sumber : http://hukumonline.com/detail.asp?id=17143&cl=Berita
[12/7/07]
Sejumlah anggota DPR berpendapat KHN sebaiknya dibubarkan karena hasil kerja lembaga itu tak pernah terdengar. KHN menganggap selama ini mereka sudah menjalankan tugas-tugasnya. Kini lembaga itu mengaku sedang menyiapkan sejumlah rekomendasi. Apa saja?
Beberapa hari lalu Komisi III DPR kembali menggelar Rapat Kerja dengan Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON). Rapat kali ini digelar bersama Sekjen dari masing-masing Komisi karena yang dibicarakan adalah anggaran. Adakah itu pertanda eksistensi KHN dan KON masih tetap dipertahankan?
Wakil Ketua Komisi III Mulfachri Harahap dalam Rapat Rencana Kerja Anggaran Pagu Sementara RAPBN 2008, menganggap lembaga bentukan pemerintahan Gus Dur itu tidak ada bedanya dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang berada di bawah Dephukham. Toh kalaupun sebagai lembaga peneliti, menurut Mulfachri Komisi Hukum Nasional juga dirasa kurang memberi kontribusi dalam tugas-tugasnya yang berkaitan dengan itu. “Hal-hal itu yang selama ini menjadi perdebatan kawan-kawan di Komisi III,” ujar Mulfachri kepada hukumonline di Gedung DPR, awal pekan ini.
KHN mengajukan mata anggaran untuk tahun 2008 sebesar kurang lebih Rp10 miliar atau naik dari mata anggaran pada 2007 sebesar Rp9 miliar. Kenaikan mata anggaran ini didasari perhitungan inflasi tahunan. ”Semuanya digunakan untuk keperluan operasional,” ujar salah satu Anggota KHN Frans Hendrawinarta melalui saluran telepon. Dana sebesar itu menurut Frans masih tergolong sangat kecil dibanding beban KHN dalam mendesain rencana umum pembaharuan hukum nasional. Sementara DPR mempermasalahkan anggaran KHN yang cenderung meningkat tiap tahunnya, padahal hasil kerja lembaga itu tak pernah tampak.
Ini memang bukan kali pertama buat lembaga yang dibentuk lewat Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2000 itu diragukan eksistensinya. Sekitar empat tahun lalu, KHN malah pernah santer diberitakan bubar. Lembaga ini juga dikabarkan sangat kesulitan menjalin komunikasi dengan presiden.
Menanggapi penghakiman DPR tersebut, Ketua KHN Profesor Jacob Elfinus Sahetapy menganggap lembaga politik itu terlalu terburu-buru menilai. “Mereka bisa berkata begitu karena kurang cermat memahami tugas dan fungsi KHN,” ujarnya.
Selama ini laporan hasil kerja KHN selalu dikirim ke DPR. “Apakah mereka sudah baca atau tidak laporan itu, saya tidak tahu,” lanjut Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga itu.
Anggota KHN lainnya Frans Hendra Winarta menegaskan sangat tak tepat jika ada yang mengatakan KHN tidak sanggup berkomunikasi dengan Presiden. Intensitas pertemuan KHN dengan Presiden, ujar Frans, selama ini memang mengalami dinamika, berlainan antara satu pemerintahan berganti pemerintahan lainnya. Namun hal itu sudah diatasi dengan mengadakan hubungan langsung dengan Departemen, Sekretariat Negara atau institusi yang terkait dengan rekomendasi yang mereka bikin.
Lebih lanjut Frans menjelaskan, KHN dibentuk pada era pemerintahan Gus Dur. Sehingga interaksi lembaga itu dengan presiden juga lebih nampak pada era pemerintahan Cendikiawan NU itu. Gus Dur tergolong sering meminta pendapat hukum pada KHN. Tapi begitu berganti presiden, pendapat KHN mulai jarang diminta presiden berikutnya. ”Lagipula tidak mungkin kami memberi nasihat yang tidak diminta oleh Presiden,” ujar Frans. Kesimpulannya, presidenlah yang menurut Frans mestinya mau memanfaatkan fasilitas yang tersedia untuknya itu. Namun kini tantangannya semakin besar karena Presiden sudah memiliki Dewan Pertimbangan Presiden.
Sahetapy juga menjelaskan, sebagai Ketua KHN dirinya harus bekerja setengah kerja sosial. Sebab, jika perbandingan jumlah honorarium dan pengeluaran operasional dengan tugas yang diemban KHN sebenarnya sama sekali tidak sebanding. ”Yang penting kita tetap kerja, perkara dipersoalkan tidak nampak hasilnya, terserah orang menilai,” ujar profesor yang mantan anggota DPR itu.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution berpendapat, KHN sebagai lembaga yang melakukan kajian-kajian dalam mengawal pembaharuan hukum di Indonesia relatif masih diperlukan. Mengenai tumpang tindih tugas antara KHN dan Wantimpres tidak perlu menjadi hal yang dikuatirkan karena masing-masing lembaga punya tugas dengan spesifikasi berlainan.
Hanya saja, Buyung menekankan bahwa KHN perlu dikaji efektifitasnya, terutama awak pemikirnya yang rata-rata tidak memungkinkan lagi untuk bekerja secara total lagi. Sebagian sudah berumur terlalu lanjut, sebagian lagi masih disibukkan dengan pekerjaan lain di luar tugas-tugas KHN.
Rekomendasi dan Bahan Pidato Kepresidenan
Ditemui di ruang kerjanya rabu (11/7), Koordinator Program KHN Mujahid A Latief mengatakan, hasil penelitian KHN yang berujung rekomendasi memang tidak bisa dirasakan langsung hasilnya. Selama ini KHN telah melakukan banyak penelitian, seminar terbuka, Forum Group Diskusi dan membikin Positioning paper (nasihat hukum). Salah satunya adalah mencuatkan wacana dibikinnya Peradilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi sebelum lembaga itu dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Toh nyatanya Peradilan Tipikor juga akhirnya dibentuk,” kata Mujahid.
Selain itu, melalui permintaan Bappenas KHN juga selalu diminta membikin sumbangan dalam pidato tahunan Presiden terkait persoalan hukum. ”Itu berlangsung tiap tahun, selain KHN juga selalu memberikan laporan tahunan hasil kerjanya beserta rekomendasi kepada Presiden,” ujar Staf Penyedia Informasi KHN, Mohammad Saihu.
Sebenarnya, menurut Mujahid, sudah banyak yang dilakukan KHN. Salah satunya membikin cetak biru pembaharuan Kejaksaan pada 2005. Meski KHN tidak pernah menengok kembali tindak lanjut rekomendasi mereka yang dikirim ke Kejaksaan Agung, “Nyatanya banyak Cetak Biru Pembaharuan Kejaksaan yang mengacu pada rekomendasi yang kami buat,” ujar Mujahid.
Terhitung sejak mulai efektif tahun 2002, KHN telah menghasilkan 39 rekomendasi yang bersingungangan dengan sejumlah eksekutif, legislatif dan Peradilan. Salah satunya, Mujahid memberi contoh, direkomendasikannya akses transparansi peradilan pada 2002 yang ternyata kemudian dipakai dalam cetak biru pembaharuan Mahkamah Agung.
Pada semester pertama 2007, KHN telah melakukan penelitian dalam empat pokok bahasan yang lebih spesifik menyorot pada ranah peradilan. Pertama soal keberadaan Peradilan Khusus; kedua, soal pelaksanaan kewenangan Supervisi KPK; ketiga, tentang penyalahgunaan wewenang peyidikan polisi dan penuntutan jaksa dalam proses peradilan; dan terakhir Penyederhanaan prosedur Penanganan Perkara Korupsi .
Sayang, Mujahid mengaku belum bisa mempublikasikan hasil penelitian itu karena masih dalam tahap pengerjaan. Akhir Juli 2007 nanti ditargetkan selesai untuk dimasukkan dalam laporan tahunan dan sebagai tambahan bahan pidato kepresidenan. Intinya, dalam penelitian itu KHN menilai kewenangan monitoring perkara terhadap Kejaksaan yang dimiliki KPK selama ini dipandang belum berjalan mulus laiknya KPK sebagai lembaga supervisor. Sekedar memberi contoh, sejumlah kasus yang dilimpahkan KPK pada Kejaksaan tidak pernah ada tindak lanjut lagi dari KPK. Hal ini dikaitkan dalam kewenangan lembaga itu sebagai pemonitor penanganan perkara korupsi.
Artikel Lain
1. Terorisme dalam Peradilan Pidana
2. Pergeseran Makna Terorisme
3. Kerahasiaan Data PPATK
4. Panwas (dan) Pemilu
5. Sistem Hukum Indonesia
6. Kegagalan SPP Anak
7. proses hukum dalam pemilu
8. KPK dan Korupsi
9. Bush Kebal Santet
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PAHLAWAN NASIONAL
crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...
-
UU No 2/Pnps/1964 [Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969 ] tentang TATA...
-
Oleh NURUL HAKIM, S.Ag. Sumber: http://www.badilag.net Pendahuluan Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari‟at Allah yang terkand...
-
------------- Oleh Bur Rasuanto Kompas, Rabu, 8 September 1999 KINI sudah menjadi keyakinan umum bahwa cita-cita reformasi mustahil ...
No comments:
Post a Comment