Thursday, January 22, 2009

POKOK-POKOK PIKIRAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

Oleh : Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH.




I. PENDAHULUAN

Pada kesempatan sosialisasi tahap pertama ini ada enam bab yang akan dibicarakan, yaitu Bab I sampai dengan Bab VI. Bab I mengenai Ketentuan Umum yang berisi pengertian istilah. Bab II mengenai Penyidik dan Penuntut Umum. Bab III mengenai Penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat. Bab IV tentang tersangka dan terdakwa. Bab V tentang bantun hukum dan terakhir Bab VI mengenai sumpah atau janji.
Sosialisasi tahap kedua membicarakan Bab VII sampai dengan Bab XIII. Bab VII mengenai wewenang pengadilan untuk mengadili, Bab VIII mengenai Tindak Pidana yang dilakukan oleh seorang sipil bersama anggota TNI dan Bab IX mengenai Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Bab X mengenai Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian, Bab XI mengenai Penyidikan dan, Bab XI mengenai Pengadilan. Bab XII mengenai Penuntutan dan Bab XIII mengenai Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.
Sosialisasi tahap ketiga membicarakan Bab XIV sampai dengan Bab XIX. Bab XIV mengenai Upaya Hukum Biasa, Bab XV mengenai Upaya Hukum Luar Biasa dan Bab XVI mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Bab XVII mengenai Pengawasan dan pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, Bab XVIII mengenai Ketentuan Peralihan dan Bab XIX mengenai Ketentuan Penutup.
Menyangkut pengertian istilah ada beberapa hal yang telah diperbaiki, misalnya tentang pengertian penuntutan, karena penuntutan itu tidak hanya perbuatan melimpahkan perkara ke pengadilan oleh penuntut umum, tetapi menyangkut kebijakan penuntutan, apakah suatu perkara dituntut ataukah tidak. Jika tidak dituntut sedangkan cukup bukti berarti penerapan asas oportunitas, yang bisa dengan suatu syarat ataukah tanpa syarat. Jadi, system acara pidana kita mengenai penyampingan perkara demi kepentingan umum yang dapat dilekatkan suatu syarat. Misalnya, tidak dituntut tetapi harus membayar sejumlah uang sebagai ganti kerugian. Dunia mengenal penerapan asas oportunitas dengan syarat, yang di Indonesia juga dilakukan dengan nama schikking. Ini berarti penuntutan artinya luas, bisa pengadilan bisa juga penyelesaian di luar pengadilan. Istilah yang dipakai ialah “the public prosecutor may decide-conditionally or un conditionally – to make prosecution to court or not”.
Di dalam pengertian istilah ini sudah dimasukkan pula pengertian hakim komisaris menyangkut hal-hal baru mengikuti perkembangan zaman seperti penggantian lembaga praperadilan menjadi hakim komisaris dengan wewenang yang lebih luas dan konkret.
Sebenarnya dalam rancangan KUHAP dulu yang diilhami oleh Prof. Oemar Seno Adji, sudah dicantumkan lembaga hakim komisaris itu. Namun mungkin dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan sektoral yang marak pada zaman Orde Baru, maka lembaga itu diganti dengan praperadilan yang wewenangnya sangat minim. Hakim komisaris ini diartikan “pejabat yang diberi wewenang mengawasi jalannya penyidikan dan penuntutan dan wewenanng lain yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Disamping itu dilakukan perbaikan-perbaikan redaksional yang selaras dengan doktrin ilmu hukum acara pidana dan hukum pidana. Ada beberapa rumusan yang tidak sesuai dengan doktrin hukum pidana dan hukum acara pidana, misalnya saja tentang pengertian putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Begitu pula tentang putusan hakim yang dapat dibanding, dikasasi dan ditinjau kembali. Yang belum masuk ke dalam daftar pengertian istilah, tetapi berada di belakang.
Ada pula yang belum diatur sama sekali, misalnya dalam hal apa tuntutan jaksa tidak dapat diterima. Dalam pengaturan PK muncul jenis putusan “tuntutan penutut umum tidak dapat diterima,” padahal di bagian depan sama sekali tidak diatur kapan tuntutan penuntut umum dapat diterima. Pada saat hakim menerima berkas perkara dari penuntut umum sebenarnya harus diteliti terlebih dahulu apakah cukup alasan untuk menyidangkan perkara tersebut. Jika misalnya suatu delik aduan diajukan oleh penuntut umum tetapi tidak disertai dengan surat pengaduan, maka mestinya langsung hakim mengeluarkan penetapan “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”. Hal yang sama jika perkara itu berlaku neb is in idem, perkara telah verjaard, yang didakwakan penuntut umum bukan tindak pidana, dan seterusnya.
Ada pula perubahan yang sebenarnya sama dengan Rancangan KUHAP dulu namun PANSUS di DPR pada waktu itu kurang mengetahui tentang perkembangan hukum acara pidana, tanpa studi banding sebelumnya, sehingga tercantum dalam rancangan tersebut, yang disusun oleh Prof. Oemar Seno Adji yang kaya akan literatur hukum pidana dan acara pidana, tidak dapat dimengerti atau disalah mengerti sehingga diubah sesuai dengan feeling semata, tanpa dicek secara akademik, misalnya tentang alat-alat bukti tetap mengikuti HIR yang kuno itu.

II. PEMBAHASAN
A. Bab I sampai dengan Bab VI
1. Pengertian penuntutan sudah diubah sehingga meliputi kebijakan penentuan untuk menuntut atau tidak menuntut baik dengan syarat maupun tanpa syarat.
2. Beberapa pengertian istilah dapat dibicarakan dalam kesempatan sosialisasi ini.
3. Rumusan tentang penyidik lebih dirinci sebagaimana tertera dalam usulan saya pada pasal 6 karena pejabat Pegawai Negeri Sipil itu bermacam-macam termasuk KPK yang wewenangnya sangat luas begitu pula Jaksa yang menyidik tindak pidana korupsi, ekonomi dan pelanggaran HAM. Tentang penuntut umum dengan sendirinya harus disesuaikan dengan pengertian istilah dan lagi pula penuntut umum bukan saja melaksanakan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi juga pelaksanaan penetapan hakim.

Menyangkut Bab III khususnya tentang penahanan, yang sejak HIR sampai KUHAP sekarang membagi tentang sahnya penahanan dan perlunya penahanan (rechtvaardigheid dan noodzakelijkheid). Sahnya penahanan bersifat obyektif dan pasti sedangkan perlunya penahanan bersifat subyektif dan tergantung yang berwenang menahan. Kapan ada tanda-tanda orang akan melarikan diri, kapan ada tanda-tanda akan mengulangi perbuatan dan kapan ada tanda-tanda akan mempersulit pemeriksaan (menghilangkan barang bukti) ditentukan oleh yang melakukan penahanan. Sedangkan sahnya penahanan sudah pasti, yaitu delik yang diancam pidana lima tahun lebih (di Nederland empat tahun atau lebih, yang rupanya berpatok pada delik pencurian yang ancaman pidananya empat tahun penjara). Kemudian, ada delik yang diancam pidana di bawah lima tahun tetapi dapat dilakukan penahanan, namun disebut satu persatu di dalam KUHAP. Pasal-pasal itu perlu diubah sesuai dengan pertimbangan khas Indonesia dan dengan sendirinya nomornya harus menunggu KUHP (diselelaraskan dengan Rancangan KUHP).
Di Nederland ditambahkan delik yang dapat ditahan termasuk pelaku delik yang diancam pidana di bawah empat tahun, tetapi orangnya tidak mempunyai tempat kediaman tetap, sehingga sah untuk ditahan. Ini perlu ditiru, karena gelandangan di Indonesia jauh lebih banyak dari pada di Nederland. Tidak mungkin untuk dipanggil menghadap ke pengadilan jika tempat kediaman terdakwa tidak diketahui. Pasal 284 KUHP (permukahan) perlu dimasukkan sebagai delik yang sah untuk ditahan, karena kondisi beberapa daerah yang sangat membahayakan jika tersangka permukahan tidak ditahan, seperti di Aceh, Sulawesi Selatan, Madura dll.
Tentang penyitaan harus dimasukkan sebagai salah satu wewenang Hakim Komisaris, yang sekarang menurut KUHAP tidak masuk wewenang praperadilan. Pengertian surat juga perlu diperluas sehingga meliputi surat eletronik, fax, internet dst.
Tentang Bab VI hak tersangka dan terdakwa perlu dipikirkan untuk menampung tindak pidana terorisme, yang hak-haknya dibatasi, misalnya berlaku asa inquiaitoir bukan accusatoir terhadap para pelaku terorisme.
Belanda tidak mempunyai undang-undang khusus mengenai terorisme, namun sejak dulu bagi delik politik berlaku asas inquisitoir bukan accusatoir.
Tentang bantuan hukum perlu ditinjau kembali ketentuan dalam Undang-undang advokat, yang memberi monopoli kepada advokat untuk memberi nasehat hukum, bahkan dengan ancaman pidana kepada orang yang memberi nasehat hukum tetapi tidak berkedudukan sebagai advokat. Misalnya harus diberi ruang secara insidental untuk seseorang tersangka atau terdakwa untuk menunjuk keluarganya atau sahabatnya untuk memberi bantuan hukum secara Cuma-Cuma. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia untuk menunjuk seseorangt untuk menjadi penasehat hukumnya secara insedental. Misalnya tersangka yang tersangkyut perkara pidana sedangkan dia mempunyai sauadar yang pakar hukum pidana, dapat saja secara insedental menunjuk sauadaranya tersebut, sebagai penasehat hukumnya.
Menyangkut sumpah palsu perlu diperhatikan hukum pidana materiel yang tidak mengenal percobaan bersumpah palsu, artinya jika seseorang telah memberikan keterangan tidak benar, namun pada pemeriksaan berikutnya dia memperbaiki keterangannya, tidak dapat dituntut telah mencoba bersumpah palsu. Rasio atau dasar filosofinya ialah agar orang diberi kesempatan untuk memberikan keterangan yang benar, mengoreksi keterangan sebelumnya, demi mencari kebenaran materiel.

B. Bab VII sampai dengan Bab XIII
Bab VII yang mencantumkan Hakim Komisaris merupakan hasil perubahan Praperadilan. Mengapa kami merubah Praperadilan menjadi Hakim Komisaris, akan kami jawab dalam sosialisasi ini. Praperadilan menurut pendapat kami (penyusun) kurang efektif untuk mengawasi proses pengenaan upaya paksa terutama penahanan, bahkan samasekali tidak menyebut tentang penyitaan.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara Praperadilan dan Hakim Komisaris. Antara lain :
1. Praperadilan masih menempel pada Pengadilan Negeri, yang secara kasus demi kasus Ketua Pengadilan Negeri menunjuk seorang hakim Pengadilan Negeri untuk memutus suatu perkara yang diajukan. Jadi, tidak ada sidang Praperadilan tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan Praperadilan. Hakim yang ditunjuk itu tetap masih “hakim palu”. Sedangkan dalam hal Hakim Komisaris hakimnya akan lepas dari Pengadilan Negeri dan bersifat permanen. Artinya hakim pengadilan negeri yang diangkat menjadi Hakim Komisaris, akan lepaskan palunya selama menjabat Hakim Komisaris dalam jangka waktu dua tahun. Setelah melewati jangka waktu dua tahun, dia akan kembali ke Pengadilan Negeri darimana dia berasal dan menjadi hakim palu kembali. Sebagai variasi dari Hakim Komisaris di Nederland, maka kami mengusulkan juga agar orang yang non hakim tetapi menguasai hukum acara pidana dan hukum pidana, seperti jaksa, pengacara senior dan dosen hukum pidana dan acara pidana dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris. Melalui suatu proses tertentu seperti fit and proper test. dll. Yang aturannya akan dicantumkan dalam suatu Peraturan Pemerintah, bahkan ada yang mengusulkan agar dibuat suatu undang-undang tersendiri mengenai tata cara pengangkatan Hakim Komisaris itu. Hakim Komisaris akan bertindak dengan atau adanya suatu tuntutan. Jadi, akan meneliti semua penahanan yang dilakukan oleh penyidik maupun oleh jaksa baik secara formel maupun secara materiel. Sekarang ini, Hakim Praperadilan hanya memeriksa secara formel saja tidak secara materiel. Artinya, jika seorang ditahan berdasarkan delik penipuan (Pasal 378 KUHP) dan dituntut bahwa penahanan itu tidak sah, maka hakim akan melihat apakah Pasal 378 KUHP itu sah untuk dilakukan penahanan kepada tersangka atau terdakwa berdasarkan Pasal 21 KUHAP. Oleh karena Pasal 378 KUHP memang tercantum didalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP butir b, maka Hakim Praperadilan menyatakan tuntutan ditolak. Sedangkan dalam hal Hakim Komisaris, dia akan memeriksa resume perkara yang dilampirkan oleh pejabat yang melakukan penahanan, dan akan memeriksa apakah benar secara materiel tersangka atau terdakwa melanggar pasal itu. Jika ternyata kurang bukti untuk itu, maka Hakim Komisaris akan meminta agar tersangka atau terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan.
2. Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam Pasal 72 jelas lebih luas dari pada wewenang Hakim Praperadilan. Bukan saja tentang sah tidaknya penangkapan, penahanan, tetapi juga penyitaan, begitu pula tentang penghentian penyidikan dan penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas. Asas oportunitas memang memberi wewenang kepada Jaksa Agung (kami mengusulkan kepada semua jaksa) untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Juga diatur tentang pelampauan batas waktu penyidikan dan penuntutan. Begitu pula pembatasan hak tersangka atau terdakwa yang dapat diperiksa tanpa didampingi oleh penasehat hukum, misalnya dalam kasus terorisme. Saling mempraperadilkan antara polisi dan jaksa di hapus karena tidak logis. Kedua instansi itu merupakan satu kesatuan dalam pemeriksaan pendahuluan.
3. Hakim Komisaris juga memutus tentang ganti kerugian dan rehabilitasi.
4. Dalam pasal 74 diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh Hakim Komisaris sesuai dengan asas peradilan cepat.
5. Ditegaskan pula di dalam Pasal 74 butir e, bahwa putusan hakim komisaris tidak dapat dibanding maupun dikasasi. Berbeda dengan praktek sekarang yang ada putusan Praperadilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah Agung menerima.
6. Hakim Komisaris berbeda dengan Hakim Praperadilan yang berkantor di Pengadilan Negeri, dia berkantor di (atau dekat) RUTAN, agar mudah berkomunikasi dengan tahanan tanpa tahanan itu dapat melarikan diri.
7. Ini berarti bahwa pada setiap ada RUTAN ada Hakim Komisaris yang memutus seorang diri.

Menyangkut Bab VIII mengenai Konektitas, perlu ditunda pembahasannya, karena ada kecenderungan sekarang untuk menentukan agar militer yang melakukan delik umum (bukan delik militer) diadili oleh pengadilan umum sebagaimana berlaku di Malaysia dan Singapura. Jika itu terjadi, maka dengan sendirinya tidak ada masalah koneksitas karena keduanya akan diadili oleh Pengadilan Negeri.
Menyangkut Bab IX tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi tidak ada perubahan berarti dari KUHAP yang sekarang.
Menyangkut Bab X tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian perlu disosialisasikan dengan baik, karena kelihatanya sekarang ketentuan ini tidak jalan dalam praktek. Hampir tidak ada jaksa penuntut umum yang menuntut kepada hakim agar di samping menjatuhkan pidana dan tindakan, juga menjatuhkan sanksi perdata berupa ganti kerugian, padahal ini penting sekali dalam rangka asas peradilan cepat. Ketentuan itu penting sekali untuk menghindari proses gugatan perdata yang bertele-tele.

C. Bab XVI sampai dengan Bab XIX
1. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa tercantum di dalam BAB XVII KUHAP. Upaya hukum yang pertama, yaitu upaya hukum banding. Jika ditelaah Pasal 233 ayat (1) KUHAP dan dihubungkan dengan Pasal 67 KUHAP maka semua putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi dengan beberapa pengecualian. Di dalam Pasal 233 KUHAP itu disebut terdakwa yang mestinya terpidana. Hampir pasti orang yang telah diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum meminta banding. Pengecualian berdasarkan Pasal 67 KUHAP adalah :
1) Putusan bebas (vrijspraak).
2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum.
3) Putusan pengadilan dalam acara cepat (dahulu disebut perkara rol).

Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa dipakai istilah “kurang tepatnya penerapan hukum”, yang berarti jika penerapan hukum tepat dapat dimintakan banding ? Di dalam praktek HIR dulu putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat dibanding. Prinsip bahwa semua permintaan kasasi harus melalui dulu upaya hukum banding menyebabkan, bahwa putusan lepas dari segala tuntutan hukum itu harus dapat dibanding. Sesudah itu baru dapat dimintakan kasasi. Tidak seperti sekarang, putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dibanding tetapi dapat langsung dilakukan kasasi.
Lebih-lebih dengan kenyataan, bahwa adanya pendapat pakar hukum acara pidana Belanda yang dikembangkan juga di Indonesia, yaitu yang disebut bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) yang merupakan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (verkapte ontslag van rechtsvervolging). Yang artinya putusan hakim pengadilan negeri salah kualifikasi, yang mestinya diputus lepas dari segala tuntutan hukum diputus bebas. Oleh karena bebas tidak murni di Belanda dapat dibanding dan di Indonesia dapat langsung dikasasi, maka terjadilah spekulasi, yaitu hampir semua putusan bebas dikasasi dengan alasan bebas tidak murni. Salah satu penyebabnya ialah kurang dipahaminya kapan sesuatu putusan harus berupa bebas dan kapan berupa lepas dari segala tuntutan hukum. Jika tindak pidana yang didakwakan jaksa tidak terbukti dan meyakinkan hakim maka putusannya bebas. Jika tindak pidana yang didakwakan jaksa terbukti (actus reus) tetapi ada dasar peniadaan pidana, maka putusannya lepas dari segala tuntutan hukum. Perlu dipikirkan untuk memasukkan masalah bebas murni atau lepas dari segala tuntutan hukum terselubung ini ke dalam penjelasan KUHAP. Di Nederland hal ini tidak perlu dimasukkan, karena semua hakim dan jaksa telah mengetahui persis masalah ini dalam pendidikan pembentukan hakim dan jaksa yang terpadu.


KASASI
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis, kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Semula berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut Conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Perancis, dibentuklah suatu badan hukum yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum. Jadi merupakan badan antara yang menjebatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman.
Pada tanggal 21 Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de Cour de cassation telah terorganisasi dengan baik.
Kemudian lembaga kasasi ditiru pula di negeri Belanda yang pada gilirannya di bawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang menafsirkan secara sempit ialah D. Simon yang mengatakan jika hakim memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman. Dalam arti luas misalnya jika hakim Pengadilan Tinggi memutus padahal hakim pertama telah membebaskan.
Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
Kemudian dalam perundang-undangan Belanda, tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu :
1) apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim);
2) peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya;
3) apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang-undang.

2. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa tercantum di dalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri dari dua bagian, yaitu Bagian Kesatu Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Bagian Kedua Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Bagian Kesatu terdiri atas 4 pasal saja, yaitu Pasal 259 sampai dengan Pasal 262.

Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi Kepentingan Hukum
Dalam peraturan lama kasasi demi kepentingan hukum ini telah diatur bersama kasasi biasa dalam satu pasal, yaitu Pasal 17 Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950) yang mengatakan bahwa kasasi dapat dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan atau permohonan Jaksa Agung karena jabatannya, dengan pengertian bahwa kasasi atas permintaan Jaksa Agung hanya semata-mata untuk kepentingan hukum dengan tidak dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. Jadi hanya dibedakan kasasi pihak dan kasasi karena jabatan Jaksa Agung. Kasasi karena jabatan inilah yang sama dengan kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya hukum luar biasa menurut KUHAP.
Menurut Pasal 259 ayat (1) KUHAP, Jaksa Agung dapat mengajukan satu kali permohonan kasasi terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, demi kepentingan hukum.
Terhadap perkara yang bagaimana dan dengan alasan apa yang dapat dikemukakan oleh Jaksa Agung untuk mengajukan suatu permohonan kasasi demi kepentingan hukum tidak diatur baik di dalam KUHAP maupun PP Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP tersebut.
Jadi rupanya pembuat undang-undang menyerahkan masalah itu kepada pertimbangan Jaksa Agung sendiri.
Para penulis mengatakan bahwa sebagai upaya hukum luar biasa, kasasi demi kepentingan hukum itu maksudnya ialah untuk mencapai kesatuan penafsiran hukum oleh pengadilan. Apabila sesuatu meragukan atau dipermasalahkan diserahkan kepada Mahkamah Agung untuk memutuskan, maka putusan Mahkamah Agung itu diambil oleh hakim yang lebih rendah sebagai pegangan.
Bagi terdakwa hal ini sama sekali tidak membawa pengaruh, jadi betul-betul hanya untuk kepentingan teori belaka, tidak akan merugikan terdakwa (Pasal 259 KUHAP).
Kasasi demi kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak ada upaya hukum biasa yang dapat dipakai. Permohonan Kasasi diajukan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama, disertai risalah yang menjadi alasan, kemudian panitera meneruskan kepada yang berkepentingan (Pasal 260 KUHAP). Salinan keputusan Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan, disertai berkas perkara (Pasal 261 KUHAP). Ketentuan tentang kasasi demi kepentingan hukum bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum berlaku juga bagi peradilan militer (Pasal 262 KUHAP).
Jadi, pada umumnya sama saja dengan kasasi biasa, kecuali dalam kasasi demi kepentingan hukum pengacara tidak dilibatkan. Catatan 1
Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi demi kepentingan hukum, maka Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang lebih rendah, dan dengan demikian terjawablah keragu-raguan atau hal yang dipermasalahkan itu.

Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Sebelum berlakunya KUHAP, belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Undang-Undang tentang Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 21 hanya menyebut kemungkinan peninjauan kembali, tetapi pelaksanaannya sesuai dengan undang-undang. Semula dikeluarkan peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 tanggal 19 Juli 1969 yang memungkinkan diajukan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 18 Tahun 1969 tanggal 23 Oktober 1969, menunda berlakunya peraturan Mahkamah Agung tersebut dengan alasan masih diperlukan aturan lebih lanjut misalnya mengenai biaya perkara yang memerlukan persetujuan Menteri Keuangan. Kemudian dengan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1971, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 dan surat edaran tersebut dicabut, dan ditentukan bahwa peninjauan kembali mengenai perkara perdata dapat diajukan request civiel, dengan bercermin kepada Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering, sedangkan mengenai perkara pidana tidak dapat diajukan karena belum ada undang-undangnya.
Barangkali karena terjadinya kasus Karta dan Sengkong yang sangat menghebohkan, maka Mahkamah Agung setelah mengadakan rapat kerja dengan DPR tanggal 19 November 1980, memberanikan diri mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatur kemungkinan mengajukan peninjauan kembali putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap baik perkara perdata maupun pidana. Mengenai perkara pidana diatur dalam Pasal 9, yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengandung pemidanaan, dengan alasan :
1. apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi satu sama lain bertentangan;
2. apabila terdapat suatu keadaan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.

Dibanding dengan ketentuan KUHAP yang tersebut pada Pasal 262 ayat (2) KUHAP, maka terlihat keduanya hampir sama. Ketentuan dalam KUHAP itu menyatakan :
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai keputusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kemudian, ayat (3) Pasal 273 KUHAP tersebut mengatakan bahwa atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Menurut pendapat penulis, ini hanya berarti untuk rehabilitasi nama terdakwa belaka.
Dalam Pasal 266 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dapat berupa :
1) putusan bebas;
2) putusan lepas dari segala tuntutan;
3) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4) putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Suatu ketentuan yang tercantum di dalam ayat (3) Pasal 266 KUHAP tersebut yang menyatakan pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula, menurut pendapat penulis berkelebihan, dalam ayat (2) pasal itu yang telah disebut di muka, telah jelas putusan yang dijatuhkan yang limitatif itu.
Sebagaimana penulis telah kemukakan tentang ganti kerugian, ketentuan tentang peninjauan kembali suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tersebut di dalam KUHAP, tidak diikuti dengan peraturan tentang ganti kerugian yang semestinya mengikuti putusan Mahkamah Agung tentang pembatalan putusan. Dalam sistem ganti kerugian yang dianut di negara-negara lain seperti Belanda, ganti kerugian yang dianut di negara-negara lain seperti Belanda, ganti kerugian setelah peninjauan kembali (herziening) itu bersifat imperatif berbeda dengan ganti kerugian yang tersebut dalam Pasal 81 dan 95 KUHAP (ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain) yang bersifat fakultatif. Penulis mengharapkan ketentuan tentang ganti kerugian sesudah peninjauan kembali (herziening) itu akan diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 1983, tetapi ternyata tidak demikian.
Kasus perkara yang paling banyak dihebohkan dan akhirnya diselesaikan melalui peninjauan kembali ialah perkara Sengkong bin Yakin dan Karta alias karung alias Encep bin Salam. Semula keduanya dipidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi masing-masing 12 tahun dan 7 tahun, karena dakwaan pembunuhan. Kemudian putusan Pengadilan Tinggi Bandung tetap memidana kedua terpidana seperti yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (Putusan No. Reg.38/1978/Pid/PTB).
Ternyata kemudian orang lain Gunel bin Kuru, Siih bin Siin dan Warnita bin Jaam dipidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan perbuatan yang sama dengan putusan tanggal 15 Oktober 1980 No. 6/1980/Pid/PN.BKS dan kemudian lagi Elli bin Senam, Nyamang bin Naing, M. Cholid bin H. Nair, dan Jobing bin H. Paih diputus dan dipidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 13 November 1980 No. 7/1980/Pid/PN.BKS.
Kesimpulan tertulis Jaksa Agung tanggal 22 Januari 1981 mengusulkan agar Sengkong dan karta dibebaskan. Dan dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 24 januari keduanya dibebaskan.

3. Kesimpulan
Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini bermaksud untuk memperoleh bahan seluas-luasnya, sehingga Hukum Acara Pidana yang akan datang lebih sempurna daripada yang sekarang. Semua pihak dapat ikut serta memberi pandangan, asal saja tidak keluar dari sistem hukum yang berlaku. Asas legalitas bukan saja harus tercantum dalam hukum pidana materiel, tetapi juga dalam hukum pidana formil, artinya tidak ada proses acara yang berjalan di luar jalur undang-undang yang berlaku.
Hakim Komisaris yang merupakan lembaga baru menggantikan Praperadilan, perlu dibahas mendalam agar tidak ada kesenjangan peraturan yang terjadi. Perlu studi banding ke Nederland dan atau Perancis untuk melihat efektivitas Hakim Komisaris di sana.


Catatan 1 A. Minkenhof, halaman 305.


Sumber : http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+2&f=pokok_pokok_pikiran_ruu_hap.htm#Footref1



----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------







Wednesday, January 21, 2009

UU NOMOR 27 TAHUN 1999




UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG
BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang :

a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia antara lain meliputi hak memperoleh kepastian liukum dan
persamaan kedudukan di dalam hukum, hak mengeluarkan pendapat, berserikat
dan berkumpul berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana terutama yang berkaitan dengan
ketentuan mcngcnai kejahatan terhadap keamanan negara belum memberi landasan
hukum yang kuat dalam usaha mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara;

c. bahwa paliam dan ajaran Komunisme/Marxisme/Lenimisme dalam praktek kehidupan
politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang
bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan hidup
bangsa Indonesia;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, b dan c perlu membentuk
Undang-undang tentang Perubahan Kitab Undang-undang tujukan Pidana yang
Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.


Mengingat :


1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
No.XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan
Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia
Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan
atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme jo.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.V/MPR/1973
tentang Peninjauati Produk-produk Yang Berupa Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo
Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 tentang Menyalakan Berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976
tentang Perubahan dan Penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan berikutnya Ketentuan
Perundang-undangan Pidana.Kejahatan Terhadap Penerbangan dan kejahatan
Terhadap sarana/prasarana penerbangan;

Dengan persetujuan
DEWAN PERNVAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

M e m u t u s k a n :


Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA.


Pasal 1

Menambah 6 (enam) ketentuan baru di antara Pasal 107 dan Pasal 108 Bab I
Buku 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara yang dijadikan Pasal 107 a, Pasal 107 b, Pasal 107 c, Pasal 107 d,
Pasal 107 e, dan Pasal 107 f yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 107 a

Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan,
dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.


Pasal 107 b

Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan
dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan
dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.


Pasal 107 c

Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan
dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisnie/
Marxisme-Leninismce yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau
menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.


Pasal 107 d

Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan
dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/
Marxisinc-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar
Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.


Pasal 107 e

Dipidana dcngan pidana pcnjara paling lama 15 (lima belas tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga
menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan
perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada
organisasi, baik didalam maupun di luar tiegeri, yang diketahuinya
berasaskan ajaran Komunismc/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk
dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan
Pemerintah yang sah.


Pasal 107 f

Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama
20 (dua puluh) tahun:
a. barangsiapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai,
menghancurkan atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau diundangkan

b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan pengadaan
atau distribusi bahan pokok yang mcnguasai hajat hidup orang hanyak sesuai
dengan kebijakan Pemerintah.


Pasal II

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, mcmerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE



Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 19 Mei 1999


MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

PROE DR H MULADI, S.H.



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 74

PENJELASAN
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG
BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA



I. UMUM


Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum yang berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia,
serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.

Pembangunan nasional di bidang hukum ditujukan agar masyarakat memperoleh
kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan
serta memberikan rasa aman dan tenntram.

Dalam usaha mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dari ancaman dan
bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang terbukti bertentangan dengan
agama, asas-asas dan sendi kehidupan bangsa Indonesia yang bertuhan dan dari
tindak pidana lainnya yang membahayakan keamanan negara, perlu mengadakan
perubahan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan menambah pasal-pasal
yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.


II. PASAL DEMI PASAL


Pasal l

Pasal 107 a a
Yang dimaksud dengan "Komunisme/Marxisme-Leninisme" adalah paham atau ajaran
Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan
oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain, mengandung benih-benih dan
unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.

Pasal 107 b
Cukup jelas

Pasal 107 c
Cukup jelas

Pasal 107 d
Cukup jelas

Pasal 107 e
Cukup jelas

Pasal 107 f
Yang dimaksud dengan "instalasi negara" dalam pasal ini adalah instalasi
Tertentu (penting) yaitu Istana Negara yang digunakan oleh Presiden dan
Wakil Presiden untuk kegiatan kcnegaraan, kediaman resmi Presiden dan
Wakil Presiden, gedung-gedung Lembaga Tinggi Negara dan gedung,yang
Digunakan untuk tamu-tamu Negara yang setingkat dengan Presiden.

Yang dimaksud dengan "instalsi militer" adalah instalasi vital militer.

Huruf b
Cukup jelas

Pasal II
Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3850






----------



-------------

Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------








UU NO. 4 TAHUN 1976




UU NO. 4 TAHUN 1976

Tentang:PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA, KEJAHATAN PENERBANGAN, DAN
KEJAHATAN TERHADAP SARANA/PRASARANA PENERBANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa hingga kini ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana belum
berlaku dalam pesawat udara Indonesia ;


b.bahwa penguasaan pesawat udara secara melawan hukum serta semua
perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan penerbangan dan
sarana/prasarana penerbangan sangat merugikan kehidupan penerbangan
nasional pada khususnya, perekonomian negara serta pembangunan nasional
pada umumnya, sehingga perlu diadakan peraturan-peraturan untuk mencegah
perbuatan-perbuatan tersebut, guna menjamin keselamatan dan keamanan
baik penumpang, awak pesawat udara, barang-barang yang berada dalam
penerbangan, maupun perlindungan sarana/ prasarana penerbangan;


c.bahwa dalam perundang-undangan Indonesia belum diatur mengenai
ketentuan pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap
sarana/prasarana penerbangan;


d.bahwa karena itu perlu diadakan perubahan dan penambahan beberapa
pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Mengingat :

1.Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2.Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo
Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan berlakunya
undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan
Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660);

3.Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687) ;

4.Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo
1963, Konvensi The Hague 1970 dan Konvensi Montreal 1971 (Lembaran
Negara Tahun 1976 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3076);

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PlDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA, KEJAHATAN PENERBANGAN, DAN
KEJAHATAN TERHADAP SARANA/PRASARANA PENERBANGAN.

Pasal I

Mengubah dan menambah Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4 yang tercantum dalam
Bab I Kitab Undang-undang Hukum Pidana sehingga berbunyi sebagai berikut:

1.Pasal 3

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar Wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

2. Pasal 4 angka 4.

Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai
dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang
penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 huruf
j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf
1, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan
sipil.

Pasal II

Menambah 3 (tiga) pasal baru dalam Bab IX Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana setelah Pasal 95 yang berbunyi sebagai berikut :

1.Pasal 95 a.

(1)Yang dimaksud dengan "pesawat udara Indonesia" adalah pesawat udara
yang didaftarkan di Indonesia ;

(2)Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang
disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan
Indonesia.

2.Pasal 95 b.;

Yang dimaksud dengan "dalam penerbangan" adalah sejak saat semua pintu
luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi)
sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (disembarkasi). Dalam
hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung
sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggungjawab atas
pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya.

3.Pasal 95 c.

Yang dimaksud dengan "dalam dinas" adalah jangka waktu sejak pesawat
udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan
tertentu, hingga setelah 24 jam lewat sesudah setiap pendaratan.

Pasal III

Menambah sebuah Bab baru setelah Bab XXIX Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan
terhadap sarana/prasarana Penerbangan yang terdiri dari Pasal 479 huruf
a sampai dengan Pasal 479 huruf r yang berbunyi sebagai berikut :

1.Pasal 479 a.

(1)Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, membuat
tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas
udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun;

(2)Dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun jika karena
perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu lintas udara;

(3)Dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun jika karena
perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

2.Pasal 479 b.

(1)Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan hancurnya, tidak dapat
dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara,
atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya tiga tahun ;

(2)Dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena
perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu lintas udara;

(3)Dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena
perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

3.Pasal 479 c.

(1)Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak,
mengambil atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan,
atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang
tanda atau alat yang keliru, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun;

(2)Dengan pidana penjara selamanya sembilan tahun, jika karena perbuatan
itu timbul bahaya bagi keamanan penerbangan ;

(3)Dengan pidana penjara selama-selamanya dua belas tahun, jika karena
perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan penerbangan dan mengakibatkan
celakanya pesawat udara ;

(4)Dengan pidana penjara selama-selamanya lima belas tahun, jika karena
perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan penerbangan dan mengakibatkan
matinya orang.

4.Pasal 479 d.

Barang siapa karena kealpaan menyebabkan tanda atau alat untuk
pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau
menyebabkan tidak dapat bekerja atau menyebabkan terpasangnya tanda atau
alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru, dipidana : a.dengan
pidana penjara selama-selamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu
menyebabkan penerbangan tidak aman; b.dengan pidana penjara
selama-selamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan
celakanya pesawat udara ; c.dengan pidana penjara selama-selamanya tujuh
tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

5.Pasal 479 e.

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan atau
membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
selama-selamanya sembilan tahun.

6.Pasal 479 f.

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan,
menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara,
dipidana :

a.dengan pidana penjara selama-selamanya lima belas tahun, jika karena
perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain; b.dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara untuk selama-selamanya dua
puluh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

7.Pasal 479 g.

Barang siapa karena kealpaanya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur,
tidak dapat dipakai atau rusak, dipidana : a.dengan pidana penjara
selama-selamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya
bagi nyawa orang lain; b.dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh
tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

8.Pasal 479 h.

(1)Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hukum, atas kerugian penanggung asuransi
menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan
atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara, yang dipertanggungkan
terhadap bahaya terwujut diatas atau yang dipertanggungkan muatannya
maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun
untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan,
dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya sembilan tahun ;

(2)Apabila yang dimaksud pada ayat (1) Pasal ini adalah pesawat udara
dalam penerbangan, dipidana dengan pidana pelihara selama-selamanya lima
belas tahun;

(3)Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hukum atas kerugian penanggung asuransi,
menyebabkan penumpang Pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap
bahaya, mendapat kecelakaan, dipidana : a.dengan pidana penjara
selama-lamanya sepuluh tahun, jika karena perbuatan itu menyebabkan luka
berat ; b.dengan pidana penjara selama-selamanya lima belas tahun, jika
karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

9.Pasal 479 i.

Barang siapa dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum
merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara
dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua
belas tahun.

10. Pasal 479 j.

Barang siapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan
perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

11. Pasal 479 k..

(1)Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya dua puluh tahun, apabila perbuatan dimaksud Pasal 479
huruf i dan Pasal 479 j itu :

a.dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama b.sebagai kelanjutan
permufakatan jahat ; c.dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu
d.mengakibatkan luka berat seseorang ; e.mengakibatkan kerusakan pada
pesawat udara tersebut, sehingga dapat membahayakan penerbangannya ;
f.dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau
meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.

(2)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya
pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama-selamanya dua puluh tahun.

12. Pasal 479 l.

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan
kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan,
jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara
tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

13. Pasal 479 m.

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara
dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang
menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

14. Pasal 479 n.

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau
menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan
cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau
menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang Membuatnya tidak dapat
terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat
membahayakan keamanan dalam penerbangan, pidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima belas tahun.

15. Pasal 479 o.

(1)Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya dua puluh tahun apabila perbuatan dimaksud Pasal 479
huruf 1, Pasal 479 huruf m, dan Pasal 479 huruf n itu:

a.dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama b.sebagai kelanjutan
dari permufakatan jahat c.dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu
d.Mengakibatkan luka berat bagi seseorang.

(2)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya
pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.

16. Pasal 479 p.

Barang siapa memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan
karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam
penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas
tahun.

17. Pasal 479 q.

Barang siapa di dalam pesawat udara, melakukan perbuatan yang
dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

18. Pasal 479 r.

Barang siapa di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat mengganggu ketertiban dan tatatertib di dalam pesawat udara dalam
penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun.

Pasal IV

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1976 MENTERI/SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO,SH.

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1976
TENTANG PERUSAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA, KEJAHATAN PENERBANGAN, DAN
KEJAHATAN TERHADAP SARANA/PRASARANA PENERBANGAN

PENJELASAN UMUM

Dalam rangka melaksanakan Pembangunan Nasional, peningkatan kegiatan
ekonomi masyarakat Indonesia merupakan salah satu tujuan dimana
perhubungan udara mempunyai peranan yang penting untuk mencapai tujuan
tersebut. Selain dari itu angkutan melalui udara mempunyai arti penting
pula dalam menjamin kesatuan ekonomi, politik dan budaya Indonesia,
sehingga dengan demikian perlu dijamin suatu angkutan udara yang dapat
diandalkan, aman dan cepat. Pada waktu akhir-akhir ini ada kecenderungan
bertambah meningkatnya kejahatan penerbangan, sehingga dapat mengurangi
kepercayaan masyarakat kepada perhubungan udara dan dapat pula
mengancam perkembangan angkutan udara yang aman dan bebas dari
ketakutan. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dipandang perlu
untuk menyusun Undang-Undang tentang perubahan dan penambahan beberapa
pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam rangka memberantas
kejahatan penerbangan, mengingat bahwa dalam perundang-undangan yang
berlaku sekarang belum ada ketentuan tentang kejahatan penerbangan.
Dengan demikian maka dapat diperoleh suatu dasar dan kepastian hukum
untuk menjatuhkan pidana atas perbuatan tersebut. Kemudian mengingat
sifat rawannya angkutan udara, dimana jaminan keselamatan dan keamanan
merupakan unsur yang amat vital sehingga pengamanan merupakan tujuan
yang amat penting. Dengan demikian setiap gangguan terhadap keselamatan
pesawat udara dalam penerbangan dan ketenangan dalam pesawat dapat
mengakibatkan bahaya yang lebih besar dan langsung daripada
perbuatan-perbuatan gangguan terhadap kendaraan angkutan darat dan kapal
atau kendaraan air. Berhubung dengan itu diperlukan suatu usaha untuk
memberantas ataupun mencegah seseorang melakukan kejahatan tersebut.
Maka terhadap kejahatan penerbangan ini perlu diberikan ancaman pidana
yang berat.

Undang-undang ini disusun dengan merubah dan menambah
ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu dengan
memperluas ruang lingkup berlakunya Pasal 3 dan 4 dari Buku I serta
menambah Buku I Bab IX dengan Pasal 95a, 95b, dan Pasal 95c, juga
ditambahkan dalam Buku II Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.

Kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 479 a sampai dengan Pasal 479 d Undang-undang ini lain sifatnya
dengan pelanggaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) e
Undang-undang Nomor 83 Tahun 1958.

Dengan demikian maka dalam Undang-undang ini pasal-pasal yang sudah ada
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diperluas ruang lingkupnya
sehingga pengertian jurisdiksi kriminil Republik Indonesia mencakup
pesawat udara Indonesia.

Disamping itu ditambahkan ketentuan-ketentuan baru sebagai akibat
daripada perkembangan dalam dunia penerbangan. Perubahan-perubahan dan
tambahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di atas merupakan
pelaksanaan kewajiban Republik Indonesia sebagai peserta dalam tiga
konvensi tersebut dalam Konsiderans Undang-undang ini, disamping
didorong oleh keinginan untuk merubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
agar lebih sesuai dengan keadaan masa kini.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal I

1. Pasal 3 Ketentuan ini dimaksudkan untuk memperluas berlakunya Pasal 3
Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu termasuk juga tindak pidana yang
dilakukan oleh siapapun di dalam pesawat udara Indonesia, tetapi pesawat
tersebut berada diluar wilayah Indonesia.

2. Pasal 4 angka 4 Ketentuan ini dimaksudkan agar supaya peraturan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku juga bagi setiap orang
yang berada diluar wilayah Indonesia yang melakukan tindak pidana
kejahatan penerbangan atau kejahatan yang mengancam keselamatan
penerbangan.

Pasal II Maksud dan tujuan dari ketentuan ini adalah memberikan
perumusan pengertian pesawat udara Indonesia " dalam penerbangan" dan
"dalam dinas". Pesawat udara yang dimaksud dalam Undang-Undang ini
adalah pesawat udara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Penerbangan yang berlaku dan pada saat ini dalam Undang-Undang Nomor 83
Tahun 1958 tentang Penerbangan.

Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian pesawat udara Indonesia dalam
pasal 95 a adalah pesawat udara yang didaftar di Indonesia termasuk pula
dalam pengertian ini pesawat udara asing yang disewa tanpa awak dan
dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia. Yang dimaksud dengan
penguasa yang berwenang dalam Pasal 95 b adalah pejabat Pemerintah
setempat yang mempunyai kewenangan untuk mengambil alih penguasaan atas
pesawat beserta isinya dari captain pesawat hingga pejabat yang
berwenang dari Pemerintah dibidang perhubungan udara tiba, untuk
mengambil alih penguasaan atas pesawat beserta isinya.

Pasal III Ketentuan ini dimaksudkan untuk menambah Bab baru dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana setelah Bab XXIX tentang Kejahatan Pelayaran,
yaitu Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan kejahatan terhadap
Sarana/Prasarana Penerbangan yang terdiri dari Pasal 479 huruf a sampai
dengan Pasal 479 huruf r.

1 . Pasal 479 a. Yang dimaksudkan dengan bangunan adalah fasilitas
penerbangan yang digunakan untuk keamanan dan pengaturan lalu lintas
udara seperti terminal, bangunan, menara, rambu udara, penerangan,
landasan serta fasilitas-fasilitas lainnya, termasuk bangunannya maupun
instalasinya.

2. Pasal 479 b. Cukup jelas

3. Pasal 479 c. Yang dimaksud dengan tanda atau alat adalah fasilitas
penerbangan yang digunakan oleh atau bagi pesawat udara untuk secara
aman dapat mendarat atau tinggal landas (take off) seperti tanda atau
alat landasan (runway-marking) termasuk garis di tengah landasan
(runway- counterline-marking), tanda penunjuk/kordinat landasan
(runway-designation-marking), tanda ujung landasan
(runway-threshold-marking) dan tanda adanya rintangan landasan
(obstacle-marking) termasuk lampu tanda pemancar radio, lampu tanda
menara lalu lintas udara dan lampu tanda gedung setasiun udara dan lain
sebagainya.

Pengertian "memasang tanda atau alat yang keliru" dapat juga berupa
perbuatan pemasangan yang keliru daripada alat atau tanda yang dilakukan
dengan sengaja dan melawan hukum.

4. Pasal 479 d. Cukup jelas.

5. Pasal 479 c. Pesawat udara dalam pasal ini ialah pesawat udara yang
berada di darat yaitu tidak dalam penerbangan atau masih dalam persiapan
oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu.

6. Pasal 479 f. Cukup jelas.

7. Pasal 479 g. Cukup jelas.

8. Pasal 479 h. Cukup jelas.

9. Pasal 479 i. Cukup jelas.

10. Pasal 479 j. Ketentuan pasal ini mengatur tindak pidana kejahatan
penerbangan yang lazim dikenal dengan nama "pembajakan pesawat udara".

11. Pasal 479 k. Syarat-syarat yang tercantum dalam ayat (1) sub a
sampai dengan f merupakan syarat-syarat alternatip bagi pemberatan
pidana dari pidana yang. dimaksud dalam Pasal 479 huruf i dan Pasal 479
huruf j.

12. Pasal 479 l. Cukup jelas.

13. Pasal 479 m. Cukup jelas.

14. Pasal 479 n. Cukup jelas.

15. Pasal 479 o. Pasal ini adalah pemberatan dari tindak pidana Pasal
479 huruf 1, m, dan n. Syarat-syarat yang tercantum dalam ayat (1) sub
a, b, c dan d merupakan syarat-syarat alternatip bagi pemberatan pidana
dari pidana yang dimaksud dalam huruf l, m, dan n.

16. Pasal 479 p. Yang diatur oleh pasal ini adalah tindakan yang sering
terjadi seperti pemberitahuan adanya ancaman bom lewat telepon atau alat
komunikasi lainnya.

17. Pasal 479 q. Perbuatan yang dapat membahayakan keamanan pesawat
udara dalam penerbangan adalah perbuatan yang nyata-nyata membahayakan
keamanan penerbangan seperti membuka pintu darurat atau pintu utama,
merusak alat-alat pelampung atau alat-alat penyelamat lainnya.

18. Pasal 479 r. Yang dimaksud dalam pasal ini dengan perbuatan
yang nyata-nyata bertentangan dengan ketertiban, dan tatatertib
(disiplin) dalam pesawat udara adalah dengan sengaja mabuk-mabukan,
membuat onar, kegaduhan dan lain sebagainya.

Pasal IV Cukup jelas.

--------------------------------

------------------------------------------------------------------------






----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------

UU NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1974
TENTANG
PENERTIBAN PERJUDIAN

DENGAN RAKHMAT TUHAN YANGMAHAESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a. bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan Agama,Kesusilaan dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dankehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara;

b. bahwa oleh karena itu perlu diadakan usaha-usaha untukmenertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untukakhirnya menuju kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia;

c. bahwa ketentuan-ketentuan dalam. Ordonansi tanggal 7 Maret1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 23O) sebagaimana telah beberapa kali dirubahdan ditambah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 31 Oktober 1935 (StaatsbladTahun 1935 Nomor 526), telah tidaksesuai lagi dengan perkembangan keadaan;

d. bahwa ancaman hukuman didalam pasal-pasal KitabUndang-undang Hukum Pidana mengenai perjudian dianggap tidak sesuai lagisehingga perlu diadakan perubahan dengan memperberatnya;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas perludisusun Undang-undang tentang Penertiban Perjudian.

Mengingat :

1. Undang-UndangDasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1);

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor lV/MPR/1973tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;

Mengingat pula :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 303 ayat (1), (2) dan(3) dan Pasal 542 ayat (1) dan (2);

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokokPemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037).



Dengan persetujuan DewanPerwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

UNDANG-UNDANGTENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN.



Pasal 1

Menyatakansemua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.



Pasal 2

(1) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) KitabUndang- undang Hukum Pidana, dari Hukuman penjaara selama-lamanya dua tahundelapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadihukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya duapuluh lima juta rupiah.

(2) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) KitabUndang- undang Hukum Pidana, darihukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empatribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun ataudenda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.

(3) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau dendasebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjaraselama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.

(4) Merubahsebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis.



Pasal 3

(1) Pemerintah mengatur penertiban perjudian sesuai dengan jiwadan maksud Undang-undang ini.

(2) Pelaksanaanayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Perundang- undangan.



Pasal 4

Terhitung mulai berlakunya peraturan Perundang-undangandalam rangka penertiban perjudian dimaksud pada Pasal 3 Undang-undang ini,mencabut Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230)sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir dengan Ordonansitanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526).



Pasal 5

Undang-undang ini berlaku berlaku pada tanggaldiundangkan.

Agarsetiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang inidengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 6 Nopember 1974

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO
JENDERAL TNI.



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Nopember 1974

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, S H.



LEMBARAN NEGARA TAHUN 1974NOMOR 54



PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANGREPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1974
TENTANG
PENERTIBANPERJUDIAN

UMUM:

Bahwa pada hakekatnya perjudianadalah bertentangan dengan Agama, Kesusilaan, dan Moral Pancasila, sertamembahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, Bangsa, dan Negara.

Namunmelihat kenyataan dewasa ini, perjudian dengan segala macam bentuknya masihbanyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansitanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230) dengan segala perubahandan tambahannya, tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan.

Ditinjau dari kepentingan nasional,penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadapmoral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipunkenyataan juga menunjukkan, bahwa hasil perjudian yang diperoleh Pemerintah,baik Pusat maupun Daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namunekses negatipnya lebih besar daripada ekses positipnya.

Apabila Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 BAB II huruf C angka 5 menyimpulkan,bahwa usaha pembangunan dalam bidang materiil tidak boleh menelantarkan usahadalam bidang spiritual, malahan kedua bidang tersebut harus dibangun secarasimultan, maka adanya dua kepentingan yang berbeda tersebut perlu segeradiselesaikan.

Pemerintah harus mengambil langkahdan usaha untuk menertibkan dan mengatur kembali perjudian, membatasinya sampailingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju ke penghapusannya samasekali dari seluruh wilayah Indonesia.

Penjudian adalah salah satu penyakitmasyarakat yang manunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah darigenerasi ke generasi ternyata tidak mudah diberantas. Oleh karena itu padatingkat dewasa ini perlu diusahakan agar masyarakat menjauhi melakukanperjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya, danterhindarnya ekses-ekses negatip yang lebih parah, untuk akhirnya dapat berhentimelakukan perjudian.

Maka untuk maksud tersebut perlumengklasifikasikan segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagaikejahatan, dan memberatkan ancaman hukumannya, karena ancaman hukuman yangsekarang berlaku ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunyajera.

Selanjutnyakepada Pemerintah ditugaskan untuk menertibkan perjudian sesuai dengan jiwa danmaksud Undang-undang ini, antara lain dengan mengeluarkan peraturanperundang-undangan yang diperlukan untuk itu.



PASAL DEMI PASAL



Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

DenganPasal 3 ayat (1) ini Pemerintah dimaksudkan menggunakankebijaksanaan-kebijaksanaan untuk menertibkan perjudian, hingga akhirnya menujukepenghapusan perjudian sama sekali dari Bumi Indonesia

Pasal 4

Agartidak terjadi kekosongan hukum selama belum ada peraturan perundang-undanganyang mengatur penertiban perjudian sebagai pelaksanaan Undang-undang ini, makapasal ini dimaksudkan sebagai aturan peralihan.

Pasal 5

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3040







----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------







PENETAPAN PRESIDEN NOMOR 1 TAHUN 1965



PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1965
TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan Masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional dan pembangunan Nasional Semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur, perlu mengadakan peraturan untuk mencegah penyalah-gunaan atau penodaan agama;
b. bahwa untuk pengamanan revolusi dan ketentuan masyarakat, soal ini perlu diatur dengan Penetapan Presiden;

Mengingat :
1. pasal 29 Undang-undang Dasar;
2. pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar;
3. penetapan Presiden No. 2 tahun 1962 (Lembara-Negara tahun 1962 No. 34);
4. pasal 2 ayat (1) Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA.

Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan
umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama
yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan
dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Pasal 2
(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal
1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan
Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari
Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."

Pasal 5
Penetapan Presiden Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.


Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden Republik Indonesia ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1965.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUKARNO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1965
SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NOMOR 3.



PENJELASAN
ATAS
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1965
TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAH-GUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA

I. UMUM
1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undangundang
Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia telah menyatakan, bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Menurut Undang-undang Dasar 1945 Negara kita berdasarkan :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan;
5. Keadilan Sosial.
Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja
meletakkan dasar moral diatas Negara dan Pemerintah, tetapi
juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berasas keagamaan.

Pengakuan sila pertama (Ke-Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisah-pisahkan dengan Agama, karena adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation-building.

2. Telah teryata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir diseluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau Organisasiorganisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama.

Diantara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran
atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang kearah yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada.

3. Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut diatas yang dapat membahayakan persatuan Bangsa dan Negara, maka dalam rangka kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketata-negaraan dan keagamaan, agar oleh segenap rakyat diseluruh wilayah Indonesia ini dapat dinikmati ketenteraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah menurut Agamanya masing-masing.

4. Berhubung dengan maksud memupuk ketenteraman beragama inilah, maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaranajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan (pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa/(Pasal 4).

5. Adapun penyelewengan-penyelewengan keagamaan yang nyatanyata merupakan pelanggaran pidana dirasa tidak perlu diatur lagi dalam peraturan ini, oleh karena telah cukup diaturnya dalam berbagai-bagai aturan pidana yang telah ada.

Dengan Penetapan Presiden ini tidaklah sekali-kali dimaksudkan hendak
mengganggu gugat hak hidup Agama-gama yang sudah diakui oleh
Pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini diundangkan.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Dengan kata-kata "Dimuka Umum" dimaksudkan apa yang lazim diartikan
dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agamaagama
yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius).
Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di
Indonesia.

Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir
seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan
seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga
mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang
diberikan oleh pasal ini.

Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi,
Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat
jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka
dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.
Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya
kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A.
Bidang I, angka 6.

Dengan kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam
kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran
sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau
mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan
ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui
oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara
untuk menyelidikinya.

Pasal 2
Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang
ataupun penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota
atau anggota Pengurus Organisasi yang melanggar larangan tersebut
dalam pasal 1, untuk permulaannya dirasa cukup diberi nasehat
seperlunya.

Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganutpenganut
aliran kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius
bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untuk
membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi
atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya (jo pasal 169 K.U.H.P.).

Pasal 3
Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini, adalah tindakan
lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan
tersebut, dalam pasal 2. Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak
mempunyai bentuk seperti organisasi/perhimpunan, dimana mudah
dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotanya, maka mengenai aliran-aliran kepercayaan, hanya penganutnya yang masih terus melakukan
pelanggaran dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang
menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut.'

Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman
pidana 5 tahun dirasa sudah wajar.

Pasal 4
Maksud ketentuan ini telah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum
diatas. Cara mengeluarkan persamaan atau melakukan perbuatan dapat
dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain.
Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang semata-mata
(pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina.
Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang
dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama
yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau
susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah
tinak pidana menurut pasal ini.
Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disini, disamping
mengganggu ketentraman orang beragama, pada dasarnya menghianati
sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada
tempatnya, bahwa perbuatannya itu dipidana sepantasnya.

Pasal 5
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2726.





----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------








NDANG-UNDANG No. 18/Prp/1960



UNDANG-UNDANG No. 18/Prp/1960 TENTANG PERUBAHAN JUMLAH HUKUMAN DENDA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN DALAM KETENTUAN-KETENTUAN PIDANA LAINNYA YANG DIKELUARKAN SEBELUM TANGGAL 17 AGUSTUS 1945 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.bahwa jumlah-jumlah hukuman denda baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimaryi beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara tahun 1960 No. 1) maupun datam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 dan yang sebagaimana telah diubah se¬belum hari mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, adalah tidak setimpal lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, ber¬hubung ancaman hukuman denda itu sekarang menja¬di terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai uang pada waktu ini, sehingga jumlah-jumlah ini perlu di¬pertinggi.

b. bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Mengingat :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Ketentuan-ketentuan Pidana yang bersangkutan.
3. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 10 tahun 1960.

Mendengar:
Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 22 Maret 1960.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG¬UNDANG TENTANG PERUBAHAN JUMLAH HU¬KUMAN DENDA DALAM KITAB UNDANG-UN¬DANG HUKUM PIDANA DAN DALAM KETITENTUAN-KETENTUAN PIDANA LAINNYA YANG DIKELUARKAN SEBELUM TANGGAL 17 AGUSTUS 1945.

Pasal 1
(1.) Tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai¬mana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 No. 1) maupun da¬lam ketentuan-ketentuap pidana lainnya yang dike¬luarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagai¬mana telah diubah sebelum hari mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, harus dibaca dalam mata uaqg rupiah dan dilipatkan lima belas kali.
(2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jum¬lah hukuman denda dalam ketentuan-katentuan tin¬dak pidana yang telah dimasukkan dalarh tindak pi¬dana ekonomi.

Pasal 2
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-IJndang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundang¬an Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 April 1960
PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DJUANDA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 April 1960
Menteri Kehakiman,
ttd.
SAHARDJO
LEMBARAN NEGARA NOMOR 52 TAHUIV 1960






----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...