Oleh
Ikhwan fahrojih dan M. Jodi Santoso
Korupsi tidak saja merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa, namun telah merampas hak-hak ekonomi, sosial, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat yang pemenuhannya merupakan cita-cita bernegara (staatsidee) seperti termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alenia Keempat. Secara kongnitif dampak yang ditimbulkan oleh korupsi disadari oleh seluruh anak bangsa, namun dalam praktek masih terus saja berlangsung bahkan semakin meluas. Perlahan tapi pasti, praktik korupsi tidak hanya dilakukan elit pusat namun telah menjalar ke berbagai daerah. Pada sisi lain, upaya hukum pemberantasan korupsi belum berjalan maksimal. Salah satu permasalah yang puncul dalam penegakan hukum adalah bagaimana pengembalian uang negara (asset recovery) uang negara yang dikorupsi.
Secara teoritik korupsi bermula ketika kekuasaan tersentral di tangan presiden dan kroni-kroninya, sementara lembaga negara lain yang seharusnya berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang tidak berdaya dan justru menjadi abdi kekuasaan eksekutif. DPR/MPR tidak lebih hanya sebagai lembaga stempel (rubber stamp) sementara MA dan pengadilan hanya manjur bagi pencuri ayam dan sandal namun mandul bagi koruptor. Suara rakyat yang berisik di telinga presiden dan kroni-kroninya dibungkam habis-habisan dengan kekuatan militer dengan dalih menjaga stabilitas politik demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jadilah presiden bak “raja” yang berkuasa di singgasana kerajaan sehingga tidak lagi jeli membedakan uang rakyat dan uang pribadi, aset negara dan aset keluarga, uang rakyat diperlakukan bak uang pribadi, aset negara dieksploitasi bak aset keluarga. Praktek-praktek demikian telah menghancur luluhkan fundamen bernegara, good and clean governance menjadi sangat asing dalam sistem dan budaya birokrasi, praktek-praktek culas telah tertanam kuat dalam birokrasi kita.
Akhirnya kekuatan rakyat yang terkonsolidasi dengan kokoh mampu mendobrak dan menurunkan sang presiden dari singgasana kekuasaan. Cita-cita rakyat untuk membangun demokrasi yang berdasarkan supremasi hukum dan mensejahterkan seperti cita-cita para founding fathers kembali mendapatkan momentumnya, namun ternyata tidak mudah mengikis budaya KKN yang kadung tertanam kuat dalam sistem dan budaya birokrasi kita, praktek-praktek KKN terus saja berlangsung meski simbol kekuasaan korup telah dapat dilengserkan. Selain karena membangun demokrasi yang sesungguhnya (real democration) bukan pseodo demokrasi (demokrasi yang seolah-olah) butuh proses panjang dan konsisten juga masih ada pihak-pihak yang merasa terancam kenyamanannya menikmati kekayaan negara bila demokrasi dan supremasi hukum betul-betul ditegakkan.
Langkah-langkah membangun demokrasi yang berkelanjutan (sustainable democratie) telah dilakukan oleh pemerintahan reformasi, baik langkah reformasi konstitusi, restrukturisasi kelembagaan negara maupun langkah membangun supremasi hukum, semuanya diarahkan pada upaya pemberantasa korupsi karena penyakit yang satu ini menjadi penyebab nomor wahid atas bobroknya negara. Upaya pemberantasan korupsi dimulai dengan membentuk UU 31 tahun 1999 disempurnakan dengan UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai pengganti dari UU No. 3 tahun 1971.
Dalam UU 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2001 tidak pidana korupsi dianggap sebagai perbuatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga pemberantasannya juga harus dilakukan dengan cara luar biasa pula. Sejumlah sarana hukum yang diberikan oleh UU 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 untuk menangani korupsi secara luar biasa antara lain; pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, alat bukti elektronik, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil, korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi, ancaman pidana minimum, pidana penjara bagi terpidana yang tidak dapat membayar uang pengganti, perluasan pengertian pegawai negeri dan gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan sebagainya (Suhadibroto; 2005).
Menurut sebagian pengamat, sarana hukum yang diberikan oleh UU pemberantasan tidak pidana korupsi di era reformasi belum memadai untuk memberantas korupsi yang sudah sangat akut. Misalnya, dalam hal pembuktian yang belum sepenuhnya menerapkan “sistem pembuktian terbalik” dan perlindungan saksi dan pelapor yang masih sangat lemah, namun sarana yang telah ada seharusnya dimanfaatkan secara maksimal, termasuk sarana gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan pejabat negara yang melanggar hukum. Penegakan hukum dalam kasus korupsi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan ganjaran secara fisik bagi para pelakunya namun juga dimaksudkan agar uang negara yang dikorupsi kembali kepada negara untuk memulihkan kembali kemampuan negara dalam melayani hak-hak rakyatnya, sehingga dalam proses hukum pidana diakomodir pula sarana perdata, seperti ketentuan uang pengganti dan denda yang dibebankan kepada terpidana, bila denda atau uang pengganti tidak dibayar maka hukuman akan akan ditambah maksimal tidak melebihi ancaman hukuman.
Dalam hal tersangka/terdakwa meninggal dunia atau tidak terbukti bersalah atau karena bebas dari segala tuntutan sementara nyata telah ada kerugian negara yang diakibatkan perbutan tersangka/terdakwa maka ada mekanisme gugatan perdata, gugatan diajukan terhadap ahli waris bila tersangka/terdakwa meninggal dunia dan terhadap pelaku bila dia bebas, hal itu tidak lain dimaksudkan untuk menyelematkan uang negara (pasal 32, 33 dan 34 UU 31 tahun 1999). Baik sarana hukum pidana maupun perdata dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya, agar tindak pidana korupsi menjadi perbuatan yang beresiko lebih besar daripada manfaat yang didapat sehingga semakin banyak orang yang akan berfikir ulang bila akan melakukannya.
Dalam kasus dugaan korupsi mantan presiden Soeharto, Kejaksaan Agung telah menetapkan status tersangka/terdakwa, namun persidangannya terhenti karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam penetapannya menyatakan menghentikan proses persidangan Soeharto sampai penguasa orde baru tersebut sembuh dari sakit yang dideritanya, maka proses pidana bisa jadi terhenti untuk sementara, namun tidak ada alasan untuk tidak melakukan tuntutan perdata agar kerugian negara akibat perbuatan pak harto di masa lalu kembali kepada negara. Bila kembali lagi melihat semangat dan tujuan penegakan hukum kasus korupsi yang diamahkan UU 31 tahun 1999, sekali lagi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan hukuman pidana kepada pelaku namun juga agar uang negara kembali dalam rangka memulihkan perekonomian negara, atas dasar itu Kejaksaan Agung yang bertindak sebagai pengacara negara seharusnya segera mengambil inisiatif untuk melakukan gugatan perdata, tanpa harus menunggu berjalannya proses pidana yang masih harus menunggu pulihnya kesehatan mantan presiden Soeharto, bila tidak segera maka akan semakin susah melacak harta kekayaan Soeharto dan akan semakin mengecil kemungkinan kekayaan negara dapat diambil kembali. Kesungguhan pemerintahan Sby-Kalla dengan Jaksa Agung sebagai garda tedepannya sangat ditentukan oleh keberanian mengambil inisiatif untuk menegakkan hukum, demi pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi.
Tuesday, January 30, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PAHLAWAN NASIONAL
crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...
-
UU No 2/Pnps/1964 [Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969 ] tentang TATA...
-
Oleh NURUL HAKIM, S.Ag. Sumber: http://www.badilag.net Pendahuluan Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari‟at Allah yang terkand...
-
------------- Oleh Bur Rasuanto Kompas, Rabu, 8 September 1999 KINI sudah menjadi keyakinan umum bahwa cita-cita reformasi mustahil ...
No comments:
Post a Comment