Tuesday, June 19, 2007

Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana

M Jodi Santoso

Sumber : Harian Tempo, 27 Oktober 2003

Dua tahun masa war of terrorism yang dimotori Amerika Serikat masih belum menyentuh akar pemasalahan. Yang tersisa kini kedukaan para keluarga korban dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan tindak pidana terorisme. Menolak terorisme adalah wajib tetapii menyelesaikan akar permasalahan merupakan kunci utama dari sikap penolakan terhadap terorisme. Amerika Serikat hanya mengejar pelaku teror tetapi belum pernah memberi jawaban secara resmi dan lengkap terhadap tuntutan dan motivasi para teroris (baca Osama bin Laden dkk.). Mengurai, mengidentifikasi, dan menyelesaikan akar permasalahan merupakan sikap penolakan terhadap terorisme yang paling penting untuk mencegah terjadinya terorisme di masa mendatang. Terorisme bukan problem lokal tetapi problem internaional, Playground-nya berskala international. Terorisme dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan targetnya pun siapa saja.( Ong Yen Nee, 2002). Terorisme bukan problem Amerika semata tatapi manjadi masalah seluruh umat manusia.

Dalam sistem peradilan pidana internasional, tindak pidana teroris manjadi materi diskusi yang cukup menarik. Hampir semua ahli hukum pidana dan kriminolog mengatakan bahwa tindak pidana terorisme merupakan extraordinary crime dan proses peradilannya pun berbeda dengan tindak pidana biasa. Karena sifatnya yang extraordinary crime inilah hampir semua negara mengunakan undang-undang khusus dalam menanggulangi tindak pidan terorisme. Akan tetapi, Kent Roach (Canada), Adnan Buyung Nasution dan beberapa ahli hukum pidana dan HAM (antara lain, Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil) menolak pandangan demikian. Bagii mereka, terorisme merupakan tindak pidana biasa dan penangganannyapun cukup dengan aturan perundang-undang yang berlaku bagi tindak pidana lainnya. Dalam kontek sistem peradilan pidana cukup dengan ketentuan KUHP dan KUHAP saja tidak perlu menggunakan UU Antiteroris atau yang lainnya seperti ISA (Internal scurity act).

Namun demikian, tidak dapat disanggah bahwa tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagia mala per se bukan termasuk mala prohibita. Hal ini karena terorisme merupakan crime against concience, menjadi jahat bukan karena dilarang oleh undang-undang tetapi karena pada dasarnya terorisme merupakan tindakan tercela.(Muladi,2002).

Walaupun terorisme dianggap sebagai extraordinary crime dan crime against humanity, terorisme bukan merupakan tindak pidana dalam yuridiksi International Criminal Court (ICC). Amerika Serikat dengan tegas menolak usulan beberapa negara yang menghendaki tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi ICC. Dengan tidak masuknya terorisme maka menurut Art. 5 Rome Statute of the international Criminal Court (Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional) hanya empat tindak pidana yang dianggap sebagai tindak pidana paling serius, yaitu : (1) genocida; (2) tindak pidana terhadap kemanusian; (3) tindak pidana perang; dan (4) agresi. Sampai sekarang, Amerika Serikat belum menandatangani International criminal court (ICC). Pada hal dukungan Amerika Serikat sangat dibutuhkan dalam upaya dunia internasional untuk segera pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Di sinilah mulai muncul anggapan negatif atas ambivalensi Amerika Serikat dalam upaya penanganan terorisme. Pada sisi lain Amerika Serikat menolak terorisme masuk dalam yuridiksi ICC dan sampai sekarang belum menandatangai ICC pda sisi lain Amerika Serikat, melalui pernyataan resmi George W. Bush tanggal 11 Oktober 2001, terorisme sebagai Sebuah Serangan Terhadap Peradaban Dunia..

Ambivalensi sikap Amerika juga tercermin dalam law enforcement. Amerika Serikat telah melanggar prinsip-prinsip perlindungan HAM dalam criminal justice process terhadap pelaku terorisme. Sikap ini berbeda dengan upaya perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana (protection of human right in criminal justice administration) di mana Amerika Serikat sebagai pendukung utamanya. Bahkan konsep perlindungan HAM dalam sistem peradilan Pidana (criminal Justice system) yang berkembang di Amerika Serikat telah menjadi kiblat bagi negara-negara berkembang. Akan tetapi, administrasi peradilan pidana yang telah dibangun selama berabad-abad tersebut sama sekali tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme. Amerika Serikat telah berhasil membangun sistem peradilan pidana yang kondusif bagi perlindungan tersangka pelaku tindak pidana di negaranya tetapi gagal mengembangankan sistem peradilan pidana internasional.

Catatan terpenting yang dapat dicermati selama dua tahun masa war of terrorism adalah Amerika Serikat telah memutar “jarum jam” administrasi peradilan pidana. Kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat telah menghancurkan bangunan konsep dan praktik peradilan pidana yang memberikan perlindungan hak tersangka yang dibangun sejak berabad-abad tahun yang lalu. Amerika Serikat telah membawa kembali dunia peradilan pidana ke abad 13 di mana metode yang digunakan dalam administrasi peradilan pidana adalah iquisitorial method ketika pertama kali muncul dalam sejarah peradilan pidana.

Karakteristik penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem model iquisitorial seperti antara lain : dilakukan secara rahasia, tersangka pelaku tindak pidana ditempatkan terasing dan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan puhak lain termasuk keluarga, Pemeriksaan saksi terpisah. Tujuan pemeriksaan waktu itu adalah untuk memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka. Apabila tersangka tidak mau secara sukarela mengakui perbuatannya atau kesalahannya maka petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan (toture) sampai diperoleh pengakuan. Tertuduh tidak berhak didampingi pembela, tidak ada perlindungan dan jaminan hak asasi. Karakteristik yang demikian sebenarnya telah lama ditinggalkan. Akan tetapi, Amerika dalam penanganan tindak pidana terorisme telah mengangkat kembali administrasi peradilan pidana yang demikian dalam penangganan tindal pidana terorisme. Penahanan para tersangaka di Guntanamo, proses penyidikan yang rahasia, dan menghilangkan hak-hak dasar seorang tersangka lainnya telah dihilangkan.


Dalam Konteks ke Indonesiaan

UU Antiterorisme memberikan kewenangan hakim dalam proses pra-ajudikasi (Pasal 26 ayat (2) dan penjelasan umum). Untuk melindungi hak-hak tersangka pelaku tindak pidana terorisme dan untuk auditing terhadap laporan intelijen telah dibentuk lembaga baru yang bernama “Hearing”. Akan tetapi, bagaimana bentuk dan mekanisme bekerjanya lembaga baru tersebut sampai sekarang “belum jelas”. Sehingga bukan hal yang aneh apabila di Solo, Ketua Pengadilan Negeri Solo menganggap penangkapan terhadap tersangka pelaku tindak pidana terorisme tidak prosedural. (Tempo, Rabu, 17 september 2002). Pernyataan tersebut mengindikasikan belum berjalannya integrated administration of criminal justice menurut Undang-Undang Antiteroris.

Pasal 26 ayat (2) Perpu Antiterorisme menyebutkan bahwa “ Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan dalam ayat (4) di jelaskan bahwa : “Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.” Ketentuan Pasal 26 tersebut di atas dengan jelas memberikan kewenangan kepada Pengadilan dalam hal ini Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri dalam proses pra-ajudikasi (proses peradilan sebelum sidang pengadilan). Akan tetapi keterlibatan pengadilan tersebur hanya sebatas pada pemerikasaan terhadap informasi intelijen (pasal 26 ayat (1) dan (2)).

Dalam pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa: “(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.” Politik hukum pidana dengan menggunakan istilah “dapat menggunakan” dalam ayat (1) tersebut memberikan kemungkinan kepada Kepolisian menggunakan sumber, data, atau laporan lain untuk digunakan sebagai bukti awal yan kuat untuk menduga dan/atau melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka tindak pidana terorisme. Konsekuensi logis yang mungkin timbul dalam masalah tersebut adalah “pengingkaran” sumber informasi apabila terdapat gugatan praperadilan darii tersangka, keluarga, atau penasihat hukumnya.

Sisi lain dari UU Antiterorisme adalah pemberian kewenangan yang sangat besar kepada aparat penegak hukum dalam administrasi peradilan pidana. Pengungkapan fakta secara efisien a la Crime Control Model-nya Herbert L. Packer tercermin dalam proses peradilan pidana terhadap tindak pidana terorisme. Sedangkan kebijakan hukum pidana yang dilakukan oleh DPR (dan Pemerintah) dalam UU antiterorisme mengingatkan kita pada analisis Kent Roach bahwa due process can be for Crime control.(Kent Roach, 1919651: 21)

Mungkinkah dengan lembaga “Hearing”, Indonesia mampu mempertahankan prinsip due process of law dalam sistem peradilan pidana. Atau lembaga ini sengaja dibentuk untuk melegitimasi laporan intelijen dan pada gilirannya mengikuti langkah Amerika Serikat untuk membawa kembali sistem peradilan pidana ke abad ke-13 dengan model Inquisitoril yang menindas. Quo Vadis sistem peradilan pidana?

Category : Article, Advocacy, Totorial,





Artikel Lain
1. Terorisme dalam Peradilan Pidana
2. Pergeseran Makna Terorisme
3. Kerahasiaan Data PPATK
4. Panwas (dan) Pemilu
5. Sistem Hukum Indonesia
6. Kegagalan SPP Anak
7. proses hukum dalam pemilu
8. KPK dan Korupsi
9. Bush Kebal Santet

Pergeseran Makna Terorisme

M Jodi Santoso

Satu hal yang perlu diingat dalam mengkaji terorisme adalah adanya perbedaan sudut pandang tentang terorisme. Muncul adagium “today’s terrorist is tomorrow’s statesman” or that “one man’s terrorist is another’s freedom fighter”. Charles W. Kegley Jr. dalam buku Internasional Terrorism: Characteristics, Causes, Control, mengatakan : “Therefor, it is believed that there is no single definition of terrorism that can posibly cover all the varieties of terrorism that have appeared throughout history.”

Dalam perspektif psico sosial, terorisme merupakan gejala sosial yang kompleks. Sudut pandang dan kepentingan para pihak larut dalam memaknai terorisme. Pemaknaan dari sudut pandang yang berbeda tersebut yang menyebabkan terjadinya pergeseran makna terorisme dari masa kemasa. Terorisme pada awal kemunculannya berkonotasi positif, kini menjadi sebuah kejahatan berat dan kejahatan terhadap kemanusian (crime againt humanity).

Istilah teror (isme), pertama kali, populer pada masa Revolusi Perancis (1789-1794). Akan tetapi, praktik terorisme itu sendiri terjadi jauh sebelumnya. Dalam catatan sejarah, terorisme telah dipraktikkan manusia sejak zaman Yunani kuno. Xenophon (431-350 SM) misalnya, menuliskan dalam bukunya tentang terorisme dalam term "perang psikologis" untuk menaklukkan musuh. Pada awal abad masehi tercatat nama Kaisar Rome Tiberius (14-37) dan Caligula (37-41) yang melakukan terorisme terhadap lawan-lawan politiknya.

Aksi teror juga dilakukan Zealot (hidup pada 66-73 M), sebuah organisasi partai politik yang beroposisi dengan pemerintahan Herodes yang menentang penjajah Roma. Mereka menuntut kemurnian religius dan menentang segala tindakan asusila dan tindakan yang bersifat anti Yahudi. Mereka menggunakan pisau kecil yang disebut sica yang disembunyikan di balik jaket. Dengan senjata sica tersebut, aksi Zealot sering disebut Sicarii. Aksi sicarri dilakukan dengan cara bercampur orang-orang dipasar. Jika mereka melihat suatu pelanggaran mereka langsung mengambil pisau dan menikam si pelanggar. Metode yang mereka gunakan adalah praktek pembunuhan teroganisir di zaman kuno. Tindakan ini bersifat acak dan menimbulkan ketakutan masyarakat. Motivasi kelompok Zealot adalah agama dan didukung oleh kitab suci.

Teror sebagai sebuah aksi yang sistematis dikenal sejak Revolusi Perancis (1789-1794). Pada masa itu, muncul apa yang dikenal dengan French Revolution’s terrorism atau regime de la terreur pimpinan Maximilien Robespierre. Regime de la terreur digunakan sebagai instrumen untuk mendirikan Revolusionary State yaitu membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik. Selain mempunyai kaitan erat dengan revolusi, Maximilien Robespierre, sang pemimpin gerakan, mengaitkan teror dengan kebaikan (virtue) dan demokrasi (democracy). Robespierre menyebutkan : virtue, without which terror is evil; terror, without which virtue is helpless. … terror is nothing but justice, prompt, severe and inflexible; its therefore an emanation of virtue.

Terdapat dua karakteristik utama dari French Revolution’s terrorism. Pertama, regime de la terreur tidak dilakukan dengan acak random dan tidak juga indiskriminasi (neither random nor indiscriminate), tetapi dilakukan secara terorganisir (organized), terarah dan berhati-hati (deliberate), serta sistematis (systematic). Karakteristik ini yang membedakan regime de la terreur dengan aksi terror yang digambarkan saat ini. Kedua, tujuan French Revolution’s terrorism (regime de la terreur) adalah untuk membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik (a new and batter society).

Pertengahan abad ke-19, di Eropa, revolusi Perancis mengilhami munculnya sentimentil anti monarki (anti penguasa). Pada abad ini, muncul aksi era terorisme baru di mana terorisme dikonotasikan dengan gerakan anti pemerintahan. Aksi-aksi teror digunakan sebagai taktik untuk menggulingkan orang-orang berkuasa. Carlo Pisacane, seorang extrim Republika Italia, melakukan gerakan revolusioner yang disandarkan pada teori “the propaganda by deed”.

Hingga menjelang perang dunia I, terrorisme berkonotasi revolutioner. Bersamaan dengan perang dunia II dan semangat pergerakan kemerdekaan, penggunaan istilah teorisme digunakan dalam perspektif berbeda. Pertama, teroris dikonotasikan dengan gerakan revolusioner. Dan, kedua, mengacu pada pemberontakan yang dilakukan kaum nasionalis/anti-colonialis. Konotasi kedua memicu ketidaksenangan para pejuang kemerdekaan (negara dunia ketiga) dengan stigma teroris. mereka dengan tegas menolak stigma teroris yang melekat pada mereka. Bagi mereka (pejuang kemerdekaan) berjuang untuk kemerdekaan dan kebebasan demi tanah air dari penjajahan bukan terorisme tetapi freedom fighters.

Pada awal tahun 1990, muncul istilah narco terrorism dan istilah gray area phenomenon. Istilah Pertama muncul bersamaan dengan gerakan sekelompok orang dengan motivasi ekonomi yang bergelut dalam peragangan obat terlarang. Narco terrorism muncul akibat pertemuan antara penjualan obat terlarang dengan penjualan senjata. Sedangkan istilah gray area phenomenon digunakan pada gerakan yang mengancam stabilitas nasional oleh orang atau kelompol bukan negara.


Category : Article, Advocacy, Totorial,





Artikel Lain

*CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)
* Memburu Teroris
* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia*
1. Terorisme dalam Peradilan Pidana
2. Pergeseran Makna Terorisme
3. Kerahasiaan Data PPATK
4. Panwas (dan) Pemilu
5. Sistem Hukum Indonesia
6. Kegagalan SPP Anak
7. proses hukum dalam pemilu
8. KPK dan Korupsi
9. Bush Kebal Santet

.

Saturday, June 16, 2007

DASAR KONSTITUSIONAL BANTUAN HUKUM

Frans H. Winarta
Anggota KHN


Selama ini yang terjadi adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat. Untuk itu diperlukan undang-undang bantuan hukum sebagai konsekuensi pengakuan konsep bantuan hukum dalam UU Advokat. Ditambah lagi melihat Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 pengakuan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari fakir miskin yang berarti adanya pengakuan terhadap hak untuk dibela oleh advokat atau pembela umum bagi fakir miskin, maka undang-undang bantuan hukum mutlak diperlukan dalam rangka mempertegas hak untuk memperoleh bantuan hukum bagi fakir miskin.

Sejauh ini, dukungan finansial bagi YLBHI diperoleh dari sumbangan-sumbangan luar negeri, seperti Amerika Serikat, Swedia, Belgia, Belanda, Australia dan Kanada. Anggapan keliru yang tersebar luas adalah bahwa seolah-olah segala urusan tentang bantuan hukum termasuk dukungan finansial dapat diserahkan kepada organisasi bantuan hukum itu sendiri dengan asumsi organisasi bantuan hukum mau membantu karena seseorang dikategorikan miskin padahal bantuan hukum adalah tanggung jawab negara. Oleh karena itu negara telah mengabaikan tugas konstitusionalnya untuk membiayai gerakan bantuan hukum dan tidak mengalokasikan anggaran tertentu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini bertentangan dengan kewajiban negara untuk melindungi fakir miskin. Negara bertanggung jawab atas nasib fakir miskin atau masyarakat miskin.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya perangkat hukum positif yang ada kurang memadai untuk menunjang konsep bantuan hukum sebagai hak konstitusional. Oleh karena itu bantuan hukum perlu dijabarkan lebih lanjut di dalam undang-undang bantuan hukum yang memuat konsep, fungsi, dan sifat dari bantuan hukum. Serta konsep bantuan hukum dinyatakan secara jelas dan tegas di dalam UUD 1945, agar hak konstitusional rakyat untuk memperoleh bantuan hukum dapat terjamin.

Dalam negara hukum (rechtsstaat) negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu. Pengakuan negara terhadap hak individu ini tersirat di dalam persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang. Dalam suatu negara hukum semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment).
Kalau seorang yang mampu (the have) mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu (the have not) juga dapat meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil bilamana orang yang mampu saja yang dibela oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum, sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan karena tidak sanggup membayar uang jasa (fee) seorang advokat.

Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang (justice for all). Tidak ada seorang pun dalam negara hukum yang boleh diabaikan haknya untuk memperoleh pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum dengan tidak memperhatikan latar belakangnya, seperti latar belakang agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosio-ekonomi, warna kulit dan gender.

Hak untuk Dibela Oleh Advokat atau Pembela Umum


Pemerintah Indonesia telah melaksanakan dan mewujudkan suatu negara hukum dalam praktik beracara dalam perkara pidana, yaitu dengan ditetapkannya UU No. 8 /1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengutamakan prinsip “Due Process of Law” dengan memberikan perlindungan hukum yang jelas terhadap tersangka dan terdakwa.

Jaminan perlindungan atas hak konstitusional untuk dibela oleh advokat adalah penting dalam praktik peradilan dan ini berlaku untuk orang yang mampu dan juga untuk fakir miskin. Kalau di dalam praktik peradilan orang mampu dapat menggunakan jasa advokat untuk membela kepentingannya maka bagi fakir miskin harus juga ada pembelaan baik dari advokat atau pembela umum secara pro bono publico. Sehingga pembelaan oleh advokat atau pembela umum bagi orang mampu atau fakir miskin adalah sesuatu hal yang mendasar karena merupakan hak individu yang harus dijamin dalam konstitusi dalam kerangka persamaan di hadapan hukum.

Selanjutnya sebagaimana pemikiran W. Friedmann pengakuan terhadap perlakuan yang sama (equal treatment) terhadap individu di hadapan hukum mempunyai korelasi dengan pengakuan kebebasan individu (individual freedom). Oleh karena itu setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan menunjuk seorang atau lebih advokat atau pembela umum untuk membelanya.

Adanya pembelaan advokat terhadap tersangka atau terdakwa yang berhadapan dengan negara yang mempunyai perangkat yang lengkap, maka akan terjadi keseimbangan dalam proses peradilan (audi et alteram partem) sehingga dapat dicapai keadilan bagi semua orang (justice for all).

Tentang keadilan, Immanuel Kant mengungkapkan sebagai berikut:
“If justice is gone, there is no reasons for a man to live longer on earth” (George P. Fletcher, 1998). Ungkapan Kant ini menunjukkan betapa pentingnya keadilan bagi kehidupan manusia sehingga seringkali hukum dianggap bertujuan mencari keadilan (justice).

Hak untuk dibela oleh seorang advokat atau pembela umum bagi semua orang tanpa ada perbedaan telah dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Hak untuk dibela oleh advokat atau pembela umum juga merupakan hak asasi manusia dari setiap warga negara yang dijamin dalam Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Basic Principles on the Role of Lawyers. Salah satu negara yang juga menjamin hak untuk mendapatkan pembelaan dari advokat dalam konstitusinya adalah Amerika Serikat. Diatur dalam The Bill of Rights: Amendment VI, yang berbunyi sebagai berikut: “In all criminal prosecutions, the accused shall enjoy the right to a speedy and public trial, by an impartial jury of the State and district wherein the crime shall have been committed, which district shall have been previously ascertained by law, and to be informed of the nature and cause of the accusation; to be confronted with the witnesses against him; to have compulsory process for obtaining witnesses in his favor, and to have the Assistance of Counsel for his defence.”

Bantuan Hukum Sebagai Hak Konstitusional

Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dari fakir miskin.

Atas dasar pertimbangan tersebut, fakir miskin memiliki hak untuk diwakili dan dibela oleh advokat baik di dalam maupun di luar pengadilan (legal aid) sama seperti orang mampu yang mendapatkan jasa hukum dari advokat (legal service). Penegasan sebagaimana diambil dari Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 memberikan implikasi bahwa bantuan hukum bagi fakir miskin pun merupakan tugas dan tanggung jawab negara dan merupakan hak konstitusional.

Di negara berkembang seperti Indonesia, adanya organisasi bantuan hukum merupakan hal yang penting, yaitu untuk membantu fakir miskin dalam menghadapi masalah-masalah hukum karena organisasi bantuan hukum ini dapat mengurangi kemungkinan fakir miskin tidak memperoleh bantuan hukum untuk membela kepentingan hukumnya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Organisasi bantuan hukum dapat membantu fakir miskin untuk dapat memperoleh pengetahuan tentang hukum, hak asasi manusia, hak sipil dan politik, hak sosial, hak budaya, dan hak ekonomi. International Covenant on Civil and Political Rights diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 untuk memperkuat kewajiban pemerintah/negara untuk membantu hak fakir miskin baik dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, serta bantuan hukum.

Hambatan perundang-undangan yang dialami selama ini adalah tidak adanya jaminan untuk memperoleh pembelaan baik bagi orang mampu maupun fakir miskin baik di dalam UUD 1945 maupun di dalam KUHAP.

Jika kita tengok ke Filipina dan India, program bantuan hukum sebagaimana disampaikan Mehmood Pracha, pada “The Accessibility of Legal Aid in Rural Areas”, International Legal Aid Conference, Kuala Lumpur, sudah diatur dalam konstitusi negara-negara tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Bantuan hukum di Filipina diatur dalam konstitusinya (1987) :
"Free Access to the courts and quasi-judicial bodies and adequate legal assistance shall not be denied to any person by reason of poverty.”
Bantuan hukum di Filipina menawarkan pelayanan hukum selain di dalam pengadilan juga di luar pengadilan seperti: konsultasi hukum, mediasi, konsiliasi, jasa notaris, mendampingi pada saat pemeriksaan, dan kunjungan ke penjara.

2. Indian Constitution (Article 21, 22, 39 A). Article 21 dan 22 menyatakan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum bagi fakir miskin dan menjamin access to justice. Sedangkan pasal 39A menyatakan bahwa di setiap negara bagian di India diwajibkan memberikan bantuan hukum bagi fakir miskin.
Program bantuan hukum di India mencakup semua bidang hukum. Hal ini terlihat dalam The Legal Services Authorities Act section 2 (1), definisi dari Legal Services (pelayanan hukum) C adalah:
“Legal services include the rendering any service in the conduct any case or other legal proceeding before any court or other Authority or tribunal and the giving of advice on any legal matter.”

Jaminan untuk menunjuk advokat atau pembela umum harus berlaku untuk semua perkara dan bukan hanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP, yang menyatakan untuk tindak pidana yang dituntut hukuman lima belas tahun atau lebih atau dituntut hukuman mati, sedangkan bagi tersangka atau terdakwa yang tergolong fakir miskin baru dapat diberikan bantuan hukum secara cuma-cuma apabila diancam hukuman pidana selama lima tahun atau lebih. Hal ini adalah dalam rangka menjamin agar setiap orang dapat memperoleh pembelaan advokat atau pembela umum secara maksimal dalam rangka memastikan pelaksanaan dari proses peradilan yang adil (due process of law).

Kalau kita bandingkan KUHAP dengan The Russian Federation Code of Criminal Procedure (hukum acara pidana Rusia) diatur bahwa baik tersangka maupun terdakwa memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan tanpa adanya batasan-batasan pidana tertentu seperti di Pasal 56 KUHAP, hal ini termuat dalam Pasal 16:
“(1).A suspect or accused shall be guaranteed the right of defense, which may be exercised personally or with the assistance of defense counsel and/or a legal guardian.
(2).The court, procurator, investigator, or inquiry officer shall advise a suspect or an accused of his rights and shall provide them with the opportunity to defend themselves through the use of all methods and means not prohibited by this Code.
(3).In those circumstances specified by this Code, the require participation of defense counsel and/or any legal guardian of the suspect or accused shall be ensured by the officials who are conducting the proceedings in the criminal case.
(4).In the circumstances specified by this Code and other federal laws, a suspect or accused may avail themselves of the services of defense counsel free of charge.”


Dalam The Criminal Procedure Code of Thailand Section 8 diatur juga mengenai hak tersangka untuk menunjuk advokat sejak adanya penuntutan.
“From the time of entry of the charge, the accused shall be entitled:
(1). To appoint a counsel during the preliminary examination or trial before the Court of First Instance, the Appeal Court or the Dika Court.”



Category : Article, Advocacy, Totorial,




Artikel Lain
1. Terorisme dalam Peradilan Pidana
2. Pergeseran Makna Terorisme
3. Kerahasiaan Data PPATK
4. Panwas (dan) Pemilu
5. Sistem Hukum Indonesia
6. Kegagalan SPP Anak
7. proses hukum dalam pemilu
8. KPK dan Korupsi
9. Bush Kebal Santet


Pembuktian Terbalik Tidak Dikenal di Negara Kontinental

Prof. Indriyanto Senoadji
Guru Besar FH Universitas Krisna Dwipayana dan Pengajar Program Pascasarjana FH UI

Sejarah mengenai pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang menjadi polemik, sudah terjadi sejak tahun 1971. Istilah almarhum Oemar Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata “Beban” ditekankan bukan pada alat buktinya tapi pada siapa yang berhak untuk melakukan.

ICCPR tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Jadi, amanah dari ICCPR ini adalah penekanan dari berlakunya non self incrimination, bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence).
Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang mengakui rule of law, salah satu karakternya ialah presumption of innocence. Dalam sistem acara pidana, dalam kaitannya dengan pembuktian, non self incrimination itu karakter dari berlakunya sistem pembuktian yang kita sebut pembuktian negatif.

Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Kalau kita lihat di KUHP atau KUHAP di negara-negara Kontinental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap (Bribery).

Dari perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, suap dikatakan sebagai kejahatan yang sulit pembuktiannya (invisible crime). Di negara-negara Anglo Saxon pun suap yang menjadi kendala, makanya lalu keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia.

Usia KUHP Indonesia sudah ratusan tahun dan aturan dalam pasal mengenai suap itu mati suri atau impoten, dalam arti tidak bisa diapa-apakan. Berbagai cara dicoba, dikeluarkaan aturan baru mengenai suap aktif (Pasal 1 ayat (1) huruf d), diubah lagi dalam Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 sampai sekarang masih dipertahankan, tapi tetap jadi Pasal yang impoten.

Kemudian dicoba lagi dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan memperluas alat bukti petunjuk di Pasal 26 a di mana pengertian surat diperluas menyangkut yang terkait dengan elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Padahal istilah alat bukti petunjuk di dunia dan di akhirat tidak dikenal, hanya di Indonesia alat bukti petunjuk dimasukkan. Sekarang di RUU KUHAP alat bukti petunjuk dihapuskan.

Ketidakberhasilan lembaga delik baru yaitu suap aktif yang diatur dalam pasal tersendiri sejak UU No.3 Tahun 1997, dilanjutkan dengan membuat mekanisme pelaporan di dalam UU No.20 Tahun 2001) dengan mencantumkan Pasal 12 A dalam rancangan yang disahkan menjadi Pasal 12 b mengenai gratifikasi. Oleh karena itu, jika pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan (menyangkut tehnis hukum pidana), maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan delik.

Kalau kita lihat Pasal 12 b, terhadap kata-kata yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan, karena untuk menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik itu jauh lebih baik dilakukan di peradilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi (jadi maksudnya dilakukan di peradilan adalah untuk menghindari kemungkinan kolusi pada proses penyidikan dan penuntutan).

Tapi yang terpenting untuk apa yang dinamakan pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari Penuntut umum untuk dibuktikan, tapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, dan tidak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu.
Kesimpulannya;

1. Di dalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap (gratifikasi). Jadi di UU No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.20 Tahun 2001(Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,15), pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk Pasal 12 b dan 38 b yaitu yang berkaitan dengan delik suap.
2. Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku hanya terhadap perampasan harta kekayaan dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan dan diputus berdasarkan Pasal 2, 3, yang bersangkutan berhak membuktikan sebaliknya bahwa hartanya diperoleh bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Sumber : Newsletter Komisi Hukum Nasional Vol. 7, N0. 2, Maret-April 2007

Category : Article, Advocacy, Totorial,






Artikel Lain
1. Terorisme dalam Peradilan Pidana
2. Pergeseran Makna Terorisme
3. Kerahasiaan Data PPATK
4. Panwas (dan) Pemilu
5. Sistem Hukum Indonesia
6. Kegagalan SPP Anak
7. proses hukum dalam pemilu
8. KPK dan Korupsi
9. Bush Kebal Santet

Kerahasiaan Data PPATK

M. Jodi Santoso

Pusat Pelaporan dan Transaksi Kekuangan (PPATK/ The Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre-INTRAC) kembali mendapat sorotan berbarengan dengan terungkapnya Pencairan Dana Milik Motorbike International Limited Perusahaan Tommy Soeharto sebesar $10 juta US dari Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas Inggris melalui rekening Departemen Hukum dan HAM (Depkumham). Pemicunya adalah terbitnya surat PPATK yang dikirimkan kepada salah satu instansi Pemerintah.

Dalam berita pers tentang "Penjelasan PPATK Mengenai Berita Pencairan Dana Milik Motorbike International Limited Perusahaan Tommy Soeharto Yang Tersimpan Di BNP Paribas, Guernsey” pada angka 2, PPATK mengatakan ”..berdasarkan pengecekan pada database administrasi PPATK nama badan hukum Motorbike International Limited tidak pernah dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan sebagai pihak yang melakukan Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicious Transaction Report). Dalam surat tersebut, PPATK sama sekali tidak menyatakan bahwa Motorbike International Limited/tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang...”.

Berkaitan dengan surat PPATK tersebut, terdapat tiga masalah penting yaitu, konsekwensi yuridis surat PPATK tersebut, kerahasian data PPATK, serta siapa yang dapat mengakses data PPATK?

Sebagai catatan awal, berita pers PPATK tidak menyebutkan DEPKUMHAM sebagai institusi pemerintah yang menerima surat, sehingga muncul pertanyaan apakah DEPKUHAM diduga terlibat (seperti pemberitaan media) atau ada instansi pemerintah lain yang juga terlibat dalam perkara pencairan dana rekening Motorbike International Limited. Untuk itu, tulisan ini akan menggunakan istilah instansi pemerintah seperti yang disampaikan oleh PPATK.

Secara implisit, PPATK tidak menyatakan status rekening Motorbike International Limited bermasalah atau tidak bermasalah. Akan tetapi, dalam kacamata UU No 15/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang sebagaimana yang telah diubah berdasarkan UU No 25/2003 tentang Perubahan UU No 15/2002, konsekwensi yuridis dari pernyataan PPATK yang menyebutkan tidak ada data atau tidak masuknya data rekening Motorbike International Limited dalam database adminstrasi PPATK sama dengan pernyataan yang menyatakan Motorbike International Limited tidak bermasalah. Terdapat argumentasi yuridis tentang hal tersebut.

Data PPATK adalah transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions/STR dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif tertentu (cash transactions/CTR) yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan pada PPATK (Pasal 13 UU No 15/2002, Pasal 1 angka 7 UU No 25/2003).

Selain transaksi yang mencurigakan Penyedia jasa keuangan tidak berkewajiban untuk melaporkan sebuah transaksi atau rekening pada PPATK. Dengan demikian, data yang ada pada PPATK adalah data transaksi keuangan yang mencurigakan dan bermasalah saja.
Secara argumentum a contrario, selama PPATK belum atau tidak menerima laporan dari penyedia jasa tentang suatu transaksi/rekening yang mencurigakan maka transaksi dan rekening tersebut tidak bermasalah.

Dari pemahaman demikian, pernyataan PPATK tentang ”...pada database administrasi PPATK nama badan hukum Motorbike International Limited tidak pernah dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan sebagai pihak yang melakukan Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicious Transaction Report)” mempunyai konsekwensi yuridis yang sama dengan pernyataan rekening Motorbike International Limited tidak bermasalah dan tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang menurut UU anti pencucian uang. PPATK dalam melakukan tugas dan fungsinya harus tunduk pada pemaknaan data dalam kerangka UU anti pencucian uang.

Pada sisi lain, sesuai ketentuan Pasal 26 angka 1, oleh PPATK, data tersebut dikumpulkan, disimpan, dianalisis, dan dievaluasi. Dengan tugas mengumpulkan, menyimpan, menganalisis ini, PPATK memerankan fungsi inteligen finansial (finance intelligence). Sebagai finance intelligence, PPATK tunduk pada sifat -sifat intelijen financial di mana data yang ada pada PPATK adalah data intelijen yang bersifat rahasia dengan tingkat kerahasian tertentu. Hanya lembaga yang ditentukan aturan perundang-undangan yang dapat mengakses data PPATK.

Sutan Remi Sjahdeini (2004) menyebutkan fungsi finance intelligence adalah menerima informasi keuangan, menganalisis atau memproses informasi tersebut, dan menyampaikan hasilnya kepada otoritas yang berwenang untuk menunjang upaya-upaya memberantas kegiatan pencucian uang. Hal yang sama juga disampaikan Egmont Group menyebutkan bahwa, “… responsible for receiving (and, as permitted, requesting), analyzing and disseminating to the competent authorities, disclosures of financial informatioan: concerning suspected proceeds of crime, or required by national legislation or regulation in order to counter money laundering”.

Beranjak dari batasan-batasan di atas, PPATK berfungsi untuk memformulasikan laporan awal dari penyedia jasa keuangan tentang transaksi mencurigakan ke dalam dua bentuk yaitu sebagai bukti permulaan dalam kerangka penegakan hukum (law enforcement) dan dalam bentuk rekomendasi/ laporan dalam kerangka pengambilan kebijakan (policy making).

Tahap awal (preliminary investigation) kerja PPATK adalah melakukan pendeteksian aliran dana (early warning system). Informasi intelijen yang dihasilkan akan dianalisi dan merupakan titik awal dalam proses hukum. Muncul indikator-indikator dugaan praktik pencucian uang dan kejahatan asal. Sebagai lembaga independent, PPATK tidak dapat menyampaikan semua data kepada aparat penegak hukum dan pengambil kebijakan. PPATK hanya boleh menyampaikan data pada lembaga tertentu sesuai tingkat penggunaan. UU No 15 Tahun 2002/UU No 25/2003 telah mengatur dengan jelas tingkat penggunaan data.

Pasal 26 angka 4 yang menyebutkan PPATk mempunyai tugas : memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Agar tidak digunakan penafsiran luas, pasal tersebut harus disandingkan dengan ketentuan lainnya. Pasal 26 angka 7 menentukan PPATK mempunyai tugas melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada kepolisian dan kejaksaan. Selain lembaga-lembaga tersebut, undang-undang tidak menentukan lembaga lain untuk mengakses kerahasian data PPATK yang berindikasi tindak pidana pencucian uang. Akan tetapi, karena ada keterkaitan antara pencucian uang dengan tindak pidana asal (predicate crime), maka dengan sendirinya dapat melakukan koordinasi dengan lembaga yang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutuan tindak pidana asal seperti yang diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 25/2003. Pada level kerjasama internasional, berdasarkan Pasal 44, PPATK juga dapat melakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan berlandaskan pada asas resiprositas (kesejajaran dan timbal balik).

Untuk kepentingan pengambilan kebijakan, sesuai ketentuan Pasal 26 angka 6 dan 8, PPATK dapat menyampaikan rekomendasi berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang pada Presiden dan DPR. Kepada dua lembaga terakhir ini, PPATK hanya memberikan rekomendasi bukan data yang ada atau tidak ada pada PPATK. Prinsip transparansi dan akuntabilitas publik harus sejajarkan dengan prinsip kerahasian keuangan.

Sumber : Newsletter Komisi Hukum Nasional Vol. 7, N0. 2, Maret-April 2007


Wednesday, June 13, 2007

GUGATAN KASUS LUMPUR PANAS SIDOARJO

TIM ADVOKASI KORBAN KEMANUSIAAN LUMPUR SIDOARJO
GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
KASUS LUMPUR PANAS SIDOARJO

Antara
YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM INDONESIA

Sebagai

PENGGUGAT

Melawan
1. Negara cq. Pemerintah RI cq. Presiden RI sebagai TERGUGAT I;
2. Negara cq. Pemerintah RI cq. Presiden RI cq. Menteri Energi Sumber Daya Mineral RI sebagai TERGUGAT II;

3. Negara cq. Pemerintah RI cq Presiden RI cq. Menteri Negara Lingkungan Hidup RI sebagai TERGUGAT III;

4. Negara cq. Pemerintah RI cq Presiden RI cq. Badan Pelaksana Minyak dan Gas sebagai TERGUGAT IV;

5. Negara cq. Pemerintah RI cq. Presiden RI cq. Pemerintah Propinsi Jawa Timur cq. Gubernur Jawa Timur sebagai TERGUGAT V;

6. Negara cq. Pemerintah RI cq. Presiden RI cq. Pemerintah Propinsi Jawa Timur cq. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo cq. Bupati Sidoarjo sebagai TERGUGAT VI;

7. Lapindo Brantas Incorporated sebagai TURUT TERGUGAT.

Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Desember, 2006




Hal: GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Jakarta, 8 Desember 2006
Kepada yang terhormat,
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Di tempat
Dengan hormat,
Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M., Ivan Valentina Ageung, S.H., Jevelina Punuh, S.H., Susilaningtias, S.H., Sulistiono, S.H., Rino Subagyo, S.H., A.H. Semendawai, S.H.,LL.M, Asfinawati, S.H., Asep Yunan Firdaus, S.H., Tabbrani Abby, S.H., M.Hum, Erna Ratnaningsih, S.H., Indriaswati Saptaningrum, S.H., LL.M, Zainal Abidin, S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Restu Mahyuni, S.H., S.S, LL.M., Sjarifuddin Jusuf, S.H., Sri Nur Fathya, S.H., Ferry Siahaan, S.H., Romy Leo Rinaldo, S.H., Astuty Liestianingrum, S.H., Siti Aminah, S.H., Gatot, S.H., Hermawanto, S.H., Nurkholish Hidayat, S.H., Febi Yonesta, S.H., Restaria F. Hutabarat, S.H., Kiagus Ahmad BS, S.H., Henri Subagyo, S.H., Ricky Gunawan, S.H., Albert Sianipar, S.H., Nadya Harris Effendy, S.H., I Gede Aryana, S.H., Erick Christoffel, S.H., Chaterine Panjaitan, S.H., Iki Dulagin, SH., Cristin Naenak, S.H., Dhoho A. Sastro, S.H., Virza R. Hizzal, S.H., Totok Yulianto, S.H., Dimas Prasidi, S.H., Melda Kumalasari, S.H., Putri Kanesia, S.H., Edi Gurning, S.H., Khaerudin, S.H., Agus Pratiwi, S.H., Andiko, S.H., Supriyadi W. Eddyono, S.H. Agus Yunianto, S.H., M. Saiful Aris, S.H. Athoilah S.H.; Saiful Arif, S.H., Ansorul Huda, S.H., Faiq Assidiqi, S.H., Waode Sitti Adriyani, S.H., Wiwid Tuhu, S.H., Rijal Alifi, S.H., Subagyo, S.H., Budi Siswanto, S.H., adalah Advokat Publik dan Asisten Advokat Publik yang memilih domisili hukum di Jl. Diponegoro 74, Jakarta Pusat, dalam hal ini bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 1 Desember 2006, untuk dan atas nama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (“YLBHI”) beralamat di Jl. Diponegoro 74 Jakarta Pusat, dalam hal ini diwakili oleh A. Patra M. Zen, S.H., LL.M, Ketua Badan Pengurus YLBHI sebagai PENGGUGAT.

Dengan ini PENGGUGAT mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap:

1. Negara cq. Pemerintah RI cq. Presiden RI, berkedudukan di Istana Negara, Jalan Merdeka Utara sebagai ...............,,,,,... TERGUGAT I;
2. Negara cq. Pemerintah RI cq. Presiden RI cq. Menteri Energi Sumber Daya Mineral RI berkedudukan di Jl. Medan Merdeka Selatan No. 18, Jakarta Pusat, sebagai ............ ..................................................................... TERGUGAT II;
3. Negara cq. Pemerintah RI cq Presiden RI cq; Menteri Negara Lingkungan Hidup RI berkedudukan di Jl. D.I Panjaitan Kav. 24, Jakarta Timur, sebagai .................. .................................................... ................ TERGUGAT III;
4. Negara cq. Pemerintah RI cq. Presiden RI cq; Menteri Energi Sumber Daya Migas RI cq Badan Pelaksana Migas RI berkedudukan di Gedung Patra Jasa Lantai 1, 2, 13, 14, 16, 21, 22, Jl. Gatot Subroto Kav. 32-34, Jakarta Selatan, sebagai .................. .................................................................... TERGUGAT IV;
5. Negara cq. Pemerintah RI cq. Presiden RI cq. Pemerintah Propinsi Jawa Timur cq. Gubernur Jawa Timur berkedudukan di Jl. Pahlawan No. 118, Surabaya, Jawa Timur sebagai ............................................................... TERGUGAT V;

6. Negara cq. Pemerintah RI cq. Presiden RI cq. Pemerintah Propinsi Jawa Timur cq. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo cq. Bupati Sidoarjo berkedudukan di Jl. Gubernur Suryo No. 1, Sidoarjo, Jawa Timur sebagai ................................................ ......... .......................................................... TERGUGAT VI;
7. Lapindo Brantas Incorporated berkedudukan di Wisma Mulia Lt. 28, Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 42, Jakarta, sebagai ............................. TURUT TERGUGAT.

Keseluruhan TERGUGAT I sampai dengan VI untuk selanjutnya disebut sebagai PARA TERGUGAT; dan TURUT TERGUGAT selanjutnya disebut sebagai TURUT TERGUGAT.

Adapun alasan-alasan PENGGUGAT mengajukan GUGATAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM adalah sebagai berikut :

I. KEDUDUKAN DAN KEPENTINGAN HUKUM PENGGUGAT SELAKU LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT YANG MEMILIKI HAK GUGAT ORGANISASI

1. Bahwa PENGGUGAT adalah badan hukum bernama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang melakukan pembelaan hukum terhadap Hak Asasi Manusia;

2. Bahwa yang menjadi objek gugatan aquo adalah perbuatan PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT yang merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia khususnya di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat;

3. Bahwa oleh karenanya, PENGGUGAT sebagai lembaga yang selalu melakukan pembelaan terhadap Hak Asasi Manusia demi kepentingan masyarakat luas memiliki kepentingan hukum dalam mengajukan gugatan ini;

4. Bahwa berdasarkan yurisprudensi yang telah mengikat, hak gugat organisasi untuk kepentingan masyarakat telah diakui sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. Dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan publik;
c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

5. Bahwa PENGGUGAT telah memenuhi persyaratan tersebut di atas, yakni
PENGGUGAT merupakan badan hukum berbentuk yayasan (Bukti P-1).

6. Dalam Pasal 5 ayat (2) Anggaran Dasar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (”YLBHI”) disebutkan bahwa tujuan dari Yayasan ini adalah menumbuhkan, mengembangkan dan memajukan pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai negara hukum dan martabat serta hak-hak asasi manusia pada umumnya dan meninggikan kesadaran hukum dalam masyarakat pada khususnya, baik kepada pejabat maupun warga negara biasa, agar supaya mereka sadar akan hak-hak dan kewajiban sebagai ubyek hukum; dan dalam Pasal 5 ayat (3) pada Anggaran Dasar yang sama disebutkan bahwa Yayasan berperan aktif dalam proses pembentukan hukum, penegakan hukum dan pembaruan hukum sesuai dengan onstitusi yang berlaku dan Deklarasi Umum Hak-hak Azasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Dalam Pasal 21 pada Anggaran Dasar yang sama disebutkan bahwa Ketua mewakili Yayasan di dalam maupun di luar pengadilan tentang segala hal dan segala kejadian dengan hak untuk dan atas nama Yayasan.

7. Bahwa kemudian telah diakui secara luas sejak PENGGUGAT berdiri pada tahun 1970, PENGGUGAT telah secara nyata melaksanakan kegiatan dalam anggaran dasarnya terutama yang diwujudkan dalam membela hak-hak masyarakat melalui langkah hukum. Pembelaan hukum dan HAM yang dilakukan PENGGUGAT telah menjadi hal yang diketahui umum terbukti
dengan tingkat masih kepercayaan masyarakat kepada PENGGUGAT untuk memberikan bantuan hukum dan melakukan advokasi HAM (Bukti P-2)

8. Bahwa kepentingan hukum dan legal standing PENGGUGAT dalam mengajukan gugatan bagi kepentingan Hak Asasi Manusia ini, juga telah diakui dalam praktek pengadilan yang menjadi yurisprudensi, antara lain :
a) Putusan Gugatan Legal Standing di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan perkara nomor: 213/Pdt.G/2000/PN.JKT.PST diajukan oleh YLBHI, APHI, ELSAM, KONTRAS, dan PBHI yang mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dalam perkara Kerusuhan Sampit;
b) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 060/PUU-II/2004 tentang Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap UUD 1945;
c) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945;
d) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap UUD 1945.

II. DASAR HUKUM DIAJUKANNYA GUGATAN
9. Bahwa Para Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT melalui pertanggungjawaban perdata Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 jo. Pasal 1366 jo. Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

III. URAIAN FAKTA-FAKTA HUKUM

10. Bahwa sejak 29 Mei 2006 hingga saat gugatan ini didaftarkan telah terjadi semburan lumpur panas yang meluas di sekitar kecamatan Porong Sidoarjo yang bersumber di areal ladang eksplorasi sumur pengeboran Banjar Panji di Kabupaten Sidoarjo yang dilaksananakan oleh perusahaan PT. Lapindo Brantas yang merupakan TURUT TERGUGAT;

11. Bahwa keluarnya semburan lumpur panas terjadi dipicu oleh kegiatan eksplorasi yang dilakukan TURUT TERGUGAT di Rig TMMJ 1 di lokasi Banjar Panji;

12. Bahwa kegiatan usaha minyak dan gas di areal ladang eksplorasi sumur pengeboran Banjar Panji dilakukan TURUT TERGUGAT berdasarkan Kontrak Pembagian Produksi atau Production Sharing Contract (PSC) antara TURUT TERGUGAT dengan TERGUGAT IV;

13. Bahwa setelah keluarnya semburan lumpur panas di areal eksplorasi milik TURUT TERGUGAT, PARA TERGUGAT selaku penanggung jawab jalannya pemerintahan dan memiliki kewajiban hukum untuk melindung hak-hak warga negaranya tidak segera melakukan tindakan-tindakan yang cepat dan tanggap sehingga dapat meminimalisir kerugian dan korban.

14. Bahwa sesuai dengan ukuran akal sehat dan kewajaran, PARA TERGUGAT telah bertindak sangat terlambat dan ragu-ragu. Pada awal-awal kejadian semburan lumpur, PARA TERGUGAT tidak secara penuh dan optimal menggunakan kewenangan dan mengerahkan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki untuk menyelamatkan para penduduk yang terkena dan/atau berpotensi terkena dampak semburan lumpur.

15. Bahwa tragedi semburan lumpur panas ini dan lambatnya penanganan telah mengakibatkan dampak yang besar dan penting bagi lingkungan sertamenimbulkan jumlah kerugian amat besar bagi lingkungan hidup dan masyarakat sekitar. Dampak dan kerugian ini telah dikategorikan sebagai dampak dan kerugian yang luar biasa karena telah memporak-porandakan kelangsungan lingkungan hidup dan sumber-sumber penghidupan warga
sekitarnya;

16. Bahwa semburan lumpur panas ini telah mengakibatkan dampak yang besar hak-hak kehidupan masyarakat termasuk hak-hak asasinya. Dampak ini telah secara nyata mengakibatkan terganggunya hak untuk mendapatkan pendidikan, lenyapnya rasa aman (dihinggapi rasa takut dan cemas), tercabutnya orang dari akar budaya dan kehidupan sosial, munculnya konflik horizontal, serta ketiadaan informasi yang menyebabkan kebingungan, ketakutan, dan ketidakpastian;

17. Bahwa dampak dan kerugian yang terjadi setiap harinya semakin bertambah besar seiring dengan meluasnya semburan lumpur dan lambatnya penanganan yang seharusnya dilakukan oleh PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT;

18. Bahwa jumlah dan besarnya kerugian yang luar biasa akibat peristiwa semburan lumpur panas yang dipicu oleh kegiatan TURUT TERGUGAT dan akibat lambatnya penanganan PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT merupakan hal yang telah diketahui secara luas dan telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten) bahkan telah menjadi pusat perhatian
nasional dan dunia internasional;

19. Sementara itu, penanganan yang sangat terlambat, baik penanganan terhadap korban dan potensi korban, penanganan terhadap perlindungan sumbersumber vital seperti jalan, sumber energi dan sumber ekonomi maupun penanganan atas penghentian semburan lumpurnya dan pengrusakan lingkungannya, telah membuat keadaan menjadi lebih buruk dan korban menjadi lebih besar. Apabila PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT melakukan penanganan secara serius sejak lebih awal maka jumlah korban dan kerugian dapat lebih diminimalisir;

20. Bahkan akibat berlarut-larutnya penanganan, semburan lumpur tersebut telah menimbulkan korban jiwa. Hingga gugatan ini diajukan setidaknya kurang lebih 12 (duabelas) orang meninggal dunia, satu orang hilang, dan belasan lainnya luka-luka akibat ledakan pipa gas Pertamina yang terendam semburan lumpur panas pada tanggal 22 November 2006;

21. Sementara itu, terdapat kewajiban hukum yang dimiliki oleh PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT. Kewajiban hukum ini timbul akibat dari terlanggarnya hak-hak masyarakat yang juga meliputi Hak Asasi Manusia, baik disebabkan oleh terjadinya semburan lumpur maupun oleh ketidakbecusan dan kelalaian penanganannya. Terhadap kelalaian dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT harus terdapat pertanggungjawaban hukum agar peristiwa seperti ini tidak terulang kembali di masa mendatang (prinsip non-recurrence);

FAKTA PERBUATAN MELAWAN HUKUM

22. Bahwa sekalipun sejak awal telah dapat diperhitungkan akan menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan, PARA TERGUGAT tidak mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak semburan lumpur panas tersebut pada hari-hari awal terjadinya semburan lumpur. Hal ini menunjukkan bahwa PARA TERGUGAT, selaku penyelenggara negara telah bertindak tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya;

23. Bahwa meskipun dampak semburan lumpur jelas-jelas nyata akan memiliki dampak meluas bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan, namun tidak ada langkah-langkah konkrit yang cepat dan efektif dari TERGUGAT I selaku kepala pemerintahan yang memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi warga negaranya. TERGUGAT I sebagai kepala Pemerintahan juga bertanggung jawab atas segala kelalaian dan kesalahan yang dilakukan jajaran pemerintahan di bawahnya termasuk TERGUGAT II sampai dengan TERGUGAT VI.

24. Bahwa ketiadaan upaya yang serius, tanggap, cepat dan efektif juga dilakukan oleh TERGUGAT II selaku penanggung jawab pengawasan kegiatan usaha minyak dan gas, TERGUGAT III selaku penanggung jawab jaminan atas kerusakan lingkungan hidup, TERGUGAT IV selaku pelaksana penanggung jawab pengawasan berdasarkan kontrak kerja sama usaha minyak dan gas, TERGUGAT V selaku penanggungjawab kegiatan pemerintahan di daerah Jawa Timur dan TERGUGAT VI selaku penanggungjawab pemerintahan daerah di Kabupaten Sidoarjo;

25. Bahwa fakta menunjukkan perkembangan dampak semburan lumpur semakin membesar setiap harinya. Cakupan luas dan volume yang semakin bertambah dengan cepat sejalan dengan masukan-masukan berbagai ahli mengenai dampak dan bahaya semburan lumpur tersebut secara logis dan akal sehat telah menunjukkan berbahayanya dampak semburan lumpur apabila tidak ditangani secara cepat dan komprehensif;

26. Namun ternyata, TERGUGAT I sebagai kepala pemerintahan selalu terlambat dalam mengeluarkan kebijakannya terkait dalam upaya penanggulangan dampak semburan lumpur yang terjadi. TERGUGAT I tidak peka dan cenderung ragu-ragu dalam bertindak untuk mengatasi dampak semburan lumpur yang semakin berbahaya. Sehingga timbul kecurigaan siapakah yang ingin diselamatkan oleh TERGUGAT I beserta jajaran pemerintahannya:
apakah manusia dan lingkungan hidup yang jelas-jelas amat penting? Ataukah pemerintah menganggap lebih penting menyelamatkan perusahaan penanggungjawab kejadian semburan lumpur yakni TURUT TERGUGAT? Atau sumber daya minyak dan gas yang masih terkandung di daerah semburan lumpur agar tetap mendapatkan keuntungan ekonomi?

27. Di awal-awal kejadian, tidak ada pengerahan ahli-ahli secara optimal untuk mengkaji segala hal terkait penanggulangan dampak yang lebih besar dan tindakan-tindakan darurat lainnya guna meminimalisir korban oleh pemerintah pusat, dimana TERGUGAT I merupakan pemimpin pemerintahan. Sehingga tidak ada penjelasan resmi yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai sebab-sebab terjadinya semburan lumpur dan tindakan apa yang harus dilakukan para korban dan poternsi korban saat itu. Ketiadaan pengerahan ahli sejak awal ini membuat langkah-langkah penanggulangan menjadi sangat terlambat sehingga tidak lagi efektif dan berakibat pada membesarnya dampak kerugian;

28. Di awal-awal kejadian juga tidak ada informasi yang jelas dan jujur mengenai apa yang terjadi sehingga masyarakat tidak mengetahui dan tidak menyadari bahaya akan menghampiri mereka. Ketiadaan peringatan dini mengenai bahaya yang terjadi mengakibatkan jumlah korban tidak dapat diminimalisir. Bahkan terdapat distorsi informasi yang coba dikembangkan oleh pihak TURUT TERGUGAT yang didukung oleh TERGUGAT IV bahwa semburan lumpur akibat gempa bumi di Yogyakarta yang selanjutnya terbukti informasi tersebut tidak berdasar.

29. Bahwa keterlambatan penanganan dan ketidakseriusan TERGUGAT I tampak nyata dalam kebijakan yang diambil oleh TERGUGAT I. TERGUGAT I baru mengeluarkan kebijakan yang berskala nasional berupa Keputusan Presiden No. 13 tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo pada tanggal 8 September 2006, yakni setelah semburan lumpur berlangsung selama 3 (tiga) bulan 12 (duabelas) hari atau total selama 102 (seratus dua) hari. Padahal pada waktu 102 (seratus dua) hari tersebut telah banyak kejadian yang terjadi dan telah tampak jelas begitu berbahayanya dampak yang timbul dan begitu besarnya penderitaan masyarakat. Pada
waktu dikeluarkan kebijakan TERGUGAT I luas semburan lumpur dan dampaknya telah meluas sedemikian besar sehingga kebijakan TERGUGAT I menjadi sangat terlambat dan tidak efektif lagi;

30. Bahwa setelah berjalan, kebijakan TERGUGAT I terbukti tidak mampu mengatasi keadaan, yakni semburan terus terjadi dan tidak ada perubahan berarti bagi penyelamatan manusia dan lingkungan hidup. Barulah pada tanggal 27 September 2006 TERGUGAT I mengambil kebijakan lanjutan dalam rapat kabinet, yang juga sangat terlambat karena baru dikeluarkan setelah semburan lumpur terjadi selama 4 (empat) bulan 1 (satu) hari atau selama 121 (seratus duapuluh satu) hari. Waktu empat bulan yang tersia-siakan telah menumpuk berbagai masalah dan berkibat pada semakin menderitanya para korban;

31. Padahal, banyak kejadian pelanggaran hak-hak masyarakat yang berlangsung selama 4 bulan pertama tersebut. Banyak konflik di tengah masyarakat yang panik dan kebingungan, korban terus berjatuhan, rumah, sawah, kebun dan harta benda semakin banyak yang terendam lumpur, sekolah-sekolah terendam sehingga banyak anak-anak terlantar pendidikannya. Keterlambatan penanganan yang serius telah mengakibatkan korban menjadi jauh lebih banyak dibandingkan bila TERGUGAT I beserta jajarannya melakukan tindakan yang segera dan serius.

32. Bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh TERGUGAT I menjadi tidak efektif karena dikeluarkan sudah sangat terlambat. Apabila TERGUGAT I lebih cepat dan tepat mengeluarkan kebijakan, tentunya dampak dan kerugian tidak sebesar keadaan saat ini dan dapat diminimalisir;

33. Bahwa keterlambatan, keragu-raguan dan ketidak jelasan kebijakan pemerintah yang menjadi tanggung jawab TERGUGAT I selaku penanggungjawab pemerintahan telah menimbulkan keresahan bahkan kemarahan masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi panik karena merasa hak-hak asasinya tidak lagi dapat dijamin dan dilindungi oleh negara.

34. Bahkan hingga saat gugatan ini didaftarkan, semburan lumpur, kerusakan lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat belum teratasi secara optimal. Korban terus saja bertambah dan tidak ada tanda-tanda pemerintah yang dipimpin oleh TERGUGAT I mampu mengatasi keadaan;

35. Adanya korban jiwa semakin menunjukkan ketidakmampuan tersebut, sehingga pemerintah telah lumpuh karena tidak mampu memberikan perlindungan terhadap warga negaranya;

36. Bahwa selanjutnya TERGUGAT II dan TERGUGAT III selaku pembantu Presiden tidak melakukan langkah-langkah nyata, tidak serius dan terlambat dalam mengantisipasi keadaan;

37. Bahwa TERGUGAT II dan TERGUGAT III turut bertanggungjawab atas keterlambatan tindakan TERGUGAT I, karena kedudukan TERGUGAT II dan TERGUGAT III sebagai pembantu TERGUGAT I yang memberi masukan serta melaksanakan kebijakan TERGUGAT I;

38. Bahwa TERGUGAT II yang bertanggung jawab melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan usaha minyak dan gas yang dilakukan TURUT TERGUGAT tidak melaksanakan tugas dan kewajiban hukumnya dengan baik. TERGUGAT II tidak segera mengambil tindakan efektif padahal segala hal yang terjadi telah dapat diketahui, diukur dan dihitung dampaknya dengan segera, apalagi menjadi tugas TERGUGAT II untuk melakukan pengawasan
terhadap kegiatan TURUT TERGUGAT;

39. Bahwa sebagai penanggungjawab kegiatan usaha minyak dan gas, TERGUGAT II seharusnya telah menyadari akan dampaknya dengan segera sesaat setelah kejadian. Apabila TERGUGAT II menjalankan kewajiban hukumnya dengan baik, maka TERGUGAT II sudah melakukan pengerahan ahli-ahli di hari-hari pertama dan melaporkan keluasan dampaknya kepada TERGUGAT I, sehingga sejak hari-hari awal kejadian telah terdapat suatu upaya komprehensif penanggulangan dampak yang lebih besar berikut langkah-langkah pemulihan yang segera; Namun yang terjadi tidaklah demikian. TERGUGAT II tidak menjalankan tugasnya dengan optimal.

40. Bahwa selanjutnya, TERGUGAT III yang bertanggungjawab menjamin pengelolaan lingkungan hidup tidak melaksanakan tugas dan kewajiban hukumnya dengan baik. TERGUGAT III tidak segera mengambil tindakan efektif padahal jelas-jelas secara nyata dampak meluasnya semburan lumpur telah membuat semburan lumpur tersebut berbahaya bagi kelangsungan lingkungan hidup;

41. Apabila TERGUGAT III menjalankan kewajiban hukumnya dengan baik, maka
TERGUGAT IV sejak awal sudah melakukan pengerahan ahli-ahli dan melaporkan berbahayanya dampak semburan lumpur akibat keluasan dampaknya kepada TERGUGAT I, sehingga sejak hari-hari awal telah terdapat suatu upaya komprehensif penanggulangan dampak yang lebih besar berikut langkah-langkah pemulihan yang segera serta upaya penyelamatan korban yang terkena dan akan terkena dampak lumpur panas.

42. Bahwa langkah-langkah kebijakan yang terlambat dan tidak serius yang
dilakukan oleh TERGUGAT I, TERGUGAT II dan TERGUGAT III telah mengakibatkan dampak kerugian yang menjadi lebih besar dibandingkan jika PARA TERGUGAT tersebut lebih tanggap dan serius menangani kejadian aquo, dan korban dapat lebih diminalisir;

43. Bahwa selanjutnya, TERGUGAT IV adalah pihak yang membuat Kontrak Pembagian Produksi atau Production Sharing Contract (“PSC”) dengan TURUT TERGUGAT terkait dengan kegiatan TURUT TERGUGAT dalam eksplorasi minyak dan gas di sumur Banjar Panji yang telah memicu terjadinya semburan lumpur panas;

44. Namun ternyata TERGUGAT IV selaku penanggung jawab langsung pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha hulu berdasarkan kontrak kerjasama tidak melaksanakan kewajiban hukumnya dengan baik. TERGUGAT IV telah lalai melaksanakan tugasnya tersebut sehingga perbuatan TURUT TERGUGAT yang memicu terjadinya semburan lumpur panas dapat terjadi;

45. Bahwa sebagai pengawas langsung, TERGUGAT IV juga telah lalai melakukan tugasnya terkait dengan penanggulangan segera dan seketika saat terjadinya semburan lumpur di bulan Mei 2006. Seharusnya sesuai dengan kewajibannya, TERGUGAT IV mengawasi segala hal yang dilakukan oleh TURUT TERGUGAT dan mengetahui hal-hal yang terkait dengan keadaan dan kegiatan di areal sumur pengeboran Banjar Panji 1;

46. Bahwa sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan,
TERGUGAT IV seharusnya merupakan pihak yang mengetahui sejak awal berbahayanya semburan lumpur yang dipicu oleh kegiatan TURUT TERGUGAT. Namun TERGUGAT IV tidak segera mengambil langkah-langkah cepat dan tanggap sehingga kerugian menjadi jauh lebih besar.

47. Bahwa TERGUGAT IV juga telah lalai melakukan pengawasan atas penerapan kaidah keteknikan yang baik oleh TURUT TERGUGAT dalam melaksanakan usahanya sehingga tidak dapat menghindari terjadinya semburan lumpur;

48. Bahwa dengan terjadinya semburan lumpur dan meluasnya dampak semburan lumpur tersebut, TERGUGAT IV telah lalai melakukan pengawasan terhadap usaha dan pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan hidup dan mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat;

49. Bahwa lebih jauh, TERGUGAT IV juga telah melakukan kebohongan publik dengan mengatakan bahwa semburan lumpur panas di areal eksplorasi adalah akibat dari gempa bumi. Kebohongan publik ini dilakukan oleh TERGUGAT IV dalam dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 12 Juni 2006 dan diliput secara luas oleh media massa.

50. Keterangan TERGUGAT IV tersebut merupakan perbuatan yang sengaja untuk menutup-nutupi keadaan sebenarnya, atau setidaknya dikeluarkan tanpa melalui kajian yang mendalam;

51. Bahwa kemudian, TERGUGAT V sebagai penanggungjawab pemerintahan Provinsi Jawa Timur dan TERGUGAT VI selaku penanggungjawab pemerintahan Kabupaten Sidoarjo telah lalai melaksanakan kewajiban hukumnya;

52. Bahwa TERGUGAT V dan TERGUGAT VI tidak secara serius menangani para korban, sehingga banyak korban terlantar di pengungsian dan banyak korban lainnya termasuk perempuan dan anak-anak menjadi terlantar;

53. Bahwa fakta menunjukkan korban di pengungsian mengalami penderitaan yang berkepanjangan akibat ketiadaan perhatian yang serius. Para korban yang juga sebagian terdiri dari perempuan, anak-anak dan orang-orang yang berusia lanjut harus tinggal di tempat-tempat pengungsian yang tidak layak. Begitu pula halnya dengan jaminan kehidupan sehari-hari para korban ini, yang jauh dari standar kehidupan yang layak;

54. Bahwa TERGUGAT V dan TERGUGAT VI juga tidak secara serius mencegah meluasnya dampak semburan lumpur. TERGUGAT V dan TERGUGAT VI telah lalai menjamin kelangsungan pemenuhan kebutuhan vital baik kepada para korban maupun kepada masyarakat sekitar yang tinggal di wilayah Jawa Timur pada umumnya dan Sidoarjo pada khususnya;

55. Bahwa fakta menunjukkan berbagai sarana vital yang menjadi landasan hidup
orang banyak seperti sarana transportasi, energi, dan komunikasi telah rusak dan tidak berfungsi akibat semburan lumpur;

56. Bahwa rusaknya dan hancurnya sarana-sarana vital tersebut tidak diantisipasi dengan baik oleh PARA TERGUGAT terutama TERGUGAT V dan TERGUGAT VI sehingga dampaknya tidak dapat diminimalisir. Begitu banyak kegiatan-kegiatan penting termasuk kegiatan ekonomi dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan kelangsungan hidup menjadi terganggu. Jalur transportasi berkali-kali harus ditutup, sumber-sumber energi menjadi terancam dan bahkan tidak berjalan. Akibatnya, dampak semburan lumpur ini
semakin meluas, tidak hanya diderita oleh korban lansung yang daerahnya terendam, tetapi juga oleh segenap masyarakat Sidoarjo dan Jawa Timur yang
bergantung pada sarana-sarana vital tersebut.

57. Bahwa TERGUGAT V dan TERGUGAT VI telah lalai memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat mengenai segala hal yang berkaitan dengan semburan lumpur berikut penanganannya;

58. Bahwa fakta menunjukkan telah terjadi keresahan yang amat berbahaya di kalangan masyarakat yang disebabkan informasi yang tidak jelas. Keresahan ini terbukti menimbulkan benih-benih konflik di tengah masyarakat, bahkan beberapa diantaranya telah mewujud berbentuk konflik horizontal;

59. Bahwa TERGUGAT V dan TERGUGAT VI sebagai pihak yang bertanggungjawab melakukan pengawasan kegiatan usaha yang dilakukan TURUT TERGUGAT juga telah lalai menjalankan kewajibannya sehingga kegiatan yang memicu terjadinya semburan lumpur oleh TURUT TERGUGAT dapat terjadi;

60. Bahwa dengan demikian, perbuatan-perbuatan dan kelalaian PARA TERGUGAT I sampai dengan TERGUGAT VI dan TURUT TERGUGAT, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, telah mengakibatkan semakin parahnya dampak yang terjadi akibat dari semburan lumpur tersebut.


IV. SIFAT MELAWAN HUKUM
A. SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM PERBUATAN MELAWAN HUKUM


61. Bahwa Perbuatan-Perbuatan PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT merupakan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur Pasal 1365 jo. Pasal 1366 jo. Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata.

Pasal 1365 KUHPerdata:
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”

Pasal 1366 KUHPerdata:
"Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian ynag disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya".

Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata:
“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawah-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”.

62. Bahwa yang dimaksud dengan Perbuatan Melawan Hukum menurut M.A.Moegni Djodjodirdjo di dalam bukunya yang berjudul "Perbuatan Melawan Hukum" adalah “Kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang” .

B. HAK-HAK ASASI MANUSIA YANG TELAH DILANGGAR

63. Bahwa masyarakat, baik yang menjadi korban langsung dari semburan lumpur
panas di Sidoarjo maupun masyarakat luas yang secara tidak langsung terkena dampak semburan lumpur tersebut memiliki hak asasi yang sama sekali tidak boleh dilanggar. Hak asasi Manusia ini juga telah menjadi hak konstitusional rakyat Indonesia, yang jika dilanggar berarti juga telah melanggar konstitusi. Hak-hak ini antara lain ditegaskan dalam:

Pasal 28 A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945:

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Pasal 28C ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945:
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Pasal 28D ayat (2) UUD 1945:
”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Pasal 28F UUD 1945:
”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segalajenis
saluran yang tersedia.”

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945:
”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.”

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945:
”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Pasal 28H ayat (3) UUD 1945:
”Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”

Pasal 28H ayat (4) UUD 1945:
”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”

64. Bahwa selain itu Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM juga
menjamin hak-hak asasi manusia ini, antara lain:

Pasal 9 Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM (UU HAM)
menyatakan:
”1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

Pasal 11 UU HAM:
”Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.”

Pasal 12 UU HAM:
”Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.”

Pasal 27 UU HAM:
“Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.”

Pasal 29 UU HAM:
”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.”

Pasal 30 UU HAM:
”Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”

Pasal 35 UU HAM:
”Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang
ini.”

Pasal 36 UU HAM:
”1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.”

Pasal 37 UU HAM:
”1. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.”

Pasal 38 UU HAM:
”Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.”

Pasal 40 UU HAM:
”Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.”

Pasal 41 UU HAM:
“1. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.”

Pasal 52 UU HAM:
”1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,masyarakat, dan negara.
2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.”

Pasal 59 UU HAM:
”Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.”

Pasal 60 UU HAM:
”Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.”

Pasal 61 UU HAM:
”Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.”

Pasal 62 UU HAM:
”Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan
mental spiritualnya.”

C. KEWAJIBAN DAN TANGGUNGJAWAB HUKUM PARA TERGUGAT
65. Sementara itu, PARA TERGUGAT sebagai Pemerintah memiliki kewajiban
hukum dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan
HAM. Kewajiban dan tanggung jawab ini tidak hanya amanat undang-undang
tetapi bahkan merupakan amanat konstitusi.

a. Kewajiban konstitusional PARA TERGUGAT:

Pasal 28I ayat (4) UUD 1945:
”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Pasal 28I ayat (5) UUD 1945:
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”

Pasal 34 ayat (2) UUD 1945:
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”

Pasal 34 ayat (3) UUD 1945:
“Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

b. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia meletakkan tanggungjawab kepada PARA TERGUGAT, yakni:
Pasal 8 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM:
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggungjawab pemerintah.”

Pasal 69 ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM:
“Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya.”

Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM:
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.”

Pasal 72 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM:
“Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.”

c. Berdasarkan UU No 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
, sebagai negara peserta Kovenan, negara Indonesia yang dijalankan oleh PARA TERGUGAT juga memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kovenan tersebut.

Pasal 2 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (Kovenan EKOSOB):
“Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hakhak
yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.”

Pasal 6 ayat (1) Kovenan EKOSOB:
“Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan,termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi
hak ini.

Pasal 7 Kovenan EKOSOB:
“Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan khususnya menjamin: [...] (b) Kondisi kerja yang aman dan sehat.”

Pasal 9 Kovenan EKOSOB:
“Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial.”

Pasal 11 ayat (1) Kovenan EKOSOB:
“Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. [...]”

Pasal 12 ayat (1) Kovenan EKOSOB:
“Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.”

Pasal 13 ayat (1) Kovenan EKOSOB:
“Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. [...]”

Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan termasuk kealpaan berbuat dan kealpaan memenuhi kewajiban hukum yang dilakukan oleh PARA TERGUGAT merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud pasal 1365 jo pasal 1366 jo pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata.

66. Bahwa TERGUGAT I adalah Presiden Republik Indonesia. Tugas dan kewenangan TERGUGAT I dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Oleh karena itu, tidak terjaminnya hak-hak konstitusional dan hak asasi warga negara merupakan pelanggaran kewajiban hukum TERGUGAT I.

67. Bahwa TERGUGAT I selaku penanggungjawab tertinggi pemerintahan juga telah lalai melaksanakan kewajiban hukumnya untuk menjamin keselamatan warganegaranya dan bertindak sebagaimana layaknya suatu pemerintahan yang bertanggungjawab. Hal mana kelalaian ini telah melanggar tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

68. Bahwa dalam menjalankan tugasnya Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara sebagaimana diatur dalam pasal 17 UUD 1945. Menteri-menteri ini merupakan bagian dari pemerintahan, oleh karenanya kewajiban konsitutisi untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM juga merupakan kewajiban para Menteri. Kemudian, dalam tata pemerintahan, unit-unit kerja pendukung jalannya pemerintahan dan pemerintahan-pemerintahan daerah Provinsi dan Kabupaten juga merupakan bagian dari pemerintahan yang memiliki juga memiliki kewajiban konsitutisi untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM;

69. Bahwa TERGUGAT II adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang bertugas membantu Presiden menjalankan Pemerintahan dalam bidang pengelolaan energi dan sumber daya mineral di Indonesia berdasarkan pasal Pasal 1 angka 25 Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas;

70. Bahwa TERGUGAT III adalah Menteri Lingkungan Hidup yang bertugas membantu Presiden menjalankan Pemerintahan dalam bidang lingkungan hidup berdasarkan pasal 1 angka 25, pasal 9 ayat (4), pasal 11 ayat (1), pasal 20 ayat (3) dan (4), pasal 22 ayat (1), dan pasal 29 ayat (1) UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

71. Bahwa TERGUGAT IV adalah Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Minyak dan Gas yang yang mengepalai badan badan pelaksana Minyak dan Gas Bumi. Badan ini merupakan badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu dibidang minyak dan gas bumi sesuai dengan pasal 1 angka 22, pasal 41 ayat (2), dan pasal 44 UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas; dan PP No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana
Kegiatan Usahan Hulu Minyak dan Gas Bumi;

72. Bahwa Tergugat V adalah Gubernur Jawa Timur yang diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang wajib dilakukan, yang salah satunya meliputi pengendalian lingkungan hidup yang berdampak
regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) jo. ayat (2) jo. ayat
(3) huruf b UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

73. Bahwa Tergugat VI adalah Bupati Sidoarjo yang diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang wajib yang merupakan bentuk pelayanan dasar yang salah satunya meliputi kesehatan; prasarana dan sarana dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) jo. ayat (2) jo. ayat (3) jo. ayat (4) huruf b dan c UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

74. Bahwa dengan demikian, PARA TERGUGAT telah lalai menjalankan tugas dan kewajiban hukumnya sehingga bertanggungjawab atas segala kerugian yang timbul;

D. KEWAJIBAN HUKUM DAN TANGGUNGJAWAB TURUT TERGUGAT

75. Bahwa TURUT TERGUGAT juga memiliki kewajiban hukum terkait dengan
terjadinya semburan Lumpur di Sidoarjo dan tidak dapat melepaskan tanggungjawabnya tersebut;

76. Bahwa semburan lumpur panas di kecamatan Porong Sidoarjo bersumber di areal ladang eksplorasi sumur pengeboran Banjar Panji yang dilaksanakan oleh TURUT TERGUGAT. Semburan lumpur ini terkait dengan kegiatan Eksplorasi minyak dan gas yang dilakukan oleh TURUT TERGUGAT dan dipicu oleh kegiatan pengeboran yang di areal yang menjadi tanggung jawab TURUT TERGUGAT yakni di sekitar areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ #01, lokasi Banjar Panji Lapindo Brantas, desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo;

77. Bahwa tragedi semburan lumpur panas ini telah mengakibatkan dampak yang besar dan penting bagi lingkungan serta menimbulkan jumlah kerugian amat besar bagi lingkungan hidup dan masyarakat sekitar. Dampak dan kerugian ini telah dikategorikan sebagai dampak dan kerugian yang luar biasa karena telah memporak-porandakan kelangsungan lingkungan hidup dan sumber-sumber penghidupan warga sekitarnya;

78. Bahwa berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ditegaskan: “Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

79. Kemudian Pasal 35 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa : “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan
kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”

80. Selanjutnya, Pasal 69 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan: “Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.” Sehingga TURUT TERGUGAT-pun juga memiliki kewajiban dasar dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi para korban yang terkena dampak semburan lumpur panas.

81. Bahwa selain itu, sesuai dengan Pasal 35 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup di atas, maka TURUT TERGUGAT bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, karena semburan lumpur panas telah mengakibatkan dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup, dimana lingkungan hidup yang bersih dan sehat juga merupakan Hak Asasi Manusia.

82. Bahwa sesuai dengan doktrin strict liability (tanggungjawab mutlak) yang dianut Pasal 35 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh Penggugat. Penjelasan Pasal 35 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa “pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum
pada umumnya.”

83. Oleh karena itu, untuk meletakkan tanggungjawab atas kerusakan yang berdampak penting dan luas bagi kepentingan lingkupan hidup akibat semburan lumpur panas di Sidoarjo, maka tidak perlu dibuktikan lagi unsur kesalahannya. Sehingga, para pihak yang memiliki kewajiban dan tanggungjawab hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban
tanpa perlu Penggugat membuktikan unsur kesalahan.

84. Bahwa dengan demikian, TURUT TERGUGAT sebagai pelaku kegiatan usaha
yang telah memicu terjadinya semburan lumpur yang menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup, bertanggung jawab secara
mutlak atas kerugian yang ditimbulkan. TURUT TERGUGAT juga turut bertanggungjawab atas pelanggaran hak-hak masyarakat yang telah dirugikan akibat dampak semburan lumpur ini.

V. KERUGIAN YANG DITIMBULKAN

85. Bahwa kerugian yang ditimbulkan akibat semburan lumpur panas dan penanganan yang berlarut-larut antara lain mencakup kerugian atas:
- hak untuk hidup berupa hilangnya nyawa manusia akibat ledakan pipa gas Pertamina pada tanggal 22 November 2006,
- Hak atas kehidupan yang layak berupa menurunnya kualitas kehidupan masyarakat yang menjadi korban langsung semburan Lumpur panas dan korban tidak langsung yakni masyarakat luas yang terkena imbas semburan Lumpur panas,
- hak atas bebas dari rasa takut yang dialami korban dan potensi korban
serta masyarakat di Sidoarjo dan sekitarnya termasuk para nelayan di
selat Madura,
- hak atas perumahan yang dialami para korban yang harus kehilangan tempat tinggalnya akibat semburan Lumpur panas,
- hak atas pekerjaan berupa hilangnya mata pencaharian dan pekerjaan akibat semburan Lumpur panas,
- hak atas pendidikan berupa hilangnya kesempatan menjalani pendidikan akibat semburan Lumpur panas,
- hak anak berupa terenggutnya hak-hak anak untuk memperoleh perawatan yang baik dari orang tuanya, untuk bermain dan berkreasi, dan mengikuti pendidikan, akibat semburan Lumpur panas,
- hak-hak perempuan berupa hilangnya perlindungan kepada perempuan,
khususnya anak-anak perempuan dan ibu-ibu akibat semburan Lumpur
panas,
- hak milik berupa hilangnya harta benda milik korban akibat semburan Lumpur panas;

86. Bahwa kerugian-kerugian tersebut secara nyata diketahui umum (notoire feiten) karena telah menjadi pusat perhatian nasional dan hingga kini kerugian terus membesar seiring dengan meluasnya dan belum tertanganinya dampak semburan Lumpur panas di Sidoarjo.

PERBUATAN PARA TERGUGAT DAN TURUT TERGUGAT MENYEBABKAN KERUGIAN

87. Bahwa kerugian-kerugian berupa terlanggarnya, tidak terlindunginya, dan
tidak terpenuhinya hak-hak asasi manusia tersebut memiliki hubungan sebab-akibat dengan perbuatan-perbuatan PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT. Semburan Lumpur panas yang dipicu kegiatan usaha TURUT TERGUGAT dan penanganan yang berlarut-larut dan terlambat oleh PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT telah membuat hak-hak tersebut tidak
terlindungi dan terpenuhi.

VI. PERMOHONAN PROVISI

88. Mengingat bahwa pada saat gugatan ini didaftarkan semburan lumpur masih terus berlangsung, korban masih terus bertambah dan hak-hak korban serta kerusakan lingkungan hidup masih belum dipulihkan, maka kami ajukan permohonan provisi

89. Bahwa permohonan provisionil ini didasarkan pada ketentuan pasal 180 ayat
(1) HIR dan dalam doktrin maupun SEMA serta Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.

90. Bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas yang menunjukkan sifat darurat
perkara aquo maka sambil menunggu putusan dalam perkara ini mempunyai
kekuatan hukum tetap segera sebelum perkara disidangkan mohon dalam
satu acara kilat (kort geding) ditetapkan satu PUTUSAN PROVISI yang
memutus dan menetapkan sebagai berikut:
a) Memerintahkan PARA TERGUGAT mengeluarkan kebijakan agar TURUT TERGUGAT mengerahkan segala sumber daya manusia dan dana secara penuh untuk menghentikan dengan segera semburan lumpur dan memulihkan keadaan para korban.
b) Memerintahkan PARA TERGUGAT untuk mengeluarkan kebijakan agar TURUT TERGUGAT menghitung segala kerugian yang dialami oleh korban secara detail dan akuntabel sehingga korban dapat memperoleh kembali haknya senilai dengan keadaan semula
sebelum datangnya semburan lumpur dan tanggungan penuh selama para korban belum terpenuhi hak-haknya.
c) Memerintahkan PARA TERGUGAT dengan kebijakannya untuk menjamin TURUT TERGUGAT akan memulihkan dengan segera hak-hak para korban sesuai dengan nilai keadaan semula sebelum terjadinya semburan lumpur ditambah dengan tanggungan penuh selama para korban belum terpenuhi hak-haknya tanpa menunda sedikitpun
d) Memerintahkan PARA TERGUGAT menetapkan batas wilayah dampak semburan lumpur yang jelas didasarkan pada hitungan teknis dari para ahli yang kredibel dan menyatakan daerah tersebut sebagai daerah tanggungan kompensasi untuk kemudian memerintahkan TURUT TERGUGAT memberikan kompensasi kepada seluruh orang yang berada dalam wilayah tersebut dengan nilai diperhitungkan dapat membuat korban hidup lebih dari
keadaan sebelumnya.
e) Memerintahkan PARA TERGUGAT untuk mengeluarkan kebijakan sesuai wewenangnya untuk menjamin tidak beralihnya aset-aset TURUT TERGUGAT sehingga TURUT TERGUGAT dapat secara penuh memenuhi segala kewajibannya melakukan tindakan pemulihan dan menanggung seluruh biaya yang telah dan akan dikeluarkan oleh PARA TERGUGAT.
f) Memerintahkan kepada PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT untuk memberikan informasi yang transparan agar seluruhmasyarakat mengetahui keadaan yang sebenarnya.
g) Memerintahkan TERGUGAT I menggunakan kewenangannya untuk memberi perintah kepada penyidik dan pentuntut umum untuk mengusut secara hukum dan melakukan penuntutan hukum terhadap seluruh pihak yang bertanggungjawab termasuk para pimpinan penanggungjawab kegiatan usaha.

VII. TUNTUTAN DAN PERMOHONAN

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, PENGGUGAT mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut :
PRIMAIR :
1. Menerima dan mengabulkan gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya;

2. Menyatakan PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT telah melakukan PERBUATAN MELAWAN HUKUM;

3. Menghukum PARA TERGUGAT untuk mengeluarkan kebijakan yang memerintahkan TURUT TERGUGAT untuk memulihkan hak-hak masyarakat korban semburan lumpur panas di Sidoarjo dengan ketentuan bahwa masyarakat korban memperoleh kembali haknya setara atau lebih
baik dengan nilai keadaan semula seperti sebelum terjadinya semburan lumpur panas ditambah dengan tanggungan penuh selama para korban belum terpenuhi hak-haknya.

4. Memerintahkan PARA TERGUGAT mengeluarkan kebijakan agar TURUT TERGUGAT untuk secara bersama-sama segera menghentikan semburan lumpur panas dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang tersedia dan mempertimbangkan Hak Asasi Masyarakat termasuk hak atas lingkungan yang sehat;

5. Memerintahkan kepada PARA TERGUGAT mengeluarkan kebijakan yang dapat menjamin secara hukum bahwa TURUT TERGUGAT akan menanggung seluruh biaya yang telah dan akan dikeluarkan terkait dengan upaya penanggulangan semburan Lumpur panas di Sidoarjo dan
pemulihan hak-hak korban;

6. Memerintahkan TERGUGAT I untuk memerintahkan jajaran aparat hukum mengambil tindakan hukum secara tegas, melakukan penegakan hukum dan penuntutan terhadap seluruh pihak yang bertanggungjawab termasuk pimpinan penanggungjawab usaha yang
kegiatannya telah memicu terjadinya semburan lumpur panas;

7. Memerintahkan kepada PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT untuk meminta maaf secara tertulis kepada para korban yang diumumkan melalui 5 (lima) stasiun televisi nasional, 5 (lima) stasiun radio dan 10 (sepuluh) media cetak nasional selama tiga hari berturut-turut yang isinya berbunyi sebagai berikut:

“Kami, Presiden RI, Menteri Energi Sumber Daya Mineral RI, Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Ketua Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas RI; Gubernur Jawa Timur; Bupati Sidoarjo; Lapindo Brantas Incorporated, menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya atas perbuatan melawan hukum yang kami lakukan terkait dengan kelalaian dan kealpaan melakukan kewajiban hukum kami terkait dengan terjadinya
semburan lumpur panas yang merenggut Hak Asasi Manusia para korban dan masyarakat Sidoarjo dan sekitarnya, serta membuat kerusakan lingkungan hidup yang memberikan dampak kerugian materil maupun immaterial yang besar dan meluas. Kiranya pernyataan penyesalan atas perbuatan melawan hukum ini menjadi titik awal wujud penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia serta perubahan
sistem pengelolaan lingkungan hidup yang bermutu dan berkualitas dengan manfaat yang digunakan sebesar-besarnya bagi hak-hak Warga Negara Indonesia”

8. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
walaupun ada upaya bantahan, banding atau kasasi;

9. Memerintahkan PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT untuk
membayar biaya perkara.

SUBSIDAIR
Apabila Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat lain maka kami
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)

Hormat Kami,
Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Sidoarjo
Taufik Basari, SH,SHum,LLM.
Ivan Valentina Ageung, S.H.,
Jevelina Punuh, S.H.,
Susilaningtias, S.H.,
A.H. Semendawai, S.H.,.LL.M
Sulistiono, S.H.,
Henri Subagyo, S.H.
Asfinawati, S.H.,
Indriaswati S.,SH,LLM,
Zainal Abidin, S.H.,
Wahyu Wagiman, S.H.,
Rino Subagyo, S.H.,
Tabrani Abby, S.H., M.Hum,
Erna Ratnaningsih, S.H.,
Romy Leo Rinaldo, S.H.
Astuty Liestianingrum, S.H.,
Siti Aminah, S.H.,
Ferry Siahaan, S.H.
Restu Mahyuni, SH, SS, LLM
Sjarifuddin Jusuf, S.H.
Gatot, S.H.,
Hermawanto, S.H.,
Nurkholish Hidayat, S.H.,
Febi Yonesta, S.H.,
Restaria F. Hutabarat, S.H.,
Kiagus Ahmad BS, S.H.,
Ricky Gunawan, S.H.,
Albert Sianipar, S.H.,
Nadya Harris Effeny, S.H I
Gede Aryana, S.H.,
Erick Christoffel, S.H.,
Chaterine Panjaitan, S.H.,
Joko Riskiyono, S.H.,
Dhoho A. Sastro, S.H.,
Firza R. Hizzal, S.H.,.
Totok Yulianto, S.H.,
Dimas Prasidi, S.H.,
Melda Kumalasari, S.H.,
Putri Kanisia, S.H.,
Edi Gurning, S.H.,
Khaerudin, S.H.,
Agus Pratiwi, S.H
Sri Nur Fathya, S.H.,
Cristin Naenak, S.H.
Asep Yunan Firdaus, S.H.
Supriyadi W. Eddyono, S.H
Andiko, S.H.
Iki Dulagin, S.H.
Agus Yunianto, S.H.
Athoilah S.H.
Saiful Arif, S.H
Ansorul Huda, S.H.,
Waode Sitti Adriyani, S.H.,
Wiwid Tuhu, S.H.,
Faiq Assidiqi, S.H.,
Rijal Alifi, S.H.,
Subagyo, S.H.,



PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...