Oleh
M Jodi Santoso
Sumber: Newsletter Komisi Hukum Nasional
Amandemen konstitusi telah mengubah pola
kekuasaan dari yang sebelumnya yang semula kekuatan berada pada
eksekutif (executive heavy) menjadi penguatan legislatif (legislative
heavy). legislative heavy ditandai dengan bertambahnya peran Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal: penguatan posisi yang lebih dominan
dari pada pemerintah dalam hal pembentukan undang-undang, pengangkatan
dan penerimaan duta besar memilih anggota lembaga-lembaga negara.
Pergeseran pendulum ini bertujuan untuk mewujudkan proses politik dan
legislasi yang demokratis. Politik hukum demikian menghindarkan praktik
politik pada masa orde baru non demokratis.
Meski UUD NRI Tahun 1945 membangun sistem hukum
dan politik yang lebih demokratis, tetapi perlu memperhatikan dan
membaca catatan sejarah tentang perubahan konfigurasi politik. Mahfud MD
(1998: 317) dalam studinya menjabarkan terjadinya pergeseran
konfigurasi politik dalam setiap orde pemerintahan. Pada orde lama dari
yang demokratis (liberal) menjadi otoriter sedangkan pada masa orde baru
pada awalnya bersifat demokratis tapi kemudian menuju proses non
demokratis. Sejarah tersebut menjadi penting karena selama dua belas
tahun reformasi demokratisasi masih bersifat formal prosedural belum
menyentuh subtansinya.
Pada awal reformasi, masyarakat menaruh
harapan besar kepada DPR yang dililih secara langsung oleh rakyat untuk
membuat peraturan peraundang-undangan yang mengakomodasi tuntutan
publik. Dalam perjalannya, fungsi legislasi DPR dijalankan tanpa visi
yang jelas. Dalam catatan PSHK (2010), kebijakan DPR sulit dipetakan
karena lebih mengarah pada kepentingan pemerintah. Begitu halnya dengan
pola legislasi yang tidak jelas dan yang cenderung menguatkan kebijakan
pemerintah.
Dalam kurun waktu setahun terakhir terjadi
ketimpangan implementasi fungsi utama DPR. Dinamika politik dan hukum
selama ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pada DPR melakukan
fungsi pengawasan. Hal demikian berbeda dengan pelaksanaan fungsi
legislasi dan anggaran yang hasilnya tidak sesuai dengan hingar bingar
dalam proses pengawasan. Kasus Century, cicak dan buaya, Gayus Tambunan,
angket pajak merupakan deretan kasus yang saling berkaitan dan terakhir
perkara pembobolan nasabah dan meninggalnya nasabah kartu kredit
Citybank banyak menjadi menyita perhatian DPR. Pengawasan DPR berhenti
di ruang DPR dan penyampaian hasil rekomendasi yang dikeluarkan tanpa
ada pengawasan lanjutan yang sepadan. Berhentinya kasus-kasus besar
tersebut memunculkan pertanyaan besar fungsi pengawasan DPR dilaksanakan
untuk merespon kepentingan rakyat atau hanya sebagai instrumen
kepentingan yang mengatasnamakan rakyat.
Bertolak belakang dengan ‘hingar bingar’
pelaksanaan fungsi pengawasan, dalam menjalankan legislasi pada tahun
2010, kinerja DPR jauh dari target program legislasi nasional
(Prolegnas). Belajar dari kinerja DPR tahun 2004/2009, dalam kurun waktu
2005 hingga 2010, capain keberhasilan penyelesaian pembahasan RUU
tertinggi dilakukan pada tahun 2008 yang telah menyelesaikan pembahasan
dan menetapkan 61 RUU menjadi undang-undang. Akan tetapi, dari 61 RUU
yang disahkan tersebut, 61 % (37 RUU) adalah RUU luncuran (27 RUU
pemekaran, 3 RUU ratifikasi, 4 RUU pengesahan Perppu, dan 3 RUU APBN) di
luar prolegnas yang pembahasannya tidak membutuhkan pembahasan serius.
Membendung Oligarki
Demokrasi
sebagai lawan dari otoritarianisme menjadi pilihan negara hukum modern
(moderne rechtsstaat) dalam menerapkan sistem pemerintahannya. Dalam
perkembangannya, negara modern menuju perwujudan negara kesejahteraan
(welfare state) sebagai akibat kegagalan peran negara sebagai penjaga
malam (nachtwachterastaat) bidang politik dan ekonomi yang sandarkan
pada individualis kapitalisme. Menurut Carter & Herts, dalam negara
kesejahteraan, untuk mewujudkan kemakmuran rakyat, negara harus campur
tangan ke dalam kehidupan sehari-hari dapat berdampak pada pemerintahan
besar baik dalam jumlah maupun dalam lingkup tanggung jawabnya (Miriam
Budiardjo: 1977, 76 – 78) . Peran aparatur negara dalam memberi
pelayanan dan menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg, service
public) yang dijalankan dalam suasana yang bebas (freies ermenssen)
berpotensi menuju negara intervensionis (intervensionis state) dan
maladministrasi. Dalam kondisi demikian, pengawasan terhadap eksekutif
menjadi penting. DPR dapat menjadi penyeimbang dan melakukan kontrol
politik terhadap tindakan pemerintah. Sebaliknya, jika DPR terkooptasi
oleh kekuatan dan kekuasaan eksekutif maka akan memunculkan oligarki
dalam sistem demokrasi formal.
Talcott Parson melalui Teori Sibernetika-nya
memperingatkan bahwa dalam sistem kehidupan kemasyarakatan, arus energi
subsistem ekonomi menempati kedudukan paling kuat, diikuti subsistem
politik, subsistem sosial (hukum), dan terakhir adalah subsistem budaya.
Sebaliknya dalam arus informasi, energi budaya lebih besar yang
mempengaruhi subsistem sosial, politik, dan ekonomi. (Satjipto Rahardjo,
1985). Beranjak dari arus energi menurut teori Sibernetika demikian,
maka hukum adalah produk politik yang dipengaruhi oleh energi ekonomi.
Sebaliknya, hukum bisa menjadi produk budaya jika memanfaatkan energi
informasi budaya.
DPR dapat memerankan dua arus yang
disampaikan Parson di atas. DPR yang memegang kekuasaan politik dapat
melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksektif atau menjadi kepanjangan
tangan pemerintah. Melihat kondisi demikian, fungsi kontrol tidak hanya
diberikan pada DPR tetapi pemerintah dan DPR merupakan lembaga yang
harus dikontrol. Trias politika telah memberikan kewenangan pada
kekuasaan kehakiman melakukan kontrol terhadap eksekutif dan legislatif.
Dalam konteks kontrol terhadap peraturan-perundangan, tidak ada jaminan
absolut bahwa norma hukum selaras karena organ hukum yang berwenang
membuat norma hukum menciptakan norma-norma yang saling bertentangan
(Hans Kelsen: 1967, 205). Oleh karena itu, Kelsen memberikan jalan untuk
melakukan revisi baik secara biasa (ordinary way) melalui executive
review maupaun legislative review maupun secara exra-ordinary way
melalui judicial review. (Hans Kelsen: 1961, 159). Jalan yang ditawarkan
Kelsen dapat berjalan jika, kekuasaan kehakiman dapat menjalankan
fungsinya secara independen dan bukan menjadi perluasan sistem oligarki.
Transparansi Legislasi
Demokratisasi secara
signifikan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum dan politik.
Implementasi demokrasi perwakilan tidak berhenti pada penyerahan
kedaulatan rakyat pada wakil-wakilnya di DPR. Demokrasi perwakilan bukan
menyerahan kedaulatan. Rakyat masih bisa menyampaikan
ketidaksetujuannya terhadap pengambilan keputusan yang diambil oleh DPR
dan Pemerintah dengan melakukan judicial review. Semakin banyaknya
peraturan perundang-undangan yang ajukan judicial review menunjukkan
tingkat pemahaman rakyat dalam menggunakan hak-haknya.
Bagi DPR, fakta banyaknya masyarakat
mengajukan judicial review harus direspon secara positif. Legislasi yang
berkembang saat ini cenderung merespon kebutuhan perubahan dengan
pengeluaran undang-undang. Penyusunan prolegnas tidak disertai dengan
data-data atau hasil kajian yang valid. Kebanyakan Prolegnas atau RUU
inisiatif DPR hanya mengajukan judulnya saja, tanpa disertai dengan
naskah akademik atau kajian-kajian sebelumnya yang membuktikan bahwa RUU
tersebut penting bagi kehidupan Indonesia. Keinginan sekelompok
masyarakat untuk mengajukan RUU yang tidak jelas apa tujuan
pengaturannya bagi masyarakat tidak harus diwujudkan dalam RUU sendiri.
DPR
perlu lebih membuka akses publik dalam proses legislasi. Perlu
perubahan manajemen yang terjadi selama ini sifat tertutup dalam proses
penyiapan dan pembahasan RUU di internal pemerintah maupun DPR.
Mekanisme partisipasi dan transparansi harus dibangun dengan baik di
tingkat internal pemerintah dan DPR. DPR harus mampu mewujudkan negara
hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).