Oleh
M Jodi Santoso
M Jodi Santoso
Pada 19 Oktober
2012, The Financial Action Task Force (FATF) merilis Public Statement tentang High-risk and non-cooperative jurisdictions
yang isinya adalah hasil identifikasi terhadap negara-negara yang beresiko
tinggi dan non kooperatif (High-risk and
non-cooperative jurisdictions) dalam melindungi sistem keuangaan
internasional dari pencucian uang dan pendanaan terorisme. FATF dalam Publik Statement tersebut
mengidentifikasi dua kelompok negara. Pertama, negara-negara yang
diminta untuk menerapkan langkah-langkah pemberantasan yaitu Irak dan Korea
Utara. Kedua, negara-negara yang
diminta untuk mempertimbangkan resiko yang ditimbulkan atas kekurangan strategi
anti pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme (anti-money laundering and combating the financing of terrorism -
AML/CFT).
Indonesia merupakan
salah satu dari 17 negara yang masuk dalam kelompok kedua dan diidentifikasi sebagai negara yang
belum ada kemajuan yang siknifikan untuk mengatasi kekurangan strategi serta
tidak ada komitmen untuk mengembangkan rencana aksi anti pencucian uang dan
pemberantasan pendanaan terorisme. Terhadap Indonesia, FATF menyerukan agar :
(1)mengkriminalkan
pendanaan terorisme; (2)menetapkan prosedur identifikasi dan pembekuan aset
teroris; dan (3)mengubah dan menerapkan undang-undang atau instrumen hukum lainnya untuk melaksanakan
Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999 (International Convention for The Suppression of the Financing
of Terrorism,
1999). Secara khusus FATF mendorong Indonesia untuk mengesahkan undang-undang tentang
pemberantasan pendanaan terorisme.
Sebelumnya, pada
Februari 2012, FATF mengeluarkan International
Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism &
Proliferation (the FATF
Recommendations) sebagai revisi atas 40
Recomendation + 9 Special Recommendations/SR (40 R + IX SR) yang dikeluarkan pada 2004. Pada 40 Recommendation Tahun 2012 ini, FATF mengintegrasikan pemberantasan terorisme dan anti money laundring serta memasukkan counter-financial proliferation. Bagian
C tentang Terrorist Financing and
Financing of Proliferation secara khusus memuat : Rekomendasi 5 tentang Terrorist financing offence (sebelumnya
SRII), Rekomendasi 6 tentang Targeted
Financial Sanctions Related to Terrorism & Terrorist Financing (sebelumnya
SRIII), Rekomendasi 7 tentang Targeted Financial
Sanctions Related to Proliferation (rekomendasi baru), dan Rekomendasi
8 tentang Non-profit organisations (sebelumnya SRVIII).
Terlepas seberapa
besar pengaruh internasional, pasca rilis revisi 40 Rekomendasi dan Public Statement yang dikeluarkan oleh
FAFT tersebut, di Indonesia ramai membahas RUU tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang lama mengendap di DPR. Meski sebelumnya, Indonesia telah
mengesahkan International Convention for the Suppression of the
Financing of Terrorism, 1999 berdasarkan UU No 6 Tahun 2006 serta Bank
Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan antara lain Peraturan BI No. 11/28/PBI/2009 beserta Surat Edaran Bank
Indonesia No.11/31/DPNP dan Peraturan BI No. 12/20/PBI/2010 beserta Surat
Edaran Bank Indonesia No.13/14/DKBU/2011 yang intinya tentang penerapan program
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi bank,
tatapi hal tersebut dianggap belum cukup untuk menjadikan
Indonesia bebas dari penilaian negatif dunia internasional berkaitan
perlindungan transaksi keuangan intenasional. Pada 12 Februari
2013, RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme disahkan menjadi undang-undang. Pengesahan RUU tersebut tidak hanya
untuk memberantas dan mengantisipasi terorisme dan pendanaan terorisme tetapi
lebih luas dari itu Indonesia tidak masuk dalam daftar negara yang beresiko
dalam sistem transaksi keuangan internasional.
Cakupan
Tindak Pidana Pendanaan Teroris
Dalam UU 15 Tahun 2003
(Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) hanya dua Pasal yang secara
tegas mengatur pendanaan terorisme yaitu tindak pidana bagi orang yang sengaja
menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut
diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak
pidana terorisme (Pasal 11) dan untuk mendapakan bahan kimia dan pemusnah serta
tindak pidana lain (Pasal 12).
Ketentuan kedua Pasal
tersebut dianggap kurang memadai karena hanya menjerat pendanaan terhadap
tindakan terorisme (terrorist act) belum
menjangkau pada finansial teroris individu atau organisasi terorisme. Upaya
konvensional selama ini dengan mengejar pelaku tindak pidana terorisme (follow the suspect) dianggap
belum mampu menghentikan kelompok terorisme yang terus mengalami perkembangbiakan dan menghasilkan jaringan
atau sel baru (proliferasi). Salah
satu cara lain yang digunakan adalah menelusuri aliran
dana (follow the money) yang dianggap sebagai “darah” untuk menghidupi kegiatan terorisme (life blood of the terrorism). Dengan kata lain, pemberantasan
terorisme tidak cukup dengan menumpahkan darah para teroris tetapi juga
menelusuri dan memutus “aliran darah kehidupan” terorisme.
Dalam Rekomendasi
FATF, pencegahan
dan pemberantasan
pendanaan terorisme juga mencakup organisasi teroris atau teroris individu
meski tanpa ada ikatan khusus dengan tindakan terorisme (Rekomenasi 5/SRII) dan
dilakukan pembekuan tanpa penundaan/freeze
without delay (Rekomendasi 6/SIII). Pembekuan tanpa penundaan juga
dilakukan terhadap pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal (Rekomendasi 7).
Perluasan cakupan
pendanaan tindak pidana terorisme juga berkaitan dengan peran lembaga nirlaba (non-provit organisation). FATF dalam
Rekomendasi 8 menilai, organisasi nirlaba sangat rentan, dan negara-negara harus
memastikan bahwa mereka tidak dapat disalahgunakan, untuk itu
FATF menghimbau negara-negara untuk meninjau peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan entitas-entitas yang dapat disalah gunakan untuk pendanaan
terorisme, yaitu: (a)
oleh organisasi teroris menyamar sebagai entitas yang sah; (b)
mengeksploitasi badan usaha yang sah sebagai sarana pendanaan teroris, termasuk untuk tujuan melarikan asset dari upaya pembekuan, dan (c) untuk menyembunyikan atau menyamarkan pengiriman dana gelap untuk organisasi teroris.
mengeksploitasi badan usaha yang sah sebagai sarana pendanaan teroris, termasuk untuk tujuan melarikan asset dari upaya pembekuan, dan (c) untuk menyembunyikan atau menyamarkan pengiriman dana gelap untuk organisasi teroris.
Di
Indonesia, pengawasan secara represif terhadap organisasi kemasyarakatan atau
lembaga non provit perlu dilakukan pembatasan secara ketat. Hal ini didasarkan
pada fakta, bahwa pendanaan terorisme tidak hanya bersumber dari dana haram
atau hasil kejahatan seperti merampok bank atau kejahatan lain (yang sering
dimaknai secara salah oleh kelompok teroris sebagai Fa’i) dan bersumber dari
sumber dana yang halal.
Kontrol Terhadap Upaya Paksa
Dalam
pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme, dibutuhkan kerjasama antar
lembaga. Kepolisian tidak dapat melakukan tugas sendirian tetapi harus bekerja
sama dengan lembaga lain seperti lembaga-lembaga keuangan, PPATK dan lembaga
intelijen lainnya. Dalam pembekuan dana dan aset yang diduga berkaitan dengan
pendanaan terorisme, kepolisian dapat melakukan pemblokiran dan pembekuan dana
dan aset melalui izin Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam
praktik peradilan selama ini, kontol Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Hakim dalam
proses praajudikasi antara lain diatur dalam KUHAP tentang Ijin melakukan Upaya Paksa dan Praperadilan serta
dalam UU
Anti Terorisme (UU No. 15 Tahun 2003/Perpu No. 1 Tahun 2002) yang mengatur pranata Hearing (Ketua atau Wakil Ketua PN) yang
berwenang menetapkan laporan
intelijen sebagai bukti permulaan yang cukup.
Mengacu
pada praktik peradilan selama ini, pengaturan tentang peran Ketua PN dalam
memberikan izin upaya paksa aparat penegak hukum seperti pemblokiran dan
pembekuan dana dan aset terorisme dikhawatirkan hanya sebagai upaya
adminsitrasi untuk memenuhi syarat formal penyidikan. Praktik demikian
mereduksi esesi kotrol antar subsistem dalam sistem peradilan pidana dalam hal
ini kontrol Ketua Pengadilan Negeri terhadap upaya paksa aparat penegak hukum. Izin
Ketua Pengadilan Negeri yang hanya bersifat administrasi demikian berpotensi
sebagai sarana legitimasi tindakan semena-mena aparat penegak hukum. Untuk
menghindari hal demikian, maka seharusnya Ketua Pengadilan Negeri melakukan
fungsi kontrol secara penuh agar Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme tidak dijadikan sarana
mengontrol individu dan lembaga nirlaba secara semena-mena dan represif untuk
kepentingan selain yang dimaksud dalam pembentukan undang-undang.
* Tweets To @jodi_santos
* CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)
* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi ------------- -
3 comments:
a good article.
Dukung Penengakan Hukum di Indonesia.
Dukung Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Post a Comment