Monday, February 26, 2007

Tinjauan terhadap Aturan Pencatatan Sipil dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan (II)

Oleh :
Eric Tampubolon
praktisi hukum/advokat pada ET & Partner

ANALISIS TERHADAP BEBERAPA PASAL DALAM UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Salah satu dasar pertimbangan Undang-undang Administrasi Kependudukan diberlakukan adalah untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia. Peristiwa kependudukan menurut UU Adminduk kejadian yang dialami penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan KK, KTP dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Sedangkan peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Melihat materi yang diatur adalah mengenai status hukum atas peristiwa kependudukan dan dan peristiwa penting maka seharusnya cara-cara meperoleh status hukum tersebut tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru.


Persoalan baru tersebut dapat muncul apabila di dalam pengurusan pencatatan baik di dalam peristiwa penting dan peristiwa kependudukan, tidak terdapat kriteria pencatatan yang jelas serta terukur tentang manfaat dari kegiatan pencatatan tersebut.

Materi yang diatur dalam UU ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Di dalam UU Administrasi Kependudukan terdapat 14 Bab dan 107 pasal. Adapun pembagian bab tersebut adalah :
1. Bab I mengatur tentang Ketentuan Umum, terdiri dari 1 pasal.
2. Bab II mengatur tentang Hak dan Kewajiban Penduduk, terdiri dari 3 pasal.
3. Bab III mengatur tentang Kewenangan Penyelenggaraan Dan Instansi Pelaksana, terdiri dari 8 pasal.
4. Bab IV mengatur tentang Pendaftaran Penduduk, terdiri dari 14 pasal.
5. Bab V mengatur tentang Pencatatan Sipil, terdiri dari 31 pasal.
6. Bab VI mengatur tentang Data dan Dokumen Kependudukan, terdiri dari 22 pasal.
7. Bab VII mengatur tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Saat Negara atau Sebagian Negara dalam Keadaan Darurat dan Luar Biasa, terdiri dari 2 pasal.
8. Bab VIII mengatur tentang Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, terdiri dari 2 pasal.
9. Bab IX mengatur tentang Perlindungan Data Pribadi Penduduk, terdiri dari 4 pasal.
10. Bab X Penyidikan, terdiri dari 1 pasal.
11. Bab XI mengatur tentang Sanksi Administratif, terdiri dari 4 pasal.
12. Bab XII mengatur tentang Ketentuan Pidana terdiri dari 7 pasal.
13. Bab XIII mengatur tentang Ketentuan Peralihan terdiri dari 2 pasal
14. Bab XIV mengatur tentang Ketentuan Penutup terdiri dari 6 pasal.

Tinjauan Terhadap beberapa pasal-pasal yang terkait pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil di dalam UU Adminduk
1. Konsideran Menimbang
Pada konsideran menimbang tampak jelas bahwa UU ini hanya mengkaitkan masalah catatan sipil saja. Tidak terlihat dengan jelas bahwa pertimbangan dibentuknya UU ini terkait tentang Administrasi Kependudukan, kecuali hanya disebutkan sebagai hal yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, HAM, serta peningkatan profesionalisme aparat pemerintah.

2. Kewajiban bagi WNI di luar Negeri
Pasal 4 UU Adminduk dinyatakan bahwa ”Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Republik Indonesia wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana Pencatatan Sipil negara setempat dan/atau kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”. Oleh karena pencatatan sipil diatur oleh masing-masing negara maka kegiatan pencatatan sipil bagi WNI di luar negeri semestinya tunduk pada ketentuan perundang-undangan kependukan di negara yang bersangkutan. Sehingga dengan sendirinya UU Adminduk (baca UU Nasional) tidak berwenang mengatur tentang kependudukannya. Pengaturan tentang hal ini tentu adalah sebatas penegasan semata, oleh karena hal ini memang terkait dengan aturan perundang-undangan di negara lain maka hal ini sebetulnya tidak perlu diatur lagi. Memasukan klausula tentang pencatatan bagi WNI di luar negeri menunjukkan ketidakpahaman pembuat undang-undang tentang istilah penduduk dan kedaulatan hukum. Penduduk adalah siapa saja yang menetap atau bertempat tinggal dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Apabila ada WNI yang tinggal di Washington (Amerika Serikat) maka WNI tersebut adalah penduduk Amerika Serikat. Sehingga segala tindakannya di negara Amerika Serikat tunduk pada hukum negara tersebut. Sedangkan yang dimaksudkan kedaulatan hukum adalah suatu perundang-undangan hanya berlaku di wilayah negara yang bersangkutan.

3. Akta Kelahiran.
Di dalam pasal 27 ayat 2 dinyatakan bahwa berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Pasal ini dapat menimbulkan inteprestasi yang bermacam-macam mengingat tidak diatur dengan jelas berapa lama Kutipan Akta Kelahiran dapat diterbitkan. Di dalam pasal 28 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan jelas dinyatakan bahwa paling lama 30 hari setelah dilaporkan kutipan akta kelahiran harus diterbitkan. Tentu penentuan lamanya hari ini mempunyai ukuran yang jelas dari masing-masing peraturan perundangan-undangan. Tetapi bila melihat inti dari kegiatan penerbitan kutipan akta kelahiran adalah membuat dokumen otentik terkait dengan peristiwa penting yang terjadi dan hal tersebut dilakukan secara rutin oleh pejabat pencatatan sipil maka waktu yang diperlukan sebetulnya tidak perlu terlalu lama. Ketidak jelasan pengaturan tentang berapa lama waktu yang diperlukan untuk menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran ini tentu saja dapat merugikan masyarakat. Bahkan ini merupakan kesempatan untuk melakukan tindakan pungutan liar yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pencatatan sipil. Oleh karenanya pengaturan tentang hal ini secara jelas sangat diperlukan untuk menutup segala jenis penyalahgunaan wewenang. Hal lain yang terkait dengan akta kelahiran adalah biaya penerbitan akta tersebut. Penegasan bahwa untuk memperoleh Akta Kelahiran tidak dipungut biaya apapun tidak terdapat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Sangat berbeda dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 yang menjamin bahwa Akta Kelahiran dapat diperoleh tanpa dikenakan biaya. Ketiadaan pengaturan tentang biaya tersebut dalam UU Adminduk ini telah menyebabkan sulitnya penerapan peraturan tersebut di lapangan. Bagaimana acuan pemerintah daerah (Pemda) menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pencatatan sipil bila terdapat ketidakjelasan acuan perundang-undangan. Di DKI Jakarta sendiri menurut Perda DKI No 1 Tahun 2006 dinyatakan bahwa biaya pembuatan akta kelahiran adalah sebesar Rp 5.000. Secara jumlah memang tidak besar tetapi dengan adanya pemungutan biaya berarti telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang yaitu yang terdapat di dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mana dinyatakan pembuatan akta kelahiran tidak dikenakan biaya. Oleh karenanya ketentuan tentang biaya pengurusan akta kelahiran yang terdapat di dalam Perda No 3 Tahun 2001 harus ditinjau dan dinyatakan tidak berlaku mengingat UU No 23 Tahun 2002 sudah menyatakan bahwa tidak dipungut biaya untuk memperoleh akta kelahiran. Dan ketentuan tentang tidak adanya biaya untuk memperoleh akta kelahiran harus dilaksanakan oleh setiap Pemda di seluruh Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengacu kepada Undang-undang No 23 Tahun 2002.

4. Akta Perkawinan
Pasal 34 butir 4 menyatakan bahwa pelaporan pernikahan bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUA Kecamatan. Adanya aturan yang tegas terhadap umat Islam ini memang sesuai dengan kondisi yuridis faktual bahwa KUA adalah lembaga yang berwenang mengeluarkan kutipan Akta Perkawinan. Akan halnya penduduk di luar Islam justru terkesan tidak diatur dengan jelas. Bagaimana sesungguhnya perkawinan yang dilakukan oleh pemeluk aliran Kepercayaan atau masyarakat adat yang belum mempunyai agama. Apakah mereka dapat dengan mudah memperoleh kutipan akta perkawinan tersebut dari kantor catatan sipil. Selama aturan tersebut tidak tegas dan jelas mengatur tentang hak-hak yang seharusnya diterima oleh seluruh warga negara maka Undang-Undang Administrasi Kependudukan dapat dikatakan tidak memberikan kepastian hukum bagi seluruh warga. Sampai sejauh ini pemerintah baru mengakui keberadaan Khonghucu sebagai agama dengan menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negri No 470/336/SJ pada tanggal 24 Februari 2006 tentang pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut Khonghucu. Dengan adanya Surat Edaran tersebut maka Pemerintah Daerah wajib melayani administrasi kependudukan kepada penganut Khonghucu.
Selain itu mengingat komposisi penduduk di Indonesia yang terdiri dari macam suku dan mempunyai agama yang berbeda pula, seharusnya menjadi perhatian yang serius bagi negara di dalam mengatasi hal ini. Pengaturan tentang perkawinan campuran / perkawinan antar agama melalui prosedur pengadilan tentu mengakibatkan kesulitan sejumlah warga. Pengaturan tentang perkawinan campuran / perkawinan antar agama seperti yang terdapat pada pasal 35 melalui penetapan pengadilan tentu mengakibatkan kesulitan sejumlah warga. Dengan menggunakan prosedur pengadilan tentu masalah biaya dan waktu menjadi pertimbangan sendiri bagi warga. Perkawinan sebagai hak bagi warganegara yang akan melaksanakannya dalam hal ini perkawinan antar agama telah direduksi sedemikian rupa sehingga bagi pemerintah seolah-olah menjadi persoalan hukum. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 17 ayat 1 menyatakan laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasai kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian. Selanjutnya di dalam ayat 2 dinyatakan perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh kedua mempelai. Dan ayat 3 dinyatakan keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara. Sesuai dengan Deklarasi Universal tersebut maka persoalan perkawinan antar agama seharusnya tidak perlu dicampuri lebih jauh oleh negara. Hak untuk melakukan pernikahan justru harus dijamin negara sebagai bukti pemenuhan hak asasi setiap warga negara.

5. Perceraian dan Pembatalan Perceraian
Di dalam UU Adminduk terdadapat pula pengaturan tentang rujuk dan pembatalan perceraian, hanya saja pengaturan tentang rujuk yang terdapat dalam pasal 9 serta pembatalan perceraian yang terdapat di dalam pasal 43 terlihat tidak mempunyai acuan yang jelas. Menurut hukum Islam, rujuk dimungkinkan pada saat jatuh talak I dan talak II. Perceraian yang baru berupa tahap penjatuhan Talak I, Talak II tidak diperlukan putusan pengadilan, jadi tidak ada yang dicatat di KUA. Demikian rujuknyapun tidak perlu dicatat. Perceraian yang secara sah menurut hukum negara (sesuai dengan UU no 1 Tahun 1974) adalah melalui Pengadilan. Perceraian yang demikian wajib dicatat dan memperoleh akta cerai. Dalam perceraian tersebut tidak ada rujuk. Kalau yang bersangkutan menginginkan akan kembali bersama lagi, bukan melalui rujuk tetapi harus diselingi dengan pernikahan dengan orang lain.
Sedangkan pembatalan perceraian sebagaimana dimuat dalam pasal 43 sesungguhnya di dalam catatan sipil tidak termasuk yang wajib dicatatkan di register Catatan Sipil. Di dalam statsblad yang berlaku bagi golongan manapun yang mengatur tentang catatan sipil tidak diketemukan ketentuan tentang pencatatan pembatalan perceraian. Bahkan di dalam UU N0. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur tentang putusnya perkawinan yang dalam bahasa lain adalah perceraian dan segala akibat hukum atas perceraian tersebut (pasal 38 s/d 41 UU No 1 Tahun 1974). Secara logika hukum seseorang yang batal melakukan perceraian berarti belum terjadi perceraian dengan demikian Pengadilan berhasil membawa kedua pihak untuk berdamai. Jadi tidak ada sesuatupun harus dicatatkan karena belum terjadi perceraian, sebelum putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, perceraian belum terjadi sehingga belum perlu dicatat sebagai perceraian. Seandainya saat-saat putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap, kedua belah pihak rujuk kembali tentunya tidak terjadi sesuatu perubahan apapun secara hukum. Jadi tidak perlu pula dicatatkan sebagai pembatalan perceraian karena secara hukum perceraian belum terjadi.

6. Pengaturan tentang denda/sanksi administratif
Di dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan yaitu di pasal 90 terdapat aturan tentang denda apabila penduduk melampau batas waktu di dalam melaporkan peristiwa penting. Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan yang disebutkan diatas bahwa negara adalah pelayan bagi berbagai macam kepentingan bersama di dalam masyarakat. Pemerintah yang berkewajiban memberi pelayanan kepada penduduk dengan kata lain adalah hak penduduk untuk memiliki dokumen kependudukan tanpa harus dibebani dengan persoalan sanksi administratif.
7. Data yang terdapat dalam Identitas Penduduk/ Kartu Tan Penduduk (KTP)
Dengan dimasukkannya data agama di dalam identitas seseorang / KTP sesuai yang diatur dalam pasal 64 maka hal ini tentu mempunyai konsekuensi tersendiri, yaitu harus diisi sesuai dengan agama/keyakinan penduduk tersebut. Pada dasarnya persoalan agama adalah sebuah kebebasan bagi setiap orang di dalam menjalankannya. Oleh karenanya data yang terdapat dalam KTP sebaiknya tidak membatasi seseorang untuk mengubah keyakinan yang dianut. Adalah kurang tepat jika pada dasarnya seseorang dipaksa untuk memilih salah satu agama hanya untuk penerbitan sebuah identitas diri karena agamanya tidak diakui oleh pemerintah. Demikian juga apabila penduduk mempunyai keinginan untuk pindah agama akan cukup menyulitkan apabila harus ada laporan terhadap perubahan data identitas karena persoalan agama. Agama sebagai hak asasi setiap orang dapat berubah sesuai dengan keyakinan pada seseorang. Seseorang tidak dapat dibatasi untuk memilih keyakinan. Dengan demikian kenyataannya, pembaruan hukum di bidang administrasi kependudukan hanya sebatas membuat perundang-undangan saja mengingat hal-hal yang mendasar bagi penduduk yaitu adanya pengakuan agama di dalam identitas / KTP tidak dapat diberikan bagi semua warga negara.

KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang telah dibahas di atas maka disimpulkan sebagai berikut :

1. Undang-undang Administrasi Kependudukan Pasal 1 mengatur tentang pencatatan peristiwa kependudukan dan pencatatan peristiwa penting yang terjadi pada warga negara. Melalui pencatatan peristiwa kependudukan setiap warga negara dapat memperoleh status penduduk dengan diterbitkannya KTP. Sedangkan pencatatan peristiwa penting yang dimaksudkan dalam UU Adminduk adalah pemenuhan hak-hak keperdataan seseorang berdasarkan peristiwa penting yang melatarbelakanginya seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, pengangkatan anak dan lain sebagainya yang kesemuanya mengakibatkan diterbitkannya akta oleh instansi pencatatan sipil. Kedua peristiwa tersebut baik peristiwa kependudukan dan peristiwa penting memang berkaitan. Akan tetapi sesungguhnya keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Pencatatan peristiwa kependudukan tersebut adalah ranah hukum publik sedangkan pencatatan peristiwa penting merupakan ranah hukum perdata. Dengan perbedaan tersebut maka aturan tentang pencatatan sipil sebaiknya dipisahkan dari UU Adminduk.

2. Terdapat pasal-pasal yang terkait dengan kegiatan pencatatan sipil yang tidak relevan dengan hukum yang berlaku. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 43 yang mengatur tentang pembatalan perceraian. Mengingat perceraian tersebut tidak terjadi maka tidak ada akibat hukum yang ditimbulkan. Dengan demikian seharusnya tidak diperlukan pelaporan atas pembatalan tersebut kepada instasnsi pelaksana. Undang – undang Adminduk juga tidak menjamin sepenuhnya hak warganegara dalam melaksanakan perkawinan mengingat dalam memperoleh akta perkawinan tersebut hanya dibatasi oleh agama tertentu.

3. Penentuan tentang data-data yang perlu dimasukkan di dalam identitas seseorang/KTP harus mempunyai ukuran yang jelas. Ada atau tidak adanya kolom agama tentu harus dirasakan manfaatnya bagi pemegang identitas dalam hal ini penduduk itu sendiri. Apabila seseorang kebetulan mempunyai keyakinan di luar agama resmi yang diakui oleh pemerintah tidak dapat memasukkan datanya dalam identitas tersebut maka adanya kolom agama tersebut menjadi formalitas belaka. Memasukan kolom agama dalam identitas diri / KTP dapat dipandang sebagai upaya institusionalisasi agama, dengan kata lain negara yang menentukan apa yang harus dipercayai dan apa yang tidak. UUD 1945 telah memberi jaminan kebebasan agama bagi pemeluknya, tetapi dengan pencantuman kolom agama dalam identitas diri / KTP maka konsekuensinya tidak semua warga dapat mencantumkan agama/kepercayaannya dalam KTP. Dan ini menandakan UU Administrasi Kependudukan telah melakukan diskriminasi bagi sebagian warga negara. Dan oleh karena itu akan lebih baik apabila kolom agama di dalam KTP dihapuskan untuk memberikan jaminan kebebasan beragama bagi seluruh warga negara.

REKOMENDASI

1. Diperlukan aturan yang sangat jelas dan tegas mengenai hak-hak penduduk di dalam memperoleh hak-hak keperdataan yang dilaksanakan melalui kegiatan pencatatan sipil. Aturan yang tegas tersebut terkait dengan syarat-syarat yang diperlukan dalam kegiatan pencatatan sipil. Pencatatan Sipil sesuai dengan sifatnya mencatat peristiwa penting yang terkait dengan kehidupan seseorang maka aturan perundang-undangan seharusnya tidak membatasi bagaimana kegiatan tersebut dapat dilaksanakan. Justru aturan perundang-undangan harus dapat menjembatani kemungkinan-kemungkinan yang terjadi (realitas di dalam masyarakat) sehubungan dengan kegiatan pencatatan sipil tersebut seperti adanya perkawinan antar agama yang dapat dilaksanakan tanpa memerlukan penetapan pengadilan.

2. Sinkronisasi peraturan yang terkait dengan pencatatan sipil sangat mendesak untuk dilakukan. Tumpang tindihnya aturan tentang penerbitan Akta Kelahiran antara undang-undang dengan peraturan daerah sebagai contoh mengakibatkan ketidakpastian dalam pelayanan kepada masyarakat. Oleh karenanya adanya Perda yang bertentangan dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak dalam hal penerbitan akta kelahiran tanpa biaya harus dicabut.

3. Undang-undang Administrasi kependudukan perlu direvisi terutama yang menyangkut tentang kegiatan pendaftaran penduduk. Kegiatan pendaftaran penduduk tersebut menjadi kurang bermanfaat apabila terdapat data yaitu data agama yang tidak dapat dimasukkan dalam identitas/KTP karena pemerintah hanya mengakui beberapa agama saja. Oleh karenanya penghapusan data agama dalam KTP menjadi relevan mengingat terdapat diskriminasi bagi sebagian warga.
4. Aturan Catatan Sipil seharusnya diatur dalam perundang-undangan tersendiri bukan digabung dengan perundang-undangan lain yang tidak sesuai dengan sifat pencatatan sipil yang mengatur hak-hak keperdataan.



Tinjauan terhadap Aturan Pencatatan Sipil dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan (I)

Oleh :
Eric Tampubolon
praktisi hukum/advokat pada ET & Partners


LATAR BELAKANG

Penghormatan akan keberagaman suatu bangsa merupakan ciri dari penyelenggaraan negara yang bersifat demokratis. Perwujudan Indonesia sebagai negara demokratis tersebut salah satunya dilakukan dengan meletakan dasar-dasar pelaksanaan hak asasi manusia dalam konstitusi. Dengan dimasukkannya hak asasi manusia ke dalam konstitusi/UUD 1945 maka setiap warga negara Indonesia mempunyai hak/kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan.


Walaupun UUD 1945 telah menjamin bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, masih ditemukan juga kesulitan sebagian warga di dalam memperoleh hak-haknya. Kedudukan yang sama dihadapan hukum ini berarti setiap warga negara tidak dibedakan berdasarkan apapun juga latar belakangnya. Demikian juga terhadap hak-hak dalam memperoleh pelayanan dari negara. Negara merupakan sarana bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan yang menjadi kepentingan bersama.( Pokok-Pokok Pikiran dan Paradigma Baru Catatan Sipil Nasional, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2005) Oleh karenanya tidak boleh terdapat pembedaan dengan dalih apapun juga, guna mewujudkan kedudukan yang sama di depan hukum bagi seluruh warga negara.

Persoalan dalam pemenuhan hak asasi manusia tersebut akan terlihat sejauh mana pemerintah dalam mengelola kebijakannya yang pada akhirnya direpresentasikan dalam peraturan perundang-undangan. Apabila sebuah peraturan perundang-undangan tidak dapat mengakomodir kepentingan seluruh warga negara Indonesia yang terdiri dari banyak suku dan mempunyai agama yang berbeda-beda tentu akan menimbulkan diskriminasi bagi sebagian warga. Pada hakikatnya hak asasi manusia melekat kepada setiap manusia dalam hal ini kepada pribadi dari warga negara yang bersangkutan sebagai rahmat kodrati Tuhan Yang Maha Kuasa dan menjadi pokok yang tidak terpisahkan dari kehidupannya sebagai seorang manusia dalam arti seutuhnya, sehingga tidak dapat dicabut oleh kekuasaan manapun juga. Negara adalah pengemban mandat untuk mewujudkan hak-hak asasi tersebut dan tidak dapat mengabaikannya dalam bentuk apapun.

Hak asasi manusia tersebut pada prakteknya dapat diturunkan secara teknis menjadi hak-hak keperdataan dan hak-hak kenegaraan. Hak-hak keperdataan itu berupa hak untuk diakui sebagai manusia seutuhnya, dari mulai dikandung hingga dengan kematiannya, yang meliputi hak-hak lanjutannya seperti hak atas penghidupan, hak atas nama diri, hak menikmati kewarganegaraan, hak mengetahui asal usulnya, hak berkehidupan sosial, hak berusaha, hak berkelompok, hak membentuk keluarga, hak waris, hak milik dan sebagainya yang dilekatkan dalam kehidupan pribadinya sebagai seorang manusia yang sama dan sederajat di hadapan hukum dalam hubungan dengan interaksinya dengan sesama anggota masyarakat yang lain, dari berbagai macam latar belakang kebangsaan dan kewarganegaraan. (UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia)

Hak-hak kenegaraan misalnya adalah hak untuk ikut serta dalam pengurusan negara baik untuk memilih dan dipilih dalam fungsi-fungsi kenegaraan, hak berpendapatan bebas, hak bekerja untuk pemerintahan dan sebagainya. Dalam kaitan dengan hak-hak keperdataan, menjadi tanda tanya yang besar pula kalau pada saat ini tidak sedikit artis Indonesia (contoh : Cornelia Agatha, Yuni Shara dll) yang melaksanakan pernikahan sampai ke negeri orang. Pelaksanaan pernikahan di luar negeri tersebut dikarenakan di Indonesia tidak dikenal perkawinan antar agama.
Pemenuhan akan hak-hak keperdataan setiap warganegara sudah harus dijamin sejak ia dilahirkan dengan menerbitkan sebuah dokumen otentik / bukti hukum bahwa seseorang telah dikenal keberadaannya di muka bumi ini dan karenanya dapat menikmati hak-hak asasi manusianya secara lengkap. Dokumen otentik itulah yang disebut dengan akta kelahiran. Melalui akta kelahiran dapat diketahui asal usul, orang tua, hubungan darah, hubungan perkawinan, hubungan kewarisan dan sebagainya. Dokumen otentik tersebut juga diperlukan bagi setiap warga yang mengalami peristiwa penting lainnya baik itu perkawinan, perceraian, kematian dan sebagainya.

Melalui kegiatan pencatatan sipil (akta kelahiran) menjadi alat bantu utama untuk penentuan status kewarganegaraan seseorang, hal ini terkait dengan hubungan interaksi masyarakat internasional yang semakin tinggi. Sebagai dokumen hukum dan untuk mencapai tujuan serta manfaat yang tertinggi maka akta catatan sipil harus memenuhi asas-asas permanen, kontinyu, memaksa dan universal.

Permanen berarti bahwa dokumen – dokumen yang dikeluarkannya, karena berkaitan dengan pembuktian hukum, harus selalu dijaga dan tidak diganti-ganti. Dokumen yang dikumpulkan akan terus dijaga dan tidak diganti-ganti. Dokumen yang dikumpulkan akan terus dikumpulkan dan tidak mengenal pemusnahan karena bertujuan untuk membuktikan hubungan asal-asul hingga sejauh yang dimungkinkan untuk ditelusuri, dimana dokumen tersebut juga tidak pernah berubah dan karenanya menjadi jaminan bagi kepastian hukumnya. Untuk menunjangnya asas ini berkorelasi dengan prinsip kehati-hatian, keakuratan dan perlindungan kerahasiaan data agar tidak terjadi penyalahgunaan.

Kontinyu berarti bahwa sekali kegiatan pencatatan sipil telah diselenggarakan, hendaknya sistem yang dibangunnya tidak putus atau berganti-ganti kelembagaan sehingga menimbulkan keterputusan data. Kelembagaan akan terus bekerja dari generasi ke generasi dan menghasilkan data yang terpadu. Asas ini berkorelasi dengan kesinambungandata dan kejelasan pelayanan.

Memaksa berarti bahwa penyelenggara pencatatan sipil harus bekerja dengan taat asas dan tidak dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang menyebabkan ketidak benaran data yang harusnya dikumpulkannya.

Universal berarti bahwa penyelenggara pencatatan sipil harus dilakukan di seluruh wilayah suatu negara untuk memperoleh angka cakupan setinggi mungkin dengan tidak membeda-bedakan atau menciptakan ketentuan-ketentuan yang akan mengacaukan keakuratan seluruh peristiwa penting yang menjadi cakupan pencatatan sipil. Selain itu dokumen yang dikeluarkannya pun hendaknya memenuhi kebutuhan masyarakat dunia dan tidak menimbulkan keragu-raguan mengenai otentisitasnya.

Sejarah Pencatatan Sipil di Indonesia

Sebagai negara yang pernah mengalami masa penjajahan maka pengaturan tentang pencatatan sipil di Indonesia sebelum UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) diberlakukan pada tahun 2006, masih menggunakan aturan kolonial Belanda. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu membagi penduduk atas dasar etnik golongan Eropa, Timur Asing dan Bumi Putra. Penggolongan itu menghasilkan peraturan yang membedakan penduduk. Pembedaannya tidak terbatas pada penggolongan etnik saja, tetapi termasuk dalam bidang kependudukan yang mana pencatatan kelahiran dibedakan baik dari sisi administrasi maupun agama. Secara garis besar aturan tentang Catatan Sipil dapat dibagi kedalam dua periode yaitu masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dan setelah kemerdekaan.

Pada masa sebelum Indonesia merdeka berlaku aturan kolonoial Belanda yaitu :
a. Bagi bangsa Eropa diatur dalam S. 1849 No 25 dan perubahan-perubahannya.
b. Bagi bangsa Thionghoa diatur menurut S. 1917 No. 130 Jo. S 1919 No. 81 dan perubahan-perubahannya.
c. Bagi bangsa Indonesia Bumi Putera dari Jawa dan Madura, diatur menurut S. 1920 No 751 Jo. S. 1927 No. 564 dan perubahan-perubahannya.
d. Bagi bangsa Indonesia Bumi Putera Kristen di Jawa, Madura dan Minahasa, diatur menurut S.1933 No.75 dan perubahan-perubahan lainnya.
e. Peraturan Perkawinan Campuran diatur dalam S. 1986 No. 23 Jo. S 1898 No. 158 dan perubahan-perubahannya.

Pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang:
a. Instruksi Presidium Kabinet No 314/4/IN/12/1966.
b. Undang-undang No.4 tahun 1961 tentang perubahan nama keluarga.
c. Keputusan Presidium Kabinet No 127/4/Kep/12/1966 tentang Ganti Nama WNI yang memakai nama Cina.
d. Undang-undang Administrasi Kependudukan.

Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 maka baru pada tahun 2006 negara mempunyai aturan pencatatan sipil yang bersifat nasional. Dengan demikian sebelum tahun 2006, Indonesia masih memakai aturan kolonial Belanda. Padahal sesuai dengan pertimbangan yang terdapat Instruksi Presidium Kabinet No 314/4/IN/12/1966, sudah direncanakan pengaturan tentang pencatatan sipil nasional di dalam perundang-undangan.

PERMASALAHAN

Dengan diberlaklukannya Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada tahun 2006 maka aturan tentang pencatatan sipil nasional telah mengalami pembaruan. Selama ini pengaturan tentang catatan sipil yang berlaku di Indonesia masih menggunakan ketentuan yang sudah sangat tertinggal serta sangat bersifat diskriminatif. Hal ini bisa dilihat bahwa terjadi pembedaan perlakuan berdasarkan golongan dalam rangka memperoleh akta catatan sipil ditambah persoalan lain yang harus dihadapi oleh etnis Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia. Warga negara etnis Tionghoa sering diperhadapkan pada masalah keabsahannya sebagai warganegara. Sehingga dalam pengurusan untuk memperoleh dokumen pencatatan sipil tersebut sangat sulit. Padahal esensi dari pencatatan sipil adalah mencatatkan peristiwa penting yang terjadi di wilayah kantor catatan sipil yang memang jadi cakupan tugasnya. Akan tetapi mengingat negara tidak mempunyai hukum nasional tentang pencatatan sipil maka setiap warganegara dibedakan berdasarkan golongannya. Perlakuan yang berbeda ini tentu mempunyai dampak yang buruk baik dari segi lamanya waktu untuk memproses dan biaya yang tinggi.

Keberadaan Undang-Undang Administrasi Kependudukan tentu harus dapat mencegah mengulang terjadinya sejarah diskriminasi dalam pencatatan sipil. Berdasarkan hal tersebut maka ada sejumlah permasalahan yang perlu dikaji, yaitu :
1. Sejauhmana keterkaitan antara pencatatan sipil dengan administrasi kependudukan serta perlukah aturan tersebut dipisahkan / diatur secara tersendiri?
2. Bagaimana konsep pencatatan sipil di dalam UU Administrasi Kependudukan, apakah pola diskriminasi dalam pengurusan pencatatan sipil sudah dapat teratasi dengan diberlakukan UU Administrasi Kependudukan tersebut ?
3. Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan di dalam pencatatan /administrasi kependudukan agar dapat menjamin hak-hak penduduk tidak terabaikan ?

ANALISIS
bersambung ......Bagian II

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...