Oleh:
Satjipto Rahardjo
DIAKUI, "kekalahan" kita dalam memenangkan supremasi hukum, untuk sebagian, disebabkan kekuatan-kekuatan hukum progresif yang masih tercerai-berai. Belum disadari bahwa kekuatan-kekuatan itu membutuhkan satu platform yang akan membangun sinergi dan amat menguntungkan usaha (effort) yang ingin mereka lakukan. Saling bergandeng tangan dalam ide, aksi, dukungan, dan lainnya akan memperbesar peluang kemenangan kekuatan itu.
Secara singkat bisa dikatakan, kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi. Hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara "biasa-biasa" saja (business as usual).
Mempertahankan status quo seperti itu makin bersifat jahat saat sekaligus diiringi situasi korup dan dekaden dalam sistem. Praktik-praktik buruk menjadi aman dalam suasana mempertahankan status quo.
Hakim yang menolak berbuat tidak baik akan diisolasi sampai akhirnya tunduk dan mau "bekerja sama". Di sinilah letak sifat jahat (mal content) mempertahankan status quo itu.
Hukum itu amat rentan terhadap keadaan status quo. Bagi para penegak hukum mempertahankan status quo lebih mudah dan aman daripada berinisiatif melakukan perubahan dan pembaruan. Bekerja secara "biasa-biasa" sambil menunggu pensiun lebih aman daripada "bertingkah" melakukan perbaikan.
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto telah merasakan pahitnya akibat yang menimpa seorang hakim progresif anti-status quo. Hanya karena ingin mengangkat kualitas Mahkamah Agung, dengan membongkar kolusi di kalangan korps sendiri, Adi Andojo harus terdepak. Ironisnya, bukan kekuatan progresif yang menang, justru sebaliknya, mereka yang pro-status quo yang menang. Begitulah Adi Andojo, begitu pula nasib kekuatan progresif lain, Lopa dan Hoegeng.
Kekuatan hukum anti-status quo tidak asal main tembak sana-sini, tetapi memiliki ideal yang dan kokoh (firm), seperti disebutkan di muka. Kekuatan itu tersebar di mana-mana di sekalian institusi yang berhubungan dengan hukum dan penegakan hukum. Mereka ada di pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dunia akademi, LSM, dan media.
Mereka menjalankan peran berbeda- beda sesuai dengan profesinya, tetapi disatukan oleh ikatan yang tidak kasatmata (invisible) berupa semangat dan pikiran sama, yaitu ingin mengakhiri keadaan status quo yang buruk, dekaden, dan korup.
Progresivisme
Kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan status quo. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan. Manusia masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada.
Di sini semangat memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people) dirasakan amat kuat. Inilah yang menyebabkan munculnya sikap kritis terhadap sistem normatif yang ada.
Hakim-hakim progresif biasanya bertindak berdasarkan semangat itu. Bismar Siregar berkali-kali mengatakan, keadilan itu di atas hukum dan ia benar-benar bertindak, memutus atas dasar semangat itu. Namun, oleh komunitas hukum yang didominasi pikiran positivistik, Bismar sering disebut sebagai hakim kontroversial.
Begitu juga saat Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, embrio Komisi Pemberantasan Korupsi sekarang, ingin membawa beberapa hakim agung ke pengadilan, justru Tim yang akhirnya dibubarkan oleh sebuah putusan judicial review MA.
Progresivisme membutuhkan dukungan pencerahan pemikiran hukum dan itu bisa dilakukan oleh komunitas akademi yang progresif. Karena itu, bila dunia akademi tak segera berbenah diri, secara berseloroh ia bisa ditunjuk sebagai bagian "mafia status quo" juga (Dimanakah Pendidikan Hukum?, Kompas, 8/4/2004). Fakultas-fakultas hukum hendaknya selalu resah dan gelisah melihat nasib keterpurukan bangsanya dan segera mengubah siasat pembelajaran dan teori-teorinya agar secara progresif dan pro-aktif mengubah kultur komunitas profesi hukum di masa datang yang dekat.
Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum positif, tetapi selalu gelisah menanyakan "apa yang bisa saya lakukan dengan hukum ini untuk memberi keadilan kepada rakyat?". Singkat kata, ia tak ingin menjadi tawanan sistem dan undang-undang semata. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum.
Belajar dari Padang
Keberhasilan kekuatan progresif di Padang untuk menjatuhkan hukuman kepada anggota DPRD yang didakwa melakukan korupsi bisa memberikan inspirasi kepada kekuatan progresif di bagian lain negeri ini. Penegakan hukum di Padang telah menjalankan pekerjaannya dengan baik, bukan semata-mata karena peran kejaksaan dan pengadilan di daerah itu, tetapi merupakan hasil kerja sama dari banyak unsur kekuatan progresif di situ.
Cerita sukses dari Padang amat menarik karena tidak dimulai dari masalah hukum, tetapi dari menyebarnya penyakit busung lapar di Sumatera Barat, khususnya di Padang Pariaman dan Agam. Pada saat bersamaan DPRD Sumbar sibuk menyusun APBD yang ironisnya tidak berpikir untuk mengalokasikan dana guna mengatasi busung lapar yang disebabkan kekurangan gizi, tetapi untuk "mengisi saku" anggota sendiri. Inilah pemicu yang mengawali long march kekuatan-kekuatan progresif yang melayangkan tuduhan ketidakadilan yang dibuat DPRD.
Dinamika lokal di Padang mulai bergulir. Dinamika itu bertumpu pada aneka kekuatan progresif yang "beranggotakan" LBH Padang dan LSM-LSM lain. Perjuangan mereka tidak berjalan mulus, tetapi bergerak dari kegagalan satu ke yang lain. Mereka cepat belajar, diperlukan penggalangan kekuatan lebih besar. Maka, diperluaslah lingkaran dengan mengajak dunia akademi, mahasiswa, praktisi, pelaku ekonomi, dan publik. Akhirnya kejaksaan tinggi menyerah, proses hukum pun bergulir.
Sungguh suatu perjalanan (2001-2004) yang melelahkan, tetapi penuh dengan kekokohan semangat dan ideal. Daerah- daerah lain di negeri kita seyogianya belajar dari pengalaman Padang itu. Pesan amat penting yang mereka kirimkan terdiri dari tiga kata kunci: (1) jangan putus asa, (2) perluas kerja sama dan partisipasi sekalian komponen dalam masyarakat sebesar dan seluas mungkin, dan (3) aktif membentuk opini publik.
Kekuatan hukum progresif
Meski Indonesia sudah terkenal sebagai salah satu negara dengan sistem hukum yang amat buruk, tetapi kita tak dapat menutup mata bahwa masih ada kekuatan-kekuatan progresif di negeri ini. Mereka ada di kejaksaan, pengadilan, kepolisian, advokat, akademi, LSM, birokrasi, pelaku ekonomi, dan banyak lagi. Para pengamat, baik dari dalam maupun luar negeri, telah bersikap tidak adil dan jujur bila mengabaikan kenyataan dinamika lokal, seperti di Padang.
Hal lain yang amat menarik adalah pelaku-pelaku hukum progresif, sedikit (maaf) ditemukan di tingkat nasional, tetapi lebih banyak di tingkat lokal, di kalangan manusia dan pelaku kecil. Hakim-hakim progresif, seperti Amiruddin Zakaria, Teguh Prasetyo, dan Benyamin Mangkudilaga (saat ikut membatalkan pencabutan Siupp Tempo), bukanlah "hakim-hakim besar". Sayang, mereka orang-orang marjinal dan kian dipinggirkan bila tidak bersatu dan dipersatukan.
Penelitian Bank Dunia "Village Justice in Indonesia" (2004) yang mengoprek manusia-manusia kecil di tingkat lokal menemukan sejumlah idealis dan para vigilante (pejuang). Ada jaksa yang dengan inisiatif sendiri melakukan terobosan untuk mempercepat proses peradilan. Ada hakim yang tidak mau diajak korupsi meski akhirnya harus dikucilkan.
Bagaimana bila mereka bersatu atau disatukan? Kekuatan mereka akan menjadi lebih besar karena adanya keyakinan bahwa mereka tidak berjuang sendiri sehingga bukan tergolong "manusia aneh" lagi. Anda tidak sendiri!
Menyatukan kekuatan progresif tak perlu menunggu waktu lama karena esok hari pun sudah bisa terlaksana. Ia tak perlu menunggu lahirnya perhimpunan formal. Kekuatan mereka sudah terbangun melalui jaringan informal, getok tular (dari mulut ke mulut) melalui pembacaan media yang progresif. Boleh juga sesekali berkumpul untuk tukar pengalaman, saling berhubungan guna menambah sinergi.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0409/06/opini/1248188.htm
-------------
Artikel Lain
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi
-------------
Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!
--------------------
No comments:
Post a Comment