ASPEKPERLINDUNGAN HAM DALAM RUU KUHP 2001[1]
OLEH: PROF.DR.ROMLI ATMASASMITA,S.H.,LL.M.[2]
PenyusunanRancangan KUHP 2001 sudah mulai dilaksanakan kurang lebih 30 tahun yanglampau,dan baru dapat dirampungkan sekitar tahun 1990-an. Ditegaskan dalampenjelasan rancangan ini bahwa pendekatan yang digunakan ialah daad-daderstraftrecht artinya di dalam merumuskan ketentuan rancangan kitabundang-undang hukum pidana ini, pengaturan diberikan juga baik kepadapembuat/pelaku maupun terhadap perbuatannya. Di dalam penjelasan rancangan initidak ditegaskan atau dijelaskan tentang korban kejahatan (victim/s of crime/s)karena telah dibangun anggapan sejak beratus tahun yang lampau bahwa pihakkorban cukup diwakili oleh negara, dalam hal ini Jaksa penuntut umum. Praanggapansemacam ini sudah tentu mendapat tantangan keras dari kelompok revisionis yanglebih mengedepankan pendekatan viktimologis yaitu yang memberikan perananterhadap korban kejahatan atau keluarganya untuk ikut menentukan"nasib" pelaku kejahatan lebih besar dari hanya menggantungkan nasibmereka ke tangan Jaksa Penuntut Umum selaku wakil negara sekaligus "wakilkorban" di dalam proses peradilan.
Pendekatanyang realistik sejalan dengan perkembangan perlindungan HAM menurut hemat sayaialah pendekatan keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku dan korban disamping mempertimbangkan faktor perbuatan pelaku (unsur kesalahan). Namundemikian jika pendekatan ini masih diunggulkan maka terbit pertanyaan apakahmasih diperlukan pendekatan ketertiban dan keamanan sebagai refleksi dariperwujudan eksistensi suatu negara. Pendekatan negara atau state-oriented kedalam pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegaratampaknya sudah kurang relevan dengan pendekatan perlindungan HAM. Sekalipunpendekatan tersebut masih diperlukan perlu dirumuskan secara hati-hatisehingga tidak akan mengancam perlindungan HAM itu sendiri, apakahperlindungan HAM individual atau kolektif.
Bertitiktolak dari 4(empat) pendekatan: pelaku-korban-kesalahan- negara maka marilahkita bersama menilik secara seksama substansi rancangan KUHP 2001.
Asas legalitasmerupakan asas universal sehingga pemberlakuannya diakui baik oleh hukumnasional maupun oleh hukum internasional. Asas ini sejak lama di lambangkansebagai tiang kokoh bangunan hukum pidana sehingga sama sekalli tidak dapat dantidak boleh tergoyahkan. Jika tiang tersebut goyah maka sering dikemukakangoyah pula negara hukum itu. Persoalan mendasar yang harus dipertanyakan ialahapakah benar asas hukum ini selain mempertahankan kepastian hukum, juga dapatmenjamin munculnya keadilan; dua kata kunci yang sering dipertentangkan dalampembicaraan negara hukum atau supremasi hukum dalam suatu negara yangdemokratis. Yang pasti ialah asas hukum ini dalam praktik sering mendahulukankepastian hukum (baca: undang-undang) lebih besar dari keadilan (terutamakorban kejahatan). Kemungkinan sebab terjadinya praktik penegakan hukum yangsedemikian itu adalah pemahaman yang kurang tepat dalam menempatkan kedua katakunci dalam menegakkan supremasi hukum. Pemahaman yang kurang tepat ini seringmempertentangkan antara kepastian hukum dan keadilan sebagai dikhotomi yangtidak bersifat simbolik mutualistik. Dalam konteks ini saya ingin tekankanbahwa seharusnya pemahaman ini diluruskan sehingga penerapan asas legalitasdalam praktik penegakan supremasi hukum dapat menciptakan kepastian hukum didalam bingkai keadilan. Pemahaman keliru ini sering dipertajam lagi denganmengartikan secara harfiah hukum itu identik dengan undang-undang, sedangkankita ketahui di luar undang-undang masih ada sumber hukum lain yaituyurisprudensi atau hukum tidak tertulis yang diakui sesuai dengan Undang-undangdrt Nomor 1 tahun 1955.
Asas nebis in idem yang dikenal sebagai tiang penyangga untuk menciptakan kepastian hukum yang telah diakui baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional,dalam praktik sering meminta "korban ketidak adilan" dalam penegakansupremasi hukum. "korban ketidakadilan" tersebut disebabkanpenerapan asas ini sering tidak diletakkan dalam konteks pendekatankorban(victim) melainkan hanya bertumpu pada pendekatan pelaku dan perbuatan.Bahkan lebih parah lagi, dalam penegakan supremasi hukum itu, terjadi prosesperadilan yang sarat dengan muatan kepentingan baik pribadi, golongan ataupolitik. Sesungguhnya proses peradilan semacam itu bukan hanya di kualifikasisebagai bentuk penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) melainkanjuga seharusnya dapat dimasukkan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAMkarena di dalam proses peradilan seperti itu sudah terjadi degradasi hak-hakasasi tersangka atau terdakwa sehingga ia menjadi objek dari suatu sistem tidakditempatkan sebagai subjek hukum. Pertanyaan mendasar ialah bagaimana menghadapisuatu putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van geweijsdezaak) yang dihasilkan dari suatu proses peradilan yang korup atau cacat proses.Apakah asas ne bis in idem masih perlu dipertahankan dalam konteks kasusperadilan seperti itu ? Bukankah bentuk putusan final seperti itu sudah merupakanpelecehan dan bentuk pengingkaran terhadap asas-asas kepastian hukum dankeadilan itu sendiri? Diperlukan perubahan paradigma dalam cara pandangterhadap keseluruhan asas-asas hukum pidana yang sudah beratus tahun dibangun karena dalam perjalanan sejarah hukum pidana paradigma perlindungan HAM barumenguat pasca perang dunia kedua dan memperoleh bentuk yang jelas di dalam StatutaRoma, 1998 tentang International Criminal Court.
Memperhatikansubstansi buku kedua Rancangan KUHP 2001 dalam konteks perlindungan HAM, perludigarisbawahi ketentuan yang dimuat dalam Buku Kedua BAB I tentang Tindak Pidanaterhadap Proses Kehidupan Ketatanegaraan; Bab V Tindak Pidana terhadapKetertiban Umum; Bab IX Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan LembagaNegara;dan Bab XIX Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan Orang.
Ketentuan-ketentuanmengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan penghasutan perlu ditinjaukembali sehingga tidak mudah digunakan oleh alat-alat kekuasaan negara untukmemandulkan kontrol publik ke dalam penyelenggaraan negara.Bahkan dapatdikatakan ketentuan-ketentuan tersebut sudah tidak sejalan dengan paradigmaperlindungan HAM yang bersifat universal. Di dalam Pasal 29 Piagam HAM PBBmemang diakui pembatasan-pembatasan atas hak-hak asasi seseorang untuk menyelamatkanatau melindungi HAM masyarakat luas akan tetapi harus di atur dalam suatuundang-undang. Namun demikian ketentuan Pasal 29 ini harus dilihat penerapannya dalam konteks hubungan individu dan masyarakat, bukan dalam konteks negaradan masyarakat.
Demikianpenilaian dan komentar saya, mudah-mudahan bermanfaat.
[1]MAKALAH DISAMPAIKAN PADA DISKUSI PANEL: "MENINJAU RUU KUHP DALAM KONTEKSPERLINDUNGAN HAM", DISELENGGARAKAN OLEH ELSAM, JAKARTA TANGGAL 1 NOVEMBER2001.
[2]GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD
Sumber ; http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+2&f=hamdlmruukuhp.htm
-------------
Artikel Lain
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi
-------------
Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!
--------------------