Thursday, January 22, 2009

POKOK-POKOK PIKIRAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

Oleh : Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH.




I. PENDAHULUAN

Pada kesempatan sosialisasi tahap pertama ini ada enam bab yang akan dibicarakan, yaitu Bab I sampai dengan Bab VI. Bab I mengenai Ketentuan Umum yang berisi pengertian istilah. Bab II mengenai Penyidik dan Penuntut Umum. Bab III mengenai Penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat. Bab IV tentang tersangka dan terdakwa. Bab V tentang bantun hukum dan terakhir Bab VI mengenai sumpah atau janji.
Sosialisasi tahap kedua membicarakan Bab VII sampai dengan Bab XIII. Bab VII mengenai wewenang pengadilan untuk mengadili, Bab VIII mengenai Tindak Pidana yang dilakukan oleh seorang sipil bersama anggota TNI dan Bab IX mengenai Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Bab X mengenai Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian, Bab XI mengenai Penyidikan dan, Bab XI mengenai Pengadilan. Bab XII mengenai Penuntutan dan Bab XIII mengenai Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.
Sosialisasi tahap ketiga membicarakan Bab XIV sampai dengan Bab XIX. Bab XIV mengenai Upaya Hukum Biasa, Bab XV mengenai Upaya Hukum Luar Biasa dan Bab XVI mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Bab XVII mengenai Pengawasan dan pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, Bab XVIII mengenai Ketentuan Peralihan dan Bab XIX mengenai Ketentuan Penutup.
Menyangkut pengertian istilah ada beberapa hal yang telah diperbaiki, misalnya tentang pengertian penuntutan, karena penuntutan itu tidak hanya perbuatan melimpahkan perkara ke pengadilan oleh penuntut umum, tetapi menyangkut kebijakan penuntutan, apakah suatu perkara dituntut ataukah tidak. Jika tidak dituntut sedangkan cukup bukti berarti penerapan asas oportunitas, yang bisa dengan suatu syarat ataukah tanpa syarat. Jadi, system acara pidana kita mengenai penyampingan perkara demi kepentingan umum yang dapat dilekatkan suatu syarat. Misalnya, tidak dituntut tetapi harus membayar sejumlah uang sebagai ganti kerugian. Dunia mengenal penerapan asas oportunitas dengan syarat, yang di Indonesia juga dilakukan dengan nama schikking. Ini berarti penuntutan artinya luas, bisa pengadilan bisa juga penyelesaian di luar pengadilan. Istilah yang dipakai ialah “the public prosecutor may decide-conditionally or un conditionally – to make prosecution to court or not”.
Di dalam pengertian istilah ini sudah dimasukkan pula pengertian hakim komisaris menyangkut hal-hal baru mengikuti perkembangan zaman seperti penggantian lembaga praperadilan menjadi hakim komisaris dengan wewenang yang lebih luas dan konkret.
Sebenarnya dalam rancangan KUHAP dulu yang diilhami oleh Prof. Oemar Seno Adji, sudah dicantumkan lembaga hakim komisaris itu. Namun mungkin dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan sektoral yang marak pada zaman Orde Baru, maka lembaga itu diganti dengan praperadilan yang wewenangnya sangat minim. Hakim komisaris ini diartikan “pejabat yang diberi wewenang mengawasi jalannya penyidikan dan penuntutan dan wewenanng lain yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Disamping itu dilakukan perbaikan-perbaikan redaksional yang selaras dengan doktrin ilmu hukum acara pidana dan hukum pidana. Ada beberapa rumusan yang tidak sesuai dengan doktrin hukum pidana dan hukum acara pidana, misalnya saja tentang pengertian putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Begitu pula tentang putusan hakim yang dapat dibanding, dikasasi dan ditinjau kembali. Yang belum masuk ke dalam daftar pengertian istilah, tetapi berada di belakang.
Ada pula yang belum diatur sama sekali, misalnya dalam hal apa tuntutan jaksa tidak dapat diterima. Dalam pengaturan PK muncul jenis putusan “tuntutan penutut umum tidak dapat diterima,” padahal di bagian depan sama sekali tidak diatur kapan tuntutan penuntut umum dapat diterima. Pada saat hakim menerima berkas perkara dari penuntut umum sebenarnya harus diteliti terlebih dahulu apakah cukup alasan untuk menyidangkan perkara tersebut. Jika misalnya suatu delik aduan diajukan oleh penuntut umum tetapi tidak disertai dengan surat pengaduan, maka mestinya langsung hakim mengeluarkan penetapan “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”. Hal yang sama jika perkara itu berlaku neb is in idem, perkara telah verjaard, yang didakwakan penuntut umum bukan tindak pidana, dan seterusnya.
Ada pula perubahan yang sebenarnya sama dengan Rancangan KUHAP dulu namun PANSUS di DPR pada waktu itu kurang mengetahui tentang perkembangan hukum acara pidana, tanpa studi banding sebelumnya, sehingga tercantum dalam rancangan tersebut, yang disusun oleh Prof. Oemar Seno Adji yang kaya akan literatur hukum pidana dan acara pidana, tidak dapat dimengerti atau disalah mengerti sehingga diubah sesuai dengan feeling semata, tanpa dicek secara akademik, misalnya tentang alat-alat bukti tetap mengikuti HIR yang kuno itu.

II. PEMBAHASAN
A. Bab I sampai dengan Bab VI
1. Pengertian penuntutan sudah diubah sehingga meliputi kebijakan penentuan untuk menuntut atau tidak menuntut baik dengan syarat maupun tanpa syarat.
2. Beberapa pengertian istilah dapat dibicarakan dalam kesempatan sosialisasi ini.
3. Rumusan tentang penyidik lebih dirinci sebagaimana tertera dalam usulan saya pada pasal 6 karena pejabat Pegawai Negeri Sipil itu bermacam-macam termasuk KPK yang wewenangnya sangat luas begitu pula Jaksa yang menyidik tindak pidana korupsi, ekonomi dan pelanggaran HAM. Tentang penuntut umum dengan sendirinya harus disesuaikan dengan pengertian istilah dan lagi pula penuntut umum bukan saja melaksanakan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi juga pelaksanaan penetapan hakim.

Menyangkut Bab III khususnya tentang penahanan, yang sejak HIR sampai KUHAP sekarang membagi tentang sahnya penahanan dan perlunya penahanan (rechtvaardigheid dan noodzakelijkheid). Sahnya penahanan bersifat obyektif dan pasti sedangkan perlunya penahanan bersifat subyektif dan tergantung yang berwenang menahan. Kapan ada tanda-tanda orang akan melarikan diri, kapan ada tanda-tanda akan mengulangi perbuatan dan kapan ada tanda-tanda akan mempersulit pemeriksaan (menghilangkan barang bukti) ditentukan oleh yang melakukan penahanan. Sedangkan sahnya penahanan sudah pasti, yaitu delik yang diancam pidana lima tahun lebih (di Nederland empat tahun atau lebih, yang rupanya berpatok pada delik pencurian yang ancaman pidananya empat tahun penjara). Kemudian, ada delik yang diancam pidana di bawah lima tahun tetapi dapat dilakukan penahanan, namun disebut satu persatu di dalam KUHAP. Pasal-pasal itu perlu diubah sesuai dengan pertimbangan khas Indonesia dan dengan sendirinya nomornya harus menunggu KUHP (diselelaraskan dengan Rancangan KUHP).
Di Nederland ditambahkan delik yang dapat ditahan termasuk pelaku delik yang diancam pidana di bawah empat tahun, tetapi orangnya tidak mempunyai tempat kediaman tetap, sehingga sah untuk ditahan. Ini perlu ditiru, karena gelandangan di Indonesia jauh lebih banyak dari pada di Nederland. Tidak mungkin untuk dipanggil menghadap ke pengadilan jika tempat kediaman terdakwa tidak diketahui. Pasal 284 KUHP (permukahan) perlu dimasukkan sebagai delik yang sah untuk ditahan, karena kondisi beberapa daerah yang sangat membahayakan jika tersangka permukahan tidak ditahan, seperti di Aceh, Sulawesi Selatan, Madura dll.
Tentang penyitaan harus dimasukkan sebagai salah satu wewenang Hakim Komisaris, yang sekarang menurut KUHAP tidak masuk wewenang praperadilan. Pengertian surat juga perlu diperluas sehingga meliputi surat eletronik, fax, internet dst.
Tentang Bab VI hak tersangka dan terdakwa perlu dipikirkan untuk menampung tindak pidana terorisme, yang hak-haknya dibatasi, misalnya berlaku asa inquiaitoir bukan accusatoir terhadap para pelaku terorisme.
Belanda tidak mempunyai undang-undang khusus mengenai terorisme, namun sejak dulu bagi delik politik berlaku asas inquisitoir bukan accusatoir.
Tentang bantuan hukum perlu ditinjau kembali ketentuan dalam Undang-undang advokat, yang memberi monopoli kepada advokat untuk memberi nasehat hukum, bahkan dengan ancaman pidana kepada orang yang memberi nasehat hukum tetapi tidak berkedudukan sebagai advokat. Misalnya harus diberi ruang secara insidental untuk seseorang tersangka atau terdakwa untuk menunjuk keluarganya atau sahabatnya untuk memberi bantuan hukum secara Cuma-Cuma. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia untuk menunjuk seseorangt untuk menjadi penasehat hukumnya secara insedental. Misalnya tersangka yang tersangkyut perkara pidana sedangkan dia mempunyai sauadar yang pakar hukum pidana, dapat saja secara insedental menunjuk sauadaranya tersebut, sebagai penasehat hukumnya.
Menyangkut sumpah palsu perlu diperhatikan hukum pidana materiel yang tidak mengenal percobaan bersumpah palsu, artinya jika seseorang telah memberikan keterangan tidak benar, namun pada pemeriksaan berikutnya dia memperbaiki keterangannya, tidak dapat dituntut telah mencoba bersumpah palsu. Rasio atau dasar filosofinya ialah agar orang diberi kesempatan untuk memberikan keterangan yang benar, mengoreksi keterangan sebelumnya, demi mencari kebenaran materiel.

B. Bab VII sampai dengan Bab XIII
Bab VII yang mencantumkan Hakim Komisaris merupakan hasil perubahan Praperadilan. Mengapa kami merubah Praperadilan menjadi Hakim Komisaris, akan kami jawab dalam sosialisasi ini. Praperadilan menurut pendapat kami (penyusun) kurang efektif untuk mengawasi proses pengenaan upaya paksa terutama penahanan, bahkan samasekali tidak menyebut tentang penyitaan.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara Praperadilan dan Hakim Komisaris. Antara lain :
1. Praperadilan masih menempel pada Pengadilan Negeri, yang secara kasus demi kasus Ketua Pengadilan Negeri menunjuk seorang hakim Pengadilan Negeri untuk memutus suatu perkara yang diajukan. Jadi, tidak ada sidang Praperadilan tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan Praperadilan. Hakim yang ditunjuk itu tetap masih “hakim palu”. Sedangkan dalam hal Hakim Komisaris hakimnya akan lepas dari Pengadilan Negeri dan bersifat permanen. Artinya hakim pengadilan negeri yang diangkat menjadi Hakim Komisaris, akan lepaskan palunya selama menjabat Hakim Komisaris dalam jangka waktu dua tahun. Setelah melewati jangka waktu dua tahun, dia akan kembali ke Pengadilan Negeri darimana dia berasal dan menjadi hakim palu kembali. Sebagai variasi dari Hakim Komisaris di Nederland, maka kami mengusulkan juga agar orang yang non hakim tetapi menguasai hukum acara pidana dan hukum pidana, seperti jaksa, pengacara senior dan dosen hukum pidana dan acara pidana dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris. Melalui suatu proses tertentu seperti fit and proper test. dll. Yang aturannya akan dicantumkan dalam suatu Peraturan Pemerintah, bahkan ada yang mengusulkan agar dibuat suatu undang-undang tersendiri mengenai tata cara pengangkatan Hakim Komisaris itu. Hakim Komisaris akan bertindak dengan atau adanya suatu tuntutan. Jadi, akan meneliti semua penahanan yang dilakukan oleh penyidik maupun oleh jaksa baik secara formel maupun secara materiel. Sekarang ini, Hakim Praperadilan hanya memeriksa secara formel saja tidak secara materiel. Artinya, jika seorang ditahan berdasarkan delik penipuan (Pasal 378 KUHP) dan dituntut bahwa penahanan itu tidak sah, maka hakim akan melihat apakah Pasal 378 KUHP itu sah untuk dilakukan penahanan kepada tersangka atau terdakwa berdasarkan Pasal 21 KUHAP. Oleh karena Pasal 378 KUHP memang tercantum didalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP butir b, maka Hakim Praperadilan menyatakan tuntutan ditolak. Sedangkan dalam hal Hakim Komisaris, dia akan memeriksa resume perkara yang dilampirkan oleh pejabat yang melakukan penahanan, dan akan memeriksa apakah benar secara materiel tersangka atau terdakwa melanggar pasal itu. Jika ternyata kurang bukti untuk itu, maka Hakim Komisaris akan meminta agar tersangka atau terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan.
2. Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam Pasal 72 jelas lebih luas dari pada wewenang Hakim Praperadilan. Bukan saja tentang sah tidaknya penangkapan, penahanan, tetapi juga penyitaan, begitu pula tentang penghentian penyidikan dan penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas. Asas oportunitas memang memberi wewenang kepada Jaksa Agung (kami mengusulkan kepada semua jaksa) untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Juga diatur tentang pelampauan batas waktu penyidikan dan penuntutan. Begitu pula pembatasan hak tersangka atau terdakwa yang dapat diperiksa tanpa didampingi oleh penasehat hukum, misalnya dalam kasus terorisme. Saling mempraperadilkan antara polisi dan jaksa di hapus karena tidak logis. Kedua instansi itu merupakan satu kesatuan dalam pemeriksaan pendahuluan.
3. Hakim Komisaris juga memutus tentang ganti kerugian dan rehabilitasi.
4. Dalam pasal 74 diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh Hakim Komisaris sesuai dengan asas peradilan cepat.
5. Ditegaskan pula di dalam Pasal 74 butir e, bahwa putusan hakim komisaris tidak dapat dibanding maupun dikasasi. Berbeda dengan praktek sekarang yang ada putusan Praperadilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah Agung menerima.
6. Hakim Komisaris berbeda dengan Hakim Praperadilan yang berkantor di Pengadilan Negeri, dia berkantor di (atau dekat) RUTAN, agar mudah berkomunikasi dengan tahanan tanpa tahanan itu dapat melarikan diri.
7. Ini berarti bahwa pada setiap ada RUTAN ada Hakim Komisaris yang memutus seorang diri.

Menyangkut Bab VIII mengenai Konektitas, perlu ditunda pembahasannya, karena ada kecenderungan sekarang untuk menentukan agar militer yang melakukan delik umum (bukan delik militer) diadili oleh pengadilan umum sebagaimana berlaku di Malaysia dan Singapura. Jika itu terjadi, maka dengan sendirinya tidak ada masalah koneksitas karena keduanya akan diadili oleh Pengadilan Negeri.
Menyangkut Bab IX tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi tidak ada perubahan berarti dari KUHAP yang sekarang.
Menyangkut Bab X tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian perlu disosialisasikan dengan baik, karena kelihatanya sekarang ketentuan ini tidak jalan dalam praktek. Hampir tidak ada jaksa penuntut umum yang menuntut kepada hakim agar di samping menjatuhkan pidana dan tindakan, juga menjatuhkan sanksi perdata berupa ganti kerugian, padahal ini penting sekali dalam rangka asas peradilan cepat. Ketentuan itu penting sekali untuk menghindari proses gugatan perdata yang bertele-tele.

C. Bab XVI sampai dengan Bab XIX
1. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa tercantum di dalam BAB XVII KUHAP. Upaya hukum yang pertama, yaitu upaya hukum banding. Jika ditelaah Pasal 233 ayat (1) KUHAP dan dihubungkan dengan Pasal 67 KUHAP maka semua putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi dengan beberapa pengecualian. Di dalam Pasal 233 KUHAP itu disebut terdakwa yang mestinya terpidana. Hampir pasti orang yang telah diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum meminta banding. Pengecualian berdasarkan Pasal 67 KUHAP adalah :
1) Putusan bebas (vrijspraak).
2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum.
3) Putusan pengadilan dalam acara cepat (dahulu disebut perkara rol).

Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa dipakai istilah “kurang tepatnya penerapan hukum”, yang berarti jika penerapan hukum tepat dapat dimintakan banding ? Di dalam praktek HIR dulu putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat dibanding. Prinsip bahwa semua permintaan kasasi harus melalui dulu upaya hukum banding menyebabkan, bahwa putusan lepas dari segala tuntutan hukum itu harus dapat dibanding. Sesudah itu baru dapat dimintakan kasasi. Tidak seperti sekarang, putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dibanding tetapi dapat langsung dilakukan kasasi.
Lebih-lebih dengan kenyataan, bahwa adanya pendapat pakar hukum acara pidana Belanda yang dikembangkan juga di Indonesia, yaitu yang disebut bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) yang merupakan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (verkapte ontslag van rechtsvervolging). Yang artinya putusan hakim pengadilan negeri salah kualifikasi, yang mestinya diputus lepas dari segala tuntutan hukum diputus bebas. Oleh karena bebas tidak murni di Belanda dapat dibanding dan di Indonesia dapat langsung dikasasi, maka terjadilah spekulasi, yaitu hampir semua putusan bebas dikasasi dengan alasan bebas tidak murni. Salah satu penyebabnya ialah kurang dipahaminya kapan sesuatu putusan harus berupa bebas dan kapan berupa lepas dari segala tuntutan hukum. Jika tindak pidana yang didakwakan jaksa tidak terbukti dan meyakinkan hakim maka putusannya bebas. Jika tindak pidana yang didakwakan jaksa terbukti (actus reus) tetapi ada dasar peniadaan pidana, maka putusannya lepas dari segala tuntutan hukum. Perlu dipikirkan untuk memasukkan masalah bebas murni atau lepas dari segala tuntutan hukum terselubung ini ke dalam penjelasan KUHAP. Di Nederland hal ini tidak perlu dimasukkan, karena semua hakim dan jaksa telah mengetahui persis masalah ini dalam pendidikan pembentukan hakim dan jaksa yang terpadu.


KASASI
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis, kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Semula berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut Conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Perancis, dibentuklah suatu badan hukum yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum. Jadi merupakan badan antara yang menjebatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman.
Pada tanggal 21 Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de Cour de cassation telah terorganisasi dengan baik.
Kemudian lembaga kasasi ditiru pula di negeri Belanda yang pada gilirannya di bawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang menafsirkan secara sempit ialah D. Simon yang mengatakan jika hakim memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman. Dalam arti luas misalnya jika hakim Pengadilan Tinggi memutus padahal hakim pertama telah membebaskan.
Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
Kemudian dalam perundang-undangan Belanda, tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu :
1) apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim);
2) peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya;
3) apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang-undang.

2. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa tercantum di dalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri dari dua bagian, yaitu Bagian Kesatu Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Bagian Kedua Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Bagian Kesatu terdiri atas 4 pasal saja, yaitu Pasal 259 sampai dengan Pasal 262.

Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi Kepentingan Hukum
Dalam peraturan lama kasasi demi kepentingan hukum ini telah diatur bersama kasasi biasa dalam satu pasal, yaitu Pasal 17 Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950) yang mengatakan bahwa kasasi dapat dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan atau permohonan Jaksa Agung karena jabatannya, dengan pengertian bahwa kasasi atas permintaan Jaksa Agung hanya semata-mata untuk kepentingan hukum dengan tidak dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. Jadi hanya dibedakan kasasi pihak dan kasasi karena jabatan Jaksa Agung. Kasasi karena jabatan inilah yang sama dengan kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya hukum luar biasa menurut KUHAP.
Menurut Pasal 259 ayat (1) KUHAP, Jaksa Agung dapat mengajukan satu kali permohonan kasasi terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, demi kepentingan hukum.
Terhadap perkara yang bagaimana dan dengan alasan apa yang dapat dikemukakan oleh Jaksa Agung untuk mengajukan suatu permohonan kasasi demi kepentingan hukum tidak diatur baik di dalam KUHAP maupun PP Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP tersebut.
Jadi rupanya pembuat undang-undang menyerahkan masalah itu kepada pertimbangan Jaksa Agung sendiri.
Para penulis mengatakan bahwa sebagai upaya hukum luar biasa, kasasi demi kepentingan hukum itu maksudnya ialah untuk mencapai kesatuan penafsiran hukum oleh pengadilan. Apabila sesuatu meragukan atau dipermasalahkan diserahkan kepada Mahkamah Agung untuk memutuskan, maka putusan Mahkamah Agung itu diambil oleh hakim yang lebih rendah sebagai pegangan.
Bagi terdakwa hal ini sama sekali tidak membawa pengaruh, jadi betul-betul hanya untuk kepentingan teori belaka, tidak akan merugikan terdakwa (Pasal 259 KUHAP).
Kasasi demi kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak ada upaya hukum biasa yang dapat dipakai. Permohonan Kasasi diajukan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama, disertai risalah yang menjadi alasan, kemudian panitera meneruskan kepada yang berkepentingan (Pasal 260 KUHAP). Salinan keputusan Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan, disertai berkas perkara (Pasal 261 KUHAP). Ketentuan tentang kasasi demi kepentingan hukum bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum berlaku juga bagi peradilan militer (Pasal 262 KUHAP).
Jadi, pada umumnya sama saja dengan kasasi biasa, kecuali dalam kasasi demi kepentingan hukum pengacara tidak dilibatkan. Catatan 1
Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi demi kepentingan hukum, maka Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang lebih rendah, dan dengan demikian terjawablah keragu-raguan atau hal yang dipermasalahkan itu.

Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Sebelum berlakunya KUHAP, belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Undang-Undang tentang Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 21 hanya menyebut kemungkinan peninjauan kembali, tetapi pelaksanaannya sesuai dengan undang-undang. Semula dikeluarkan peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 tanggal 19 Juli 1969 yang memungkinkan diajukan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 18 Tahun 1969 tanggal 23 Oktober 1969, menunda berlakunya peraturan Mahkamah Agung tersebut dengan alasan masih diperlukan aturan lebih lanjut misalnya mengenai biaya perkara yang memerlukan persetujuan Menteri Keuangan. Kemudian dengan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1971, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 dan surat edaran tersebut dicabut, dan ditentukan bahwa peninjauan kembali mengenai perkara perdata dapat diajukan request civiel, dengan bercermin kepada Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering, sedangkan mengenai perkara pidana tidak dapat diajukan karena belum ada undang-undangnya.
Barangkali karena terjadinya kasus Karta dan Sengkong yang sangat menghebohkan, maka Mahkamah Agung setelah mengadakan rapat kerja dengan DPR tanggal 19 November 1980, memberanikan diri mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatur kemungkinan mengajukan peninjauan kembali putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap baik perkara perdata maupun pidana. Mengenai perkara pidana diatur dalam Pasal 9, yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengandung pemidanaan, dengan alasan :
1. apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi satu sama lain bertentangan;
2. apabila terdapat suatu keadaan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.

Dibanding dengan ketentuan KUHAP yang tersebut pada Pasal 262 ayat (2) KUHAP, maka terlihat keduanya hampir sama. Ketentuan dalam KUHAP itu menyatakan :
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai keputusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kemudian, ayat (3) Pasal 273 KUHAP tersebut mengatakan bahwa atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Menurut pendapat penulis, ini hanya berarti untuk rehabilitasi nama terdakwa belaka.
Dalam Pasal 266 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dapat berupa :
1) putusan bebas;
2) putusan lepas dari segala tuntutan;
3) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4) putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Suatu ketentuan yang tercantum di dalam ayat (3) Pasal 266 KUHAP tersebut yang menyatakan pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula, menurut pendapat penulis berkelebihan, dalam ayat (2) pasal itu yang telah disebut di muka, telah jelas putusan yang dijatuhkan yang limitatif itu.
Sebagaimana penulis telah kemukakan tentang ganti kerugian, ketentuan tentang peninjauan kembali suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tersebut di dalam KUHAP, tidak diikuti dengan peraturan tentang ganti kerugian yang semestinya mengikuti putusan Mahkamah Agung tentang pembatalan putusan. Dalam sistem ganti kerugian yang dianut di negara-negara lain seperti Belanda, ganti kerugian yang dianut di negara-negara lain seperti Belanda, ganti kerugian setelah peninjauan kembali (herziening) itu bersifat imperatif berbeda dengan ganti kerugian yang tersebut dalam Pasal 81 dan 95 KUHAP (ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain) yang bersifat fakultatif. Penulis mengharapkan ketentuan tentang ganti kerugian sesudah peninjauan kembali (herziening) itu akan diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 1983, tetapi ternyata tidak demikian.
Kasus perkara yang paling banyak dihebohkan dan akhirnya diselesaikan melalui peninjauan kembali ialah perkara Sengkong bin Yakin dan Karta alias karung alias Encep bin Salam. Semula keduanya dipidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi masing-masing 12 tahun dan 7 tahun, karena dakwaan pembunuhan. Kemudian putusan Pengadilan Tinggi Bandung tetap memidana kedua terpidana seperti yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (Putusan No. Reg.38/1978/Pid/PTB).
Ternyata kemudian orang lain Gunel bin Kuru, Siih bin Siin dan Warnita bin Jaam dipidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan perbuatan yang sama dengan putusan tanggal 15 Oktober 1980 No. 6/1980/Pid/PN.BKS dan kemudian lagi Elli bin Senam, Nyamang bin Naing, M. Cholid bin H. Nair, dan Jobing bin H. Paih diputus dan dipidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 13 November 1980 No. 7/1980/Pid/PN.BKS.
Kesimpulan tertulis Jaksa Agung tanggal 22 Januari 1981 mengusulkan agar Sengkong dan karta dibebaskan. Dan dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 24 januari keduanya dibebaskan.

3. Kesimpulan
Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini bermaksud untuk memperoleh bahan seluas-luasnya, sehingga Hukum Acara Pidana yang akan datang lebih sempurna daripada yang sekarang. Semua pihak dapat ikut serta memberi pandangan, asal saja tidak keluar dari sistem hukum yang berlaku. Asas legalitas bukan saja harus tercantum dalam hukum pidana materiel, tetapi juga dalam hukum pidana formil, artinya tidak ada proses acara yang berjalan di luar jalur undang-undang yang berlaku.
Hakim Komisaris yang merupakan lembaga baru menggantikan Praperadilan, perlu dibahas mendalam agar tidak ada kesenjangan peraturan yang terjadi. Perlu studi banding ke Nederland dan atau Perancis untuk melihat efektivitas Hakim Komisaris di sana.


Catatan 1 A. Minkenhof, halaman 305.


Sumber : http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+2&f=pokok_pokok_pikiran_ruu_hap.htm#Footref1



----------



-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------







2 comments:

Anonymous said...

Nice site you have here..
Thanks for the info..I'll use this a lot

Anonymous said...

Nice site you have here..
Thanks for the info..I'll use this a lot

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...