Saturday, November 08, 2008
Press Release Elsam : Putusan MK tentang Pelaksanaan Hukuman Mati, Terjebak Positivisme Hukum Formal
Press Release
No : 05/DP/Elsam/X/08
Putusan MK tentang Pelaksanaan Hukuman Mati:
Terjebak Positivisme Hukum Formal
Dalam putusan yang dibacakan majelis hakim konstitusi yang dipimpin Mahfud MD dalam
sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 21 Oktober 2008, Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra yang mempersoalkan hukuman mati
dengan cara ditembak. Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaan pidana mati. Semua mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan yang menimbulkan rasa sakit.
Dalam Putusannya, MK menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia
adalah menurut UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang
merupakan lex specialis yang menegasikan pasal 11 KUHAP. Lebih lanjut, MK menyatakan UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di tengah pro-kontra wacana terhadap hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas
penghormatan fundamental terhadap HAM semestinya menjadi pijakan utama. Hak untuk hidup (right to life); merupakan kategori hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam keadaan apapun, termasuk dalam batasan regulasi formal. Apalagi, hal ini secara jelas tercantum dalam Konstitusi RI. Mahkamah Konstitusi, sebagai pengawal pelaksanaan UUD 1945, seharusnya menjalankan amanat konstitusi tersebut dengan memberikan amanat penghapusan hukuman mati. Terlebih dalam sistem hukum di Indonesia, hukuman mati bukanlah cara yang efektif untuk menghentikan suatu tindak pidana. Sistem peradilan kita masih belum dapat menjamin sebuah proses yang jujur (fair trial), sehingga kemungkinan terjadinya peradilan sesat khususnya kesalahan penerapan hukum cukup besar akibat korupsi, birokratisasi, diskriminasi dan bias kelas. Dalam konteks itu, kehadiran sanksi hukuman mati tentu tidak dapat memperbaiki satu keputusan hakim yang salah. Di sisi lain, tidak ada pembuktian akademis bahwa pelaksanaan hukuman mati secara efektif memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan dan mengurangi tindak pidana yang terjadi.
Putusan MK yang melihat bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 karena menganggap tata cara pelaksanaan hukuman mati berdasarkan UU No.2/Pnps/1964 bukan merupakan tindakan penyiksaan adalah sebuah keputusan yang terjebak positivisme hukum formal, karena hanya melihat unsur yang digugat saja, yaitu penyiksaan. Padahal, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 secara tegas dan jelas mengatur mengenai hak-hak dasar warga negara sebagai satu kesatuan yang utuh, di mana dengan tegas dinyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak dasar yang harus dijamin oleh negara.
Putusan MK ini secara nyata telah mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan
peraturan perundang-undangan di Indonesia yang telah mengalami perubahan paradigma sebagaimana terlihat dalam RUU KUHP yang sudah menempatkan hukuman mati sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. Demikian juga dengan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court, 1998) yang rencananya akan diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tahun 2008 ini, yang sama sekali tidak mengatur mengenai ancaman pidana mati. Hukuman dalam mekanisme International Criminal Court juga hanya berupa hukuman penjara yang terdiri dari hukuman penjara seumur hidup untuk kejahatan yang sangat serius dan hukuman penjara maksimum 30 tahun.
Disamping itu, penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi
manusia Internasional yang secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang diatur di dalam konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
(International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hak untuk hidup (rights to life)
–yaitu pada bagian III Pasal 6 (1) –menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak
untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.
Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip yang diatur dalam ICCPR telah menjadi bagian dari
hukum nasional Indonesia, melalui UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini sangatlah ironi, mengingat dasar filosofis dan
konstitusi negara Indonesia yang kemudian dikonkritkan lagi dalam Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 telah secara eksplisit menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa
Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral
universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila, dimana hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.
Oleh karenanya, mempertahankan penerapan hukuman mati dalam pendekatan hukum positif
semata jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, perubahan terhadap hukum nasional menuju penghapusan hukuman mati menjadi sebuah keharusan.
Terlebih lagi konstitusi negara telah melahirkan pengakuan akan hak untuk hidup yang
tidak dapat dikurangi atas alasan apapun, sehingga penghapusan hukuman mati diseluruh
ketentuan hukum adalah kewajiban konstitusional.
Jakarta, 24 Oktober 2008
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Indriaswaty Dyah Saptaningrung, S.H, LLM
Asisten Deputi Direktur Program
Kontak : Indriaswaty DS (0813 80305 728)
sumber : Elsam
----------
-------------
Artikel Lain
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi
-------------
--------------------
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PAHLAWAN NASIONAL
crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...
-
UU No 2/Pnps/1964 [Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969 ] tentang TATA...
-
Oleh NURUL HAKIM, S.Ag. Sumber: http://www.badilag.net Pendahuluan Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari‟at Allah yang terkand...
-
------------- Oleh Bur Rasuanto Kompas, Rabu, 8 September 1999 KINI sudah menjadi keyakinan umum bahwa cita-cita reformasi mustahil ...
No comments:
Post a Comment