Saturday, November 08, 2008

Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia




Oleh: Heru Susetyo *)


Pada pertengahan Juli 2008 publik Indonesia kembali tersentak. Eksekusi hukuman mati, yang diduga hanya sekedar gertakan, dan tak benar-benar dilaksanakan, ternyata betul-betul terjadi

Pada 19 Juli 2008, tiga terpidana mati, (Sumiarsih dan Sugeng) dieksekusi di Jawa Timur, dan satu lagi (Tubagus Maulana Yusuf alias Dukun Usep) dieksekusi di Lebak Banten. Uniknya, ketiga terpidana mati sebelumnya dipenjara dengan durasi yang sangat jauh berbeda. Sumiarsih dan Sugeng, Ibu dan Anak yang terlibat pembunuhan keluarga Letkol Purwanto pada 13 Agustus 1988, telah menjalani nyaris dua puluh tahun penjara, sebelum akhirnya dieksekusi. Sebaliknya, Dukun Usep, yang terbukti membunuh delapan orang klien-nya pada 2006 – 2007, baru menjalani satu tahun penjara saja sebelum akhirnya dieksekusi.



Sebelumnya, eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso pada bulan September 2006 lalu, mengagetkan dunia penegakan hukum Indonesia. Pasalnya, hukuman mati dan eksekusi mati biasanya terjadi untuk terpidana kasus narkoba seperti kasus Ayodhya Prasad Chaubey, terpidana mati kasus narkoba, yang telah dieksekusi pada 5 Agustus 2004 dan pembunuhan berencana, seperti kasus Ny. Astini, terpidana mati kasus pembunuhan dengan mutilasi, yang telah dieksekusi pada 20 Maret 2005. Namun, dalam kasus Tibo dkk, berlaku juga untuk pelaku kekerasan dalam konflik bernuansa SARA.



Semula, banyak pihak menduga bahwa hukuman mati hanya sekedar gertakan demi menimbulkan efek jera, dan tak pernah benar-benar dilaksanakan. Ada kesan telah tercipta moratorium (jeda eksekusi mati). Apalagi, banyak sudah terpidana mati di Indonesia namun tak semua benar-benar dieksekusi. Ada yang dirubah hukumannya menjadi seumur hidup, ada yang mendapat grasi presiden, ada yang kemudian bebas setelah menjalani hukuman penjara puluhan tahun. Sebaliknya, ada pula yang layak dihukum mati, semisal para koruptor kelas berat, namun masih saja bebas berkeliaran bahkan menghilang tak tentu rimbanya.



Eksekusi mati terhadap Sumiarsih dan Sugeng setelah mereka nyaris dua puluh tahun menjalani penjara dan terhadap Dukun Usep yang baru setahun dipenjara, menimbulkan pertanyaan legitimasi maupun manajemen (baca: hukum acara) eksekusi mati di Indonesia. Apakah eksekusi mati memang harus dilakukan dan memiliki legitimasi dalam sistem hukum Indonesia maupun hukum internasional? Pertanyaan kedua adalah, apakah memang terpidana mati harus menunggu sangat lama (death row) sebelum akhirnya benar-benar dieksekusi?



Menolak Eksekusi Mati

Kalangan yang tidak setuju dengan pidana mati beralasan bahwa hukuman mati adalah hukuman yang sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM), utamanya hak hidup. Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif terhadap masyarakat. Lalu, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur dieksekusi. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat pengadilan di Indonesia belum terbukti benar-benar bersih, independen, dan profesional.



Ada contoh menarik terkait eksekusi mati terhadap terpidana mati. Timothy McVeigh, mantan tentara AS veteran perang teluk, melakukan pemboman gedung FBI (Alfred P. Murrah Federal Buiding) di Oklahoma City-USA pada 19 April 1995. Ia kemudian dipidana mati dan akhirnya dieksekusi mati pada 11 Juni 2001. Kendati ia telah terbukti bersalah dan dituntut di sebelas negara bagian yang berbeda sebagai pelaku kejahatan yang menewaskan 168 jiwa, namun tak sedikit kalangan yang membelanya supaya dia tak dijatuhi hukuman mati. Menariknya, dari kalangan yang membela tersebut ada juga keluarga dari para korban pengeboman. Mereka mengatakan :”Dia (Tim Mc Veigh) memang telah melakukan kejahatan dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa. Namun, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang dilakukannya dengan mengambil nyawanya juga”.



Terkait dengan dasar hukum, legalitas penolakan terhadap hukuman mati datang dari beberapa instrumen HAM internasional antara lain: (1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, (2) Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty, (3) Protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1982 (European Convention on Human Rights), dan (4) Protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 2002 (European Conventon on Human Rights).


Dari empat instrumen di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional. Sedangkan ketiga instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki kekuatan secara hukum (entry into force) sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi oleh 50 negara dan ditandatangani oleh 7 negara lainnya (UNHCHR, 2006). Protokol ini mewajibkan bagi negara-negara yang telah meratifikasinya (state parties) untuk menghapuskan eksekusi dan hukuman mati dalam legislasi maupun dalam praktiknya.


Second Optional Protocol mendalilkan perlunya hukuman mati dihapus, dengan merujuk pada pasal 3 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi: "Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan (life, liberty, and security of person), juga pada pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR) yang berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak yang tak terpisahkan dan dilindungi oleh hukum, yaitu hak untuk hidup.


Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan hukuman mati (death penalty). Dari jumlah tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang (war time), dan 30 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik.


Sementara itu, 68 negara sampai kini masih memberlakukan hukuman mati dalam hukum nasionalnya. Di antaranya adalah Amerika Serikat (pada 37 negara bagiannya), Jepang, Korea (utara dan selatan), India, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.


Menurut catatan Amnesty lagi, selama tahun 2005 minimal 2148 terpidana telah dieksekusi di 22 negara dan 5186 lainnya telah divonis mati di 53 negara. Dari jumlah tersebut, 94% dari total eksekusi terjadi di empat negara saja, masing-masing China, Iran, Saudi Arabia, dan USA. Satu perkiraan kasar dari Mark Warren (Amnesty, 2006) menyebutkan bahwa total terpidana mati yang tengah menanti eksekusi di dunia berkisar antara 19.474 – 24.546 jiwa.



Mempertahankan Eksekusi Mati

Kendati hukuman mati telah ditolak oleh nyaris dua pertiga negara di dunia, tak urung masih ada sekitar 68 negara yang masih mempraktekkannya. Dari 68 negara tersebut, hanya Amerika bersama Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang tergolong negara 'maju', di samping beberapa negara petrodollar di Timur Tengah. Karena, selebihnya adalah negara-negara 'dunia ketiga.'



Sejak 1977, saat hukuman mati dihidupkan kembali di AS, tak kurang dari 820 jiwa telah dieksekusi. Pada 2002, sebanyak 71 jiwa telah dieksekusi. Kemudian, per 1 Januari 2002, sekitar 3.700 jiwa telah dijatuhi hukuman mati (belum dieksekusi). Hukuman mati masih berlaku di 37 negara bagian di AS.


Jepang bahkan memiliki kasus yang menarik. Bahwa seorang terpidana dijatuhi hukuman mati hanya karena menculik dan membunuh seorang gadis kecil bernama, Kaede Ariyama (7 tahun) pada November 2004 di daerah Nara. Kaoru Kobayashi, sang terpidana, divonis mati karena hakim berpendapat bahwa kejahatannya sangat sadis dan ia tak mungkin dapat direhabilitasi. Maka, tak mungkin menghentikan kejahatannya kecuali ia harus dipidana mati sebagai kompensasi kejahatannya ((Daily Yomiuri, 27 September 2006).


Di Indonesia sendiri, legalitas hukuman mati paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pasal pembunuhan berencana, Undang-Undang tentang Narkotika dan Psikotropika 1997, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 & 2001, UU Pengadilan HAM 2000 dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 2003.



Di level masyarakat Indonesia sendiri, hukuman mati tidak pernah menjadi isu yang sangat serius. Minimal sampai eksekusi mati Tibo dkk. Masih banyak praktek adat dan kebiasaan di beberapa masyarakat di Indonesia yang memang ‘mentolerir pengadilan jalanan’ sebagai bagian dari nilai budaya yang hidup. Juga, masih lekat pengaruh dari hukum agama, sebutlah hukum pidana Islam yang memang mengatur hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu (Hadd/Qishas). Kendati hukum pidana Islam bukanlah bagian dari hukum positif di Indonesia (terkecuali untuk Nanggroe Aceh Darussalam untuk sebagian wilayah pidana), namun sebagian masyarakat muslim menganggapnya sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.



Permasalahan muncul ketika pascareformasi 1998 Indonesia banyak melahirkan Undang-Undang bernuasan HAM, antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, dilanjutkan dengan ratifikasi terhadap dua Kovenan Internasional, masing-masing International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) pada tahun 2005. Mandat dari instrumen HAM tersebut (ICCPR) antara lain adalah negara harus menghargai hak hidup dan mewajibkan negara memiliki policy dan legislasi yang benar-benar melindungi hak hidup dan martabat kemanusiaan. Maka, kendati tidak secara eksplisit menyerukan hukuman mati, hadirnya instrumen tesebut semakin menegaskan kesenjangan yang terjadi dengan produk perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati.



Manajemen Eksekusi Mati

Merupakan tugas dari pembuat hukum dan pengambil kebijakan di negeri ini untuk meninjau kembali pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia. Apakah hukuman mati memang masih diperlukan di negeri ini? Bagaimanakah menyikapi kesenjangan yang terjadi antara perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati dengan instrumen HAM yang cenderung menghapuskan hukuman mati? Bagaimanakah meningkatkan kinerja, profesionalisme, dan independensi badan-badan peradilan sehingga dapat benar-benar menciptakan keadilan bagi masyarakat? Dan, akhirnya, bagaimanakah meningkatkan kesejahteraan rakyat secara umum melalui program-program pembangunan yang berkeadilan, sehingga, potensi rakyat untuk melakukan kejahatan akibat kemiskinan yang dideritanya dapat terus diminimalisir.



Selanjutnya, yang harus diperhatikan adalah memperbaiki manajemen dan hukum acara eksekusi mati di Indonesia. Mengapa harus memenjara orang hingga dua puluh tahun kalau akhirnya dieksekusi mati juga? Dan bukan hanya kasus Sumiarsih dan Sugeng. Sudah cukup banyak terpidana mati yang menunggu bertahun-tahun lamanya (death row) sebelum akhirnya dieksekusi mati. Harapan-harapan yang sempat dibangun oleh terpidana mati karena diperkenankan hidup puluhan tahun setelah jatuhnya vonis mati, pupus sudah. Sementara itu, puluhan lainnya yang sudah dijatuhi hukuman mati dan tengah menanti eksekusi mati ataupun tengah mengajukan upaya hukum lain (PK atau Grasi) menjadi semakin gelisah. Mereka telah ‘dieksekusi mati’ sebelum benar-benar dieksekusi mati.



Data Kejaksaan Agung RI tahun 2006 menyebutkan, pasca eksekusi Tibo dkk, jumlah seluruh terpidana mati di kejaksaan di seluruh Indonesia ada delapan puluh sembilan (89) orang dan yang sudah dinyatakan final serta berkekuatan hukum tetap (legally binding) ada delapan (8).



Perlu ada revisi mendasar terhadap hukum acara pidana mati. Selama ini, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) tahun 1981 dikenal adanya proses di pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri atau pengadilan militer), kemudian tingkat banding (pengadilan tinggi), tingkat kasasi di Mahkamah Agung, peninjauan kembali (PK) apabila ada alat bukti baru di Mahkamah Agung, dan akhirnya permohonan grasi kepada Presiden. Namun tidak pernah ada kejelasan berapa kali proses peninjauan kembali (PK) maupun permohonan grasi dapat dilakukan. Maka, perlu ada kejelasan ataupun amandemen terhadap hukum acara sejauh menyangkut pidana mati ini, demi penghargaan terhadap hak-hak terpidana, keluarganya, maupun hak-hak korban kejahatan.



Cara mengeksekusi mati juga perlu dikaji kembali. Apakah sudah cukup efektif dengan menggunakan tembakan (senjata api) oleh sekelompok polisi yang selalu terjadi di tempat rahasia setelah sebelumnya kucing-kucingan dengan wartawan? Ataukah ada cara lain yang lebih efektif dan meringankan penderitaan sang terpidana semisal suntikan mati misalnya?



Para terpidana mati memang barangkali telah berbuat kejahatan. Telah menimbulkan korban dan penderitaan. Namun jangan sampai negara dan juga masyarakat melakukan pembalasan dan penderitaan berlebihan. Bagaimanapun para terpidana mati masih memiliki hak-hak dan telah menjalani sanksi sosialnya selama menjalani penjara. Maka, tinjau kembali legalitas hukuman matinya. Kalaupun akhirnya harus dieksekusi mati, pilihlah cara yang paling ringan dan membuat mereka tidak lama menderita.



*) Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Human Rights & Peace Studies Mahidol University – Thailand/Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum UI - Depok


sumber : Hukumonline


----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------



--------------------

1 comment:

Kyai Syuhud Zayadi said...

mas jodi, nice blog. btw, klo bisa link afsyuhud.blogspot (banner blog indonesia) diganti ke fatihsyuhud.com / afatih.wordpress.com. trims ya :)

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...