Wednesday, August 26, 2009

Memburu Teroris

M Jodi Santoso*

Pasca peledakan bom di JW Marriot II dan Ritz Carlton setidaknya muncul dua fakta baru dalam aksi teror di Indonesia. Pertama, kepolisian menemukan adanya indikasi sasaran peledakan bom berikutnya di kediaman Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Cikeas. Hal demikian mengindikasikan adanya pergeseran sasaran dari yang semula simbul-simbul Amerika Serikat dan sekutunya di Indonesia bergeser ke simbul-simbul lokal. Meski temuan kepolisian (dalam perspektif Herbert L. Packer ,1968, sebagai factual guilt bukan fakta hukum/legal factual, bukan juga legal guilt) harus dibuktikan di pengadilan sebagai legal guilt tapi keberhasilan kepolisian mencegah aksi teror dan dampaknya yang lebih besar perlu mendapat penghormatan.

Kedua, adanya indikasi teroris di Indonesia merekrut usia remaja untuk melakukan bom bunuh diri. Temuan kepolisian ini menambah deret panjang terorisme yang dilakukan oleh anak/pemuda dan memperkuat berbagai kajian tentang rekrutmen anak dalam aksi teror. Tidak hanya anak/remaja,. Federal Research Division of Library of Congress dalam studinya yang berjudul The Sociology And Psychology Of Terrorism: Who Becomes A Terrorist And Why? (1999) menemukan adanya keterlibatan anak-anak dan wanita sebagai pelaku terorisme. Fakta demikian muncul di Indonesia, dalam peledakan bom di JW Marriot II dan Ritz Carlton melibatkan dua remaja laki-laki. Dimungkinankan para teroris terus merekrut kelompok muda dan wanita. Kondisi demikian tidak dapat dibiarkan. Perlu upaya bersama pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan memberantas teroris. Tidak ada kambing hitam atas meledaknya kembali bom di Indonesia. Hal penting yang perlu dicatat bahwa bahwa tindak pidana terorisme merupakan mala per se bukan termasuk mala prohibita karena terorisme merupakan crime against concience, menjadi jahat bukan karena dilarang oleh undang-undang tetapi karena pada dasarnya terorisme merupakan tindakan tercela.

Instrument Hukum Pemberantasan Teroris
Banyak kalangan berpendapat bahwa instrument hukum Indonesia tidak memadahi untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme. Dibanding Internal Security Act (ISA) di Malaysia dan Singapura atau Patriot Act di Amerika Serikat, instrument hukum Indonesia dianggap ketinggalan. Tapi jika dikaji lebih jauh, instrument hukum yang ada saat ini jauh lebih baik karena di tiga negara tersebut tersangka terorisme dapat ditahan dalam waktu yang lama tanpa ada proses peradilan. Instrument hukum di Indonesia telah mengatur mekanisme pencegahan dan pemberantasan terorisme dengan tetap memberi perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa (asas safe guarding rules). Pada tanggal 18 Oktober 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Setahun kemudian, pada tanggal 06 Maret 2003, Perpu Antiteroris ditetapkan DPR sebagai undang-undang dan pada tanggal 4 April 2003 secara resmi diundangkan oleh Pemerintah berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003.
Dalam proses legislasi telah putuskan bahwa lembaga hukum yang berhak melakukan penyidikan, penangkapan, dan penahanan adalah kepolisian. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, kepolisian tidak berjalan sendiri. Pasal 26 ayat (1) dan Penjelasan Umum Perpu No 1 2002 (UU No. 15 Tahun 2003) menentukan kepolisian dapat menggunakan laporan intelijen setelah dilakukan audit hukum (legal audit) oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan dalam sebuah pranata Hearing. Pasal tersebut dengan jelas melegitimasi keberadaan BIN dan badan intelijen lainnya masuk dan berperan dalam proses peradilan tindak pidana terorisme di Indonesia. Peran pengadilan dalam hal ini ketua/wakil ketua pengadilan negeri sebagai kontrol kekuasaan yudikatif terhadap tindakan represif dan kemungkinan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dari kekuasaan eksekutif dalam hal ini kepolisian dan lembaga intelijen terhadap warga negara.
Instrumen hukum lain yang dapat digunakan untuk mencegah dan memberantas teroris di Indonesia adalah Pasal 108 ayat KUHAP. Pada ayat (1) ditentukan Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan. Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui permupakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik. Meski ketentuan KUHAP tidak menjelaskan lembaga (badan) intelijen sebagai bagian dari sistem peradilan pidana tetapi berdasarkan Pasal 108 KUHAP tersebut maka semua lapisan masyarakat termasuk lembaga intelijen dapat berperan aktif dengan memberikan laporan atas temuan-temuannya yang menyangkut peristiwa yang terjadi atau akan terjadi serta pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana.
Kedua undang-undang tersebut di atas, baik Umum UU No. 15 Tahun 2003 (Perpu No 1 2002) maupun UU No 8 Tahun 1981 (KUHAP) memberikan ruang yang cukup luas bagi intelijen di semua lembaga dan departemen untuk ikut dalam mendeteksi, mencegah, menangkal, dan memberantas teroris di Indonesia. Pada tingkat operasional, untuk koordinasi intelijen di semua instansi pemerintahan, Presiden Megawati pada 22 Oktober 2002 mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2002 Kepada Kepala Badan Intelijen Indonesia untuk mengkoordinasikan penyusunan rencana umum dan pelaksanaan operasional kegiatan intelijen seluruh instansi yang ada.
Berdasarkan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan yang ada, politik kriminal dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme melalui sistem peradilan pidana di Indonesia dengan jelas menentukan bahwa kewenangan penangkapan dan penyidikan berada dalam satu pintu yaitu kepolisian kecuali tertangkap tangan. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, kepolisian tidak dapat berjalan sendiri menghadapi terorisme. Politik kriminal demikian bukan berarti menyisihkan peran badan-badan intelijen dan TNI dalam perburuan teroris di Indonesia. BIN, sesuai Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2002 berwenang untuk mengkoordinasikan penyusunan rencana umum dan pelaksanaan operasional kegiatan intelijen seluruh instansi termasuk intelijen kepolisian. Keberadaan TNI dan lembaga-lembaga intelijen lain berperan penting dalam menopang kepolisian melakukan penyidikan dalam kontrol pengadilan melalui legal audit.
Indonesia tidak mungkin mengikuti model Amerika Serikat dan Malaysia yang telah menghancurkan bangunan konsep dan praktik peradilan pidana yang memberikan perlindungan hak tersangka yang dibangun sejak berabad-abad tahun lalu. Di Malaysia, keberadaan ISA kini digugat oleh kelompok pro-demokrasi dan hak asasi manusia. Begitu juga halnya tindakan Amerika Serikat dalam memberangus tersangka terorisme tanpa proses peradilan mencapat kecaman dari berbagai pihak termasuk Amnesti Internasional. Di Indonesia, instrument hukum yang ada saat ini cukup untuk mendeteksi dan memburu terorisme. Dibutuhkan sinergi aparat penegak hukum, intijen, pengadilan dan masyarakat dalam mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme. Strategi untuk menempatkan polisi masyarakat dan intelijen masyarakat sangat strategis dalam menangkal dan memberantas teroris di Indonesia.








----------



-------------
Artikel Lain


* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi


*Peneliti pada Komisi Hukum Nasional

-------------

--------------------

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...