Friday, July 20, 2007

Dilema Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh: Mujahid A.Latief

DALAM sebuah panel diskusi bertajuk "Peluang Peradilan satu Atap dalam Membangun Profesioanlisme dan Integritas Hakim", Satjipto Rahardjo mengatakan perlu adanya rekonseptualisasi makna hukum - apa yang kita maknai hukum (what mean by law). Satjipto Rahardjo menilai dominasi pemahaman hukum yang terjadi saat ini cenderung legalistik - positifistik. Satjipto berkeyakinan bahwa hukum itu not only stated in the book tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat (living law).

Reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 harus diakui telah melahirkan sejumlah perubahan instrumental, meski diakui juga bahwa perubahan tersebut masih banyak kelemahannya. Banyaknya kelemahan tersebut karena reformasi tidak punya paradigma dan visi yang jelas alias hanya tambal sulam, contohnya reformasi peradilan yang terwadahi dalam empat paket undang-undang yang berkaitan dengan peradilan hanya lebih banyak memfokuskan pada peradilan satu atap (Beny K. Harman).

Gambaran yang disampaikan oleh Beny K.Harman dan Satjipto tersebut bisa menjadi gambaran bagi kita semua dalam melihat wajah reformasi hukum Indonesia. Benar bahwa saat ini telah banyak aturan hukum yang mendorong kearah reformasi sebagaimana tuntutan masyarakat. Benar bahwa sudah banyak lembaga yang memiliki peran untuk memperbaiki sistem peradilan kita, sebut saja misalnya lahirnya KPK, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan Timtastipikor.

Ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan baru dan lembaga baru tersebut sangat tinggi. Tetapi ekspektasi masyarakat seringkali tidak sejalan dengan realitas yang ada. Kita sering mendengar banyak tersangka koruptor tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan akhirnya. Mengapa sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidak-tidaknya hukumannya sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan pemahaman fakta hukum di persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi hukum apa yang mereka pergunakan, adakah paradigma legalistik-posifistik semata yang dipergunakan ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi - adalah deretan pertanyaan publik yang belum ada akhirnya.

Lembaga peradilan sebagai institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Bagaimana seharusnya agenda reformasi hukum khususnya pemberantasan korupsi dilakukan?

Seorang tokoh reformis China yang hidup sekitar abad 11 mengemukakan, ada dua unsur yang selalu muncul dalam pembicaraan masalah korupsi yaitu hukum yang lemah dan manusia yang tidak benar. Tidak mungkin menciptakan aparat yang bersih hanya semata-mata mendasarkan rule of law sebagai kekuatan pengontrol (social control). Ia berkesimpulan dalam memberantas korupsi dibutuhkan penguasa yang punya moral tinggi dan hukum yang rasional serta efisien (Mujahid:2000)

Dalam sejarahnya "upaya" pemberantasan korupsi sudah berlangsung sejak tahun 1958, yakni dengan lahirnya berbagai institusi dan peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk memberantas korupsi, akan tetapi korupsi di Indonesia selalu saja menempati urutan yang tinggi .

Seiring dengan tuntutan reformasi yang tuntutan paling penting adalah reformasi dibidang hukum, yang bermuara pada tuntutan agar pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah mewabah di Indonesia dapat dilakukan. Puncak dari tuntutan tersebut melahirkan instrumen hukum dalam rangka memberantas korupsi yang terlihat pada Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tap MPR tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya dan terakhir adalah lahirnya UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai instrumen hukum lain yang diarahkan untuk penegakan hukum.

Harus diakui kenyataannya sampai saat ini berbagai instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi. Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) - penanganannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa dalam bingkai due process of law, tidak dilakukan dengan cara konvensional.

Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya mendasarkan instrumen hukum yang ada, akan tetapi harus didukung oleh kemauan politik yang kuat dari semua cabang kekuasaan Negara (eksekeutif, legislatife dan yudikatif). Tidak dapat dipungkiri korupsi terjadi berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh kekuatan politik seperti ungkapan Lord Acton power tend to corrupt and absolutely power tends to corrupt absolutely.

Dengan adanya intstrumen hukum yang sudah memadai saat ini, mestinya pemberantasaan KKN relatif lebih mudah. Hanya saja penyelesaiannya sangat tergantung pada political will. Pemberantasan korupsi hanya akan tercapai manakala kekuasaan politik dan penegak hukum dipegang oleh orang yang punya integritas dan keberanian. Berbagai kasus yang melibatkan pejabat publik yang tidak jelas ujungnya tidak saja melecehkan hukum akan tetapi menghina rasa keadilan masyarakat. Karena itu setiap aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang sama untuk memberantas korupsi, meminjam intilah Satjipto ketika seorang aparat penegak hukum menangani kasus korupsi dia tidak boleh datang dengan netral tetapi harus datang predesposisi tertentu dengan semangat untuk memberantas korupsi. Dengan demikian penegakan hukum akan menyentuh kepastian dan keadilan bagi masyarakat. ***

*) Penulis: Alumni Pascasarjana Fakultas Hukum UI (Koordinator Program Komisi Hukum Nasional.

artikel pernah dimuat di Kaltim Pos, dan dapat diakses dihttp://www.kaltimpost.web.id





Artikel Lain
1. Terorisme dalam Peradilan Pidana
2. Pergeseran Makna Terorisme
3. Kerahasiaan Data PPATK
4. Panwas (dan) Pemilu
5. Sistem Hukum Indonesia
6. Kegagalan SPP Anak
7. proses hukum dalam pemilu
8. KPK dan Korupsi
9. Bush Kebal Santet





Faham Kerakyatan, Negara Hukum, dan MPR : Ketegangan Paradigma dalam Konstitusi




Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DENGAN kekonyolannya sendiri proses Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah melahirkan perdebatan mengenai kedaulatan rakyat, keberadaan lembaga negara yang menjadi penubuhan kedaulatan itu, serta secara tak disadari, faham negara hukum dengan supremasi konstitusinya.

Masalah ini menyangkut rumusan "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar" (Pasal 1 Ayat 2 Perubahan) serta "Negara Indonesia adalah negara hukum" (Pasal 1 Ayat 3 Perubahan). Tidak semua anggota Panitia Ad Hoc (PAH)-I Badan Pekerja (BP)-Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengerti argumen dasar dan implikasi rumusan itu, serupa dengan tidak semua penentang rumusan itu mengerti paradigma yang mendasari rumusan itu.

Gerakan Nurani Parlemen, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi, sekelompok purnawirawan ABRI, dan akademisi termasuk penentang rumusan itu, yang dinilai telah mengubah dasar "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", meniadakan eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat, sehingga MPR tak berhak bersidang dan melanjutkan Perubahan UUD 1945. Namun, penilaian ini dibantah oleh sikap resmi berbagai fraksi dalam Sidang Tahunan (ST) MPR 2002, sekaligus oleh kehadiran sebagian besar para penentang itu dalam ST MPR.

Tulisan ini hendak menguak nuansa perdebatan paradigmatik tentang negara, hukum, dan demokrasi yang telah berumur panjang. Tujuannya membuka cakrawala pemahaman atas persoalan, sekaligus menantang MPR hasil Pemilu 1999 agar menyikapi warisan ketegangan paradigma konstitusi secara menyeluruh. Pemahaman ini diharapkan dapat menghindarkan sikap destruktif yang meniadakan keberadaan MPR (parlemen), karena pemahaman yang disodorkan dalam tulisan ini hendak meletakkan faham kerakyatan dan konstitusionalisme secara proporsional.

***

RUMUSAN asli UUD 1945 hanya mengatakan, "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat" (Pasal 1 Ayat 2 pra-amandemen). Ada tiga hal penting yang tak dapat dileburkan begitu saja: substansi faham kerakyatan (demokrasi), institusi yang menjalankan kedaulatan rakyat, dan kekuasaan institusi. Secara sekilas rumusan ini sudah jelas, bahwa kedaulatan Indonesia ada di tangan rakyat. Untuk menjalankannya dibentuk MPR (baca: demokrasi perwakilan). Rumusan demikian sejalan dengan dasar "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."

Namun, merupakan pandangan yang amat menyesatkan bila dasar kerakyatan dan rumusan kelembagaannya diartikan senapas, bahwa yang merupakan prinsip adalah MPR, bukan faham kerakyatan itu sendiri. Demokrasi dapat mengambil bentuk perwakilan (representative democracy) maupun bersifat partisipatif (participatory democracy). Para pendiri Indonesia merumuskan kerangka institusi berdemokrasi dalam "konstitusi perang" (revolutie grondwet) tahun 1945, yaitu dengan memilih sistem perwakilan berbentuk parlemen dan lembaga legislatif. Lembaga-lembaga itu disebut sebagai "penyelenggara negara" (bandingkan dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan UUD Sementara tahun 1950 yang menyebut "alat-alat perlengkapan negara"). Amat manipulatif, dan sama sekali bukan ideologis, jika rumusan dasar negara dan Pasal 1 Ayat (2) itu diartikan bahwa para pendiri Indonesia antidemokrasi partisipatorik.

Oleh karena pemahaman yang mengolusikan antara substansi dan lembaga, maka makna bahwa MPR menjalankan kedaulatan rakyat secara "sepenuhnya" mengalami manipulasi, menjadi MPR tidak tunduk kepada kedaulatan rakyat dan konstitusi. Artinya, kedaulatan memang berada di tangan rakyat tetapi sudah "diambil alih" oleh lembaga yang menjalankannya secara penuh yaitu MPR. Persoalan ini muncul karena pemahaman parsial atas pemaknaan yang dilakukan Menteri Kehakiman Soepomo dalam Penjelasan UUD 1945, yang diterbitkan dalam Berita Repoeblik Indonesia Nomor II Tahun 1946.

Soepomo menafsirkan, MPR merupakan lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi, karena dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Artinya, argumen tentang negara dan lembaga negara sebagai puncak pengejawantahan akal budi dan aktualisasi manusia (baca: bangsa), seperti diteorikan pemikir Jerman, GWF Hegel, telah dipinjam untuk mengemas suatu faham religio-kultural Jawa tentang manunggaling kawulo lan gusti yang dirujuk dalam pidato Soepomo di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945. Perspektif filsafat tentang mengalirnya substansi yang abstrak ke dalam sesuatu yang mewujud (emanasi) ini bukan merupakan pandangan aneh, termasuk dalam khazanah keagamaan seperti "bayangan Allah di muka bumi" di dunia Islam (zhillullahi fil-ardhi) atau Kristiani (imago Dei).

Cara pandang ini amat berbeda dengan perspektif yang "membiarkan" faham kedaulatan rakyat sebagai konsep abstrak sehingga dapat ditransfer ke berbagai kerangka institusional seperti lembaga perwakilan, kekuasaan kehakiman, atau konstitusi. Kedaulatan rakyat yang abstrak tidak berarti terbagi habis karena distribusi itu, tetapi hanya mengalami desentralisasi ke lembaga-lembaga negara.

Maka, muncul ketegangan paradigmatik dalam konstitusi, apakah yang dianut adalah faham kedaulatan rakyat atau kedaulatan (lembaga) negara. Persoalan ini menjadi-jadi ketika dilakukan pendisiplinan dalam rumusan hierarki hukum menurut Ketetapan (Tap) MPRS No XX/MPRS/1966, dengan argumentasi akademik dari pemikir Swiss, Hans Kelsen. Dalam perspektif Kelsen, dasar pamungkas hidup bernegara adalah sebuah grundnorm yang untuk waktu lama diisi dengan Pancasila menurut indoktrinasi penguasa. Padahal, grundnorm juga bermakna proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, yaitu self-determination of people, kemerdekaan bangsa, atau faham kerakyatan. Pembukaan UUD 1945 secara gamblang menegaskan, "kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa." Sebuah negara diakui berdaulat di hadapan negara lain karena rakyat dan bangsa, dengan kelembagaan negara yang mengikuti kehendak bangsa itu.

Ketegangan paradigmatik antara faham kerakyatan, yang direduksi hanya menjadi demokrasi perwakilan, dengan kedaulatan (lembaga) negara ini harus diselesaikan jika tidak diinginkan munculnya kembali rezim negara kuat (strong state) Orde Baru dalam kehidupan kebangsaan di masa depan.

***

SETELAH UUD 1945 mengalami Perubahan ketiga tahun 2001, ketegangan paradigmatik bertambah karena penguatan prinsip negara hukum (rechtstaat) dan supremasi konstitusi (Pasal 1 Ayat 2 dan 3 perubahan). Dikatakan ketegangan, karena usaha mengukuhkan prinsip negara hukum justru rawan untuk dimentahkan, yaitu dengan memanipulasi atribut MPR sebagai lembaga tertinggi negara menurut Penjelasan UUD 1945 (tahun 1946). Lebih-lebih dengan memunculkan tafsir sendiri yang secara destruktif justru meniadakan MPR, misalnya menuntut MPR harus tetap menjadi lembaga negara tertinggi atau sebaliknya "hilang" (konstitusi di mana?).

Sebenarnya, masih dapat dimengerti jika MPR disebut sebagai lembaga pemegang "kekuasaan negara yang tertinggi" di antara lembaga-lembaga negara. Ini hanya menempatkan MPR sebagai "penyelenggara negara" yang dianggap sebagai "penjelmaan rakyat" karena yang merupakan prinsip konstitusionalisme demokratik adalah "rakyat yang memegang kedaulatan negara" (kutipan dari Penjelasan UUD 1945). Jadi, ini harus diartikan menyangkut distribusi kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, menghadapkan atribut tertinggi pada MPR dengan konstitusi, sambil menggunakan wacana reduksionis tentang faham kerakyatan atau demokrasi, jelas menunjukkan argumen yang menentang faham negara hukum.

Sebaiknya diakui secara terang, perumusan UUD 1945 tidak diwarnai perdebatan mendalam tentang faham negara hukum. Belakangan, Penjelasan UUD 1945 menyebut Indonesia sebagai sebuah negara hukum. Hal ini menunjukkan kesadaran post-factum, setelah terjadi kekalahan fasisme Jerman di bawah Adolf Hitler dan fasisme Jepang di bawah Tenno Heika dalam Perang Dunia II. Kedua rezim fasis ini dirujuk dengan rasa kagum dan percaya diri dalam pidato Soepomo di depan BPUPKI, dan keduanya merupakan negara kekuasaan (machtstaat). Maka dapat diemengerti, Penjelasan UUD 1945 hanya menerangkan tentang negara hukum dengan cara melawankan antara rechtsstaat, sistem konstitusi, dan tidak bersifat absolutisme, di satu sisi, dengan machtstaat di sisi lain.

Oleh karena tidak ada elaborasi lain mengenai prinsip negara hukum itu, apalagi justru berkembang pendapat UUD 1945 mengakomodasi segala macam kedaulatan (negara, hukum, rakyat, dan Tuhan), maka kuasa-kuasa utama (primary forces) mendefinisikan UUD 1945 sebagai constitution realia yang menganut faham negara kekuasaan. Padahal, prinsip negara hukum memiliki ramifikasi yang kaya, dengan bagian penting di antaranya justru bersitegang dengan negara kekuasaan dan faham kedaulatan (lembaga) negara.

Dalam faham kedaulatan negara, institusi negaralah yang berdaulat. Kekuasaan pamungkas yang dipegang negara tidak dapat ditundukkan kepada yang lain (kecuali dapat ditundukkan oleh kekuasaan asing). Wacana ini segera berhadapan dengan faham konstitusionalisme atau negara hukum, yang menempatkan supremasi konstitusi dan hukum sebagai institutional constraints guna membatasi dan mengendalikan kekuasaan negara. Cara yang melembaga dan bersifat kolektif ini, bukan kultural dan personal, akan menghasilkan negara dan pemerintah yang bersifat terbatas agar rakyat terlindungi dari kekuasaan yang bersalah-guna (korup). Karena itu, mengutamakan supremasi (lembaga) negara di hadapan konstitusi justru mengabaikan faham negara hukum.

Jelas, menolak rumusan perubahan Pasal 1 Ayat (2) justru menolak faham kedaulatan rakyat dan negara hukum, yaitu mengalahkannya dengan kedaulatan (lembaga) negara. Penolakan ini justru menjebak para pendukungnya ke dalam faham negara kekuasaan machtstaat). Ini merupakan salah satu rintangan terbesar dalam melangsungkan transisi dari kekuasaan yang otoriter.


Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0208/12/opini/faha04.htm




----------
-------------
Artikel Lain


* Catatan Singkat Politik Hukum Pembaruan Hukum Pidana Materiel Di Indonesia
* Model Grand Jury Dalam KUHAP Mendatang, Mungkinkah?
* Korupsi-uang-hasil-korupsi
* Raisya-dan-agenda-perlindungan-hak-anak
* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi

-------------
--------------------

Thursday, July 12, 2007

KHN Persiapkan Rekomendasi Baru (KHN dibubarkan?)

sumber : http://hukumonline.com/detail.asp?id=17143&cl=Berita
[12/7/07]

Sejumlah anggota DPR berpendapat KHN sebaiknya dibubarkan karena hasil kerja lembaga itu tak pernah terdengar. KHN menganggap selama ini mereka sudah menjalankan tugas-tugasnya. Kini lembaga itu mengaku sedang menyiapkan sejumlah rekomendasi. Apa saja?

Beberapa hari lalu Komisi III DPR kembali menggelar Rapat Kerja dengan Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON). Rapat kali ini digelar bersama Sekjen dari masing-masing Komisi karena yang dibicarakan adalah anggaran. Adakah itu pertanda eksistensi KHN dan KON masih tetap dipertahankan?

Wakil Ketua Komisi III Mulfachri Harahap dalam Rapat Rencana Kerja Anggaran Pagu Sementara RAPBN 2008, menganggap lembaga bentukan pemerintahan Gus Dur itu tidak ada bedanya dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang berada di bawah Dephukham. Toh kalaupun sebagai lembaga peneliti, menurut Mulfachri Komisi Hukum Nasional juga dirasa kurang memberi kontribusi dalam tugas-tugasnya yang berkaitan dengan itu. “Hal-hal itu yang selama ini menjadi perdebatan kawan-kawan di Komisi III,” ujar Mulfachri kepada hukumonline di Gedung DPR, awal pekan ini.


KHN mengajukan mata anggaran untuk tahun 2008 sebesar kurang lebih Rp10 miliar atau naik dari mata anggaran pada 2007 sebesar Rp9 miliar. Kenaikan mata anggaran ini didasari perhitungan inflasi tahunan. ”Semuanya digunakan untuk keperluan operasional,” ujar salah satu Anggota KHN Frans Hendrawinarta melalui saluran telepon. Dana sebesar itu menurut Frans masih tergolong sangat kecil dibanding beban KHN dalam mendesain rencana umum pembaharuan hukum nasional. Sementara DPR mempermasalahkan anggaran KHN yang cenderung meningkat tiap tahunnya, padahal hasil kerja lembaga itu tak pernah tampak.

Ini memang bukan kali pertama buat lembaga yang dibentuk lewat Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2000 itu diragukan eksistensinya. Sekitar empat tahun lalu, KHN malah pernah santer diberitakan bubar. Lembaga ini juga dikabarkan sangat kesulitan menjalin komunikasi dengan presiden.

Menanggapi penghakiman DPR tersebut, Ketua KHN Profesor Jacob Elfinus Sahetapy menganggap lembaga politik itu terlalu terburu-buru menilai. “Mereka bisa berkata begitu karena kurang cermat memahami tugas dan fungsi KHN,” ujarnya.

Selama ini laporan hasil kerja KHN selalu dikirim ke DPR. “Apakah mereka sudah baca atau tidak laporan itu, saya tidak tahu,” lanjut Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga itu.

Anggota KHN lainnya Frans Hendra Winarta menegaskan sangat tak tepat jika ada yang mengatakan KHN tidak sanggup berkomunikasi dengan Presiden. Intensitas pertemuan KHN dengan Presiden, ujar Frans, selama ini memang mengalami dinamika, berlainan antara satu pemerintahan berganti pemerintahan lainnya. Namun hal itu sudah diatasi dengan mengadakan hubungan langsung dengan Departemen, Sekretariat Negara atau institusi yang terkait dengan rekomendasi yang mereka bikin.

Lebih lanjut Frans menjelaskan, KHN dibentuk pada era pemerintahan Gus Dur. Sehingga interaksi lembaga itu dengan presiden juga lebih nampak pada era pemerintahan Cendikiawan NU itu. Gus Dur tergolong sering meminta pendapat hukum pada KHN. Tapi begitu berganti presiden, pendapat KHN mulai jarang diminta presiden berikutnya. ”Lagipula tidak mungkin kami memberi nasihat yang tidak diminta oleh Presiden,” ujar Frans. Kesimpulannya, presidenlah yang menurut Frans mestinya mau memanfaatkan fasilitas yang tersedia untuknya itu. Namun kini tantangannya semakin besar karena Presiden sudah memiliki Dewan Pertimbangan Presiden.

Sahetapy juga menjelaskan, sebagai Ketua KHN dirinya harus bekerja setengah kerja sosial. Sebab, jika perbandingan jumlah honorarium dan pengeluaran operasional dengan tugas yang diemban KHN sebenarnya sama sekali tidak sebanding. ”Yang penting kita tetap kerja, perkara dipersoalkan tidak nampak hasilnya, terserah orang menilai,” ujar profesor yang mantan anggota DPR itu.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution berpendapat, KHN sebagai lembaga yang melakukan kajian-kajian dalam mengawal pembaharuan hukum di Indonesia relatif masih diperlukan. Mengenai tumpang tindih tugas antara KHN dan Wantimpres tidak perlu menjadi hal yang dikuatirkan karena masing-masing lembaga punya tugas dengan spesifikasi berlainan.

Hanya saja, Buyung menekankan bahwa KHN perlu dikaji efektifitasnya, terutama awak pemikirnya yang rata-rata tidak memungkinkan lagi untuk bekerja secara total lagi. Sebagian sudah berumur terlalu lanjut, sebagian lagi masih disibukkan dengan pekerjaan lain di luar tugas-tugas KHN.


Rekomendasi dan Bahan Pidato Kepresidenan

Ditemui di ruang kerjanya rabu (11/7), Koordinator Program KHN Mujahid A Latief mengatakan, hasil penelitian KHN yang berujung rekomendasi memang tidak bisa dirasakan langsung hasilnya. Selama ini KHN telah melakukan banyak penelitian, seminar terbuka, Forum Group Diskusi dan membikin Positioning paper (nasihat hukum). Salah satunya adalah mencuatkan wacana dibikinnya Peradilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi sebelum lembaga itu dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Toh nyatanya Peradilan Tipikor juga akhirnya dibentuk,” kata Mujahid.

Selain itu, melalui permintaan Bappenas KHN juga selalu diminta membikin sumbangan dalam pidato tahunan Presiden terkait persoalan hukum. ”Itu berlangsung tiap tahun, selain KHN juga selalu memberikan laporan tahunan hasil kerjanya beserta rekomendasi kepada Presiden,” ujar Staf Penyedia Informasi KHN, Mohammad Saihu.

Sebenarnya, menurut Mujahid, sudah banyak yang dilakukan KHN. Salah satunya membikin cetak biru pembaharuan Kejaksaan pada 2005. Meski KHN tidak pernah menengok kembali tindak lanjut rekomendasi mereka yang dikirim ke Kejaksaan Agung, “Nyatanya banyak Cetak Biru Pembaharuan Kejaksaan yang mengacu pada rekomendasi yang kami buat,” ujar Mujahid.

Terhitung sejak mulai efektif tahun 2002, KHN telah menghasilkan 39 rekomendasi yang bersingungangan dengan sejumlah eksekutif, legislatif dan Peradilan. Salah satunya, Mujahid memberi contoh, direkomendasikannya akses transparansi peradilan pada 2002 yang ternyata kemudian dipakai dalam cetak biru pembaharuan Mahkamah Agung.

Pada semester pertama 2007, KHN telah melakukan penelitian dalam empat pokok bahasan yang lebih spesifik menyorot pada ranah peradilan. Pertama soal keberadaan Peradilan Khusus; kedua, soal pelaksanaan kewenangan Supervisi KPK; ketiga, tentang penyalahgunaan wewenang peyidikan polisi dan penuntutan jaksa dalam proses peradilan; dan terakhir Penyederhanaan prosedur Penanganan Perkara Korupsi .

Sayang, Mujahid mengaku belum bisa mempublikasikan hasil penelitian itu karena masih dalam tahap pengerjaan. Akhir Juli 2007 nanti ditargetkan selesai untuk dimasukkan dalam laporan tahunan dan sebagai tambahan bahan pidato kepresidenan. Intinya, dalam penelitian itu KHN menilai kewenangan monitoring perkara terhadap Kejaksaan yang dimiliki KPK selama ini dipandang belum berjalan mulus laiknya KPK sebagai lembaga supervisor. Sekedar memberi contoh, sejumlah kasus yang dilimpahkan KPK pada Kejaksaan tidak pernah ada tindak lanjut lagi dari KPK. Hal ini dikaitkan dalam kewenangan lembaga itu sebagai pemonitor penanganan perkara korupsi.





Artikel Lain
1. Terorisme dalam Peradilan Pidana
2. Pergeseran Makna Terorisme
3. Kerahasiaan Data PPATK
4. Panwas (dan) Pemilu
5. Sistem Hukum Indonesia
6. Kegagalan SPP Anak
7. proses hukum dalam pemilu
8. KPK dan Korupsi
9. Bush Kebal Santet


Tuesday, July 03, 2007

Legalitas Uang Pengganti

Oleh :
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional UNPAD


Berita sekitar aliran dana dari Bank Indonesia (BI) ke DPR dan informasi BPK mengenai uang pengganti tindak pidana korupsi enam triliun rupiah yang belum disetor Kejaksaan Agung sungguh menyentakkan kita semua. Selama ini, hal tersebut seharusnya tidak terjadi, apalagi pada lembaga tinggi negara dan lembaga penegak hukum tersebut. DPR merupakan lembaga yang juga seharusnya melakukan fungsi pengawasan, antara lain terhadap kinerja Kejaksaan Agung yang memiliki tugas dan wewenang penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.

Apakah peristiwa tersebut merupakan kesengajaan atau kelalaian, sampai saat ini belum ada langkah projustisia dari lembaga yang berwenang. Jika masalah aliran dana BI ke DPR, masih ada KPK atau Kejaksaan Agung yang bisa melakukan langkah tersebut. Tetapi terhadap Kejaksaan Agung yang menyimpan dana uang pengganti tindak pidana korupsi, siapa yang harus melakukan tindakan projustisia? Tentunya tidak ada lagi lembaga penegak hukum yang memiliki wewenang luar biasa dan memiliki fungsi koordinasi dan supervisi berdasarkan undang-undang selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kaitan ini, menjadi masalah bagi kita semua, bahwa selama ini para tersangka koruptor diburu dan dituntut karena telah merugikan keuangan negara di satu sisi, sementara di sisi lain uang pengganti tindak pidana korupsi tidak segera disetor ke kas negara.

Masalah dana uang pengganti yang mengendap di Kejaksaan Agung merupakan masalah hukum yang unik, dilematis, dan tidak pernah terdengar jauh sebelum era reformasi. Pandangan masyarakat luas akan memberikan cap bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan "penggelapan" atas uang yang seharusnya menjadi milik negara, apalagi jika uang pengganti tersebut sudah mengendap bertahun-tahun.

KUHP memang tidak mengatur tindak pidana penggelapan atas harta kekayaan negara, kecuali atas harta kekayaan perorangan, yakni pelaku dan korban adalah perorangan (Pasal 372-377). Namun, bukan berarti tidak ada pendekatan normatif yang dapat diterapkan, kecuali dengan menggunakan penafsiran hukum yang diperluas bahwa perbuatan "menahan" dana uang pengganti tersebut terlepas dari ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian selain melanggar UU tentang PNBP, juga melanggar ketentuan Pasal 3 UU No 31/1999 yang memang secara khusus ditujukan terhadap penyelenggara negara dengan syarat semua unsur dalam pasal tersebut terpenuhi.

Kriminalisasi perbuatan menggelapkan harta kekayaan negara tersebut justru telah diamanatkan dalam Konvensi PBB Anti-Korupsi 2003 yang telah diratifikasi dengan UU No 7/2006, bukan hanya dilakukan pejabat publik (Pasal 17), tetapi juga oleh mereka yang bekerja di sektor swasta (Pasal 22). Dalam Pasal 17 bukan hanya diatur "penggelapan" saja, tetapi juga "penyalahgunaan" atau "penyimpangan" atas harta kekayaan (property) dalam bentuk apapun yang dipercayakan kepada pejabat publik. Kedua pasal tersebut seharusnya telah diakomodasi di dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi versi pemerintah jika memang disusun untuk mengantisipasi ratifikasi atas konvensi tersebut.

Masalah hukum dana yang mengendap di Kejaksaan Agung juga merupakan kasus yang kontroversial karena dilontarkan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di tengah-tengah kuatnya semangat dan langkah Kejaksaan Agung membuka "kotak pandora" BLBI dan sedang giat-giatnya memburu setiap perbuatan penyelenggara negara atau direksi BUMN (perbankan) yang merugikan keuangan negara. Secara kasat mata, tampak bahwa di antara penyelenggara negara, khususnya yang bergiat di dalam pemberantasan korupsi, belum memiliki kesatuan visi dan misi serta langkah yang seirama satu sama lain.

Sikap yang sama juga terjadi dalam penegakan hukum di sektor swasta. Kebijakan Ketua Bapepam untuk memutihkan kasus-kasus lama yang terjadi dalam lingkungan aktivitas pasar modal dan tidak secara rinci dan terbuka kepada publik (berapa nilai kasusnya), di kemudian hari berpotensi merugikan tingkat kepercayaan masyarakat luas dan para stakeholder terhadap integritas pejabat Bapepam, apalagi di kemudian hari ternyata terkait kinerja BUMN.

Secara implisit, peristiwa-peristiwa di atas mencerminkan masih ada pola perilaku resisten terselubung di kalangan penyelenggara negara terhadap pemberantasan korupsi, baik di sektor publik maupun di sektor swasta. Langkah Jaksa Agung menertibkan kasus dana uang pengganti, secara internal, patut diapresiasi sebagai komitmen kuat untuk melakukan reformasi birokrasi kejaksaan. Namun, harus ada tindak lanjut, dengan membawa para pelaku ke muka pengadilan setelah sekian lama "mengendapkan" dana uang pengganti dan telah menimbulkan kerugian keuangan negara. Langkah tindak lanjut Jaksa Agung tersebut sekaligus membantah pepatah selama ini yang mengatakan "semut di seberang lautan tampak, tetapi gajah di pelupuk mata tidak tampak" dan sejalan dengan pendapat Almarhum Baharudin Lopa yang selalu mengatakan bahwa "untuk membersihkan lantai yang kotor, diperlukan sapu yang bersih".

Ketika Jaksa Agung menghentikan langkah-langkah berani untuk membawa pelaku parkir dana uang pengganti tersebut, pada saat itu kredibilitas Kejaksaan Agung dipertaruhkan, baik di dalam maupun di luar negeri. Kredibilitas ke luar negeri tentu akan mempengaruhi langkah Jaksa Agung untuk meminta kembali aset hasil korupsi yang telah ditempatkan di negara lain karena implementasi ketentuan tentang asset recovery (pemulihan dan pengembalian aset korupsi) dalam Konvensi PBB Anti-Korupsi 2003 tidak semudah anggapan sementara pejabat pemerintah Indonesia selama ini, termasuk petinggi hukum. Masih ada tersisa persyaratan nonteknis hukum dalam proses pengembalian aset hasil korupsi. Implementasi konvensi tersebut sudah tentu akan melalui langkah diplomatik dengan berbagai pertimbangan politis, selain persyaratan yang memang tidak mudah untuk dipenuhi di dalam implementasi hukum tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLAT).

Salah satu pertimbangan politis yang tidak boleh diabaikan oleh setiap pemerintah yang berkepentingan adalah pertanyaan dari negara yang diminta (requested state) tentang seberapa jauh keseriusan dan komitmen pemerintah negara peminta (reguesting state) terhadap langkah dan kebijakan pemberantasan korupsi, terutama dalam soal pengembalian kerugian keuangan negara. Maksud utama di balik pertanyaan tersebut adalah apakah aset-aset korupsi yang dikembalikan sungguh-sungguh dipergunakan untuk menambal APBN yang telah bolong karena korupsi, atau akan jatuh di tangan perorangan yang tidak bertanggung jawab.

Tidak berlebihan jika pertanyaan ini muncul ketika Kejaksaan Agung berusaha meminta kembali aset hasil korupsi di luar negeri dan secara hukum diplomatik pertanyaan tersebut sah-sah saja, bukan cermin dari "intervensi" negara diminta terhadap negara yang meminta. Hal ini berlandaskan pada ketentuan Konvensi PBB Anti-Korupsi di atas yang menegaskan bahwa setiap negara wajib bekerja sama secara timbal balik dalam pemulihan dan pengembalian aset hasil korupsi dengan pertimbangan bahwa kedua negara pihak dalam perjanjian terikat kepada prinsip-prinsip umum yaitu pacto sunt servanda, termasuk harus konsisten dengan tujuan semula diajukan permohonan pengem
balian aset korupsi, yaitu untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan bangsa dan negaranya.


Sumber : Seputar Indonesia
Pemutakhiran Terakhir ( Rabu, 29 Agustus 2007 )




* Komisioner Pilihan (Wakil) Rakyat
* Terorisme dalam Peradilan Pidana
* Pergeseran Makna Terorisme
* Kerahasiaan Data PPATK
* Panwas (dan) Pemilu
* Sistem Hukum Indonesia
* Kegagalan SPP Anak
* proses hukum dalam pemilu
* KPK dan Korupsi
* Bush Kebal Santet



PAHLAWAN NASIONAL

crossorigin="anonymous"> ------------- Artikel Lain * Tweets To @jodi_santos * CATATAN AWAL TENTANG R KUHAP (I)...