Wednesday, May 14, 2008

Multikulturalisme dan Negara-Nasion serta Kejahatan Transnasional dan Hukum Pidana Internasional





Multikulturalisme dan Negara-Nasion serta
Kejahatan Transnasional dan Hukum Pidana Internasional
(Pemikiran Awal dan Catatan untuk Direnungkan)



Oleh :
Mardjono Reksodiputro*




Pengantar

Kejahatan transnasional (transnational crimes) dan hukum pidana internasional (international criminal law) adalah dua istilah dan konsep (concept) yang sudah sering kita dengar. Juga istilah dan konsep globalisasi (globalization) sudah menjadi kata Indonesia yang sering ditulis atau diucapkan oleh media massa.

Tulisan ini bermaksud untuk menjajaki kembali konsep-konsep di atas dengan mengaitkannya dengan beberapa istilah dan konsep yang tidak begitu lazim dipergunakan atau didiskusikan oleh komunitas hukum di Indonesia. Akan dicoba pula untuk menunjukkan hubungan ini dalam konteks kekinian di Indonesia.

Adapun konsep-konsep yang akan dikaitkan adalah konsep multikulturalisme (multiculturalism), Nation-State paradigm dan transnational criminal law (hukum pidana transnasional).


Tantangan Globalisasi

Dikatakan oleh pemrakarsa Seminar Nasional ini (“Pengaruh Globalisasi terhadap Hukum Pidana dan Kriminologi menghadapi Kejahatan Transnasional”), bahwa “globalisasi” memunculkan kejahatan-kejahatan baru yang bersifat “transnasional”, dan hal ini memerlukan “pemahaman baru” untuk menanggulanginya (TOR, hal.1). Tetapi apakah yang kita maksud dengan globalisasi disini?

Pada umumnya kita memahami globalisasi sebagai suatu proses yang merujuk pada “ a single inter-dependent world in which capital, technology, people, ideas, and cultural influences flow across borders ...” (Holton, 1997). Ini berarti bahwa kita ini berangsur-angsur akan hidup dalam satu dunia (one world) di mana individu, kelompok dan bangsa (nation) menjadi lebih saling tergantung atau “interdependent” (Giddens, 2001).

Globalisasi yang kita alami ini bukanlah semata-mata suatu fenomena ekonomi (banyak yang merujuk pada peranan perusahaan-perusahaan raksasa transnasional-TNCs), tetapi merupakan gejala yang dibentuk oleh pengaruh bersama faktor-faktor politik, sosial, kultural dan ekonomi (Giddens, 2001).

Menurut saya globalisasi (yang menjadi salah satu faktor keprihatinan seminar ini) mempunyai dampak yang cukup signifikan untuk masyarakat Indonesia yang multikultural. Sesuai dengan Parsudi Suparlan (2004) saya pun berkeyakinan bahwa dalam alam demokrasi sekarang ini kita harus membangun masyarakat Indonesia dari “masyarakat majemuk” menjadi “masyarakat multikultural Indonesia”. Kesadaran ini perlu agar kita dapat mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari berbagai pengaruh globalisasi.


Masyarakat majemuk dan masyarakat multikultural

Globalisasi dirasakan oleh banyak kelompok masyarakat sebagai suatu kekuatan “yang menggilas segala sesuatu yang ada di jalannya” (suatu Juggernaut). Kekuatan ini membawa perubahan sosial besar yang menimbulkan ketidakpastian ekonomi dan kultural dunia (world economic and cultural insecurity). Di Indonesia ketidakpastian ini sudah terasa antara lain terlihat pada keprihatinan terhadap “kedaulatan ekonomi dan kebudayaan Indonesia” (perlawanan kelompok-kelompok masyarakat terhadap “kepemilikan asing” dan “kebudayaan asing”).

Globalisasi dikatakan juga mengancam konsep negara kesatuan yang berdasarkan “negara-nasion” (nation-state). Nasion Indonesia, yang merupakan ideologi NKRI, masih harus kita bentuk dari “masyarakat majemuk” (plural society) Indonesia, antara lain melalui semboyan kita “bhinneka tunggal ika” (beraneka ragam tetapi satu). Semboyan ini ingin menyatakan adanya “keanekaragaman suku, agama, bahasa dan berbagai aspek kebudayaan yang lain di Indonesia, akan tetapi tetap bersatu di dalam wadah keindonesiaan” (KBBI, 1989).

Suparlan menginginkan agar arti “bhineka tunggal ika” yang menekankan pada keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaan bangsa Indonesia, digeser penekanannya pada keanekaragaman kebudayaan. Sementara itu diupayakan melemahkan keanekaragaman dan kesukubangsaan. Juga suatu kebijakan politik secara nasional harus meletakkan posisi kebudayaan seperti apapun coraknya untuk berada dalam kesetaraan derajat, selama tindakan para pelaku yang mengacu pada kebudayaan tersebut tidak mengganggu, atau merugikan orang banyak dalam kehidupan masyarakat setempat (Suparlan, 2004, hal. 273-274).

Mengapa konsep-konsep di atas penting bagi kita?
Pertama, karena ada pendapat bahwa globalisasi itu akan mengubah dunia dan digambarkan sebagai “Juggernaut running out of control”. Kedua, kekuatan ekonomi globalisasi ini (“unstoppable economic Juggernaut) akan merusak (undermine) konsep negara-nasion (dalam hal kita konsep NKRI). Ketiga, hancurnya legitimasi konsep negara-nasion di dunia ditandai antara lain oleh berkembangnya terorisme internasional (Jeff Vail, 2005) dan “global (organized) crime”. Keempat, agar kita dapat lebih memahami berkembangnya kejahatan transnasional dan hukum pidana internasional serta dampaknya untuk masyarakat Indonesia.


Globalisasi sebagai Juggernaut

Pendekatan seperti ini merujuk pada contoh-contoh di dunia ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh “global capitalism” yang dikendalikan dan dimanipulasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional (MNC dan TNC). Juga yang turut mendorong perubahan-perubahan sosial di negara berkembang adalah perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, yang tentunya juga mempengaruhi kecepatan transaksi dalam pasar uang dunia (global finance market).

Dalam situasi seperti ini dapat dibayangkan, akan makin mudah berkembangnya perdagangan illegal senjata dan narkoba, yang merupakan kejahatan terorganisasi, serta mungkin juga terorisme (khususnya pembiayaan terorisme). Untuk Indonesia bahaya juga datang dari mudahnya melarikan aset hasil korupsi ke luar negeri, maupun bahaya “money laundering” untuk membiayai terorisme. Keadaan seperti ini memang mencemaskan dan dapat menimbulkan fatalisme (menyerah pada nasib), seolah-olah kita tidak dapat mengubah kekuatan globalisasi untuk menguntungkan kita.


Oleh karena itu pendapat bahwa globalisasi akan menjadi suatu “Juggernaut yang tidak terkendali” harus dilawan. Salah satu cara untuk melawan efek negatif dari Globalisasi adalah melalui kerjasama internasional.

Globalisasi dan konsep negara-nasion

Negara-nasion (nation-state) mendasarkan legitimasinya pada kemampuan memberikan rasa aman dan kesejahteraan (security and welfare) terhadap suatu sukubangsa yang homogin. Sukubangsa adalah golongan askriptif, yaitu dihasilkan dari ciri-ciri yang berdasarkan keturunan (keanggotaan didapat oleh seseorang bersamaan dengan kelahirannya, yaitu mengacu pada asal orang tua yang melahirkannya atau daerah tempat kelahirannya) (Suparlan, 2004, hal.12).

Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah sukubangsa, namun yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai suatu bangsa atau nasion. Masyarakat Indonesia ini dinamakan masyarakat majemuk (plural society). Pemahaman kita tentang masyarakat Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk, sebaiknya diganti dengan pemahaman bahwa kita adalah suatu masyarakat multikultural (dimana kebudayaan yang aneka ragam dihormati dan diberikan kesetaraan derajat).

Menurut Jeff Vail (2005) dalam model (paradigma) negara-nasion, maka kebangsaan seseorang itu adalah eksklusif, juga wilayah politiknya eksklusif (tidak dapat tumpang-tindih) dan seharusnya pula hanya didiami oleh penduduk dari satu sukubangsa. Hal yang ideal ini tidak pernah ada karena kebanyakan negara itu terdiri dari berbagai sukubangsa. Giddens (2001) menamakan negara-negara seperti ini sebagai bercorak “multiethnic populations”. Masyarakat yang multietnik ini mencoba melakukan integrasi untuk menghindari dis-integrasi negaranya. Adapun model-model utama melakukan integrasi etnik adalah: asimilasi, “the melting pot”, dan pluralisme.

Asimilasi adalah cara di mana golongan minoritas diharapkan meninggalkan “kebudayaan aslinya” dan menyesuaikan diri pada nilai dan norma golongan mayoritas. Sedangkan dalam model “melting pot”, kebudayaan golongan minoritas tidak dilebur ke dalam kebudayaan dominan, tetapi dilebur menjadi kebudayaan baru yang disesuaikan dengan lingkungan yang baru. Model ketiga adalah “cultural pluralisme”, membangun suatu masyarakat majemuk yang mengakui kesetaraan dari keanekaragaman kebudayaan yang ada. Golongan minoritas etnik (sukubangsa) mempunyai derajat kesetaraan yang sama dengan golongan mayoritas etnik (Giddens, 2001 hal. 256-257). Yang terakhir ini yang juga dimaksudkan oleh Suparlan sebagai ideologi multikultural.

Berbeda pendapat dengan Veil, maka saya sependapat dengan Suparlan bahwa multikulturalisme tidak akan merusak atau mengganggu negara-nasion, yang masyarakatnya terdiri dari berbagai sukubangsa atau golongan etnik. Malahan dalam negara demokrasi di mana ada supremasi hukum, maka pengakuan akan kesetaraan derajat dari berbagai kebudayaan dan perlindungan hukum yang diberikan, akan membantu memperkuat masyarakat tersebut terhadap kemungkinan pengaruh merusak dari kekuatan ekonomi globalisasi.


Negara-nasion dan terorisme internasional

Veil berpendapat bahwa rusaknya legitimasi negara-nasion terlihat antara lain dengan fenomena terorisme internasional. Dikatakannya:
“... the decline of the Nation-State System has opened the door to a fundamentally new kind of “barbarian”... the phenomena of international terrorism is the most visible example... The watershed innovation of today’s terrorism is not its military efficacy, however but its use of rhizome structure to confront the hierarchal establishment.” (Veil, 2005, hal.17)

Veil dalam pendapatnya diatas mempergunakan konsep “rhizome” sebagai lawan dari “hierarchy”. Hierarki adalah urutan kepangkatan atau jabatan dalam suatu organisasi dan merupakan struktur baku dalam pola organisasi. Sedangkan rhizome (baca “raizeum”, batang tanaman merambat ditanah, dengan akar dan daun yang tumbuh dari padanya) adalah suatu prinsip non-hierarki dari suatu organisasi, polanya bercorak “intererconnected but independent network of entities”. Veil menggambarkan organisasi teroris ETA dari sukubangsa Basque di Sepanyol dan juga pertentangan yang ada di Irak antara sukubangsa Irak-Syia (mayoritas) dengan sukubangsa Irak-Sunni (minoritas), sebagai contoh bagaimana jatuhnya legitimasi negara-nasion dapat menimbulkan konflik antar sukubangsa dalam suatu negara (kesatuan).

Negara dapat kita lihat sebagai “security provider” bagi penduduk dalam daerahnya, juga negara mempunyai “domestic monopoly on the use of violence”. Apa yang kita lihat akhir-akhir ini adalah bahwa terorisme telah meniadakan kedua asas diatas. Organisasi teroris menurut Veil telah bekerja dengan pola organisasi rhizome, kelompok-kelompok yang berkaitan dan merupakan jaringan, tetapi masing-masing mempunyai lagi jaringan independen.

Bahaya pola organisasi terorisme ini terutama mengancam negara-negara yang kehilangan legitimasi dari penduduknya (terutama bila ada berbagai sukubangsa) dan ini disebabkan karena proses globalisasi. Dalam gambaran ini globalisasi diperkirakan akan memperlebar perbedaan antara negara kaya dengan negara miskin. Menurut Veil, globalisasi akan mengubah Nation-State menjadi “Market-State” (di mana “powerful market interest exert their influence on the state... to the benefit of their selfish interest”). Dikatakannya lagi “In the end ... the Market-State ... also maximize disparity between an increasingly rich and powerful few with the increasingly impoverish masses. Ultimately, this disparity and economic desperation is the fuel that supports the reactionary flame of terrorisme” (Veil, 2005, 2005, hal 16-17).


Globalisasi dan Global Organized Crime

Organisasi dengan pola rhizome juga terjadi pada kejahatan transnasional. Mengikuti proses globalisasi yang terjadi di bidang ekonomi, maka organisasi kriminal sekarang juga punya jaringan global, infrastruktur komunikasi dan hubungan-hubungan internasional dalam kegiatan kejahatannya. Hubungan-hubungan melalui jaringan global ini memungkinkannya untuk membuka pasar-pasar baru untuk barang dan jasa illegalnya. Dilaporkan bahwa dewasa ini ada lima kelompok utama dalam “international organized crime groups”: Mafia Italia, Kartel Columbia dan Mexico, Mafiya Rusia, Triad Asia dan Usaha Kriminal Nigeria (Global Organized Crime-GOC).

Mengikuti perkembangan perusahaan-perusahaan transional (TNC), maka organisasi kriminal yang beroperasi trans-nasional juga mempergunakan “high-speed modems and encrypted faxes”. Selanjutnya dikatakan oleh Senator John Kerry (Ketua Subkomite di Senat Amerika Serikat): “In strategy, sophistication, and reach the criminal organizations . . . function like transnational corporations ... By its nature, crime adapts fast to changing circumstances.” (GOC).

Kalau kita bicara tentang kejahatan transnasional maka kita sebenarnya berbicara tentang kejahatan terorganisasi (disingkat KTO) yang mempunyai jaringan global atau jaringan trans-nasional. Untuk keperluan makalah ini maka istilah dan konsep “global organized crime”, “transnational organized crime” dan “international organized crime” dianggap sama dan untuk mudahnya dipergunakan istilah “kejahatan terorganisasi global” (KTO Global).

Dikatakan (Louise Shelley, 1997) bahwa terdapat persamaan antara perusahaan trans-nasional (TNC) atau multinasional (MNC) dengan kelompok KTO global, meskipun dalam bentuk sebaliknya:
“International organized crime groups are the reverse of legitimate multi-national corporations. Most MNCs are based in the industrialized world and market to developing world, whereas transnational organized crime groups are largely based in developing countries and market to the developed world. Extremely profitable, they are even harder to regulate than the MNCs ... the incentives for control are not there. Many countries lack economic alternatives and crime groups become dominant economic and political forces ... High level corruption also impedes action against these groups.”

Gambaran di atas mungkin bukan pertama kalinya kita dengar, tetapi apakah kita pernah membayangkan bahwa KTO global menjadi “... dominant economic and political forces” yang dapat “mengatur” kebijakan-kebijakan pemerintah kita, serupa yang dilakukan oleh TNC dan MNC melalui jalur-jalur politik dalam negeri mereka? Sungguh menakutkan pengaruh globalisasi yang dibarengi oleh KTO global ini. Perhatikan apa dikatakan Shelley (1997) dalam testimoninya kepada Kongres Amerika Serikat:
“the impact of transnational organized crime is not uniform. Organized crime can destabilize even major economic suchs as Japan and Italy, as the 1990 has shown, but the cost are even more devastating for transitional states. Organized crime groups often supplant the state in societies in transition to democracy, their representatives assume key position in the incipient legislatures which need to craft the new legal framework for the society. Key officials are targeted by the international crime groups. Judges ... and police, are highly susceptible to bribes. Cabinet minister cost more but are worth the investment.”

Kejahatan transnasional dan Transnational Criminal Law

Kita mengenal konsep “transnational crime” sebagai suatu konsep generik yang mencakup berbagai bentuk kegiatan kriminal. Sebagaimana pula konsep “white collar crime” (Sutherland), maka “transnational crime” adalah suatu konsep kriminologi/sosiologi dan bukan konsep yuridis. Yang dimaksud di sini adalah “certain criminal phenomena transcending international boders, transgressing the laws of national states or having an impact on another country” (Neil Boiters, 2003, h. 954).

Bolster juga menyimpulkan bahwa “At its simplest, ... , transnational crime describes conduct that has actual or potential trans-boundary effects of national and international concerns” Definisi ini dipergunakannya untuk mengakomodasi kritik-kritik yang mengatakan bahwa konsep kejahatan transnasional ini belum tentu melampaui batas-batas negara, misalnya dalam hal peredaran narkoba yang sangat tergantung pada “produksi narkoba nasional (domestik)” dan juga bahwa banyak “transnational organized crime” (KTO Global) itu “menguasai” ekonomi domestik (lokal). Karena itulah Boister mendefinisikan KTO Global ini sebagai “kejahatan yang secara nyata atau potensial mempunyai efek lintas-batas negara dan menimbulkan keprihatinan nasional maupun internasional”.

Pemahaman atas definisi Boister ini penting, karena dia ingin mengusulkan adanya istilah dan konsep baru yaitu “transnational criminal law” (hukum pidana transnasional). Alasannya antara lain adalah bahwa dewasa ini dapat dibedakan dan dipisahkan antara “international criminal law stricto sensu (dalam arti sempit) yang memuat “core crimes”, yang berbeda dari “crimes of international concern”, yang juga dinamakan “treaty crimes”. Yang terakhir inilah yang ingin dinamakan Boister sebagai perhatian “transnational criminal law” (hukum pidana transnasional). Dengan demikian akan diperoleh padanan doktrinal untuk konsep kriminologi “transnational crime”. (h. 953)

Dikatakan pula oleh Boister bahwa “transnational criminal law” ini dapat disandingkan dengan istilah “transnational law”. Yang terakhir ini adalah “law which regulates actions or events that transcend national frontiers”. Dengan mempergunakan konsep terakhir ini, maka menurut Boister, hukum pidana transnasional meliputi semua hukum pidana yang tidak dapat sepenuhnya termasuk dalam hukum pidana suatu negara (“all criminal law not completely confined to a single national entity”) (h. 955).

Dengan adanya Statuta Roma yang membentuk International Criminal Court (ICC), maka perbedaan antara International Criminal Law stricto sensu (ICL) dengan Transnational Criminal Law (TCL) menjadi lebih penting. Dalam Statuta Roma (SR) maka yurisdiksi ICC adalah (hanya) “offences that are firmly established in customary international law”, sedangkan TCL mencakup “treaty crimes” yang dikecualikan dari yurisdiksi ICC (Boister, h. 962).

Yang membedakan pula ICL dengan TCL adalah bahwa “core crimes” (genocide, aggression, serious violation of armed conflict, crimes against humanity) menimbulkan pertanggungjawaban pidana meskipun tidak ada padanannya dalam hukum pidana nasional (domestik). Dalam hal TCL tidak ada pertanggungjawaban pidana di bawah hukum internasional. Disini yang ada hanya kesepakatan kewajiban antar negara untuk menentukan, perbuatan tersebut sebagai kejahatan dalam hukum pidana nasional. Berbeda dengan pelaku “core crimes” yang sekarang menurut SR dan ICL dapat dituntut di muka ICC (dengan “individual penal responsibility in terms of international law”), maka pelaku kejahatan transnasional di bawah TCL berada di bawah yurisdiksi nasional, baik pengadilannya maupun pertanggungjawaban pidananya. Boister menambahkan bahwa meskipun ICC memang dirancang untuk “core crimes” dibawah ICL, namun hal itu jangan jadi penghalang untuk membentuk “ad-hoc international tribunals” untuk mengadili pelangaran sangat serious dari “treaty crimes”. Dia mengajukan alasan pembentukan “ad-hoc tribunal” ini (diluar ICC) sebagai tindakan “direct enforcement of a newly promoted core crime”. Sebagai contoh dia mengajukan terorisme internasional:
“... particular transnational crimes may change status and be reclassified as international crime should international society agree that such reclassification is necessary. ... Accurrent example is large-scale terrorisme, which arguably threatens not only national but international peace and security and engages not only transnational but international moral reprobation.” (hal. 962, 972). Dan dia mengutip pendapat Prof. Antonio Cassese dalam forum diskusi tentang kejadian 11 September 2001, sebagai berikut: “... trans-national state-sponsored or state-condoned terrorisme amounts to an international crime, ... and prohibited by international customary law as a distinct category of such crimes” (note no. 100).



Kesimpulan

Di muka telah dikemukakan bahwa dalam makalah ini saya akan mencoba untuk membicarakan permasalahan Kejahatan Transnasional dan Hukum Pidana Internasional serta globalisasi, dengan mendekatinya melalui konsep “Multiculturalisme”, “Nation-State paradigm”dan “Transnational Criminal Law”.

Pemahaman kita tentang globalisasi menunjukkan bahwa dampaknya akan cukup signifikan bagi masyarakat Indonesia. meskipun globalisasi umumnya dikaitkan dengan pengaruh ekonominya (peranan dari TNC dan MNC), namun pengaruh politik, sosial dan kulturalnya pun perlu diperhatikan dan dikaji. Terutama untuk bidang kriminologi dan hukum pidana pendekatan ini membawa beberapa dimensi baru dalam pengkajian globalisasi kita terhadap kejahatan nasional, transnasional dan internasional.

Mempersamakan globalisasi dengan Juggernaut, suatu kekuatan (force) dalam bentuk proses yang “menggilas” semua yang menghambatnya, tidaklah harus berarti bahwa kita harus menolaknya, tetapi juga tidak berarti kita harus menerima secara pasrah (fatalisme). Pemahaman kita akan efeknya terhadap negara kesatuan (NKRI), mewajibkan kita untuk memperkuat “masyarakat majemuk Indonesia” agar tidak terdisintegrasi.

Konsep baru tentang masyarakat majemuk atau “multiethnic society” adalah dengan mendekatinya sebagai masyarakat multikultural. Pendekatan ini akan menggeser penekanan terhadap keanekaragaman “suku bangsa”, menjadi penekanan terhadap keanekaragaman “kebudayaan”. Berbarengan dengan itu keanekaragaman kesukubangsaan diperlemah dan disamping itu harus dibangun konsensus serta kebijakan politik secara nasional, untuk meletakkan posisi kebudayaan seperti apapun coraknya, berada dalam kesetaraan derajat. Cara memperkuat masyarakat majemuk Indonesia ini adalah untuk menghindari bahwa globalisasi akan berpengaruh pada “rasa kesukubangsaan” dan menimbulkan konflik antara sukubangsa (“ethnic conflict”) seperti beberapa kali terjadi di Indonesia. Pendekatakan ideologi multikultural yang dianjurkan oleh Parsudi Suparlan diharapkan dapat memperkuat “negara-nasion” dengan nasion (bangsa) Indonesia sebagai penghuninya. (NKRI)





Terorisme internasional adalah salah satu kejahatan transnasional yang dapat membahayakan NKRI. Kejahatan ini termasuk dalam kategori “transnational organized crime” atau dinamakan juga “global organized crime” dan dalam istilah Mardjono Reksodiputrotermasuk “kejahatan terorganisasi berdimensi global” (KTO Global). Kelompok-kelompok dalam KTO Global ini harus diwaspadai, karena seperti kata Shelley kelompok-kelompok ini boleh jadi merupakan “dominant economic and political forces” yang dalam masyarakat yang berada “in trasition to democracy” menginfiltrasi pemerintahan dan menyuap para pejabat, hakim dan penegak hukum lainnya.

Bahaya KTO Global ini bagi Indonesia adalah bahwa mereka dapat mengobarkan konflik antara sukubangsa (termasuk antar golongan atau kelompok agama), mempersenjatai kelompok-kelompok yang bertikai melalui penjualan senjata illegal, mencari dana melalui penjualan narkoba, “trafficking” dan korupsi (penyuapan pejabat untuk memperoleh fasilitas perdagangan, dll), serta membantu melarikan aset hasil korupsi ke luar negeri (antara lain melalui “money laundering”).

Yang terakhir ini (melarikan aset koruptor ke luar negeri) membawa kita pada konsep “Stolen Asset Recovery” (StAR), yang merupakan prakarsa (initiative) dari UNODC (United Nations Office of Drugs and Crime) dan WBG (World Bank Group) untuk melawan korupsi. Prakarsa ini merupakan tindak lanjut dari sejumlah konvensi internasional dan/atau perjanjian internasional (treaty) yang mengikat pula Indonesia. Misalnya, tentang pembajakan pesawat udara (Hijacking Convention, 1970), UN Convention Against Transnational Organized Crime (2003) dan UN Convention Against Corruption (UNCAC), 2003). Indonesia yang telah meratifikasi UNCAC (dengan UU No. 7/2006) tentunya mempunyai harapan agar StAR Initiative dapat membantu pengembalian aset hasil korupsi di Indonesia yang dilarikan ke luar negeri.


Harapan Indonesia untuk memanfaatkan StAR Initiative ini memerlukan kita lebih memahami (dengan melakukan penelitian dan kajian kasus) bagaimana bekerjanya kejahatan transnasional korupsi ini di negara kita. Uraian dan catatan diatas mudah-mudahan dapat membantu dibangunnya di Indonesia suatu “Center for Transnational Organized Crime and Corruption”, sebagaimana pusat penelitian dan kebijakan yang dipimpin oleh Prof. Louise Shelley.


Bandung, 17 Maret 2008
Disampaikan dalam Seminar Nasional
“Pengaruh Globalisasi terhadap Hukum Pidana
dan Kriminologi menghadapi Kejahatan
Transnasional”, yang diselenggarakan oleh
Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan
Kriminologi Indonesia (ASPEHUPIKI)
(aspehupiki @ yahoo.com)


Bahan Pustaka Acuan

1. Atmasasmita, Romli, 1995, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung : Eresco

2. Boister, Neil, 2003, “Transnational Criminal Law?”, EJIL, Vol.14, No.5.

3. Giddens, Antnony, 2001, Sosiology, Fourth Edition, Cambridge : Polity Press

4. “Global Organized Crime : The Emergence of Global Organized Crime and its Transnational Influence” (tanpa pengarang), (http: // www.american.edu/projects/mandala/TED/hpages/crime/teat3. htm)

5. Holton, Robert J. “Some Myths About Globalization” (Sociology, Flinders University of South Australia), (http: // www.unisanet.unisa.edu.au/herdsa97/holton.htm)

6. Jurnal Hukum Internasional, 2006, International Humanitarian Law and Human Rights, Volume 4 Nomor 1 (Oktober)

7. ----------------------, 2007, International Crime, Volume 5 Nomor 1 (Oktober)

8. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1989, Balai Pustaka

9. Komisi Hukum Nasional, 2008, Newsletter, Laporan Khusus Seminar Pengkajian Hukum Nasional (StAR Initiave, Volume 8 Nomor 1 (Januari-Februari)

10. Sabadan, Daan dan Kunarto, 1999, Kejahatan Berdimensi Baru, Jakarta: Cipta Manunggal

11. Shelley, Louise, 1997, “Threat from International Organized Crime and Terrorism” (Congressional Testimony, Homeland Security) (http: // www.global security.org/security/library/congress/1997h/h 971/00//s.htm)

12. Suparlan, Parsudi, 2004, Hubungan Antar Sukubangsa, Jakarta : Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian (YPKIK)



13. Terms of Reference (TOR) Seminar Nasional “Pengaruh globalisasi terhadap Hukum Pidana dan Kriminologi menghadapi Kejahatan Transnasional” (untuk Seminar 17-18 Maret 2008, di Bandung, diselenggarakan oleh ASPEHUPIKI)

14. Veil, Jeff, 2005, “The New Map : Terrorism and the Decline of the Nation-State in a Post-Cartesian World” dalam rhizome : Weekly notes on the emergent system, geopolities, energy & philosophy (Monday, September 26)

*MARDJONO REKSODIPUTRO. Lahir di Blitar, Jawa Timur, 13 Maret 1937. Pensiunan gurubesar Universitas Indonesia. Sekarang menjabat Ketua Program Kekhususan Hukum Pidana pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan Sekretaris Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia serta Teman Serikat pada Kantor Konsultan Hukum Ali Budiardjo Nugroho Reksodiputro. Mantan Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1996-2006), mantan Sekretaris dan kemudian Ketua Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990-2002), Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1984-1990). Pensiun sebagai gurubesar gol IV/e pada bulan Maret tahun 2002.














-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi




-------------





Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!







--------------------

No comments:

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...