”......pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan untuk menjadi saingan laki-laki. Tapi ....agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke tangannya yaitu menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [dikutip dari Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]
22 Desember, 80 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1928, para pejuang perempuan Indonesia untuk kali pertama berkumpul dalam sebuah kongres perempuan yang diselenggarakan di Yogyakarta di sebuah gedung yang sekarang dikenal Mandalabhakti Wanitatama. Kongres yang menghasilkan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) ini di anggap sebagai tonggak sejarah perjuangan perempuan Indonesia. Sebagai simbul perjuangan kaum perempuan, Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959 menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Meski demikian, hari itu bukan awal dari pergerakan perempuan Indonesia.
Jauh sebelumnya, muncul sejumlah pejuang pemajuan perempuan Indonesia. R.A. Kartini, misalnya, melalui surat-suratnya telah membuka mata dunia tentang pentingnya memperjuangkan hak perempuan sesuai kodratnya untuk bersama laki-laki memperbaiki kualitas hidup manusia. Tulisan-tulisan emasnya tersebut dikumpulan dalam sebuah buku
yang berjudul Door Duisternis Tot Licht- dari gelap kepada cahaya. Door Duisternis Tot Licht sendiri diilhami dari penggalan kalimat dalam surah Al-Baqarah ayat 257 yaitu Minazh-Zhulumaati ilan Nuur.
Tinta sejarah juga mencatat nama Dewi Sartika. Pejuang pemajuan perempuan melalui pendirian Sakolah Istri (kemudian berubah menjadi Sakola Kautamaan Istri- Sekolah Keutamaan Perempuan) pada tahunn 16 Januari 1904. Atau, Nyai Achmad Dahlan, yang mendirikan pengajian wanita Sopo Tresno (siapa cinta) tahun 1914 yang kini menjadi organisasi Aisyiyah sebuah organisasi perempuan yang terus memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia hingga saat ini. Atau, deretan nama lain yang tidak kalah kukuhnya memperjuangkan hak perempuan di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan.
Rentetan perjuang kaum perempuan tersebut merupakan wujud kesetaraan dan kualitas manusia Indonesia. Peringatan Hari Ibu, bukan untuk sekedar menyanjung dan bersimpuh dikaki ibu. Peringatan 22 Desember juga bukan hanya untuk memuja perempuan atau memanjakannya. Kita (kaum laki-laki dan perempuan) seharusnya menjadikan perempuan sebagai pelaku perubahan. Tidak ada alasan untuk menempatkan perempuan sebagai insan nomor dua. Sinergi positif tanpa membedakan jender lebih dikedepankan untuk pembaruan kualitas manusia di Indonesia.
Terima kasih Ibu, Majulah Perempuan Indonesia
Karena ada ibu, Aku ada.
Karena ibu pula Aku terus berdiri
Bersama perempuan, aku maju
Berjalan beriring bersama menggapai cita
Ibu, engkaulah guru pertamaku
Terima kasih ibu, belaianmu semangat hidupku
Perempuan, engkaulah teman pertamaku
Majulah perempuan, bersamamu untuk mewujudkan citra, cinta, dan cita anak Indonesia
Terima kasih ibu,
Majulah Perempuan Indonesia.
Jakarta, 22 Desember 2008
----------
-------------
Artikel Lain
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi
-------------
--------------------
[FM82309-8]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PAHLAWAN NASIONAL
crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...
-
UU No 2/Pnps/1964 [Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969 ] tentang TATA...
-
Oleh NURUL HAKIM, S.Ag. Sumber: http://www.badilag.net Pendahuluan Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari‟at Allah yang terkand...
-
------------- Oleh Bur Rasuanto Kompas, Rabu, 8 September 1999 KINI sudah menjadi keyakinan umum bahwa cita-cita reformasi mustahil ...
No comments:
Post a Comment