Thursday, July 18, 2013

Memutus “Aliran Darah” Terorisme


Oleh
M Jodi Santoso

\
Sumber: Newsletter KHN

Pada 19 Oktober 2012,  The Financial Action Task Force (FATF) merilis Public Statement tentang  High-risk and non-cooperative jurisdictions yang isinya adalah hasil identifikasi terhadap negara-negara yang beresiko tinggi dan non kooperatif (High-risk and non-cooperative jurisdictions) dalam melindungi sistem keuangaan internasional dari pencucian uang dan pendanaan terorisme. FATF dalam Publik Statement tersebut mengidentifikasi dua kelompok negara. Pertama, negara-negara yang diminta untuk menerapkan langkah-langkah pemberantasan yaitu Irak dan Korea Utara. Kedua, negara-negara yang diminta untuk mempertimbangkan resiko yang ditimbulkan atas kekurangan strategi anti pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme (anti-money laundering and combating the financing of terrorism - AML/CFT).
Indonesia merupakan salah satu dari 17 negara yang masuk dalam kelompok kedua dan diidentifikasi sebagai negara yang belum ada kemajuan yang siknifikan untuk mengatasi kekurangan strategi serta tidak ada komitmen untuk mengembangkan rencana aksi anti pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme. Terhadap Indonesia, FATF menyerukan agar : (1)mengkriminalkan pendanaan terorisme; (2)menetapkan prosedur identifikasi dan pembekuan aset teroris; dan (3)mengubah dan menerapkan undang-undang atau instrumen hukum lainnya untuk melaksanakan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999 (International Convention for The Suppression of the Financing of Terrorism, 1999). Secara khusus FATF mendorong Indonesia untuk mengesahkan undang-undang tentang pemberantasan pendanaan terorisme.
Sebelumnya, pada Februari 2012, FATF mengeluarkan International Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism & Proliferation (the FATF Recommendations) sebagai revisi atas 40 Recomendation + 9 Special Recommendations/SR (40 R + IX SR)  yang dikeluarkan pada 2004. Pada 40 Recommendation Tahun 2012 ini, FATF mengintegrasikan pemberantasan terorisme dan anti money laundring serta memasukkan counter-financial proliferation. Bagian C tentang Terrorist Financing and Financing of Proliferation secara khusus memuat : Rekomendasi 5 tentang Terrorist financing offence (sebelumnya SRII), Rekomendasi 6 tentang Targeted Financial Sanctions Related to Terrorism & Terrorist Financing (sebelumnya SRIII), Rekomendasi 7 tentang Targeted Financial Sanctions Related to Proliferation (rekomendasi baru), dan Rekomendasi 8 tentang Non-profit organisations (sebelumnya SRVIII).

Terlepas seberapa besar pengaruh internasional, pasca rilis revisi 40 Rekomendasi dan Public Statement yang dikeluarkan oleh FAFT tersebut, di Indonesia ramai membahas RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang lama mengendap di DPR.  Meski sebelumnya, Indonesia telah mengesahkan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999  berdasarkan UU No 6 Tahun 2006 serta Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan antara lain Peraturan BI No. 11/28/PBI/2009 beserta Surat Edaran Bank Indonesia No.11/31/DPNP dan  Peraturan BI No. 12/20/PBI/2010 beserta Surat Edaran Bank Indonesia No.13/14/DKBU/2011 yang intinya tentang penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi bank, tatapi hal tersebut dianggap belum cukup untuk menjadikan Indonesia bebas dari penilaian negatif dunia internasional berkaitan perlindungan transaksi keuangan intenasional.  Pada 12 Februari 2013, RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme disahkan menjadi undang-undang. Pengesahan RUU tersebut tidak hanya untuk memberantas dan mengantisipasi terorisme dan pendanaan terorisme tetapi lebih luas dari itu Indonesia tidak masuk dalam daftar negara yang beresiko dalam sistem transaksi keuangan internasional.  



Cakupan Tindak Pidana Pendanaan Teroris

Dalam UU 15 Tahun 2003 (Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) hanya dua Pasal yang secara tegas mengatur pendanaan terorisme yaitu tindak pidana bagi orang yang sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme (Pasal 11) dan untuk mendapakan bahan kimia dan pemusnah serta tindak pidana lain (Pasal 12).

Ketentuan kedua Pasal tersebut dianggap kurang memadai karena hanya menjerat pendanaan terhadap tindakan terorisme (terrorist act) belum menjangkau pada finansial teroris individu atau organisasi terorisme. Upaya konvensional selama ini dengan mengejar pelaku tindak pidana terorisme (follow the suspect) dianggap belum mampu menghentikan kelompok terorisme yang terus mengalami perkembangbiakan dan menghasilkan jaringan atau sel baru (proliferasi). Salah satu cara lain yang digunakan adalah menelusuri aliran dana (follow the money) yang dianggap sebagai “darah” untuk menghidupi kegiatan terorisme (life blood of the terrorism). Dengan kata lain, pemberantasan terorisme tidak cukup dengan menumpahkan darah para teroris tetapi juga menelusuri dan memutus “aliran darah kehidupan” terorisme.
Dalam Rekomendasi FATF, pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme juga mencakup organisasi teroris atau teroris individu meski tanpa ada ikatan khusus dengan tindakan terorisme (Rekomenasi 5/SRII) dan dilakukan pembekuan tanpa penundaan/freeze without delay (Rekomendasi 6/SIII). Pembekuan tanpa penundaan juga dilakukan terhadap pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal (Rekomendasi 7).
Perluasan cakupan pendanaan tindak pidana terorisme juga berkaitan dengan peran lembaga nirlaba (non-provit organisation). FATF dalam Rekomendasi 8 menilai, organisasi nirlaba sangat rentan, dan negara-negara harus memastikan bahwa mereka tidak dapat disalahgunakan, untuk itu FATF menghimbau negara-negara untuk meninjau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan entitas-entitas yang dapat disalah gunakan untuk pendanaan terorisme, yaitu: (a) oleh organisasi teroris menyamar sebagai entitas yang sah; (b)
mengeksploitasi badan usaha yang sah sebagai
sarana pendanaan teroris, termasuk untuk tujuan melarikan asset dari upaya pembekuan, dan (c) untuk menyembunyikan atau menyamarkan pengiriman dana gelap untuk organisasi teroris.
Di Indonesia, pengawasan secara represif terhadap organisasi kemasyarakatan atau lembaga non provit perlu dilakukan pembatasan secara ketat. Hal ini didasarkan pada fakta, bahwa pendanaan terorisme tidak hanya bersumber dari dana haram atau hasil kejahatan seperti merampok bank atau kejahatan lain (yang sering dimaknai secara salah oleh kelompok teroris sebagai Fa’i) dan bersumber dari sumber dana yang halal.

Kontrol Terhadap Upaya Paksa
Dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme, dibutuhkan kerjasama antar lembaga. Kepolisian tidak dapat melakukan tugas sendirian tetapi harus bekerja sama dengan lembaga lain seperti lembaga-lembaga keuangan, PPATK dan lembaga intelijen lainnya. Dalam pembekuan dana dan aset yang diduga berkaitan dengan pendanaan terorisme, kepolisian dapat melakukan pemblokiran dan pembekuan dana dan aset melalui izin Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam praktik peradilan selama ini, kontol Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Hakim dalam proses praajudikasi antara lain diatur dalam KUHAP tentang Ijin melakukan Upaya Paksa dan Praperadilan serta dalam UU Anti Terorisme (UU No. 15 Tahun 2003/Perpu No. 1 Tahun 2002) yang mengatur pranata Hearing (Ketua atau Wakil Ketua PN) yang berwenang menetapkan laporan intelijen sebagai bukti permulaan yang cukup.
Mengacu pada praktik peradilan selama ini, pengaturan tentang peran Ketua PN dalam memberikan izin upaya paksa aparat penegak hukum seperti pemblokiran dan pembekuan dana dan aset terorisme dikhawatirkan hanya sebagai upaya adminsitrasi untuk memenuhi syarat formal penyidikan. Praktik demikian mereduksi esesi kotrol antar subsistem dalam sistem peradilan pidana dalam hal ini kontrol Ketua Pengadilan Negeri terhadap upaya paksa aparat penegak hukum. Izin Ketua Pengadilan Negeri yang hanya bersifat administrasi demikian berpotensi sebagai sarana legitimasi tindakan semena-mena aparat penegak hukum. Untuk menghindari hal demikian, maka seharusnya Ketua Pengadilan Negeri melakukan fungsi kontrol secara penuh agar Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme tidak dijadikan sarana mengontrol individu dan lembaga nirlaba secara semena-mena dan represif untuk kepentingan selain yang dimaksud dalam pembentukan undang-undang.



 
------------- Artikel Lain
* Tweets To @jodi_santos
* CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)
* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi -------------
-

3 comments:

Unknown said...

a good article.

Unknown said...

Dukung Penengakan Hukum di Indonesia.

Unknown said...

Dukung Pemberantasan Korupsi di Indonesia.

PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...