk itu.

Pasal 4

Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk olehnya
menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang
bertanggungjawab atas pelaksanaannya.

Pasal 5
Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus
ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.

Pasal 6
(1) Tiga kali duapuluh empat jam sebelum saat elaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut
memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.
(2) Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima
oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.

Pasal 7
Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari
nsetelah anaknya dilahirkan.

Pasal 8

Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri
pelaksanaan pidana mati.

Pasal 9

Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali
ditetapkan lain oleh Presiden.

Pasal 10

(1) Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri dari
seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
(2) Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata
organiknya.
(3) Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4
sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

Pasal 11

(1) Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
(2) Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
(3) Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
(4) Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan
sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.

Pasal 12
(1) Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
(2) Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya
terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

Pasal 13
(1) Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat
yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
(2) Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10
meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.

Pasal 14
(1) Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk
pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
(2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
(3) Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah
supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya
untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara
cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
(4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati,maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskantembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat diatas telinganya.
(5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.

Pasal 15
(1) Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan
kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.
(2) Dalam hal terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh
keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan
mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh
terpidana.

Pasal 16
(1) Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada pelaksanaan
pidana mati.
(2) Isi dari pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah mendapat
kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang
ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah disalinkan ke dalam Surat
Putusan Pengadilan bersangkutan.
(3) Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.

BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

Pasal 17
Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer
dilakukan menurut ketentuan termaksud dalam Bab I dan II, dengan ketentuan bahwa:
a. kata-kata “Menteri Kehakiman” termaksud dalam Pasal 2 harus dibaca “Menteri/Panglima Angkatan
yang bersangkutan”;
b. kata-kata “Kepala Polisi Komisariat Daerah” dalam Bab II harus dibaca “Panglima/Komandan
Daerah Militer”;
c. kata-kata “Jaksa Tinggi/Jaksa” dalam Bab II harus dibaca “Jaksa Tentara/Oditur Militer”;
d. kata-kata “Brigade Mobile” dalam Pasal 10 ayat (1) dan “polisi” dalam Pasal 11 ayat (1) harus dibaca “militer”;
e. Pasal 3 ayat (2) harus dibaca “Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang
Panglima/Komandan Daerah Militer dari Angkatan yang sama atau Angkatan lain, maka Panglima
atau Komandan Daeerah tempat kedudukan pengadilan militer yang menjatuhkan putusan dalam
tingkat pertama merundingkannya dengan Panglima atau Komandan dari Angkatan yang
bersangkutan”.
f. Pasal 11 ayat (3) harus dibaca “Terpidana, jika seorang militer maka dia berpakaian dinas harian
tanpa tanda pangkat dan atau tanda-tanda lain”.

BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Pasal 18
Pidana mati yang dijatuhkan sebelum mulai berlakunya Undang-undang ini dan yang masih harus
dilaksanakan, diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 19
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1964.










-----------------


-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi


-------------








--------------------

Friday, September 26, 2008

Selamat hari Raya Idul fitri 1429 H
















Dapatkan Domain Web Gratis di

CO.CC:Free Domain





-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi




-------------








--------------------

Friday, August 29, 2008

Perlindungan HAM dalam KUHP



oleh :
Suryadi Radjab
Ketua Badan Pengurus PBHI Jawa Barat



SESUDAH demikian lama tanpa perubahan sama sekali (lebih dari satu abad berlaku hingga sekarang) mulai digulirkan usulan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dikeluarkan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Namun, tidak sedikit usulan ini yang menimbulkan kontroversi.

PERSOALAN yang muncul adalah apakah aparat negara mempunyai wewenang yang besar dalam mencampuri penikmatan hak atas kebebasan (right to liberty) dan kehidupan pribadi warga negara? Dari sini pula bisa timbul kritik yang lebih elementer: apa sebenarnya prinsip dan tujuan hukum pidana?

Tujuan tulisan ini adalah menyampaikan pandangan bagaimana seharusnya pemerintah dan DPR memperkuat komitmen hukumnya dalam melindungi hak sipil dan politik sehubungan dengan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Secara prinsip, harus dapat dibedakan antara kebebasan dan kejahatan.

Prinsip hukum pidana

Mencuri, melakukan korupsi, menyuap petugas, menganiaya, memperkosa, dan membunuh, sangatlah jelas sebagai kategori kejahatan biasa (ordinary crimes). Bukan saja karena kategori ini mengandung tindakan, namun juga terdapat orang yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan akibat dari tindakan kejahatan itu.

Pertimbangan itulah yang mendasari mengapa setiap negara melarang dan memberi sanksi pidana atas orang-orang yang menjadi pelaku tindak kejahatan dengan memberlakukannya dalam suatu hukum pidana nasional, bahkan negara-negara pihak (states parties) mengembangkan sistem hukum pidana internasional serta hukum humaniter internasional (extra-ordinary crimes).

Apa prinsip hukum pidana? Pertama, melindungi setiap orang dari berbagai tindak kejahatan. Dengan terlindunginya setiap orang maka aparat negara, khususnya aparat penegak hukum (law enforcement officials), dapat dinilai sudah menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam penegakan hukum dan penikmatan hak sipil setiap orang pada tingkat pertama.

Kedua, berhubung dengan setiap tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang, maka aparat penegak hukum wajib menjalankan tugas keduanya dengan menyeret para pelaku tindak pidana ke muka hukum. Hal ini bukan saja bertujuan berfungsinya proses penegakan hukum, namun juga yang terpenting adalah supaya setiap korban atau pihak yang dirugikan dapat meraih keadilan.

Ketiga, menimbulkan efek jera bagi setiap orang yang hendak melakukan kejahatan. Dengan adanya ancaman sanksi dan menjalani pidana penjara bagi para pelaku yang terbukti bersalah, maka diharapkan tindak kejahatan dapat berkurang. Calon pelaku tindak pidana akan menyadari ancaman sanksi pidana bila mereka melakukan tindak pidana.

Dengan demikian, hukum pidana merupakan seperangkat peraturan yang membentengi setiap warga negara dari tindak kejahatan atau pidana. Setiap orang merasa terlindungi untuk dicegah menjadi korban atau pihak yang dirugikan akibat tindak kejahatan. Sebaliknya, calon-calon pelaku bakal menghadapi hukuman penjara bila merealisasikan tindak pidana.

Bila suatu negara semakin mampu mencegah berbagai tindak kejahatan, setiap orang- warga negara-bakal merasa aman dan nyaman dalam menjalani aktivitas mereka sehari-hari. Namun, bila aparat penegak hukum lebih banyak gagal menegakkan hukum pidana, rasa aman dan nyaman akan merosot.

Hak-hak sipil dan politik

KUHP warisan kolonial itu disusun jauh sebelum lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta perjanjian internasional hak asasi manusia (international bill of human rights) sehingga bisa dimaklumi kekurangannya dalam melindungi hak asasi manusia, yakni hak sipil dan politik. Apalagi sebagian kepentingannya ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan kolonial.

Dengan adanya perjanjian internasional itu, setiap negara terbuka untuk menandatangani dan meratifikasinya. Indonesia sendiri sudah meratifikasi empat dari enam perjanjian internasional yang pokok, yaitu CEDAW, CRC, CAT dan ICERD. Dua perjanjian induk-International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)-belum diratifikasi.

Kewajiban setiap negara (state obligation) yang sudah meratifikasi bukan saja membuat laporan awal (tahun pertama) dan periodik (empat tahun sekali) kepada komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi perjanjian tertentu, namun juga menyesuaikan produk hukum dan kebijakannya dengan perjanjian-perjanjian itu.Hukum pidana sangat berkaitan dengan perlindungan hak sipil dan politik terutama hak atas kebebasan maupun perampasan hak milik. Pelaksanaan hak atas kebebasan ini akan terpenuhi bila negara sangat sedikit untuk campur tangan dalam kehidupan pribadi warganya.

Kebebasan bergerak dan berdomisili, kebebasan dari campur tangan kehidupan pribadi, menganut pikiran dan keyakinan serta agama, berpendapat dan berekspresi, berkumpul maupun berserikat, menikah dan membentuk keluarga serta partisipasi politik adalah hak-hak yang dilindungi dalam ICCPR.

Pertama-tama yang perlu ditekankan bahwa kebebasan sama sekali bukan suatu kejahatan. Memang ada efeknya di mana ekspresi kebebasan yang berbuntut pada kejahatan seperti merusak milik orang lain atau penganiayaan. Dan, diperlukan tekanan kedua bahwa yang harus dipilah dengan jelas adalah melarang dan memberi sanksi pidana atas tindak kejahatannya-bukan kebebasannya.

Bila produk hukum pidana melarang dan menetapkan sanksi pidana atas kebebasan tertentu, ketentuan pidana ini dapat dipersalahkan melanggar hak atas kebebasan. Penerapan hukum pidana ini menjadi bagian dari pelanggaran hak asasi manusia melalui pemberlakuan hukum (violence by judicial).

Larangan dan sanksi pidana atas kebebasan itu tidak hanya terkandung dalam KUHP warisan kolonial, namun lebih dari itu ditambah lagi oleh rezim Soeharto melalui UU Antisubversi dan sejumlah kebijakannya yang antikebebasan; termasuk mengasastunggalkan semua organisasi dalam asas Pancasila, kemudian juga meniadakan pikiran Islam (PPP) serta nasionalis dan non-Islam (PDI) dalam politik.

Sejarah kolonial dan rezim Soeharto yang memberlakukan larangan dan sanksi pidana atas kebebasan merupakan pengalaman sejarah yang buruk dalam perlindungan hak atas kebebasan. Mestinya, setelah sekarang kita menyadari bahwa hal-hal tersebut buruk, terdapat alasan yang masuk akal untuk menyudahi keburukan sejarah hukum pidana di masa lampau; dan tidak usah mengulanginya.

Bertentangannya hukum pidana dengan hak atas kebebasan di masa lampau, tidaklah perlu diteruskan di masa depan, supaya ada perkembangan dan kemajuan hukum yang lebih baik. Produk hukum pidana akan menjadi salah satu tolok ukur apakah negara semakin melindungi hak asasi manusia dan menyehatkan demokrasi ataukah mengesahkan penguasa (rezim) yang sewenang-wenang.

sumber :
Senin, 10 November 2003
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0311/10/opini/677359.htm









-------------
Artikel Lain
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi




-------------
<


Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!





--------------------

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...