Oleh :
Ikhwan Fahrojih
Peneliti Hukum pada Pusat Kajian Politik Hukum dan HAM (PK-PHAM)
Secara umum,fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pengadilan.1 Pada sisi lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihak lain yang terlibat (penasehat hukum). Permasalah yang muncul adalah “penggunaan kewenangan yang tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum”.2 Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana yang berdampak pada terampasnya hak-hak asasi warga negara merupakan bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan negara hukum.
Ciri-ciri negara hukum antara lain (1) Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; (2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); (3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan (4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.3. Di Indonesia, jaminan perlindungan HAM dituangkan dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan termasuk dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pada hakekatnya, upaya mengimplementasikan HAM ke dalam Undang-undang tersebut adalah berusaha menempatkan keadilan dan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi sesuai dengan martabat bangsa yang merdeka, untuk itu harus dijamin pelaksanaannya.4 Dalam kaitan dengan itu, Bagir Manan mengatakan bahwa keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung pada penerapan dan penegakannya. Apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan.5 Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna. Kelemahan utama bukan pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.6
Sebagai karya agung bangsa Indonesia, KUHAP telah meletakkan hak-hak asasi manusia terutama hak-hak tersangka/terdakwa secara memadai. Akan tetapi dalam perjalanannya, apa yang terangkai secara indah dalam baris-baris kata dan kalimat dalam pasal-pasal KUHAP tersebut dalam implementasinya terbukti tidak mampu menghadirkan “penghormatan” terhadap harkat dan martabat manusia akibat penggunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum secara tidak bertanggungjawab dan terkontrol. Kewenangan yang hakekatnya dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara berubah fungsi menjadi alat penindas dan penyiksa warga negara yang disangka menjadi pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa), meski KUHAP telah memberi batasan dengan asas-asas yang harus dipegang teguh oleh aparat penegak hukum, antara lain : 1) the legality principle, 2) the presumption of innocence, 3) the rule for errest and accusation, 4) the rule on detection pending trial, 5) the minimum rights accorded to accused to prepare his defens, 6) the rule examination during preliminary investigation and during the trial, 7) the independence of court of justice and examination in a public trial, 8) the rules on appeal and review against a court decision.7
Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana terutama banyak terjadi di tingkat penyidikan dan penuntutan karena pada tingkat ini tersangka/terdakwa rentan diperlakukan sebagai obyek , penyidikan misalnya seringkali dilakukan secara kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture),8 bahkan dianggap sebagai pemeriksaan dengan metode yang telah “mumbudaya”, meskipun telah adanya perubahan sistem KUHAP, yaitu tidak dikehendakinya suatu pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.9 Tentang hal ini sebenarnya KUHAP secara implisit telah mencoba memberikan perlindungan untuk menghindari perlakukan kasar, kekerasan dan penyiksaan, misalnya melalui Pasal 52 KUHAP menyatakan bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Memori Penjelasan atas Pasal 52 KUHAP ini menyatakan agar supaya pemeriksaan dapat dicapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan-tekanan terhadap tersangka atau terdakwa. Sedangkan Pasal 117 KUHAP menyatakan bahwa keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun. Pasal 52 dan Pasal 117 ini ada baiknya dikaitkan dengan prinsip universal tentang non self incremintion dari tersangka/terdakwa (hak tersangka/terdakwa untuk tidak mempersalahkan dirinya sendiri), sebagaimana tercermin secara tidak langsung dan implisit sifatnya Pasal 66 KUHAP (tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian) dan Pasal 189 ayat (3) KUHAP (keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri).10
Sementara jaminan KUHAP terhadap hak-hak tersangka/terdakwa yang juga bermaksud melindungi tersangka/terdakwa dari perlakukan yang melanggar hak asasi manusia, keberadaannya tidak dijunjung tinggi bahkan diabaikan, antara lain hak untuk segera mendapat pemeriksaan penyidik (Pasal 50 ayat (1) KUHAP), hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dapat dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya (Pasal 51 ayat (1) KUHAP), hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (Pasal 52 KUHAP), hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 177 ayat (1), hak atas bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP), hak memilih sendiri hukumnya (Pasal 55 KUHAP), hak untuk mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya (Pasal 58 KUHAP), hak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah mengenai penanahanan terhadap dirinya (Pasal 59 KUHAP), hak mendapatkan kunjungan keluarga (Pasal 60 KUHAP), hak untuk berkomunikasi setiap kali ia memerlukan (Pasal 61 KUHAP), hak untuk tidak disensor dalam hal ia berkirim atau menerima surat (Pasal 62 ayat (1) KUHAP), hak untuk tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan (Pasal 66 KUHAP) dan hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68 KUHAP) .11
Sementara di tingkat penuntutan, beberapa bentuk penyimpangan juga seringkali terjadi, misalnya melepaskan tahanan dengan tujuan mendapat imbalan, penggelapan barang bukti/barang rampasan, menyimpan barang bukti yang tidak sesuai tempatnya, menyalahgunakan barang bukti/barang rampasan, meminta uang, imbalan, atau hadiah dari keluarga terdakwa, menyalahgunakan wewenang untuk meminta uang/fasilitas kepada terdakwa, melakukan rekayasa dalam penanganan perkara, adanya KKN dalam penyidikan perkara, mempetieskan atau tidak menindaklanjuti perkara yang ditugaskan kepada yang bersangkutan.
Kewenangan yang juga rentan disalahgunakan oleh penyidik maupun penuntut adalah kewenangan diskresi12 untuk melakukan Upaya Paksa, misalnya kewenangan penangkapan, penahanan, penggeladahan penyitaan dan penghentian penyidikan. Pertimbangan untuk menggunakan kewenangan ini sangat subyektif tergantung pada kemauan pribadi penyidik maupun penuntut sehingga membuka peluang penyalahgunaan, penggunaan upaya paksa pada akhirnya sering tidak berdasar pada pertimbangan kepentingan mencari kebenaran materiil namun berdasar pada keuntungan yang bisa didapat oleh penyidik maupun penuntut, akhirnya dapat kita lihat ketidakadilan terjadi dalam penggunaan kewenangan diskresi untuk melakukan upaya paksa ini, mereka yang “berkantong tebal” dan memiliki akses ekonomi-politik berpeluang terbebas dari upaya paksa meski perbuatannya menimbulkan kerusakan luas, namun tidak bagi kaum yang tidak mampu baik secara ekonomi maupun politik selalu menjadi sasaran dari penggunaan upaya paksa oleh penyidik maupun penuntut meski perbuatannya tidak berdampak luas . Pada akhirnya hukum dilihat oleh masyarakat terutama mereka yang jauh dari akses ekonomi-politik bukan sebagai tempat mencari ‘keadilan” namun justru sarangnya “ketidakadilan” hukum dilihat oleh kaum miskin hanya berlaku bagi mereka namun tidak berlaku bagi kaum berpunya (the have), adagium yang sering digunakan untuk mengibaratkan hal ini misalnya “lapor kehilangan kambing, malah kehilangan sapi”. Pada akhirnya hal ini menyebabkan “krisis kepercayaan” terhadap hukum dan para penegaknya, bahkan hukum seolah kehilangan wibawanya, bila hal ini berlangsung lama dan masyarakat merasa mengalami kebuntuan dalam menemukan saluran untuk mendapatkan keadilan maka akan potensial memicu lahirnya “peradilan jalanan” (eigenrechting). Untuk mengatasi persoalan itu, pemberdayaan hukum bagi masyarakat miskin (Legal empowering for the poor) menjadi penting keberadaannya agar mereka memahami hak-hak hukum yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat berdiri sejajar dengan aparat penegak hukum yang seringkali atas nama hukum justru melanggar hukum dan hak-hak masyarakat.
Persoalannya juga KUHAP tidak mengatur tentang akibat hukum bila penyidikan/ penuntutan dilakukan secara menyimpang, khususnya bila dilakukan dengan kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture) yang sangat mempengaruhi secara phisik dan phisikis, apakah alat bukti yang diperoleh dengan cara demikian dianggap sah sebagai alat bukti di Pengadilan. Pada negara-negara anglo saxon, seperti halnya Amerika Serikat dan Inggris, suatu perolehan pembuktian secara sah berkaitan dengan Exclusionary Rules, yaitu suatu aturan yang berlaku umum berisikan larangan penggunaan alat bukti yang diperoleh penyidik secara tidak sah dan melanggar undang-undang 13. Di Amerika Serikat, validitas atau tidaknya suatu pembuktian yang diperoleh secara tidak sah itu dikembangkan oleh US Supreme Court (Mahkamah Agung Amerika Serikat) dalam bentuk Exclusionary Rules, agar warga negara terhindar dari tindakan-tindakan aparat penegak hukum yang sewenang-wenang.14 Begitu pula dengan Miranda Case (Miranda vs Arizona tahun 1966), sebagaimana diungkapkan oleh John Kloter dan Darl L Meier dalam bukunya Criminal Evidence For Police. Miranda didakwa melakukan tindak pidana di suatu tempat negara bagian Arizona, tetapi pada saat polisi melakukan penanangkapan ternyata tidak memberitahukan hak tersangka untuk diam (Have the right to remain silent) dan mendapat bantuan hukum (right to have a counsel), sehingga kelalaian pejabat polisi/penyidik itu membawa konsekuensi terhadap pembebasan terdakwa oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dikenal dengan case law sistemnya. Oleh karena itu kasus Miranda ini merupakan “peringatan” bagi pejabat penegak hukum untuk menjalankan kewajibannya terhadap tersangka sesuai aturan undang-undang, bahkan para penegak hukum, khususnya penyidik, mempergunakan istilah tersebut sebagai Miranda Warning.15 Sedangkan di Inggris aturan seperti diatas dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai suatu Judge’s Rules. Di Indonesia KUHAP hanya memberikan sarana berupa “Pra Peradilan”, namun lingkup pemeriksaannya sangat terbatas, hanya terhadap keabasahan dari tindakan penyidik/penuntut dalam melakukan penangkapan, penahanan, maupun penghentian penyidikan dan penuntutan. Bahkan keabsahan dimaksud tidak terutama pada tindakan penyidik/penuntut yang melanggar HAM atau pemenuhan hak-hak tersangka/terdakwa namun hanya bersifat administratif belaka.
Lemahnya sistem pengawasan baik internal maupun eksternal dalam tubuh lembaga kepolisian maupun kejaksaan semakin menyuburkan penyalahgunaan kewenangan oleh polisi dan jaksa, berbagai bentuk pelanggaran oleh penyidik maupun penuntut hampir tidak pernah diberikan sanksi hukum yang tegas.
Catatan Kaki :
1. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 25.
2. Kewenangan tersebut antara lain dikenal dengan tindakan Upaya Paksa dari penegak hukum, yang dalam hal ini melanggar HAM tersangka/terdakwa, dilakukan dengan kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture). baca Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaam Kedudukan dalam Hukum, P.T. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 6.
3. Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29 dalam Mien Rukmini, Perlindungan HAM….., ibid.
4. Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, disampaikan untuk kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 18 Agustus 1997, hlm. 8 dalam Mien Rukmini, Perlindungan HAM…, ibid, hal. 3.
5. Erman Rajagukguk, Perlu Pembaharuan Hukum dan Profesi Hukum, Pidato Pengukuhan Sebgai Guru Besar Hukum, Suara Pembaharuan, hlm. 11 dalam Mien Rukmini, Perlindungan HAM……, ibid.
6. Sebelumnya HIR yang berlaku tidak memperhatikan hak-hak tersangka/terdakwa.
7. Mardjono Reksodiputro, In Commemoration Of Ten Years Of The KUHAP (1981-1991): An Optimistic Point Of View On The Indonesian Criminal Justice System And Its Administration, Joint Seminar Indonesia-Japan On Comptemporary Problem In The Field od The Criminal Justice And Its Administration, Jakarta, 20-24 January 1992.
8. Meski UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP tidak lagi menggunakan asas inkuisitor namun telah menggunakan asas akuisator (karena pengakuan terdakwa tidak lagi menjadi alat bukti yang sah), namun dalam prakteknya tersangka/terdakwa banyak mendapatkan ancaman baik mental maupun fisik agar mengakui perbuatannya.
9 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM Dalam Perspektif KUHAP, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, hlm. 4.
10. KHN-SETRA HAM UI, Akses ke Peradilan, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2003, hlm. 23.
11. Moh. Najih mengemukakan syarat penggunaan diskresi, antara lain diskresi digunakan ketika peraturan yang ada tidak memadai, diskresi tidak boleh bertentangan dengan kewenangan, diskresi tidak boleh bertentangan dengan kode etik, dikemukakan dalam diskusi peneliti dengan nara sumber, di kantor komisi hukum nasional, Jakarta, 12 Januari 2007. Bandingkan M. Faal, S.H., M.H., Dipl. Es. dalam, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1991. ”Diskresi berasal dari kata-kata bahasa Inggris ”discretion” yang menurut kamus umum yang disusun John M. Echols, dkk., diartikan kebijaksanaan, keleluasaan. Menurut Alvina Treut Burrow, discretion adalah ”ability to choose wisly or to judge for oneself” artinya kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri. Sedangkan menurut kamus hukum yang disusun oleh J.C.T. Simongkir, dkk., diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Dengan demikian menurut M.Faal, S.H., M.H., diskresi adalah suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaannya (power) untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya.
13. K.G. Wijaya, Asas Praduga Tak Bersalah dan Perspektif Perkembangan Teori Hukum, Makalah pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Tanggal 17 Januari 1995 dalam Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, op. cit, hlm. 28.
14. Paul B Weston & Kenneth M. Wells, The Administration of Justice, New Jersey: Prentice Hall. 1973, page 50 dalam Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan……, ibid, hlm. 29.
15. K.G. Wijaya, dalam Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM……., op. cit, hlm. 29.
Wednesday, March 21, 2007
Monday, March 05, 2007
New Year's work for government, House
by
Mohamad Mova Al 'Afghani and Rahmat Bagja, Jakarta
The Constitutional Court's decision on the judicial review of the 2002 Corruption Law is a significant change to law enforcement in Indonesia. Of all the claims put before the judges, they have only approved one -- rejecting Article 53 that governs the special Corruption Court. What should be complimented is that the court's decision was grounded upon clear reasoning and concise legal justifications, and not simply based upon popular demands. The court also took into account the government's legal reform agenda, although this is obscured in legal language.
Despite this, the Constitutional Court applied rather unconventional legal logic in its corruption law decision. It has also applied such logic to several previous decisions, namely on the water law and state budgets.
The judicial review of the corruption law was submitted by those defending themselves against graft charges and their colleagues. There were many objections to the law brought before the court -- (i) that the possibility of being tried under one of two courts -- the "dualism" of corruption proceedings, is a violation of the defendant's right to legal certainty, (ii) that the wiretapping conducted by KPK is a violation of the Constitution, human rights provisions and national law and (iii) that the jurisdiction and authority of the KPK is overly broad because it can act based only on a mere report by a citizen and (iv) that the existence of the present Corruption Court is unconstitutional, as it is not based on a specific law.
Of all those objections, the Constitutional Court only accepted one: That the existence of the Corruption Court is unconstitutional. The Constitutional Court ruled that the proceedings, the selection of judges and the procedural rule of the Corruption Court should have been regulated by a specific law, and not in the same law which also regulates the KPK.
The court gave three years to the House of Representatives to draft a specific law regulating the Corruption Court, after which if no action is taken the court will be automatically dissolved. We are of the opinion that the Constitutional Court's reasoning is in some parts less compelling -- although not necessarily groundless -- because of the following reasons:
First, there is no evidence whatsoever that regulating the Corruption Court in the same law as the Corruption Eradication Commission (KPK) automatically violates the Constitution. The Constitution only mandates that the composition, membership, appointment and procedural law of the courts existing below the Supreme Court is regulated by a law. The KPK law has fulfilled such requirements and should therefore be consistent with the Constitution.
Second, there is no guarantee that "equality before the law" will be observed by simply segregating the corruption court in a new law other than the KPK law. In order to be fully constitutional, the future corruption court must have specific competencies in adjudicating all corruption cases, as part of a "one-roof" system.
Third, the Constitutional Court did not clearly establish the link between a violation of the "equality before the law principle" and why the existence of the corruption court under the KPK law violates such a principle. The reference made by the court in justifying its argument is more to "a custom of regulation", and not directly about the Constitution itself. It is a custom in Indonesia that special courts are regulated through specific legislation, but this custom does not imply that it is a Constitutional requirement to regulate specific courts in an exclusive law.
Fourth, there is presently no direct constitutional injury suffered by anyone due to these measures, so the dangers as seen by the court are potential, not actual. It is true that there has been discrimination against people in corruption cases -- those who go to ordinary courts are generally treated more lightly compared to those detained by the KPK.
However, these are not direct constitutional injuries but merely injuries caused by a corrupt legal system. Had the legal machinery functioned properly, these negative effects could be minimized as the law has already outlined the exact competencies of each institution.
In any circumstances, the establishment of a specific corruption court is indeed necessary for the effort toward corruption eradication and the current law on the KPK is not perfect due to the possible loopholes as explained by the Constitutional Court.
However, we consider it insufficient that a legal provision is declared void simply because it disregards theoretical legislative drafting requirements. In this case there should have been a legislative review and not a judicial review.
We are of the opinion the Constitutional Court wants to take a more active role in combating corruption -- the reason for it issuing such decision. This is both a brave and risky act as, if the House of Representatives makes no specific law on the Corruption Court within three years, the current court will be automatically dissolved. The government and the House of Representatives have become politically compelled to do the work given to them by the Constitutional Court.
Because of this, it is vital we keep an eye on the bargaining process in forming such a law and must bear in mind that the people involved have strong interests in the outcome. The corrupt and would-be corrupt will want to have a soft law, while civil society activists will want to strengthen the role of the Corruption Court.
If a compromise is reached, we might have a stronger and better judicial system. But if no compromise is reached, corruption eradication will be at serious risk.
Mohamad Mova Al 'Afghani (http://nanotechlaw.blogspot.com) is a lawyer and a lecturer. Rahmat Bagja (bagja98@yahoo.com) is the head of the constitutional division of the National Legal Reform Consortium.
Opinion and Editorial - January 11, 2007
Mohamad Mova Al 'Afghani and Rahmat Bagja, Jakarta
The Constitutional Court's decision on the judicial review of the 2002 Corruption Law is a significant change to law enforcement in Indonesia. Of all the claims put before the judges, they have only approved one -- rejecting Article 53 that governs the special Corruption Court. What should be complimented is that the court's decision was grounded upon clear reasoning and concise legal justifications, and not simply based upon popular demands. The court also took into account the government's legal reform agenda, although this is obscured in legal language.
Despite this, the Constitutional Court applied rather unconventional legal logic in its corruption law decision. It has also applied such logic to several previous decisions, namely on the water law and state budgets.
The judicial review of the corruption law was submitted by those defending themselves against graft charges and their colleagues. There were many objections to the law brought before the court -- (i) that the possibility of being tried under one of two courts -- the "dualism" of corruption proceedings, is a violation of the defendant's right to legal certainty, (ii) that the wiretapping conducted by KPK is a violation of the Constitution, human rights provisions and national law and (iii) that the jurisdiction and authority of the KPK is overly broad because it can act based only on a mere report by a citizen and (iv) that the existence of the present Corruption Court is unconstitutional, as it is not based on a specific law.
Of all those objections, the Constitutional Court only accepted one: That the existence of the Corruption Court is unconstitutional. The Constitutional Court ruled that the proceedings, the selection of judges and the procedural rule of the Corruption Court should have been regulated by a specific law, and not in the same law which also regulates the KPK.
The court gave three years to the House of Representatives to draft a specific law regulating the Corruption Court, after which if no action is taken the court will be automatically dissolved. We are of the opinion that the Constitutional Court's reasoning is in some parts less compelling -- although not necessarily groundless -- because of the following reasons:
First, there is no evidence whatsoever that regulating the Corruption Court in the same law as the Corruption Eradication Commission (KPK) automatically violates the Constitution. The Constitution only mandates that the composition, membership, appointment and procedural law of the courts existing below the Supreme Court is regulated by a law. The KPK law has fulfilled such requirements and should therefore be consistent with the Constitution.
Second, there is no guarantee that "equality before the law" will be observed by simply segregating the corruption court in a new law other than the KPK law. In order to be fully constitutional, the future corruption court must have specific competencies in adjudicating all corruption cases, as part of a "one-roof" system.
Third, the Constitutional Court did not clearly establish the link between a violation of the "equality before the law principle" and why the existence of the corruption court under the KPK law violates such a principle. The reference made by the court in justifying its argument is more to "a custom of regulation", and not directly about the Constitution itself. It is a custom in Indonesia that special courts are regulated through specific legislation, but this custom does not imply that it is a Constitutional requirement to regulate specific courts in an exclusive law.
Fourth, there is presently no direct constitutional injury suffered by anyone due to these measures, so the dangers as seen by the court are potential, not actual. It is true that there has been discrimination against people in corruption cases -- those who go to ordinary courts are generally treated more lightly compared to those detained by the KPK.
However, these are not direct constitutional injuries but merely injuries caused by a corrupt legal system. Had the legal machinery functioned properly, these negative effects could be minimized as the law has already outlined the exact competencies of each institution.
In any circumstances, the establishment of a specific corruption court is indeed necessary for the effort toward corruption eradication and the current law on the KPK is not perfect due to the possible loopholes as explained by the Constitutional Court.
However, we consider it insufficient that a legal provision is declared void simply because it disregards theoretical legislative drafting requirements. In this case there should have been a legislative review and not a judicial review.
We are of the opinion the Constitutional Court wants to take a more active role in combating corruption -- the reason for it issuing such decision. This is both a brave and risky act as, if the House of Representatives makes no specific law on the Corruption Court within three years, the current court will be automatically dissolved. The government and the House of Representatives have become politically compelled to do the work given to them by the Constitutional Court.
Because of this, it is vital we keep an eye on the bargaining process in forming such a law and must bear in mind that the people involved have strong interests in the outcome. The corrupt and would-be corrupt will want to have a soft law, while civil society activists will want to strengthen the role of the Corruption Court.
If a compromise is reached, we might have a stronger and better judicial system. But if no compromise is reached, corruption eradication will be at serious risk.
Mohamad Mova Al 'Afghani (http://nanotechlaw.blogspot.com) is a lawyer and a lecturer. Rahmat Bagja (bagja98@yahoo.com) is the head of the constitutional division of the National Legal Reform Consortium.
Opinion and Editorial - January 11, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)
PAHLAWAN NASIONAL
crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...
-
UU No 2/Pnps/1964 [Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969 ] tentang TATA...
-
Oleh NURUL HAKIM, S.Ag. Sumber: http://www.badilag.net Pendahuluan Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari‟at Allah yang terkand...
-
------------- Oleh Bur Rasuanto Kompas, Rabu, 8 September 1999 KINI sudah menjadi keyakinan umum bahwa cita-cita reformasi mustahil ...