Monday, December 17, 2007

Arah Hukum Pidana Dalam Konsep RUU KUHPidana(1)


Oleh :

Mardjono Reksodiputro

Sumber : http://reformasikuhp.org/

I. PENGANTAR


Sejak tahun anggaran 1981/1982, Pemerintah telah secara serius menyusun Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru. Konsep ke-1 ini diserahkan pada tanggal 13 Maret 1993 kepada Menteri Kehakiman, Ismail Saleh. Dasar-dasar untuk konsep ke-1 ini telah diletakkan, antara lain oleh : Prof. Mr. Roeslan Saleh (wafat 1998).(2) Sayangnya konsep ke-1 ini dilupakan selama masa tugas Menteri Oetojo Oesman, dan baru teringat kembali pada masa tugas Menteri Kehakiman Muladi dan Menteri Kahakiman Yusril Ihza Mahendra. Pada waktu itulah terbit konsep ke-2 (1999/2000) dan konsep ke-3 (2004). Sekarang, setelah + 23 tahun sejak dimulai prakarsa penyusunan konsep ke-1 oleh Prof. R. Sudaro, SH, konsep ke-3 yang sudah jauh berubah (dari konsep ke-1) mulai diajukan ke DPR untuk dibahas. Dalam perjalanan penyusunan selama 23 tahun ini memang konteks dan tantangan dalam masyarakat Indonesia (maupun dunia) sudah berbeda. Karena itu memang menarik untuk mengkaji apakah naskah konsep ke-3 ini sudah menjawab konteks dan tantangan masyarakat Indonesia tahun 2005 dan selanjutnya.

II. BEBERAPA PRINSIP PEMBAHARUAN WvS

WvS (Wetboek van Strafrecht, 1918) merupakan hukum positif di Indonesia di bidang hukum materiil, dengan berbagai pengubahannya selama hampir 90 tahun ini. Ketika pada tahun 1993, pada saat WvS berumur 75 tahun, konsep ke-1 diperkenalkan kepada masyarakat, oposisinya cukup keras. Oposisi ini datang dari mereka yang cenderung berada di bawah naungan WvS, ketimbang konsep ke-1 Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Gagasan-gagasan baru yang dimasukan dalam konsep ke-1 ini misalnya tentang pemindanaan serta delik-delik baru seperti pencucian uang dan perzinahan (kumpul kebo), menimbulkan reaksi keras, baik dari pihak Pemerintah maupun dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).(3) Yang perlu dicatat adalah bahwa konsep ke-1 yang telah dilakukan tahun 1993 ini, telah juga memperlihatkan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga masyarakat, dengan didukung oleh tiga prinsip (Reksodiputri; Januari, 1994) :
(a) Hukum pidana (juga) dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (fundamental social values) perilaku hidup bermasyarakat (dalam negara kesatuan Republik Indonesia, yang dijiwai oleh falsafah ideologi negara Pancasila);
(b) Hukum pidana (sedapat mungkin) hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengadilan sosial (social control) tidak (belum) dapat diharapkan keefektifannya; dan
(c) Hukum pidana (yang tekah dipergunakan kedua pembatasan) (a dan b di atas) harus diterapkan dengan cara seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlunya juga perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratik modern.

Di samping ketiga prinsip tersebut, konsep ke-1 juga mengusahakan, agar perumusan :
(i) perbuatan apa yang merupakan tindakan pidana; dan
(ii) kesalahan (schuld, culpability) macam apa yang disyaratkan untuk meminta pertanggungjawaban pidana (criminal liability) kepada seseorang pelaku, dilakukan secara jelas dan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh warga.

Agar sistem peradilan pidana tidak terlalu terganggu, maka merumuskan hukum pidana Indonesia oleh orang Indonesia untuk masyarakat ini, dilakukan dengan cara re-kodifikasi terhadap WvS 1918 (sebagaimana telah diubah sampai tahun 1993).

Konsep ke-1 RUU KUHP ini telah diusahakan agar mencerminkan asas-asas utama hukum pidana dan aturan-aturan umum penerapannya. Hal ini dirumuskan dalam Buku Kesatu - Ketentuan Umum, yang terbagi dalam sejumlah bab. Begitu juga konsep ke-1 ini mencoba merumuskan sejumlah tindak pidana yang dianggap serius dan yang merupakan keprihatinan masyarakat Indonesia, khususnya dalam masyarakat yang sedang beralih dari masyarakat industri modern. Dalam masyarakat transisi inilah terlihat adanya keinginan menegakan kembali nilai-nilai moral dan agama, untuk perilaku hidup bermasyarakat. Bagian ini dirumuskan dalam Buku Kedua - Tindak Pidana, yang juga terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab.

III. PENGARUH KRIMINOLOGI PADA RE-KODIFIKASI WvS

Aspek yang menonjol dalam kriminologi sebagai suatu ilmu pengetahuan empirik, adalah penelitiannya mengenai tindak pidana (crimes) dan pelakunya (criminals). Sumbangan kriminologi pada pembaharuan politik kriminal (criminal policy), melalui kesimpilan yang diperoleh dari penelitian-penelitiannya, tekah terasa pula pada re-kodifikasi WvS 1918 menjadi konsep ke-1 (lihat Reksodiputro, November 19994). Pengaruh kriminologi ini terlihat, baik dalam Buku Kesatu - Ketentuan Umum, maupun dalam Buku Kedua - Tindak Pidana.

Para sarjana pada umumnya memahami tujuan hukum pidana itu sebagai suatu pernyataan celaan resmi masyarakat tentang perilaku yang dilarang. Celaan resmi ini didukung oleh sanksi pidana, dengan maksud mencegah terjadi atau terulang perilaku tersebut. Perilaku yang dicela dan dilarang ini tentunya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dasar (fundamental social values) yang hidup dan ditaati masyarakat Indonesia. Dalam konteks pengakuan atas kemajemukan masyarakat Indonesia, dengan budaya-budayanya masing-masing, maka asas legalitas yang tetap nerupakan salah satu sendi hukum pidana Indonesia, ditafsirkan meliputi pula ”delik adat”. Unsur kesalahan, tetap merupakan persyaratan dalam memidana pelaku dan dijatuhkan dalam bentuk ”pemenuhan kewajiban anak” (Reksodiputro, Desember 1994).

Sendi hukum pidana yang lain, adanya kesalahan (schuld, dolus atau culpa), dan ini berakibat adanya konsep pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Di samping keadaan tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena ”mental defect” dan ”mental abnormality”, maka keadaan tidak dapat kurang dipertanggungjawabkan, karena ”mental defect” dan ”mental abnormality”, maka keadaan kurang bertanggung jawab (diminised responsibility) digagaskan pula sebagai suatu alat pembelaan (defense) bagi pelaku. Masih dalam rangka asas ”criminal liability”, maka konsep ke-1 juga mengajukan adanya ”corporate criminal liability”, yang terutama ditunjukan untuk melawan ”crime by corporations” (kejahatan oleh koporasi/ organisasi-KOO) (Reksodiputro, Juni 1993).

Selanjutnya, dengan memperlihatkan perkembangan ilmu pengetahuan tentang perilaku anak serta perlunya perlindungan terhadap hak-hak anak (rights of the child), maka dalam konsep ke-1 diajukan ketentuan ditiadakannya pertanggungjawaban pidana anak di bawah umur 12 ( dua belas) tahun. Juga dalam bab khusus diatur tentang jenis-jenis pidana khusus (dibedakan dari orang dewasa) untuk anak antara 12-18 tahun. Hal ini adalah sesuai dengan ”the Beijing Rules” yang disponsori PBB dalam tahun 1985.

Yang juga merupakan hak baru dalam re-kodifikasi WvS adalah dirumuskan Tujuan Pemidanaan, Pedoman Pemindanaan dan Pedoman Penerapan Pidana Penjara. Pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan kepada hakim, pegangan dalam memilih sanksi pidana yang tersedia dalam konsep ke-1. Di sini perlu juga dicatat bahwa dalam konsep ke-1 ini pidana mati (death sentence) dijadikan pidana khusus di luar pidana pokok. Juga diatur bahwa di samping sanksi berupa pidana, terdapat sanksi berupa ”tindakan” (maatregel).

IV. PENEGASAN ATAU PENEGAKAN KEMBALI NILAI DASAR SOSIAL DASAR

Kritik yang pada awal tahun 1990-an ditunjukan pada konsep ke-1 adalah sekitar pada :
(a) Masih tetap dipertahankan bab tentang keamanan negara dan pejabat negara;
(b) Diperluasnya perbuatan yang dilarang dalam bab tentang kesusilaan;
(c) Dalam kaitan dengan butir (b) ini dipermasalahkan pula kurang pekanya para penyusun pada permasalahan jender, khususnya korban perempuan.
Pada tahun 2004 dan 2005 ini, kritik ditambahkan pula pada masalah :
(d) Pembatasan terlalu ketat terhadap kebebasan menyampikan pendapat (freedom of speech) dan kemerdekaan pers (freedom of the press).

Di bawah ini akan dicoba dijelaskan bagaimana pemikiran dalam konsep ke-1 tentang hal-hal yang memperoleh kritik.

a. Tentang Bab Keamanan Negara dan Pejabat Negara

Dalam WvS 1918, empat bab pertama dalam Buku Kedua tentang Tindak Pidana adalah sehubungan dengan : keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Negara sahabat dan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Pada dasarnya kepentingan yang dilindungi adalah memang ”kepentingan negara”, yaitu berfungsinya organisasi negara (termasuk hubungan dengan negara sahabat). Dalam beberapa negara asing, tindak pidana seperti ini dikenal sebagai ”crimes against state security”.

Tindak pidana yang paling serius di sini adalah yang dikategorikan sebagai “high treason” (membunuh Presiden, membantu musuh yang berperang terhadap Indonesia, dll) dan ”treason” (mengulingkan Pemerintah yang sah, pemberontakan, dll). Rumusan dalam keempat bab ini dalam konsep ke-1 (dan sebenarnya ± 75% dari RUU KUHP) pada dasarnya diambil pada rumusan lama WvS (karena itu dilakukan dengan re-kodifikasi), dengan pengecualian 4-5 pasal pertama dalam Bab I Buku Kedua. Pasal-pasal tersebut berhubungan dengan ajaran Komunisme dan Marxisme. Adapun dari masuknya pasal-pasal tersebut adalah untuk mengganti atau mempersiapkan ganti pada aturan UU Subversi. Tim perumusan konsep ke-1 tidak mempunyai mandat untuk mengusulkan pencabutan UU Subversi (pada awal tahun 1990-an) dan dengan masuknya pasal-pasal tersebut, mengharapkan Pemerintah dapat menerima dicabutnya undang-undang yang oleh Tim perumusan dianggap sebagai tidak sejalan dengan pembaruan undang-undang pidana nasional.

Meskipun tetap berpendoman pada rumusan tindak pidana Bab I sampai dengan IV Buku Kedua WvS, namun perumusan tindak pidana dalam bahasa Indonesia telah diusahakan agar jelas dan dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh warga (clearly and understandably) perbuatan apa yang dilarang dan unsur-unsur apa yang diperlukan untuk pertanggungjawaban pidana pelaku. Sejumlah perbuatan yang dilarang juga dirumuskan sebagai delik materiil, yang berarti bahwa dalam perumusan harus disebut apa yang merupakan akibat dari perbuatan tersebut, yang dianggap membahayakan kepentingan keamanan Negara. Remmelink juga menyebut tindak pidana ini sebagai “kejahatan politik” (Remmelink, 2003, hal. 73 dstnya). Diakui tindak pidana ini bisa disalahgunakan oleh Negara (Pemerintah) untuk menghambat ”kebebasan berbicara” (speech), yang dijamin Konstitusi kita (Pasal 28 dan 28 E ayat (3)).

Konsep ke-1 mengakui adanya ”kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan” (Pasal 28 UUD 1945), namun juga berpendapat tetap harus dibatasi ”free speech” yang melampaui batas-batas perlindungan Konstitusi. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tetap harus dilindungi, namun penyalahgunaannya yang (dapat) menimbulkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat tentunya sudah melampaui batas perlindungan Konstitusi. Terutama yang harus diancam pidana adalah ”penyebar kebencian” (inciting hate), yang menimbulkan keonaran dan kerusuhan dalam masyarakat. Penyebaran ”kebencian” ini adalah pernyataan pikiran dengan lisan atau tulisan yang sama sekali tidak ada artinya, kecuali mengekspresikan kebencian terhadap Pemerintah atau kelompok orang tertentu dan (dapat) menimbulkan kekerasan terhadap manusia atau barang.

Di sini penting untuk merumuskan tindak pidana ini menjadi delik materiil. Dalam delik materiil yang dicegah adalah timbulnya suatu bahaya konkrit, karena itu yang dilarang adalah suatu tindakan (misalnya : menghina atau menghasut) dan munculnya suatu akibat yang menimbulkan bahaya bagi kepentingan hukum tertentu (misalkan : keonaran dalam masyarakat yang memecah kesatuan bangsa atau membahayakan jiwa atau barang).

Struktur Buku Kedua dapat saja diganti dan disesuaikan dengan alam demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia, sehingga strukturnya menjadi mendahulukan ancaman terhadap hak-hak individu (crimes against the person, seperti : tindak pidana terhadap nyawa, penganiayaan, kemerdekaan orang, kesusilaan, penghinaan, hak asasi manusia, dll), kemudian ancaman terhadap hak-hak kebendaan (crimes against property, seperti : tindak pidana pencurian, penggelapan, perbuatan curang/penipuan, merugikan kreditor, korupsi), selanjutnya ancaman terhadap hak-hak masyarakat (communal rights, seperti : tindak pidana terhadap ketertiban umum, penyelenggaraan peradilan, agama dan kehidupan beragama, keamanan umum bagi orang, kesehatan, barang dan lingkungan hidup, dll); baru terakhir ancaman terhadap kepentingan negara (crimes against satate’s policy and governmental order, seperti : tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden, kewajiban dan hak kenegaraan, kekuasaan umum dan lembaga negara, dll).

b. Tentang Diperluasnya Perbuatan yang Dilarang dalam Bab tentang Tindak Pidana Kesusilaan

Bab tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan dalam WvS, berasal dari judul bahasa Belanda : ”Misdrijven tegen de zaden”. Bagian awal dari bab ini membuat tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan dalam pengertian ”kehidupan seksual”, namun pada akhir bab terdapat tindak pidana yang berkaitan dengan penganiayaan hewan (dieren mishandeling) perjudian (kansspelen), pemabukan dan pengemisan. Pengertian ”zeden” memang seharusnya tidak berkaitan dengan kehidupan seksual. Dapat diartikan pula tata-susila, sopan satun, kesopanan dan karena itu berkaitan pula dengan ”moral masyarakat” atau ”akhlak”(crimes against public morals).

Kehidupan seksual yang merupakan inti perbuatan yang dilarang dalam bab ini semula memang ditunjukan hanya pada ”intergritas” ”badan dan jiwa” (bodily and psychological integrity) dan karena itu mengatur tindak pidana perkosaan, pengguguran kandungan, perbuatan cabul, incest (persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah), pelacuran dan perzinahan. Yang bersinggungan dengan kehidupan seksual adalah pornografi (tulisan, gambar atau benda, serta menyanyikan dan mengucapkan pidato yang melanggar kesusilaan).

Perzinahan atau permukahan (overspel) memang berada juga di ”daerah perbatasan” tentang ”crimes against public morality”. Pertama, karena tidak ada ”kekerasan” terhadap ”bodily and psychological intergrity”, dan kedua tidak dilakukan di muka umum atau tempat umum. Oleh karena itu, sifat delik ini adalah delik pengaduan (klacht delict). Pengaduan yang dilakukan oleh suami/istri yang ”tercemar” atau keluarga, kepala adat atau kepala desa/lurah setempat. Ini cara konsep ke-1 melindungi ”privacy”, agar tidak mudah ”private trouble” menjadi ”public trouble”.

c. Tentang Kepekaan pada Permasalahan Jender, Khususnya Korban Perempuan

Kritik yang diberikan kepada perumusan dalam konsep ke-1, dalam masalah jender dan korban perempuan adalah : (a) kurangnya perhatian kepada korban kejahatan kesusilaan seksual (sexual violence victims), dan (b) kurangnya perhatian kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence victims).(4)
Tim perumus konsep ke-1 menyadari pula permasalahan ini dan mencoba memberikan perhatian dengan cara memperluas dan memperinci pengertian tentang perkosaan. Terdapat 8 perbuatan yang dapat diancam pidana sebagai perkosaan dan di samping ancaman maksimum 12 tahun, untuk pertama kali dalam sejarah hukum pidana Indonesia dirumuskan ancaman pidana minimum 3 tahun. Dirumuskan pula perbuatan yang dikenal sebagai ”statutory rape”, laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan persetujuan perempuan yang belum berusia 14 tahun. Untuk melindungi perempuan, juga diancam pidana laki-laki yang ingkar janji mengawini perempuan yang berzinah dengannya, ataupun tidak mau mengawini perempuan yang hamil karena berzinah dengannya.

Memang cara yang dilakukan di atas diakui belum dapat sepenuhnya melindungi perempuan korban kejahatan kesusilaan, maupun korban kekerasan dalam rumah tangga. Di luar negeri perlindungan ini dilakukan, antara lain melalui : (a) perlindungan terhadap korban sebagai saksi dan larangan untuk mempublikasi identitas korban/saksi; (b) menyediakan ”guidance centers” dan ”shelters” untuk para korban; (c) erat kaitan dengan di atas adalah memberikan bantuan dana untuk pengobatan, rehabilitasi, dan juga melakukan gugatan terhadap pelaku (litigation expenses), (d) mempersiapkan tenaga-tenaga yang ahli (expert) dalam menangani kasus, sejak dari pengaduan, rehabilitasi sampai ke pengadilan; dan (e) mempermudah pengaduan sehubungan dengan kekerasan rumah tangga, khususnya pengaduan terhadap kekerasan suami, yang tidak memerlukan prosedur hukum acara pidana yang biasa (Purnianti, 2002). Tim berpendapat bahwa cara perlindungan seperti diuraikan di atas bukanlah wewenang Tim dan tempatnya bukan dalam hukum pidana materiil (substansi), tetapi dalam hukum acara pidana (prosedural) atau peraturan tersendiri.

d. Tentang Pembatasan terhadap Kebebasan Berpendapat Maupun Kemerdekaan Pers

Kritik terhadap rumusan yang dianggap membatasi kebebasan berpendapat dan/ atau kemerdekaan pers, baru diajukan dalam + 2 tahun terakhir. Kritik ini tidak mempergunakan konsep ke-1 sebagai acuan melainkan konsep ke-1 dan karena itu dapat dijawab makalah ini.(5)

Terdapat 49 (empat puluh sembilan) rumusan tindak pidana yang oleh para pengeritik dianggap membatasi atau mengancam ”kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan” (Pasal 28 UUD) maupun ”kebebasan mengeluarkan pendapat” (Pasal 28 E ayat (3) UUD’45). Rumusan yang dilarang itu tersebar dalam 18 jenis tindak pidana. Dengan mempergunakan sistematik dan penomoran pasal-pasal dalam konsep ke-3 (2004) akan diperoleh gambaran seperti di bawah ini. Ternyata bahwa dari 49 pasal tersebut, 9 pasal adalah baru dan 40 pasal dari WvS :

1. Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara (4 pasal) : Pasal 209, 210, 211, 212 (tidak ada padanan dalam WvS);
2. Tindak Pidana terhadap Pertahanan dan Keamanan Negara (3 pasal) : Pasal 218, 226, 227 (118, 112, 113 WvS);
3. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (3 pasal) : Pasal 262, 263, 264 (131, 137 WvS);
4. Penghinaan terhadap Kepala Negara Sahabat (3 pasal) : Pasal 269, 270, 271 (142, 143, 144 WvS);
5. Penghinaan dalam Simbol Negara dan Pemerintah (3 pasal) : Pasal 284, 285, 287 (154, 155, 157 WvS);
6. Penghasutan (4 pasal) : Pasal 288, 289, 290, 291 (160, 161, 162, dan 163 WvS);
7. Gangguan terhadap Ketertiban dan Ketentraman Umum (2 pasal) : Pasal 307, 308;
8. Tindak Pidana terhadap Agama (3 pasal) : Pasal 336, 339, 340 (156a Wvs);
9. Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara (2 pasal) : Pasal 400, 401 (207 dan 208 WvS);
10. Pornografi dan Pornoaksi (5 pasal) : Pasal 469, 470, 471, 472, 473 (282 WvS);
11. Mempertunjukan Pencegahan Kehamilan dan Pengguguran Kandungan (3 pasal) : Pasal 481, 482, 483 (283 WvS, -Wvs);
12. Pencemaran (1 pasal) : Pasal 511 (310 WvS);
13. Fitnah (1 pasal) : Pasal 512 (311 WvS);
14. Penghinaan Ringan (2 pasal) : Pasal 514, 515 (315 dan 316 WvS);
15. Persangkaan Palsu (1 pasal) : Pasal 517 (318 WvS);
16. Pencemaran Orang Mati (2 pasal) : Pasal 519, 520 (320 WvS);
17. Tindak Pidana Pembocoran Rahasia (4 pasal) : Pasal 522, 521, 523,524, 525 (483, 484, 485 WvS);
18. Tindak Pidana Penerbitan dan Pencetakan (3 pasal) : Pasal 723, 724, 725 (483, 484, 485 WvS);

Dari perincian di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar pasal yang ditakuti akan mengancam “freedom of speech” dan/atau “freedom of the press”, adalah sebenarnya juga bertujuan melindungi warga masyarakat terhadap pengingkaran haknya oleh sesama masyarakat lainnya. Permasalahan butir 1 sampai dengan 4 telah didiskusikan sebelumnya, mungkin juga butir 5 dapat diperiksa kembali.

Namun, sehubungan dengan 6 butir sampai 18, perlu kita sadari bahwa :

(1) Perbuatan penghinaan terhadap golongan penduduk dan penghasutan terhadap publik pada dasarnya adalah ”crimes against society in general”, karena bertujuan untuk mengganggu keharmonisan dalam masyarakat (social harmony). Tujuan pelaku adalah ”to promote feelings of ill will and hostility between different group in the community” (ingat kasus Ambon dan Poso !).
(2) Perbuatan yang berkaitan dengan pornografi dan pencegahan kehamilan, memang menyangkut masalah “public morals”. Justru apabila kita ingin lebih baik melindungi perempuan dari korban pelecehan dan kekerasan, maka jenis tindak pidanan ini harus tidak dianggap menganggu kebebasan berekpresi.
(3) Pencemaran (slander, smaad), penghinaan (belediging) dan fitnah (libel, defamation, laster) selalu ada dalam setiap Kitab Undang-Undang Pidana (Penal Code) dari negara demokratik dan modern. Selama ”perbuatan” tersebut bukan ”hate crimes” dan selama dilakukan untuk membela diri (in his own necessary defense) atau dengan itikad baik pelaku berasumsi bahwa tuduhannya adalah benar dan dilakukan untuk kepentingan umum (required in the public interest), maka perbuatanya adalah pencemaran, penghinaan atau fitnah.
(4) Tindak pidana pembocoran rahasia ditunjukan kepada seseorang dalam profesi (beroep) tertentu atau karena jabatan (by reason of his office) dan dimaksudkan agar publik yang memerlukan bantuan mereka tersebut tidak takut memberitahu permasalahannya, karena pasal ini mencegah dibukanya rahasia atau permasalahannya kepada umum (misalnya dokter, advokat dan pendeta). Karena itu pasal ini sama sekali tidak mengancam ”freedom of speech” dan/ atau ”freedom of the press”.
(5) Tindak pidana penerbitan dan pencetakan termasuk dalam bab tentang pemudahan (beganstiging, cooperation after the fact) dan ditujukan kepada penerbit dan pencetak yang menerbitkan atau mencetak bahan yang menurut sifatnya telah dapat dipidana (of a criminal nature). Apakah pasal ini dapat dipertahankan atau dihapus karena sudah ada undang-undang pers dapat didiskusikan.

V. PENUTUP - KESIMPULAN

Uraian di atas ingin menunjukan bahwa tuduhan seakan-akan konsep RUU KUHP adalah anti-demokrasi, atau in-konstitusional adalah keliru sekali. Apalagi pendapat yang meminta agar DPR menolak seluruh RUU KUHP. Dua pepatah mungkin dapat mejelaskan cara berpikir keliru dari pemuat saran terakhir ini : ”Ia mendengar bunyi lonceng, tetapi tidak tahu di mana adanya” dan atau ”secara sembrono membuang bayi secara bersama-sama dengan air mandinya”.(6) Apa yang harus dilakukan adalah mengkaji apakah memang perbuatan yang dilarang itu benar, kemudian melihat apakah perumusannya tidak keliru karena terlalu luas jangkauannya. Kalau begitu sempurnakan perumusannya!




Catatan Kaki:

(1) Bahan Bacaan untuk Focus Group Discussion yang diselenggarakan ELSAM dengan tema: “Melihat Politik Kodifikasi dalam Rancangan KUHP”, Jakarta, 28 September 2006
(2) Untuk daftar lengkap Panitia Penyusunan konsep ke-1 RUU KUHP, lihat Mardjono Reksodiputro, Pembaruan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta 1995, hal. 13.
(3) Dalam harian Kompas, 24 Februari 1997, Menteri Kehakiman Oetojo Oesman mengatakan telah “mengembalikan” (?) konsep RUU KUHP Nasional, mengingat materinya masih mengandung banyak kelemahan.
(4) Lihat misalnya kritik Nursyahbani Katjasungkana, “Revisi KUHP Bias Gender dan Bias Kelas’, wawancara Kamis, 09 Oktober 2003 dengan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK).
(5) Antara lain kritik yang diajukan oleh Nursyahbani Katjasungkana, loc.cit., yang berpendapat bahwa Pasal 310 dan 311 WvS yang tetap dipertahankan, pada umumnya digunakan untuk “merepresi dunia pers dan insan pers”. R.H. Siregar dalam “RUU KUHP dan Kebebasan Pers”, Suara Pembaruan 27 April 2005, menyatakan bahwa RUU KUHP bukannya menghilangkan “ranjau-ranjau pers”, bahkan sebaliknya menambah “pasal-pasal karet” yang bisa mengancam kebebasan pers. Ketua Dewan Pers Ichlasur Amal, membacakan Memorandum Dewan Pers dan menyebut adanya 49 pasal karet dalam RUU KUHP yang berpotensi membelenggu hak-hak masyarakat untuk berpendapat, berekspresi dan berkomunikasi (Kompas, 04 Maret 2005). Pendapat serupa dikemukakan oleh mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusudja dalam “Misteri di Balik RUU KUHP” (September 2005).
(6) Pepatah Belanda : “Hij hoort de bel luiden, maar weet niet waar de klepel hangt” dan pepatah Inggris : “Throw the baby out with the bathwater”.




DAFTAR PUSTAKA

Mardjono Reksodiputro, ”Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya. Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia”, Pidato Dies Natalis ke-47 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Juni 1993.
__________________, ”Rekodifikasi Hukum Pidana : Beberapa Catatan Awal”, makalah di Fakultas Hukum Universitas Mataram, Januari 1994.
__________________, ”Pengaruh Pemikiran Kriminologi dalam Rancangan KUHP Baru”, makalah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, November 1994.
__________________, ”Delik Adat dalam Rancangan KUHP Nasional”. Makalah di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Desember 1994.
Purniati dan Rita Serena Kolibonso, ”Menyingkapi Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga”, Mitra Perempuan, 2003.
Remmelink, J., ”Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama, 2003.








-------------
Artikel Lain

* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi




-------------


  • hibah untuk yang lain

  • dapat dana untuk sekolah/kuliah/usaha



  • Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!















    --------------------




    Meninjau RUU Tentang KUHAP dalam Konteks Perlindungan HAM

    Oleh:
    Mardjono Reksodiputro

    Sumber : http://reformasikuhp.org/

    PENDAHULUAN

    Penyusunan konsep KUHP baru dimulai bulan Maret 1981. Penyususnan dilakukan berbarengan oleh dua tim, yaitu : (a) Tim Pengkajian dan (b) Tim Rancangan. Kemudian kedua tim ini bergabung menjadi satu dengan pimpinan berturut-turut : Prof Sudarto, SH (meninggal Tahun 1986), Prof Ruslan Saleh (meninggal 1988) dan Mardjono Reksodiputro (ketua sejak tahun 1987-1993) dan dengan sekretaris Ny Yusrida Erwin, SH (1982-1993) sedangkan Prof Oemar seno Adjie menjadi konsultan (meninggal 1991)

    Konsep (selanjutnya Rancangan) yang sekarang dipergunakan dan beredar, merupakan penyempurnaan yang dilakukan oleh suatau tim di bawah Direktorat Perundang-Undagan Departemen Kehakiman dan disosialisasikan pada akhir tahun 2000.

    Duduk sebagai anggita pada tim yang bekerja kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh, SH adalah Prof Dr.J.E. Sahetapy, SH (1982-1993), Prof Dr Andi Hamzah, SH(1984-1993), Prof Dr Muladi, SH (1986-1993), Prof Dr Barda N Arief, SH (1986-1993) sedangkan Prof Dr Loebby Loqman, SH tururt dalam penyempurnaan rancanagan (1998-2000) dan Prof Dr Bambang Purnomo, SH turut dalam sejumlah lokakarya yang membahas konsep-konsep Rancanagan tersebut.

    LATAR BELAKANG KUHP BARU

    Apa yang dilakaukan adalah suatu re-kodifikasi KUHP Hindia Belanda (terjemahan Indonesia) yang berlaku di Indonesia sejak Tahun 1915. Rancangan berusaha untuk menegaskan kembali asas-asas utama dan aturan-aturan umum hukum pidana Indonesia. Diusahakan pula untuk merumuskan sebanyak mungklin tindak piodana yang dianggap penting oleh Tim dalam pembangunan hukum di suatau masyarakat yang berkembang ke arah Industrialisasi. Aturan-aturan yang dianggap “kuna” (terutama dalam Buku Ketiga, yang digabung ke dalam Buku Kedua) dihapus kan atau dirumuskan kembali, dan aturan-aturan baru yang nerkaitan dengan masyarakat modern ditambahkan (misalnya mencampuri urusan pribadi dengan alat teknolofgi modern”-pasal 263; menimbulkan suasasna teroro”-pasal 302; “genocida”-pasal 304: “pencemnaran lingkungan “-pasal 329; “dengan cara curang (deceit;fraud) menimbulkan kerugian orang lain”-pasal 546; “money laundering”-pasal 641; “penyanderaan (politik dan ekonomi)”-pasal 465; dan “perlakuan tidak manusiawi (torture and inhuman tretment) terhadap tahanan—pasal 472; dan lain-lain

    Rancangan juga telah memperhatikan perlindungan terhadap HAM. Beberapa prinsip yang terkandung dalam penyususnan Rancangan adalah antara lain :

    (a) Bahwa hukum pidana juga dapat dipergunakan untuk menegsakan (atau menegaskan kembali) nilai-nilai sosial yang mendasar (basic social values) bagi pembentukan perilaku hidup bersama;
    (b) Bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya digunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial (social control) tidak dapat efektif (asas ultimum-remedium dan asas subsidiaritas);
    (c) Dalam menggunakan hukum pidana sesuai kedua aturan (a) dan (b) di atas, harus di usahakan agar caranya seminimal mungkin menggangu hak dan kebeebsan individu (tanpa mengurangi perlindungan terhadap[ kepentingan koletifitas dalam masyarakat demokratik yang modern).

    KRIMINALISASI DAN DE-KRIMINALISASI (POLITIK KRIMINAL)

    Karena alasan penggunaanya secara praktis dalam praktek hukum (tetapi juga untuk pendidikan dan pembahasan akademik), sistem dan struktyur Rancangan diuahakan agar tidak terallau berbeda dengan KUHP Hidia Belanda . tetapi karena terjemahan KUHP Hindia Belnada berasal dari bahasa (hukum) Belanda yang kuno (archaic), maka rumusan bahasa Indonesia di sederhanakan dengan gaya bahasa yang mudah di mengerti masyarakat (awam) Indonesia.

    Tim menyadri baghwa politik kriminal(kebijakan dalam krimialisasi-sekriminalisasi dan penegakan hukum pidana) yang mendasari KUHP Hindia Belanda tidak dapat di poergunakan dalam alam Indoensia Merdeka. Karena pada umumnya anggota Tim adalah mereka yang mengikuti dengan seksama perkembangan hukum pidana (dan kriminologi) di luar negeri (anatara tahun 1960-1980) maka dalam politik kriminal ini mereka telah meninggalkan ajaran-ajaran lama (a.l Simons, Van Hamel, Franz Von Lizt) dan mengikuti ajaran-ajaran (toeri hukum pidana) yang baru yang di pelopori oleh Marc Ancel (defense Sociale Nouvelle-DSN).

    Berbeda dengan von Lizt dan kawan-kawan (1905), maka Mark Ancel dan kawan-kawan (1954) tidak melihat pemidanaan dan hukum pidana sebagai “bertujuanuntuk melindungi kepentingan-keentingan-hukum-masasyrakat (rechtsgoerderen) semata-mata, tetapi sebagai suatu sistem peraturanb yang melindungi masyarakat secara keseluruhan dan mempunyai landasan ilmiah empiris”. Maksudnya memenag untuk “menetralisir” para elanggar hukum, namun caranya tidak boleh mengabaikan nilai-nilai dasar (basic values) tentang kebebsan dan tanggiung jawab seorang warga masyarakat (citizen). Pendekatan DSN ini adalah “humanis”. Konsep “pemasyarakatan Narapidana” dari Sahardjo, SH (menteri kehaliman) tahun 1961 adalah berdasarkan cara pandang DSN ini. Pendekatan Tim dalam melakukan kriminalisasi dan de-kriminalisasi, karena itu dapat dikatakan sebagai mencari sintesa anatar hak-hak indiovidu dan hak-hak masyarakat.

    Secara kriminilogis pendekatan ini dapat diliohat mewujudkan KUHP (hukuim pidana) sebagaiu suatau politik kriminal yang rasional (lawan dari emosional), dan yang dengan menghormati kebebesan dan tanggung jawab individu juga bertujuabn melindungai masyarakat . Bagi saya hal ini dapat dilihat anatara lain dari aturan-aturan l;ama buku Kesatu tentang Ketentuan Umum, seperti :
    (a) Mengakui berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat dalam hukum pidana Indoneia (Pasal 1 ayat 3);
    (b) Memerintahkan para hakim mengutamakan keadilan diatas kepastian hukum (pasal 16) (menueurt saya ini adalah perintah untuk melakukan penafsirabn hukum-rechtverfining dan penemuain hukum rechtsvinding);
    (c) Diberikan kepada hakim aturan tentang tujuan pemidanaan (pasal 50) dan pedoman pemidanaan (sentencing guidelines) (pasal 51);
    (d) Menegaskan bahwa pidana mati adalah bersifat khsusu dan harus selalau diancam alternatif (tidak mengenal pidan mati mutlak seperti di Singapura dan Makaysia) (pasal 61);
    (e) Pidana seumur hidup telah dijalani sepuluh tahun dapat menjadi pidana 15 tahun maksimum (pasal 65)

    (f) Dikenalkan kembali pidana tutupan untuk mereka yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut di hormati (pasal 71)
    (g) Pidana kerja sosial (sebagai alternatif pidana penjara dan pidana denda) yang dapat dia ngsur pelaksanaanya (pasal 79)
    (h) Pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan sepuluh tahun (pasal 82) dan dapat diubah menjadi pidana seumur hidup (pasal 83)
    (i) Adanya sanksi berupa tindakan (double track system) (pasal 94-105)
    (j) Adanya sanksi berupa pidana dan tindakan bagi anak (12-18 tahun); (di bawah 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum piodana) (pasal 106-123).

    BEBERAPA ASAS UNTUK MENGUJI POLITIK KRIMINAL

    Menurut ilmu hukum pidana “kriminalisasi” (primair: menyatakan sebagai tindak piodana perbuatan dalam abstracto; sednag secundaire; memberi label pelanggar hukum piodana pada orang concreto) selalau berkaitan dengan kerugian pada pihak lain (dalam hal “ crime without victims” tetap dianggap ada kerugian pada masyarakat).

    Tetapi untuk mneguji sustu politik kriminal –primaire tidaklah cukup hanya di uji pada suatu asas itu, ada sejumlah asas yang patut diu perhatikan :

    (a) asas masuk akalnya kerugian yang dapat digambarkan oleh perbuatan tersebut (dapat mempunyi aspek moral, tetpai sehausnya merupakan “publik issues”)
    (b) Asas toleransi terhadap perbuatan tersbut (penilaian atas terjadinya kerugian , berkaitan erat dengan ada atau tidak adanya toleransi: toleransi dio dasarkan pada penghromatan atas kebebasan dan tanggung jawab individu);
    (c) Asas subsidiaritas (sebelum perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana , perlu diperhatikan apakah kepentingan hukum yang terlanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat dilindungi sengan cara lain; hukum pidana hanya ultimum remedium);
    (d) Aasas proporsionalitas (harus ada keseimbangan anatara kerugian yang digambarkan dengan batas-batas yang diberikasn oleh asas toleransi, dan dengan rekasi ataua p[idana yang diberikan);

    (e) Aasas legaliotas (apabila a) samapai dengan d) telah dipertimbangkan, masih perlu dilihat apakah perbuatan tersebut dapat dirumuskan dengan baik hingga kepentingan hukum yang akan dilindungi, tyercermin dan pula jelas hubungannya sdengan asasa keselahan-sendi utama hukum pidana);
    (f) Aasas penggunaanya secara praktis dan efektifitasnya (ini berkaitan dengan kemungkinan penegakannya serta dampaknya pada prevensi umum).

    PENUTUP

    Meskipun tidak secar eksplisit, namun secara implisit Tim yang bekerja selama lebih dari 10 Thaun (198101993) telah memperhatikan semua yang saya uraikan di atas. Ini terjadi melalui diskusi-disksi intern, maupun melalui lokakarya dan seminar. Sebelum diserhakan kepada menteri Ismail Slaeh, SH Rancangan 1993 tersebut telah mempunyai lebih dari seuluh konsep. Rancangan yang diserahkan pada tahun 1993 itu juga emmepunyi penjelasan untu7k setiap pasalnya. Karena cara berpikir yang sangat formalis, maka dalam Rancangan 2000 sebagian besar penjelasan yang disusun oleh Tim asli dihapuskan (dan mungkin karya ini sudah hilang pula).


    Jakarta, 01 November 2001
    Disampaikan dalam Diskusi Panel Ahli “Meninjau RUU Tentang KUHP dalam konteks Perlindungan HAM”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).










    -------------
    Artikel Lain

    * Korupsi-uang-hasil-korupsi
    * Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
    * Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
    * Terorisme dalam Peradilan Pidana
    * Pergeseran Makna Terorisme
    * Kerahasiaan Data PPATK
    * Panwas (dan) Pemilu
    * Sistem Hukum Indonesia
    * Kegagalan SPP Anak
    * proses hukum dalam pemilu
    * KPK dan Korupsi




    -------------


  • hibah untuk yang lain

  • dapat dana untuk sekolah/kuliah/usaha



  • Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!















    --------------------




    Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik

    Oleh: Romli Atmasasmita[1]
    Sumber : http://www.legalitas.org

    Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah

    Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) [2] berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tsb. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[3] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial.

    Di sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”. Bahkan, prinsip tsb telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini.

    Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan( the right to remain silent).

    Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa ybs.[4] Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof. Andi Hamzah, yang telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power) penyidik dalam menjalankan tugasnya.

    Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian; akan tetapi, di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat,sudah memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan kemuka persidangan.[5] Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.

    Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda, hanya sistem hukum pidana Perancis mengadopsi sistem juri sedangkan di dalam sistem hukum acara pidana Belanda tidak digunakan sistem juri.[6]
    Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.


    Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah


    Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya(praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut(non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

    Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

    Rumusan kalimat tsb di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.

    Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”!.

    Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:

    1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
    2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum ybs;
    3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
    4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh ybs;
    5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika ybs tidak mampu;
    6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan ybs;
    7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh ybs;
    8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.

    Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tsb, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.


    Perkembangan tafsir Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) dalam sistem Hukum Acara Belanda dan Perancis

    Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000,tertanggal 31 Mei) ternyata lebih maju(progresif) dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981).

    HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.Pasal 1. butir II, HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”.[7] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis, menegaskan: ”Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).

    Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tsb, sebagaimana disebutkan:
    “Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.

    Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansiil memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi(Braithwaite, 1989).[8]

    Berkaitan dengan pemaknaan tsb, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil. Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tsb menganut paradigma (individualistik)[9] perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan ybs (korban ).[10]

    Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tsb tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum tsb di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.
    Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi mansia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitupula, di dalam Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

    Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ”due process of law”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggeris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia. Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tsb mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ”unfair dan partial trial” terhadap pihak korban kejahatan.

    Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.


    Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah

    Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak indvidu. Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.

    Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tsb, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht”[11] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.

    Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan dengan perubahan paradigma tsb di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding. Praduga tsb selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel.
    Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.

    Rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif (Aristoteles) [12]serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.

    Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tsb sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[13]

    Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan tsb, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6(enam) tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan ybs atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tsb kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[14]

    Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Undang-undang tentang Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    ENDNOTE:
    [1] GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD
    [2] Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “ Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer(1968), yaitu, model “Crime Control”, dan “Due Process” yang merupakan model antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari Griffith(1970); model birokratik (bureaucratic model) dari Reine (1993), dan model resotratif (restorative justice) dari Wright(1996),Fenwick(1997) [dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999;p.40].
    [3] Lawrence M.Friedman, “Total Justice”; Russel-Sage Foundation; 1994: p.80-81
    [4] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgever; 2003; p.30
    [5] ibid
    [6] Caherine Elliot, “French Criminal Law”; Wilan Publishing Coy; 2003; page………..
    [7] Catherine Elliot, op cit.; p.11-12
    [8] Braithwaite,di dalam karyanya, ” Shame and Integration Process”
    [9] Perhatikan dan baca, Dekalarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia(1948); bandingkan dengan
    [10] Perhatikan dan bacan, Bab XA UUD 1945, substansi Bab 28 A sd 28 I, dan Bab 28 J.
    [11] J.Remmelink, “Hukum Pidana”:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia”; Gramedia, 2003; Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana; 1963.
    [12] Aristoteles membedakan beberapa jenis keadilan: keadilan retributive, distributive, komutatif, dan rehabilitatif. Keadilan distributif dan komutatif berbeda secara substansial dengan keadilan retributif yang masih bertumpu pada ajaran kantianisme. Keadilan distributif dan komutatif merupakan bentuk keadilan yang memberikan toleransi kepada pertimbangan kemanusiaan dengan menekankan kepad a kewajiban seseorang untuk mereparasi (memperbaiki) kesalahan yang telah dilakukannya dengan memberikan sejumlah ganti kerugian kepada pihak korban. Konsep keadilan mutakhir terutama setelah munculnya pendekaran perlindungan HAM, adalah keadilan restoratif, yaitu menitikberatkan kepada ”pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku dan korban dalam satu kesatuan kehidupan kemasuyarakatan”. Prinsip keadilan restoratif , mirip dengan prinsip keadilan komutatif.
    [13] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgevers; 2003;p.21
    [14] The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar & Stafford Wadsworth; Rothman & Co, Coloradi, 1997 p.87.

    [Penulis adalah Gurubesar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran Bandung]

    Tuesday, December 11, 2007

    R ancangan KUHAP




    RANCANGAN
    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR ... TAHUN …
    TENTANG
    HUKUM ACARA PIDANA
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
    Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
    b. bahwa untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu diupayakan pembangunan hukum nasional dalam rangka menciptakan supremasi hukum dengan mengadakan pembaruan hukum acara pidana menuju sistem peradilan pidana terpadu dengan menempatkan para penegak hukum pada fungsi, tugas, dan wewenangnya;
    c. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sudah tidak sesuai dengan perubahan sistem ketatanegaraan dan perkembangan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan hukum acara pidana yang baru;
    d. bahwa pembaruan hukum acara pidana juga dimaksudkan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia, baik bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum;
    e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

    Mengingat :
    1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);

    Dengan Persetujuan Bersama

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
    dan
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
    MEMUTUSKAN:
    Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA PIDANA.

    BAB I

    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1


    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari kebenaran materiil dengan cara mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut menjadikan terang tindak pidana yang terjadi dan menentukan tersangkanya.
    2. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk menentukan suatu perkara tindak pidana dapat dilakukan Penuntutan atau tidak, membuat surat dakwaan, dan melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang dengan permintaaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
    3. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan Penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan atau penetapan hakim.
    4. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
    5. Hakim adalah pejabat pengadilan atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini atau undang-undang lain untuk melakukan tugas kekuasaan kehakiman.
    6. Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya Penyidikan dan Penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
    7. Putusan Pengadilan adalah putusan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
    terbuka untuk umum yang berupa pemidanaan atau pembebasan atau pelepasan dari
    segala tuntutan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
    8. Upaya Hukum adalah usaha untuk melawan penetapan hakim atau putusan pengadilan berupa perlawanan, banding, kasasi, kasasi demi kepentingan hukum,dan peninjauan kembali.
    9. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Advokat.

    Catatan:
    Apakah istilah yang digunakan advokat atau penasihat hukum? Dalam batang
    tubuh digunakan “penasihat hukum”.


    10. Tersangka adalah seseorang yang karena bukti permulaan yang cukup diduga keras
    melakukan tindak pidana.
    11. Terdakwa adalah seseorang yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.
    12. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
    13. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian nama baik, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
    14. Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih penguasaan dan/atau penyimpanan benda bergerak atau tidak bergerak dan berwujud atau tidak berwujud, guna berada di bawah penguasaannya, untuk kepentingan pembuktian dalam Penyidikan, Penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
    15. Penggeledahan Rumah adalah tindakan Penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal, tempat tertutup, atau tempat yang lain untuk melaksanakan pemeriksaan, penyitaan, atau penangkapan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
    16. Penggeledahan badan adalah tindakan Penyidik untuk melakukan pemeriksaan badan atau tubuh seseorang termasuk rongga badan untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badan, tubuh, atau rongga badan, atau yang dibawanya serta.
    17. Penggeledahan pakaian adalah tindakan Penyidik untuk melakukan pemeriksaan pakaian, baik pakaian yang sedang dipakai maupun pakaian yang dilepas, untuk mencari benda yang diduga keras berkaitan dengan tindak pidana.
    18. Tertangkap tangan adalah tertangkap sedang melakukan, atau segera sesudah melakukan tindak pidana atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan tindak pidana, atau apabila padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau hasil tindak pidana.
    19. Penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka dan/atau terdakwa berdasarkan bukti permulaan yang cukup guna kepentingan Penyidikan, Penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
    20. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh Penyidik, hakim komisaris, atau hakim dengan suatu penetapan.
    21. Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
    22. Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan hak-haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat Penyidikan, Penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
    23. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan Undang-Undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana.
    24. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menuntut menurut hukum terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
    25. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan Penyidikan, Penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri, atau didengar sendiri.
    26. Ahli adalah seseorang yang mempunyai keahlian di bidang tertentu yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan Penyidikan, Penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
    27. Satu hari adalah 24 (dua puluh empat) jam.
    28. Satu bulan adalah 30 (tiga puluh) hari.

    Penjelasan: Pasal 1 Cukup jelas.

    Pasal 2
    Acara pidana dijalankan hanya berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang.

    Penjelasan:
    Pasal 2
    Ketentuan di dalam pasal ini adalah asas legalitas dalam hukum acara pidana. Ada perbedaan antara asas legalitas di dalam hukum acara pidana dan hukum pidana materiel yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memakai istilah perundangundangan pidana, sedangkan di sini dipakai istilah undang-undang pidana. Ini berarti peraturan yang lebih rendah dari undang-undang misalnya Peraturan Daerah tidak boleh mengatur acara pidana, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dst. tetapi boleh merumuskan suatu tindak pidana.


    Pasal 3
    (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara
    peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan.
    (2) Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kecuali Undang-Undang tersebut menentukan lain.
    Penjelasan:
    Pasal 3
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Ini disebut lex specialis derogate legi generali, artinya undang-undang hukum pidana di luar KUHP boleh mengatur beberapa ketentuan hukum acara pidana sendiri yang menyimpang dari KUHAP, namun jika tidak menyimpang secara tegas, maka berlaku ketentuan yang diatur di dalam KUHAP. Misalnya, Undang-Undang tentang Terorisme yang mengatur jangka waktu penahanan yang lebih lama daripada ditentuan KUHAP.


    Pasal 4
    Acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan secara wajar (fair) dan
    para pihak berlawanan secara berimbang (adversarial).

    Penjelasan:
    Pasal 4
    Yang dimaksud dengan “dilaksanakan secara wajar dan dijaga keseimbangan hak para pihak” adalah:
    - setiap orang yang melakukan tindak pidana dan dituntut karena tindak pidana yang sama diadili berdasarkan peraturan yang sama;
    - pelaksanaan Undang-Undang ini harus menjamin keseimbangan antara hak Penyidik, hak Penuntut Umum, dan/atau hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana
    .


    Pasal 5

    (1) Setiap Korban harus diberikan penjelasan mengenai hak yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pada semua tingkat peradilan.
    (2) Dalam keadaan tertentu, penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada keluarga atau ahli warisnya.

    Penjelasan:
    Pasal 5
    Ayat (1)
    Cukup jelas
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” antara lain, meninggal dunia, tidak mampu
    secara fisik dan mental, dibawah pengampuan, atau dibawah perwalian.






    BAB II
    BAB III
    BAB IV
    BAB V







    -------------
    Artikel Lain

    * Korupsi-uang-hasil-korupsi
    * Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
    * Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
    * Terorisme dalam Peradilan Pidana
    * Pergeseran Makna Terorisme
    * Kerahasiaan Data PPATK
    * Panwas (dan) Pemilu
    * Sistem Hukum Indonesia
    * Kegagalan SPP Anak
    * proses hukum dalam pemilu
    * KPK dan Korupsi




    -------------


  • hibah untuk yang lain

  • dapat dana untuk sekolah/kuliah/usaha



  • Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!















    --------------------




    Saturday, December 01, 2007

    PENDAPAT KHN TENTANG STOLEN ASSET RECOVERY (StAR) INITIATIVE




    Oleh: Komisi Hukum Nasional


    Bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah nasional, melainkan sudah menjadi fenomena transnasional sehingga kerjasama internasional menjadi esensial dalam mencegah dan memberantasnya

    Dalam perkembangannya korupsi mempunyai kaitan dengan kejahatan-kejahatan lain yang terorganisasi, khususnya dalam upaya koruptor menyembunyikan hasil korupsinya melalui pencucian uang dengan menggunakan transfer-transfer internasional yang efektif.

    Tidak sedikit asset publik yang dikorup, dilarikan dan disimpan pada sentra – sentra finansial dinegara – negara maju yang terlindungi oleh sistim hukum yang berlaku di negara tersebut dan oleh jasa para profesional yang disewa oleh koruptor, sehingga tidak mudah untuk melacak apalagi untuk memperoleh kembali aset tersebut.

    Negara-negara berkembang di mana “grand corruption” umumnya terjadi, sangat merasakan kenyataan tersebut sebagai kesulitan dalam upaya memperoleh kembali aset yang dicuri dan disembunyikan pada sentra – sentra finansial dunia.

    Masalah dalam negeri negara berkembang menambah kesulitan tersebut. Tidak jelasnya political will pemerintahnya; lemahnya sistim hukum dan penegakan hukum; terbatasnya dana dan kemampuan aparatnya adalah contoh – contoh yang lebih mempersulit negara berkembang dalam upaya memperoleh kembali aset yang dicuri.

    Akhirnya dunia menyadari bahwa diperlukan upaya global untuk menangani perilaku korupsi dan hasil korupsi yang dilakukan oleh individu maupun korporasi. Upaya global sejak tahun 1997 mencapai puncaknya dengan lahirnya United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (UNCAC 2003), meskipun kenyataanya beberapa negara G-8 dan negara di mana sentra finansial belum meratifikasinya. UNCAC merupakan the first legally binding global anti corruption agreement.

    UNCAC memuat materi yang luas termasuk kerjasama internasional dalam asset recovery yang kemudian disusul dengan lahirnya StAR initiative Juni 2007 yang memuat challenges, opportunities and action plan dalam upaya pengembalian aset curian.

    Indonesia telah meratifikasi UNCAC dalam UU No. 7 Tahun 2006 dan pemerintah telah menyatakan akan ikut serta dalam StAR initiative.

    Sampai saat ini belum ada kasus pengembalian aset curian yang memanfaatkan StAR initiative. Prosedur dan mekanisme juga belum terbentuk sehingga belum jelas seandainya Indonesia akan memanfaatkan StAR initiative untuk mengembalikan hasil korupsi yang dilarikan keluar negeri.

    Meskipun demikian Indonesia perlu mempelajari dengan seksama kandungan StAR initiative dan menyiapkan diri bila suatu saat akan memanfaatkan StAR initiative.

    Intisari StAR initiative

    Isi dari dokumen StAR initiative dapat disarikan antara lain sebagai berikut:

    1. Aset publik yang dicuri dan dilarikan ke luar negeri diperkirakan mencapai 1 trilyun – 1,6 trilyun dollar/tahun.
    2. Nilai yang ditimbulkan oleh korupsi (true cost) jauh lebih besar dari nilai aset yang dicuri. Collateral damage yang timbul meliputi iklim investasi, program kesehatan, pendidikan, peningkatan kemiskinan dsb.
    3. Aset curian sering disembunyikan pada sentra-sentra finansial di negara-negara maju. Suap kepada pejabat publik sering berasal dari korporasi multinasional. Hal ini bisa terjadi karena tersedianya layanan oleh lawyers, akuntan, dan agen-agen profesional tertentu.
    4. Berdasarkan pengalaman di atas, negara-negara berkembang dengan serius ingin mengatasinya, namun menghadapi hambatan-hambatan antara lain:

    ¨Tidak jelasnya political will pemerintahnya;

    ¨Terbatasnya upaya hukum, kemampuan investigasi, dan peradilan;

    ¨Terbatasnya dana;

    ¨Lemahnya transparansi dan akuntabilitas public;

    ¨Perbedaan sistem hukum dengan negara di mana aset curian disimpan;

    ¨Ketidaksediaan negara maju untuk membantu upaya pengembalian aset curian;

    ¨Dsb.

    5. Yang diharapkan dari StAR initiative bukan saja hasil pengembalian aset dapat digunakan untuk mendanai program-program sosial dan infrastruktur, tetapi juga diharapkan mampu:

    ¨ Memancarkan signal bahwa tidak ada lagi surga yang aman bagi aset curian,

    ¨ Dalam jangka panjang upaya pengembalian aset diikuti dengan reformasi lembaga dan pemerintahan yang baik, karena tanpa ini StAR initiative tidak akan memberikan arti.

    6. StAR initiative merupakan bagian integral dari Governance and Anti Corruption Strategy World Bank Group yang menyatakan perlunya bantuan terhadap negara berkembang dalam pengembalian aset curian. Kerjasama legal internasional dari StAR initiative ini disediakan oleh UNCAC. Dengan demikian, keberhasilan StAR initiative tergantung dari efektifnya kemitraan antara negara maju dengan negara berkembang serta antara lembaga-lembaga bilateral dan multilateral yang terkait.

    7. Dengan demikian diperlukan rencana aksi global atas dasar pemikiran antara lain:

    ¨ Bahwa political will dan legal reform diperlukan baik di negara berkembang maupun di negara maju dan mereka perlu meratifikasi serta melaksanakan UNCAC;

    ¨ Bahwa waktu merupakan masalah esensial. Proses yang berkepanjangan berdampak terhadap kredibilitas negara berkembang;

    ¨ Bahwa respons yang cepat dari negara di mana aset curian disimpan sangat dibutuhkan;

    ¨ Bahwa kerjasama global diperlukan untuk menjamin agar surga finansial baru tidak timbul menggantikan yang ada dan negara berkembang dapat menerima bantuan yang diperlukan;

    ¨ Bahwa perlu penyertaan masyarakat madani dan media massa.

    Contoh langkah global yang diusulkan, misalnya:

    a. Implementasi UNCAC; meliputi mengembangkan dan memperkuat kerjasama dengan lembaga multilateral dan bilateral;

    b. Mengembangkan pilot program dengan tujuan membantu suatu negara mengembalikan aset curian dengan memberi bantuan hukum dan teknis serta ahli;

    c. Dalam implementasinya UNCAC perlu menawarkan kepada negara yang memerlukan program alternative for monitoring recovered asset;

    d. Membangun global partnership on StAR initiative.

    8. Pengembalian aset curian ternyata tidak mudah dan memakan waktu lama, sehingga upaya global diperlukan untuk mengatasinya. Dicontohkan Phillipina dalam upaya pengembalian aset Marcos yang disembunyikan di Swiss dimulai tahun 1986 dan berhasil ditransfer ke Phillipina baru pada tahun 2003, sebesar 624 juta dollar. Dalam upaya global sejak tahun 1997 beberapa legislasi internasional telah diadopsi antara lain tentang anti korupsi, penyuapan, transnational organized crime yang puncaknya pada berlakunya UNCAC sejak Desember 2005, di mana dimuat secara khusus artikel-artikel tentang asset recovery, antara lain artikel 8, 9, 12, 14, 23, 26, 31, 40, 43, 46, 51, 52, 55, 57. Pengalaman bahwa perbedaan sistem hukum menjadi kesulitan yang besar dalam kasus-kasus yang diselesaikan secara bilateral, maka berlakunya UNCAC diharapkan merupakan langkah besar ke depan, misalnya untuk mengatasi masalah-masalah antara lain:

    ¨ Negara berkembang umumnya mempunyai kelemahan dalam sistem peradilan pidananya, untuk mampu meminta bantuan hukum internasional secara tepat dan memadai;

    ¨ Meninggalnya tersangka dan immunitas seseorang, serta berlanjutnya pengaruh politik dan kekuasaan pejabat yang korup;

    ¨ Beberapa negara maju tidak kooperatif karena tidak percaya terhadap negara berkembang karena lemahnya rule of law.

    9. Serangan teroris pada Desember 2001 melahirkan kampanye melawan pendanaan terhadap terorisme dan pencucian uang. Pusat-pusat keuangan yang dinilai sebagai surga yang aman bagi aset curian dari pemimpin korup, hasil kejahatan, dan terorisme menghadapi reputasi yang berisiko dibandingkan dengan keadaan 10 tahun yang lalu. Negara-negara berkembang ingin agar pengembalian aset curian selain bermanfaat untuk program pembangunan juga menjadi sarana mewujudkan the Millenium Development Goals (MDGs).

    10. Program Kemitraan UNODC-WBG

    UNODC-WBG bersama-sama membuat formulasi usaha bersama terhadap pengembalian aset curian. WBG berperanan berdasarkan Governance and Anti Corruption Strategy (GAC), sedangkan peranan UNODC adalah sebagai custodian untuk UNCAC dan sekretariat konferensi negara-negara anggota UNCAC. Tujuan dari program kemitraan UNODC-WBG tersebut adalah:

    a. Memanfaatkan dua lembaga tersebut untuk meningkatkan kerjasama negara berkembang dengan negara maju dalam rangka StAR initiative dan mengharapkan semua negara meratifikasi dan melaksanakan UNCAC;

    b. Dua kerjasama tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan legislasi, investigasi, peradilan, dan penegakan hukum negara berkembang, agar berhasil mengembalikan aset curian di dalam negeri maupun yang disimpan di luar negeri dan mencegah pelariannya;

    c. Memonitor pemanfaatan aset curian yang bisa dikembalikan untuk meyakinkan apakah aset tersebut digunakan secara transparan untuk pembangunan.

    UNODC-WBG akan mengidentifikasi 5-6 negara sebagai target pemberi bantuan teknis di dalam rangka implementasi UNCAC. Juga akan meningkatkan kemampuan sistem peradilan pidana agar efektif mencegah penjarahan aset dan merupakan upaya pengembalian aset curian sesuai internationally accepted legal standards. Manfaat StAR initiative jangka panjang meliputi penjaminan bahwa aset yang kembali digunakan dengan baik bagi pembangunan guna memperkuat institusi publik serta meningkatkan check and balances, transparansi, dan akuntabilitas publik.

    11. Kerangka Kerjasama Hukum

    Dalam menangani pencucian uang, masalah yang sangat krusial adalah kerjasama antara negara maju terutama sentra finansial (kadang-kadang sebagai surga aset curian) dengan negara berkembang yang asetnya dicuri. Lagi-lagi yang menjadi penghalang/perintang kerjasama tersebut adalah adanya dua sistem hukum yang berbeda.

    Akhir-akhir ini beberapa kemajuan telah dicapai dengan telah diterimanya instrument internasional baru dalam menangani hasil korupsi dan perilaku korupsi yang dilakukan korporasi maupun individual, misalnya:

    ¨ Council of Europe’s Criminal Law Convention on Corruption (2002) and the Civil Law Convention on Corruption (2003).

    ¨ UN Convention Against Transnational Organized Crime (2003), sampai saat ini 147 negara telah menandatanganinya.

    ¨ UNCAC merupakan “the first legally binding global anti corruption agreement”. Dalam UNCAC dengan tegas dinyatakan bahwa pengembalian aset curian merupakan salah satu prinsip dasar dari konvensi dan semua anggota wajib bekerjasama dan saling membantu. (Desember 2005 sampai November 2006, 140 negara telah menandatangani dan 92 negara telah meratifikasinya).

    12. Berbagai masalah yang dihadapi

    Negara berkembang yang berkeinginan memperoleh kembali aset yang dicuri akan menghadapi berbagai hal antara lain:

    ¨ Lemahnya institusi publik, belum berkembangnya checks and balances untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi;

    ¨ Lemahnya kemampuan untuk mempersiapkan dakwaan; mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan bukti yang patut (cukup) untuk memperoleh keyakinan mentrasir hasil korupsi dan untuk memperoleh perintah pembekuan dan penyitaannya; lemahnya penegakan hukum, penuntutan, dan wewenang pengadilan dalam sistem peradilan pidana untuk memenuhi internationally accepted legal standards;

    ¨ Adanya perbedaan common law dan civil law menimbulkan komplikasi dan kesulitan dalam penyidikan, penyitaan, pembuktian; dual criminality condition dsb;

    ¨ Kenyataan bahwa setengah dari Negara G-8 dan sebagian besar sentra finansial belum meratifikasi UNCAC;

    ¨ Dan lain-lain masalah dalam lingkup manajemen finansial.

    13. Pelaksanaan dan monitoring UNCAC

    ¨ UNODC adalah custodian dan memimpin badan pelaksana UNCAC;

    ¨ Tahun 2007 akan diadakan Conference of State Parties dengan tuan rumah Indonesia (di Bali);

    ¨ WBG berpartisipasi dalam kelompok kerja UNODC-UNCAC untuk bantuan teknis, pelaksanaan, dan asset recovery;

    ¨ UNODC-WBG bersama memberi bantuan teknis untuk menyesuaikan kerangka hukum nasional dengan UNCAC.

    Kondisi Negara Berkembang

    1. Dari gambaran di atas ternyata StAR initiative bukanlah sarana yang mudah digunakan oleh negara berkembang untuk memperoleh kembali uang yang dicuri melalui korupsi dan disimpan di pusat-pusat finansial yang terdapat di negara-negara maju yang dibentengi dengan hukum, profesionalisme, teknologi serta politik.

    2. Implementasi StAR initiative serta keberhasilannya sangat tergantung kepada keikutsertaan dan kepatuhan negara maju serta negara berkembang tanpa kecuali. Tanpa ini, StAR initiative akan tetap tinggal sebagai wacana, bukan sebagai the missing link in an effective anti corruption effort dan constitute a formidable deterrent to corruption.

    3. Belum diterimanya UNCAC oleh setengah dari Negara G-8 dan oleh pusat-pusat finansial dunia di mana uang curian disimpan, perbedaan sistem hukum (common law-civil law), lemahnya negara berkembang dalam institusi publik, sistem hukum dan penegakannya, tidak tegasnya political will, lemahnya kerjasama internasional, lemahnya dukungan professional yang diperlukan dll, dipastikan menimbulkan kesulitan bagi negara berkembang untuk dapat memanfaatkan StAR initiative dan memetik buahnya dengan mudah. Lagi-lagi negara berkembang perlu dibantu oleh unsur luar yaitu WBG-UNODC di mana di dalamnya duduk negara-negara maju dan bantuan apapun bentuknya tidak ada yang prodeo.

    Kondisi Indonesia

    1. Indonesia mengalami masalah yang sama dengan negara-negara berkembang pada umumnya, bahkan mungkin lebih berat. Untuk mengikuti StAR initiative, setidak-tidaknya suatu negara harus mempunyai “internationally accepted legal standards”. Apakah Indonesia sudah mempunyai legal standards yang diakui dan diterima secara internasional? Di samping hukum juga masih diperlukan standards lain di bidang kelembagaan publik, pengelolaan finansial dll, apakah juga sudah dipunyai?

    2. Indonesia yang telah meratifikasi UNCAC dengan UU No.7 Tahun 2006 seyogyanya mengikuti program StAR initiative. Conference of State Parties tahun 2007, di mana Indonesia menjadi tuan rumah, tentu bermanfaat dalam hal Indonesia hendak berpartisipasi dalam program StAR initiative dan implementasi UNCAC, khususnya yang menyangkut asset recovery.

    3. Kasus-kasus Nigeria, Peru, dan Phillipina yang dicontohkan dalam StAR initiative merupakan grand corruption yang dilakukan oleh corrupt leaders dan menyangkut nilai uang jutaan dollar. Dapat dipahami mengapa tiga negara tersebut hanya menangani kasus grand corruption. Ini disebabkan mengingat tingkat kesulitannya yang tinggi, karena tentunya tidak akan worthy bila menangani kasus korupsi yang kecil-kecil yang hasilnya tidak akan seimbang dengan jerih payah yang harus dikeluarkan. Contoh di atas rasanya juga perlu menjadi bahan pertimbangan bila Indonesia akan memulai upaya pengembalian aset yang dicuri.

    Kasus Nigeria, Peru, dan Phillipina membuktikan bahwa mereka berhasil menarik kembali uang yang dicuri, meskipun harus mengalami berbagai kesulitan yang memakan waktu, biaya, tenaga dsb, sebelum lahirnya UNCAC dan StAR initiative.

    Kondisi Indonesia saat ini jauh lebih baik dan menguntungkan dibandingkan dengan ketika Nigeria, Peru, dan Phillipina berupaya memperoleh kembali aset yang dicuri dan dilarikan keluar negeri.

    4. Pertama dan utama yang diperlukan oleh Indonesia adalah political will yang jelas dan konsisten. Sebagai contoh: WBG-UNODC menduga bahwa aset negara yang dikorup oleh mantan Presiden Suharto diperkirakan mencapai lebih dari 15 milyar dollar. Apakah kasus ini akan ditindaklanjuti? Bagaimana pengaruh putusan MA dalam kasus Majalah Time, seandainya kasus korupsi itu akan ditindaklanjuti? Apakah institusi pengadilan yang diperlukan dukungannya akan membantu?

    5. Prosedur dan mekanisme StAR initiative belum terbentuk sehingga belum jelas bagaimana suatu negara yang ingin memanfaatkan StAR initiative harus berbuat. Namun yang sudah jelas terbentuk saat ini adalah the need for global action on stolen asset recovery. Kondisi ini perlu dimanfaatkan oleh Indonesia untuk berupaya mengembalikan aset yang dicuri dan diduga disimpan di sentra-sentra finansial dunia.

    6. Langkah-langkah yang dapat dilakukan:

    a) Menunjukkan kemauan politik (political will) yang kuat dalam melaksanakan reformasi penegakan hukum dalam negeri terutama untuk memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (“KKN”) dengan cara:

    1. Memastikan pengadilan berada pada integritasnya yang tertinggi, tidak korup, dan transparan;

    2. Transparansi pada sistem pendapatan dan pengeluaran pemerintah, dari tingkat nasional hingga tingkat daerah;

    3. Transparansi dalam pembiayaan kampanye politik.

    b) Menindaklanjuti perjanjian bilateral yang sudah dibuat dengan negara tertentu untuk menangani kasus korupsi dengan memanfaatkan asistensi yang disediakan oleh WBG-UNODC.

    Catatan: Extradition Treaties yang sudah dibuat Indonesia adalah dengan Hongkong, Malaysia, Phillipina, Australia, Thailand, South Korea, Singapora. Dalam proses: Canada dan China.

    c) Melakukan kerjasama bilateral dengan negara-negara tertentu dalam menangani kasus korupsi, meliputi ekstradisi pelaku, pengembalian aset yang dicuri, dan penyerahan aset milik pelaku lainnya.

    d) Menggunakan prasarana dan sarana hukum yang kita miliki untuk meminta bantuan negara lain membekukan, menyita, dan mentransfer aset yang diduga milik tersangka/terdakwa/terpidana perkara korupsi (case by case) yang berada di negara tersebut.

    e) Melakukan audit institusi dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbuatan korupsi dan menyempurnakannya secara bertahap untuk disesuaikan dengan internationally accepted legal standards.

    f) Menetapkan satu kasus “grand corruption” untuk menjadi studi kasus empirik.

    g) Membuka kemungkinan dalam Hukum Pidana Indonesia melakukan perampasan keuntungan yang berasal dari kejahatan (deprivation of profits as a result of corruption)

    h) Membuka kemungkinan dalam Hukum Pidana Indonesia melakukan penyelesaian hukum di luar proses pengadilan (afdoening buiten process- Remmelink, 2003:442) terhadap kasus korupsi tertentu (sesuai politik kriminal pemerintah dan secara transparan serta akuntabel)

    Dengan dilaksanakannya langkah-langkah tersebut di atas diharapkan timbul kepercayaan pada kinerja pemerintah Indonesia dalam memberantas KKN dan mengejar aset koruptor baik itu oleh publik dalam negeri maupun publik luar negeri.








    -------------
    Artikel Lain

    * Korupsi-uang-hasil-korupsi
    * Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
    * Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
    * Terorisme dalam Peradilan Pidana
    * Pergeseran Makna Terorisme
    * Kerahasiaan Data PPATK
    * Panwas (dan) Pemilu
    * Sistem Hukum Indonesia
    * Kegagalan SPP Anak
    * proses hukum dalam pemilu
    * KPK dan Korupsi




    -------------


    - hibah untuk yang lain
    - dapat dana untuk sekolah/kuliah/usaha


    Daftar program iklan di blok anda, klik banner di bawah!





    --------------------

    PAHLAWAN NASIONAL

    crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...